Maria memejamkan mata, berusaha mengatur emosi yang ingin meledak dalam dada. "Dengan mudah Ibu berkata kalau saya istri yang kurang bersyukur, karena Ibu tidak merasakan berada di posisi saya. Mas Dani sendiri juga memberikan Ibu uang puluhan juta. Bukan puluhan ribu seperti saya," balasnya.
Selama ini, Maria selalu diam saat dirinya diperlakukan sinis oleh mertuanya. Maria menganggap bahwa Bu Mayang adalah ibunya sendiri selama jauh dari orang tua kandungnya. Begitu ia hormati wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Namun, semakin lama hatinya merasa lelah. Kala Bu Mayang selalu menyudutkannya semenjak suaminya naik jabatan. "Maria, kamu ini bicara apa! Tidak sopan sekali kamu membahas uang yang aku berikan sama Ibu!" bentak Dani dengan raut marah yang tergambar jelas di wajahnya. "Kalian selalu menyudutkanku soal uang nafkah yang sangat sedikit itu. Bukan aku tidak bersyukur. Tapi, uang lima puluh ribu itu sangat kurang untuk kebutuhan setiap hari, Mas!" Maria memekik. "Kamu bahkan pilih kasih, Mas. Kenapa kamu berikan uang dengan jumlah banyak pada ibu dan adikmu? Sementara istri dan anakmu harus menelan ludah jika ingin sesuatu yang tak sanggup dibeli meski itu hanya sebuah es krim?" sambung Maria. "CUKUP!" Dani kembali membentak. "Kamu itu benar- benar nggak sopan ngomong begitu sama aku di depan Ibuku! Lebih baik kita pulang saja! Kamu itu pasti iri sama Ibu dan adikku, kan? Kamu seharusnya paham kalau Ibu itu lebih berhak menerima gajiku, karena Ibu yang melahirkan dan membesarkan aku. Sedangkan adikku masih menjadi tanggung jawabku sebagai pengganti Bapak," lanjutnya. Maria menatap Dani dengan nanar. "Jadi, aku dan Bilqis nggak berhak sama sekali?" "Maria, kamu!" "Udah, Dani. Jangan emosi. Maafkan Ibu, karena ibu, kalian jadi bertengkar," sela Bu Mayang. "Mending Ibu balikin saja uang pemberian kamu, Dan. Biar dipegang sama istrimu," tukasnya. "Enggak, Bu. Itu sudah jatah Ibu. Nggak perlu ibu minta maaf juga sama kami. Ibu jangan ambil hati ucapan Maria, ya. Dia memang kurang bisa menghargai jerih payahku," sahut Dani dengan lembut. "Ibu capek? Mau istirahat?" tawar Dani, iba melihat gurat lelah di wajah ibunya. "Iya, Dan. Antar Ibu ke kamar, ya. Sekalian ada yang mau ibu omongin. Sebentar saja," pinta Bu Mayang yang diangguki oleh Dani. "Maria, tunggu dan temani Bilqis dulu. Aku mau bicara sama Ibu di dalam," titah Dani pada istrinya. Maria mengangguk dan tersenyum getir. "Ya Allah, jika aku mendoakan hal buruk untuk pekerjaan suamiku, apa aku berdosa?" gumamnya. Seketika Maria mengucap istighfar. Ia mengusap dadanya, lalu berdiri dan berjalan keluar menghampiri Bilqis yang bermain sendiri di halaman. *** "Menikahlah lagi, Dani. Maria itu perempuan yang terlalu menuntut. Dia tidak pantas bersanding denganmu. Kamu mending sama Erlin. Erlin lebih pantas sama kamu. Bukankah dia suka sama kamu sejak dulu?" Bu Mayang menyentuh pundak Dani yang duduk di hadapannya. Ia sengaja mengajak Dani ke kamarnya agar Maria tak mendengar permintaannya itu. Di sisi lain pula, Bu Mayang menginginkan menantu yang sepadan dengan Dani. Bukan perempuan sederhana seperti Maria. Ia ingin punya menantu perempuan yang bisa dibanggakan saat berkumpul di acaran arisan. "Erlin? Ibu jangan mengada- ada. Erlin itu dekil, Bu. Mana nggak mau aku sama dia," tolak Dani. Erlin adalah tetangganya. Hanya berjarak tiga rumah saja dari rumah Bu Mayang. Sejak dulu, Erlin memang mengagumi Dani dan terang- terangan menyatakan perasaannya kepada Dani. Namun, sayangnya Dani tak membalas perasaannya dan lebih memilih Maria. Dan entah sudah berapa lama, Dani tidak bertemu dengan gadis itu. "Eh, kamu nggak tau, ya? Erlin sekarang cuantik, putih, punya toko sembako gede. Kamu bakalan pangling sama dia, Dan. Kalau dibandingin sama istri kamu, ya kalau jauh istri kamu itu!" Dani bergeming, seolah tengah berpikir. Dalam pikirannya kayak nggak mungkin kalau Erlin yang dulu dekil bisa berubah cantik. "Kalau kamu nggak percaya, biar Ibu telpon dia dan ibu suruh dia ke sini!" tantang Bu Mayang. "Tapi, di sini ada Maria," Dani nampak ragu. Di sisi lain ia juga merasa penasaran. "Gampang itu!" Bu Mayang meraih ponselnya, lalu tak lama menekan nama Erlin yang ada di kontak ponselnya.Arfan bangga. Jika awalnya ia meremehkan Maria yang terpaksa ia nikahi, kini justru ia malah dibuat tergila- gila oleh Maria. Maria adalah wanita dengan paket lengkap. Cantik, cerdas, dan pekerja keras. Benar kata Ibunya dulu, bahwa Maria adalah sebuah keberuntungan. Hanya saja, lelaki yang bersamanya dulu, telah salah merawat keberuntungan itu."Oh, ya. Katanya kamu jadi narasumber di acara zoom nanti?"Maria mengangguk. "Iya, Mas. Aku boleh minta tolong?" tanyanya."Apa?""Itu ... tolong jagakan Bilqis sebentar saat dia ngerjain PR selama aku nge-zoom. Aku gak bisa nemenin dia malam ini. Gak papa, kan? Kasihan kalau Ibu yang jaga."Arfan berdecak. "Gak perlu disuruh juga, Sayang. Bilqis kan putriku juga."Maria tersenyum. "Makasih, Mas."Maria merasakan sedikit pusing usai Zoom berakhir. Ia pikir itu adalah efek kelelahan saja karena sejak sore tadi ia terus menulis karena saking bersemangatnya. ***Pagi harinya, Maria merasa perutnya bergejolak saat menyantap sarapan. Kepalanya te
Tiga bulan telah berlalu ...Uang pesangon yang diberikan Arfan waktu itu ternyata jumlahnya lebih dari ketentuan. Dani memutuskan untuk membuka toko kelontong menggunakan uang tersebut. Sebab, mau bekerja di kantor lagi pun tak mungkin karena namanya telah jelek. Selain itu, ia juga tetap bisa berkumpul dengan Ibu dan adiknya. Setidaknya, toko yang dimilikinya saat ini membuatnya bisa mandiri."Mas, tadi Bu Yeyen minta dikirimin air galon sekalian sama beras satu sak waktu Mas kulakan," ujar Risa.Dani mengangguk. "Iya. Bentar lagi Mas anterin. Wildan mana, Ris?""Itu lagi main sama Ibu, Mas." Risa duduk di samping Kakaknya. "Ibu sekarang terlihat lebih bahagia, Mas. Semenjak meminta maaf sama Mbak Maria," katanya.Dani termangu mendengar ucapan Risa. Lantas, ia menghela napas berat. "Sebab, beban Ibu sudah berkurang, Ris. Selama ini Ibu menanggung beban berat, yaitu penyesalan yang teramat dalam pada Maria. Dan setelah meminta maaf dengan tulus, beban itu akhirnya terlepas.""Mbak M
Maria merasa kedua matanya memanas. Ia dapat merasakan ketulusan dari perempuan yang pernah ia panggil Ibu. Perempuan yang telah melahirkan ayah dari anaknya. Memang benar, bahwa kata maaflah yang selama ini ingin Maria dengar. Kata maaf yang tulus itu mampu dengan mudah melenyapkan rasa marah dalam hatinya."Bu, tenanglah ... Mas Dani tidak akan lama kok di penjara. Dia akan segera bebas," kata Maria."Be- benarkah?" Bu Mayang menatap Maria, ragu tapi binar matanya tampak bahagia.Maria mengangguk. Ia melepas genggaman tangan Bu Mayang dan beralih ia yang menggenggam tangan mantan mertuanya itu."Mas Arfan akan membebaskan Mas Dani hari ini. Mas Arfan hanya ingin membuat Mas Dani jera dan memberi contoh pada karyawannya yang lain. Tapi, maaf ... Mas Arfan tak bisa lagi mempekerjakan Mas Dani, Bu." Bu Mayang tersenyum. "Tidak apa- apa, Maria. Itu sudah lebih dari cukup. Nanti Dani bisa mencari kerja yang lain. Terima kasih ... terima kasih. Dari dulu kamu tidak berubah. Hatimu masih
Ting!"MasyaAllah ...." Maria tersenyum lebar saat melihat nominal pendapatan yang ia dapatkan dari aplikasi menulis. Kedua matanya berkaca- kaca melihat tiga digit angka baru saja masuk ke rekeningnya."Ada apa, Sayang?" Arfan yang baru saja mandi heran melihat wajah istrinya yang tersenyum tapi air matanya mengalir.Maria menunduk. Ia masih belum terbiasa dengan panggilan Arfan padanya. Ah, entahlah ... sejak melakukan malam pertama yang telah tertunda beberapa lama, Arfan jadi semakin romantis. Kini, sisi lain pria itu mulai tampak. Pria itu semakin menunjukkan kepeduliannya. Bahkan terang- terangan Arfan menunjukkan kecemburuannya dengan melarang Maria berinteraksi dengan pembaca novelnya yang laki- laki."Itu ... alhamdulillah aku dapat rezeki, Mas. Kalau saja masuk ke rekening kemarin bisa sekalian aku kasih ke Ayah," kata Maria.Arfan memakai pakaian kerjanya. "Minggu depan kita bisa ke sana lagi. Masih banyak waktu, Sayang."Maria mengangguk. "Iya, Mas. Emm ... aku mau membeli
Dani membuang napas. Semua kesialan yang menimpa keluarganya terjadi semenjak ia bercerai dengan Maria. Ah, mengingat wanita itu Dani merasa nelangsa. Penyesalan demi penyesalan terus saja menghantuinya. Segala macam kata 'seandainya' terus terbesit dalam benaknya.Seandainya, ia menjadi suami dan ayah yang loyal, apakah semua ini akan terjadi?Seandainya, ia selalu memperhatikan keluh kesah Maria, memperhatikan penampilan Maria, apa ia akan kepincut pada Erlina?Seandainya, ia tak menuruti kata ibunya untuk menikahi Erlina, apa ia tak akan merasakan sesal kedua kalinya?Dani mendongak, agar air mata yang menggenang di pelupuk mata urung keluar. Rasanya malu, jika ia menangis di dalam penjara. Apalagi dalam satu sel itu ada tiga orang yang membersamainya."Bung, pijitin kaki gue!" Dani tersentak kaget saat tiba- tiba seorang lelaki berbadan gempal berdiri di hadapannya. Dan tanpa izin pria itu duduk dan menyelonjorkan kakinya di depan Dani. "Cepetan, kaki gue udah pegel!" titahnya l
Maria memejamkan mata. "Tenanglah, Ris. Aku akan menghubungimu lagi nanti."Maria memutuskan panggilan telepon saat Risa hendak kembali bersuara. Bukan ia merasa tak simpati. Akan tetapi, Maria tak ingin merusak suasana hangat yang saat ini membersamai keluarganya."Dari adiknya Dani, ya?" Pak Yudi bertanya.Maria menjawab dengan anggukan. "Kita makan saja dulu, Yah. Aku gak mau acara makan kita diganggu sama mereka," cetusnya.Usai makan, Maria membersihkan piring dan mencucinya, dibantu oleh Bilqis dan Arfan. Ketiga orang itu nampak sangat lucu di mata Pak Yudi.Pak Yudi yang mengira bahwa Arfan tak akan mencintai putrinya, ternyata salah. Kini, ia dapat melihat cinta yang tulus menyorot dari kedua bola mata Arfan untuk putrinya."Maria, kalau sudah selesai ayah mau bicara sama kalian berdua," kata Pak Yudi."Iya, Yah ...." Maria tersenyum pada sang Ayah."Sepertinya Ayah mau membicarakan soal ...." Maria melirik Bilqis yang berdiri di sampingnya sambil membawa piring kotor."Nak, k