Tak ingin Anya melihat semua perseteruan dan perang dingin dalam keluarga mereka, hingga ia memilih menyudahi ucapannya dan pergi. Mengalah bukan berarti kalah, sebab seringkali hal itu lebih baik demi menjaga suasana hati antara mereka.💕💕💕"Tutup mulutmu, aku ada di sini karena suaminya tidak ada untuk menemaninya," sindir Arya, sembari membenahi barangnya."Aku punya alasan kenapa berbuat demikian, selain karena sibuk meeting orang yang memberiku kabar adalah orang yang tak bisa dipercaya ucapannya," kilah Arga. Yang hanya ditanggapi kakaknya dengan senyum sinis."Lalu, kamu?!" Kini tatapan Arga berpindah pada Anya yang kebingungan. Seolah akan mengalihkan target penyerangan.Matanya menyipit melihat benda pipih di tangan sang istri, jika ia memegang ponsel kenapa tak menjawab panggilan darinya? Kalaupun dalam mode senyap, harusnya ia segera menghubungi begitu melihat banyak panggilan tak terjawab."Kenapa kamu tak menghubungiku, ha? Lihat berapa banyak panggilan tak terjawab da
Arya berjalan lurus, memasuki kafe tempat di mana harus bertemu dengan pimred yang kini bekerjasama dengannya. "Apa yang membawa Anda untuk menemui saya?" Arya tak sabar mendengar penjelasan mengenai pembaruan kontraknya."Yah, silakan minum dulu, lah Mas PM. Saya sudah memesan kopi termahal ini khusus buat Anda." Arya menyeruput minuman berwarna hitam yang mengepulkan asap tipis-tipis. Rasa nikmat kopi melewati mulut sekaligus kerongkongan. Ia sangat suka menghirup aroma khasnya yang seringkali membangkitkan mood saat bekerja. Ya, menulis tanpa ditemani kopi seperti hidup tanpa oksigen untuk bernapas. "Jadi?" Arya bertanya singkat."Em, boleh lah kita ganti satu poin kontrak kita." Pimred tersebut mengatakan dengan ragu."Apa itu?" Ia mulai tak nyaman melihat ekprsei orang di seberang meja."Bolehlah kita bagi sedikit aja nama asli dan foto Mas PM, kasian reader dah lama kejang-kejang karena penasaran."Arya mengerutkan kening. Kontrak yang dibuat 90 persen berdasarkan kemauan pe
Berhentilah menahan orang lain sesuai keinginanmu sendiri. Karena mestinya orang baik itu dibahagiakan.❤❤❤"Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu senang?" celetuk Arga yang melihat ekspresi aneh di wajah Anya. "Jangan terlalu senang karena hasil tesnya belum menunjukkan hasil positif." Arga berjalan ke arah jendela. Matahari menyorot panas ketika ia buka gorden. Posisi kamar yang Anya tempati memang mengahadap matahari terbenam."Sudah kubilang, pencahayaannya tidak bagus. Tapi suster itu ngotot tidak mau mengurus perpindahan kamar." Arga mengomel, berusaha untuk melarikan diri dari masalah yang ada di pikirannya "Em, sudahlah, Om. Sore ini kita sudah bisa pulang. Apa Om tidak kerja?" Anya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 14.30. Jam di mana seharusnya Arga ada di kantor.Arga mendesah. Perlu kah istrinya mempertanyakan itu, sementara dia dalam keadaan sakit seperti sekarang? Atau sebenarnya Anya lebih menyukai Arya mengurus keperluannya? 'Argh! Sial. Ada apa dengan otakku
Mungkin hidup yang Arya jalani adalah berat, tapi bagi Arga hidupnya jauh lebih berat. Setidaknya Arya bisa merasakan saling mencintai hingga maut memisahkan mereka. Berbagi cinta dan saling berkorban. Tidak sepertinya yang selalu saja gagal dan menelan rasa sakit dikhianati.???Anya menuruni anak-anak tangga dengan perasaan senang. Akhirnya apa yang diharapkan terjadi. Kehamilan. Bisa saja hal itu memperbaiki semua masalah yang terjadi antara dirinya, Arga dan Mira. Dengan itu juga, ia juga lebih cepat move on dari Irham. Pria yang bahkan sampai detik ini menghuni sebagian hatinya.'Semoga saja Om Arga lebih memandangku dengan adanya anak di antara kami. Dengan begitu aku bisa belajar mencintainya,' doanya dalam hati.Sampai di lantai bawah, diedarkan pandangan mencari seseorang. Tak menemukan yang dicari, ia pergi ke samping rumah."Huft. Capek." Wanita yang mengenakan daster dan khimar lebar itu membuang napas kasar. Rumah yang ia tempati memang luas, sangat luas malah. Lima kali
Bukankah wajar seorang pria menanam benih di rahim istrinya? Itu seribu kali lebih terhormat dibanding seorang jalang yang tidur dengan pria tanpa ikatan. 💕💕💕"Bagaimana?" Bayangan Admaja dalam video call bertanya pada Yahya."Anda bisa melihatnya sendiri." Yahya mengarahkan ponsel ke sosok Arga yang berada di depan pintu dengan Mira dan Anya. Lalu mengalihkannya ke jendela kaca besar hingga terlihat jelas oleh Admaja, anak tirinya Arya berdiri di depan pintu kamar."Kerjamu bagus." Admaja tersenyum miring. Yahya merasa tersanjung oleh pujian sang bos. Ia senang sebentar lagi rekeningnya akan gendut karena kerja kerasnya selama ini.Di sisi lain, suasana mulai tegang di antara Anya, Mira dan Arga."Anya, naiklah ke atas!" perintah Mira begitu melihat Arga ada bersama mereka.Mata Anya menyipit. Ada apa lagi sekarang? Ia tak mau masalah berlarut-larut hingga mengesampingkan hubungan keluarga di antara mereka."Ta-tapi kenapa, Bu?" tanyanya menatap Mira dan Arga secara begantian. R
"Apa? Kenapa wajahmu begitu?" Arga menaikkan dua alisnya menangkap reaksi Anya. Pipi perempuan dalam pelukannya sudah serupa kepiting rebus karena malu."Sudah lah, lain kali hati-hati!" Arga mengucap pelan setelah melepas tubuh sang istri, lalu bergerak meninggalkan Anya ke tempat tidur, menarik selimut dan memilih tidur. Dia sendiri merasa canggung dengan kejadian tadi. Biasa, tapi cukup membuat hatinya berdebar.Anya berjalan ke kamar mandi untuk meletakkan pakaian kotor Arga, sambil memegangi pipinya yang menjalar rasa hangat di sana. "Ya Allah, hamba berdebar."Sebelum akhirnya ia pun memilih berbaring di ranjang dengan posisi dibelakangi oleh suaminya.Disejajarkan antara kepala dan punggung hingga terasa nyaman. Tubuhnya menjadi rilex. Sesekali Anya menoleh, menatap punggung kokoh pria yang membuat jantungnya mulai berlompatan. Pasti akan menyenangkan jika sosok pria itu adalah lelaki yang tulus menyayanginya. Tak peduli jika pada awalnya Anya tak memiliki perasaan apa pun p
"Kenapa semua yang kumiliki kamu inginkan? Tak cukupkah kamu menyiksaku bertahun-tahun dengan hilangnya Dara dari hidupku ...." Arga menekan setiap kata-katanya.Ada yang terasa nyeri dalam dada Arya ketika nama Dara disebut. Nama seorang wanita yang membuatnya terluka begitu dalam, hingga menyisakan trauma lebih dari sepuluh tahun. Lalu kini ia melihat Anya yang hidup tersiksa di dekat Arga. Entah, kenapa ia merasa perempuan itu memantik perhatiannya dengan kuat."... apa kamu juga akan membunuh Anya?" sambung Arga dengan tatapan muak."Hentikan ucapanmu anak kecil!" Kini tangan Arya sudah menarik kerah Arga. "Heh!" Anak bungsu keluarga Admaja itu tersenyum sinis."Tau apa kamu soal kematian Dara?!" Tatapan Arya menghunus dalam."Hentikan! Dan jangan ikut campur kehidupanku." Arga menggenggam kuat tangan sang kakak lalu melemparnya. Ia melangkah pergi tak peduli pada perasan Arya yang kembali terjangkiti sakit.Lelaki yang memiliki nama pena Psycho Man itu membeku di tempatnya. Kena
Mira ke luar rumah diam-diam tanpa sepengatahuan Yahya. Sejak mendapat telepon dari Admaja semalam, ia selalu kepikiran. Kepercayaannya lenyap. Lalu memutuskan untuk ke kantor polisi melaporkan kasus yang menimpanya dengan membawa rekaman video.Tak ada lagi alasan untuk tetap diam. Toh, ia sudah sepenuhnya kehilangan Arga dan merelakannya untuk bahagia bersama Anya. Belum lagi pria yang menasehatinya saat akan pulang dari rumah megah yang keluarga Admaja tempati.Sampai kantor polisi, wanita itu tidak berbelit saat berbicara."Saya diperkosa seorang pria," ucap Mira tegas.Dia bukan lagi wanita muda yang malu-malu aibnya diketahui orang lain. Berpikir realistis dan menjalaninya dengan dada membusung adalah pilihan terbaik sekarang.Seorang petugas mengetik sesuatu di atas komputernya. Sesuai pernyataan sang pelapor."Tolong selidiki ini! Saya ingin pelakunya ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Siapa pun dia." Meski ada bisikin pelakunya adalah Arga, tetap saja Mira me