Langit kembali mendung, di siang hari yang biasanya cerah terlihat lebih gelap dan murung. Pemakaman Bi Ana telah dilakukan, dan kini, hanya Andira juga Martin yang berada berhadapan, tadi saja, Sabina tak ingin pergi dari tempat pemakaman Bi Ana, namun Ibrahim membawanya pergi, Raisi juga sempat hadir dan pada akhirnya pergi, Martin terlihat lusuh, dan Andira kini berlutut di samping makam itu, menatapi nisan yang bertuliskan nama ibunya. Bibirnya bergetar dan matanya meneteskan air mata. Dan Martin hanya bisa memandang Andira dengan tatapan pasrah dan berduka. Gadis ini terus merengek dan menyandarkan kepalanya pada nisan tang tertancap. Dan pada akhirnya, turunlah hujan dan membasahi bumi. Air mata Andira mengalir seperti derasnya hujan saat itu. Kedua tangan Martin berada di dalam sakunya dan perlahan membungkuk lalu jongkok setengah mengelus lembut punggung Andira. Dia merangkulnya dan berkata, "Kau akan demam jika terus di sini," ucapnya lembut, terdengar di telinga Andira.
"Kau katakan bahwa jika aku mendengarkanmu maka ibuku akan baik-baik saja!" Andira dengan suara keras membentak Ibrahim yang duduk di kursinya, dia terlihat mengerjakan sesuatu di mejanya. "Well, kenapa begitu sedih, bukankah dia bukan ibu kangdungmu?" Matanya menatap Andira yang berdiri di hadapannya. Bibi Andira terbuka tipis, matanya menatap dengan nanar, dan nafasnya putus-putus, dia merasa sesak lalu akhirnya duduk di kursi yang telah disediakan di hadapannya. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau melakukan semua ini hanya untuk dirimu saja, kau tidak peduli denganku, dengan ibuku....""Ibumu? Bi Ana bukan ibumu Andira!""Lalu siapa ibuku? Siapa orang tuaku Ha? Kau menghancurkan ku sejak awal! Kenapa kau melakukan ini padaku!?" Andira berdiri dan memukul meja dengan sangat keras, kedua tangannya tak merasakan panas dengan pukulan di meja, namun matanya sungguh nanar memandang Ibrahim. "Andira..., Kau membuat masalah dengan tidak mendengarkan ku, kau bahkan tidak ingin kemba
Martin berjalan masuk ke dalam gedung perusahaannya yang besar, kali ini dia hanya mengenakan kaos biasa tanpa setelan jas yang mewah, dan dengan hanya celana santai panjang biasa. Dia menjadi bahan pembicaraan di sana, tujuannya juga hanya satu, dia hanya ingin mengetahui apakah terjadi sesuatu pada bisnisnya, dan kini dia mengadakan rapat dadakan dimana dia akan menjalankan sesuatu yang tidak akan merugikan perusahaannya. "Dimana Ibrahim?" tanyanya saat dia sama sekali tidak menemukan Ibrahim di kursinya. "Dia meminta izin hari ini untuk tidak datang, Pak.""Lagi?""Ini hari pertamanya izin dalam waktu sebulan, Pak." "Baiklah kita mulai tanpa dia, rapatnya." Para karyawan sudah sudah duduk di kursinya masing-masing dan Martin memulai rapatnya. Ini adalah pertama kalinya Martin menghadiri rapat tanpa pakaian resmi, tidak masalah, siapa yang akan marah, toh dia pemilik utama perusahannya. Dan hal yang dia bicarakan adalah rencana yang akan dilakukan oleh perusahaannya jika kembali
Sebuah kamar hotel yang terlihat berantakan, Raisi bersama Lizzia terlihat pulas tertidur di ranjangnya. Mereka sudah melalui malam yang liar dan hebat, juga menyenangkan, dan hal yang disukai Raisi adalah saat dia mampu melupakan Andira ketika bersama Lizzia. "Pagi," kata singkat yang diucapkan Lizzia saat dia membuka matanya dan Raisi sedang menatapnya. "Pagi," balas Raisi, mereka saling menatap dengan selimut yang menutupi separuh tubuh mereka.Dan mereka hanya saling bertatap-tatap hingga ponsel Lizzia kemudian berdering. "Tunggu," ucapnya, dia membangunkan tubuhnya dan mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Dia melihat nama Nigel di dalam ponselnya. "Iya, ayah?" "Kau dimana? Ha? Kenapa tidak pulang dan tidak memberitahuku?!" Suaranya membentak, mendengar itu, Lizzia merasa sedikit panik, tubuh eksotis yang indah itu turun dari ranjang, dia nampak tak memakai busana apapun, dia menghindar dari Raisi, dan masuk ke dalam kamar mandi. "Aku s
Lizzia beberapa kali menelan ludahnya saat dia menemukan bahwa Nigel saat ini tepat berada di hadapannya. Matanya cukup membulat dan rasa takut muncul dalam dirinya akan dihukum. Dia sedikit memundurkan tubuhnya dan bibirnya sedikit menganga, kedua kelopak matanya juga berkaca-kaca. "Hello sayang," ucap Nigel, tersenyum pada Lizzia yang kini berusaha menggerakkan tangannya dan ingin menutup pintu, namun tangan Nigel dengan cepat menahan pintunya dari depan dan dia juga melangkah masuk hingga ke bingkai pintu. "Dengan siapa lagi kau tidur malam ini? Kenapa tidak memberitahu ayah? Sayangku?" Lizzia tidak menjawab, dia hanya menelan ludah, bibirnya kaku, dan tiba-tiba, Raisi yang terlihat mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya kini muncul dan berkata, "Ada apa? Zia? Kenapa berhenti?" Raisi bertanya namun pertanyaan itu terjawab saat dia sendiri melihat Nigel di hadapan Lizzia. "Halo Raisi, bagaimana kabarmu keponakanku? Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya, dia masih be
Martin dan Syarif saat ini menuju ke rumah Ibrahim, dia sudah menghubungi Ibrahim berkali-kali, namun Ibrahim tidak menjawab bahkan beberapa saat yang lalu ponselnya sudah tidak dapat dihubungi. Martin terlihat tenang, namun dalam benaknya betul-betul berpikir keras, dimana adiknya? Dimana Hatice? Kenapa harus Hatice? Apa salah adiknya? Pertanyaan itu terus menjelma dalam benak Martin. Bukan hanya ke rumah Ibrahim, namun Martin juga akan ke suatu tempat yang lain.Dia akan ke rumah teman Syarif, seorang pengangguran yang pandai dalam semua hal yang berbau teknologi, komputer, dan bahkan meretas, walau Martin tau bahwa Ibrahim juga cukup pandai dalam melakukan hal yang berbau teknologi dan sebagainya, namun dia tidak ingin bekerjasama dengan Ibrahim, dia sudah muak dengan pria yang satu ini. "Martin?" Ibrahim saat membuka pintu dan melihat Martin tepat berada di hadapannya. "Sore, Ibrahim," sapa Martin. Ibrahim, dia terlihat menampilkan wajah lusuh dsn terkejut, rambutnya agak berant
"Apa kau yakin melihat bercak darah di sini?" tanya Ibrahim pada Syarif yang sedang membungkuk memeriksa, dimana bercak darahnya? Dimana pecahan belingnya? Kenapa semuanya hilang? Beberapa helai rambut, kenapa bisa menghilang secara tiba-tiba? "Aku yakin.""Aku rasa kau hanya melamun sejak tadi, ayo, kita masih punya banyak urusan," ucap Martin. Sementara Syarif, dia menatap Ibrahim dengan tatapan curiga, dia semakin curiga saat dia melihat leher Ibrahim seperti berkeringat. Namun tanpa bukti, dia tidak bisa menuduhnya, apalagi, Martin sudah terlanjur percaya dengan Ibrahim. "Bukan percaya, hanya saja tidak mungkin dia melakukannya, dia," kata Martin, mereka berjalan ke arah mobil. Syarif hanya menggeleng, dia terlihat mengambil catatannya, dia menulis sesuatu. "Tersangka pertama, Ibrahim." Dia mengucapkannya sambil menulisnya di dalam catatannya. "Kenapa menjadikan Ibrahim sebagai tersangka?" "Siapa saja bisa menjadi tersangka, bahkan Anda Tuan," kata Syarif, kemudian membuat
"Kau bisa melacaknya? Aku hanya ingin tahu siapa yang melakukan semua ini padaku. Meretas dan selalu menghubungiku, dia bahkan tidak mengancamku atau memberinya uang yang banyak, apa yang dia inginkan dariku," keluh Martin, dia terlihat seperti sangat lelah. "Aku bisa, tapi Anda seharusnya memberiku uang dimuka," balasnya. Saat ini, mereka telah tiba di rumah seorang peretas, atau seorang ahli yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan keahliannya selain bermain video game, mengancam seseorang dengan mencuri akunnya, dan sebagainya, dia tidak bisa memanfaatkan keahliannya dalam hal yang lebih berguna, daripada pada hal kebaikan. Syarif harus berusaha agar temannya ini tak ketahuan polisi lain. "Ayolah, Andre, lakukan saja dulu, kau tidak usah menanyakan tentang uangnya. Jangan cemas tentang uangnya!" Syarif menatap temannya itu dengan tatapan yang mengancam. Andre sendiri memiliki badan yang cukup berisi, atau mungkin sudah sangat berisi, wajahnya masih terlihat muda dan juga leba