Alina berpaling dan memasuki kamar. Fatih menyusul di belakangnya.“Kamu nggak akan ngerti, apa yang aku lakukan di belakangmu.”“Aku nggak mau tau, aku capek.”“Biarkan aku menebus kesalahanku, Al. Kasih aku kesempatan. Aku ingin memulainya dari awal.”Alina terhenyak. Tak mengerti jalan pikiran lelaki yang tiba-tiba serba ingin dimengerti itu.“Memulai seperti apa? Bahkan aku sudah remuk begini, apa Mas Fatih pikir mudah berada di posisiku? Dibuang, tanpa memberi kesempatan memperbaiki diri. Disiksa, seperti aku ini gak punya rasa sakit, lalu—““Alina cukup, jangan diteruskan.”“Lalu diminta kembali lagi seakan tak pernah terjadi apa-apa, begitu? Kalau aku mau memulainya dari awal, apa jaminan untuk aku dan anakku, hah? Apa Mas yakin siap meninggalkan mbak Nita hanya demi parasit seperti aku ini? Apakah-““Alina cukup!”Fatih menyentak tangan Alina hingga masuk dalam pelukannya.Alina tergugu.“Sudah-sudah. Jangan diteruskan. Maafkan aku, maafkan aku.”Fatih membelai sayang kepala A
Sampai siang, Alina hanya rebahan tanpa melakukan aktivitas apa-apa. Mendadak tubuhnya sangat letih dan kepala tidak mau ditegakkan lama-lama.“Mas sudah pesan pakaian untukmu.” Fatih meletakkan handphone setelah mengutak-atik beberapa saat lalu.“Online shop biasanya gak sesuai keinginan.” Alina menimpali.“Bisa dikembalikan. Kebetulan online shopnya punya teman. Langsung dari butiknya.”“Oh.”“Itu kayakny, deh. “Fatih beranjak menuju pintu luar. Memastikan jika perkiraannya benar.Benar saja. Seorang ojek online membawa pesanan milik Fatih.“Sampai juga akhirnya.”Alina menoleh ketika Fatih menenteng dua paper bag ukuran besar. Satu diulurkan pada Alina.“Itu milikmu.”Alina membukanya, “daster?”“Iya, daster, tapi bukan daster rumahan. Itu bisa kamu kenakan saat kerja. Coba dulu.”“Kayaknya sudah pas kok.”“Mau komplain warnanya? Nanti ditukar kalau gak cocok.”“Gak usah. Suka warnanya.”“Oke.”“Jadi ... berapa harganya?”Fatih tercekat, geram juga tersinggung dengan pertanyaan Al
Alina tidak perduli dengan ucapan Fatih. Akhirnya Fatih melepas pelukannya, bukan karena kalah kuat dari tenaga Alina, tetapi karena kasihan pada Alina yang terus meronta.Alina mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh. Terutama bagian dada yang melebar ke mana-mana. Akhirnya ia mendapati daster yang baru dibelikan Fatih. Ia menyambar dan menggunakannya untuk menutupi dada.Fatih tertawa dan terus tertawa melihat tingkah Alina yang konyol.Alina melotot sebagai bentuk kecaman.“Untuk apa ditutup-tutupi. Toh aku sudah melihatnya berkali-kali.”Alina tertunduk, malu juga merasa risih karena tidak nyaman mengenakan lingerie yang super tipis.“Kalau suka, nanti aku belikan lebih banyak lagi, dengan berbeda model.”“Nggak. Nggak usah!” Alina langsung menjawab, “ini saja nanti juga gak kepakai, kok.” Alina berdiri, mencari pakaian yang ia kenakan sebelumnya.“Kenapa nggak dikenakan? Gak suka? Malu atau—““Mas ...!”Fatih tersentak dengan suara lantang Alina.“Aku merujukmu
Alina mematut dirinya di depan cermin. Ia memutar badan, memastikan jika baju yang baru ia kenakan cocok di badan.“Ini aja, deh.” Ia mengembalikan dua di antaranya yang tergeletak di kasur ke dalam lemari. Kemudian memilih jilbab yang sesuai dengan warna bajunya, warna peach.“Al, cepetan.” Fatih berdiri di ambang pintu.“Duluan aja.”“Itu sudah cocok. Ayo, buruan!”Alina menoleh. Tumben kali ini Fatih mengomentari masalah dandannya, biasanya tak pernah berkomentar apapun.Alina memasang jarum untuk pengait kemudian segera berlalu dari depan cermin.“Kita berangkat barengan.”Fatih membuka pintu mobil, mempersilahkan Alina untuk menduduki jok di sampingnya.Alina menggeleng.“Buruan.”“Pakai motor aja.”“Barengan aja.”“Nanti orang sekantor heboh melihat kita barengan. Aku nggak mau.”“Aku akan memperkenalkan kamu pada mereka.”“Sebagai istrimu, begitu? Lalu mereka bakal mengejekku.”“Sebagai sekretarisku.”“Sudahlah. Lagian aku nanti mau pergi sama Rey.”Fatih tersentak mendengar nam
Fatih menutup agenda siang ini dengan menikmati secangkir kopi dan menu ringan di kafe samping kantornya. Makan siang sering ia habiskan di tempat ini karena tidak jauh dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki, juga menu yang disediakan cukup menggugah seleranya.“Belum selesai ‘kan? Aku boleh duduk.” Fatih menoleh ke sumber suara. Anita tersenyum pias ke arahnya.“Silahkan.”Anita meletakkan bokongnya tepat di kursi, berseberangan dengan Fatih.“Mbak,” panggil Anita pada seorang waiters, “saya mau coffelatte.”Fatih menyesap kopinya, lalu memandang Anita.“Selamat ulang tahun,” gumam Fatih. Anita yang semula memandang sekeliling, bergerak menatap Fatih, kemudian tertunduk.“Maaf untuk semua janji yang tidak bisa aku tunaikan.”“Nggak usah dibahas. Aku sedang berjuang untuk tidak menuntut itu darimu. Padahal kalau kamu berniat, kita bisa menggapainya bersama-sama.”“Satu-satunya keinginan yang tidak bisa aku capai adalah satu itu. Aku tidak ingin meninggalkan jejak masa lalu yang akan
Keduanya terdiam sejenak, menikmati sup buah dengan duduk santai mengawasi lalu lalang karyawan yang sedang menikmati makan siang di kantin itu. Suasana seperti ini, berlangsung tanpa kecanggungan.“Besok jadwal USG. Pulang kerja, Mas antarkan kamu.”Alina hendak protes, tetapi Fatih segera menggoyang-goyangkan telunjuk tanda tak ingin bantah.“Besok jadwal ke psikiater. Aku sudah tiga kali nggak datang konsultasi. Mumpung Rey lagi ada di sini.”“USG lebih penting. Kalau masih ada waktu, nanti mas antarkan ke psikiater.”“Rey—““Ketemu Rey ‘kan bisa kapan-kapan.”Alina tak menjawab. Ingin mengajukan protes, tetapi Faris tampak terburu-buru. “Habiskan, Mas duluan. Ada janji ketemuan sama klien di luar.” Fatih meninggalkan Alina.Alina menghabiskan seluruh sup buah tanpa sisa, lalu menyusul langkah Fatih dengan berbeda arah tentunya. Ia menuju ruangan yang sudah tujuh bulan lamanya ia tempati.Waktu selama itu, membuat hubungan keduanya mulai membaik. Fatih tak lagi menuntut Alina untu
“Kalau Gue serius ngajak Lo ke Belanda, bagaimana?”Alina meletakkan bungkusan rujak ke kursi tempatnya duduk. Posisi Rey yang sedang berdiri di hadapan Alina menatap wanita yang sedang gugup itu dengan leluasa.“Lo ngomong apa, sih!”“Ngomongin kitalah! Lo bakal pisahan sama mas Fatih kan, Al?”Alina tidak berani lagi memandang Rey yang entah sejak kapan tidak bisa diajak berbasa-basi.“Gue serius nanya.”“Gak lucu, ah!” Alina menyembunyikannya kegamangan di balik tawaan, “Lo memang juaranya kalau disuruh akting.” Alina mencocol pepaya pada sambal rujak.“Ya ... ya ... ya! Gue memang rajanya akting. Sampai-sampai Serius pun gak bisa dibedakan.”Rey mendesah kesal. Seserius apapun ucapannya, Alina tidak pernah menanggapi. Wanita itu memiliki bakat menetralkan perasaan yang mumpuni.Contohnya, ketika Rey mengajaknya berbicara serius tentang rasa rindu, Alina akan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lainnya. Padahal saat itu, Rey ingin mengetahui seberapa berartinya dia di kehidupan w
Alina menikmati setiap perlakuan manja dari sang suami. Tidak hanya perhatian pada anak dalam kandungannya, tetapi pada hal-hal detail tentang pekerjaan rumah. Fatih akan membantu Alina menyelesaikannya.“Hei, Boy, mau makan apa malam ini” tangannya tidak berhenti mengelus perut Alina. Wanita itu sedang menjalankan aktivitas rutinnya menjelang malam, merajut pesanan tas.“Kan sudah makan?”“Wanti-wanti aja, mana tau pas tengah malam minta ini itu kayak kemarin malam.”“Hihihi, iya sih.” Alina meletakkan benang dan jarum di atas meja. Lalu berdiri dan menyambar sweeter.“Ayo!” ajaknya.Fatih yang berbaring dengan memainkan ponsel beralih perhatian.“Lah, mau ke mana?” Fatih bangkit dari posisi tidurnya.“Katanya nawarin makan.” Alina memasang wajah masam mendengar pertanyaan Fatih.“Oh, oke-oke.” Ia bangkit lalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Tak lama kemudian, Fatih membuka lemari dan mengambil jaket.“Kirain, mau pesen G- food aja tadi.”“Jadi ... gak niat, nih!”“Bukan. Kok jad