MasukNala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan.
Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia mengambil piring dan dengan lahap mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk. Tepat saat Nala mulai menikmati suapan pertamanya, terdengar suara klakson mobil di halaman, diikuti deru mesin yang dimatikan. "Nah, itu pasti Mas Dimas sama Mbak Tari," ujar Papa. Tak lama kemudian, pintu depan berderit, dan muncul sosok Dimas, kakak sulung Nala yang selalu terlihat rapi, diikuti oleh Tari, istrinya yang berwajah ramah dan murah senyum. "Wah, sudah pada mulai makan, nggak nungguin kita!" protes Dimas dengan nada bercanda. Ia langsung menghampiri Nala. "Nala!" seru Dimas, memeluk adiknya erat-erat setelah Papa bergeser sedikit. Pelukan Dimas lebih kaku dibanding Banyu, tetapi sama menenangkan. "Gimana di jalan? Capek banget, ya?" "Nggak, Mas. Cuma laper banget," jawab Nala, melepas pelukan sang kakak. Ia lalu beralih menyambut Tari dengab pelukan. "Mbak Tari, aku kangen banget!" "Mbak juga kangen banget sama kamu, Sayang. Makin cantik aja nih adik Mbak," balas Tari, membalas pelukan Nala dengan hangat. "Tapi kok makin kurus sih, Dek?" Tanyanya yang langsung membuat Nala mendengus sebal, Tari adalah orang ketiga yang menyebut dirinya kurus. Sedangkan Tari tertawa pelan ketika melihat wajah cemberut Nala. "Tapi seminggu di sini juga pasti gemuk lagi, masakan Mama kan juara. Iya kan, Nyu?" Tanyanya pada Banyu yang sedari tadi asyik menyantap makanannya. Banyu mengangkat jempol kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang tempe mendoan. Mereka semua akhirnya duduk mengelilingi meja makan, tawa dan obrolan ringan mengisi ruangan. Banyu tak henti-hentinya menceritakan lelucon konyolnya, Dimas sesekali menimpali dengan nasihat yang bijak, sementara Mama dan Papa sesekali mengingatkan Nala untuk tambah nasi. Di tengah suasana hangat itu, Nala menyadari sesuatu. Mereka tidak membahas tentang hidup Nala di Jakarta, tidak ada pertanyaan menyudutkan tentang masa depannya, dan tidak ada tuntutan untuk segera mandiri seperti yang ia inginkan. Mereka hanya fokus pada satu hal: Nala sudah kembali, dan itu cukup. Sambil menikmati brongkos kesukaannya, Nala menatap wajah-wajah yang sangat ia cintai. Ia tahu, istirahat yang sesungguhnya bukanlah liburan mewah, melainkan kembali ke rumah, kembali ke pelukan keluarga. Ia mungkin harus memulai dari awal lagi, tetapi kali ini, ia tahu ia tidak akan sendiri. Keluarga adalah jaring pengaman yang akan selalu ada, siap menangkapnya setiap kali ia terjatuh. Nala menarik napas dalam-dalam, mengambil sepotong tempe mendoan terakhir di piringnya. Hari esok, ia akan bantu Papa di warung—mungkin? Kalau orangtuanya mengizinkan, dan ia akan melakukannya dengan semangat baru. Jakarta mungkin telah menolaknya, tetapi kampung halaman ini menyambutnya dengan tangan terbuka. ——— Malam harinya, setelah makan bersama yang penuh dengan canda tawa, keadaan rumah kembali hening. Dimas dan Tari sudah pamit pulang karena harus membuka toko pagi-pagi sekali. Sedangkan Banyu kembali ke bengkel karena ada klien yang ingin motornya diperbaiki oleh Banyu. Untuk informasi, bengkel Banyu memang buka sampai pukul 10 malam, jadi wajar kalau dia masih sibuk di bengkel saat jam sudah menunjukkan pukul 9. Kedua orangtuanya sudah kembali ke kamar, setelah berbincang-bincang dengan Nala di ruang keluarga. Dan kini, Nala sendirian, di kamarnya yang masih terlihat sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Nala duduk di tepi ranjangnya, memandang sekeliling kamar. Dindingnya masih dicat dengan warna lilac lembut, warna yang ia pilih saat masih SMA. Meja belajarnya masih dipenuhi buku-bukunya saat SMA dan beberapa pajangan kecil yang ia dapat dari hadiah ulang tahun. Di sudut ruangan, sebuah gitar akustik yang sudah lama tidak ia sentuh bersandar pada dinding. Kamar ini adalah saksi bisu dari semua mimpinya, ambisinya, dan kegelisahannya di masa remaja. Perlahan, Nala bangkit, lalu menyeret kopernya ke tengah ruangan. Nala meletakkannya di lantai, lalu membuka ritsletingnya perlahan. Ia keluarkan pakaiannya satu persatu. Saat semua pakaiannya sudah dikeluarkan, Nala pun bangkit dan menyusun semuanya di lemari. Namun perhatiannya teralihkan pada sebuah buku dengan sampul yang sudah usang, tertimbun oleh baju-baju lamanya. Tangannya terulur meraih buku bersampul kain biru yang terlihat usang itu. Buku harian. Ia ingat, ia pernah menulis dengan rajin di sana saat masih SMA, mencurahkan semua cita-cita dan rencananya. Ia duduk kembali di tepi ranjang, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang yang empuk, dan membuka buku itu perlahan. Debu tipis sempat berterbangan. Halaman-halaman pertama berisi coretan hati tentang gebetan dan jadwal les. Nala tersenyum geli. Ia membalik terus hingga menemukan tulisan tangan yang lebih rapi dan matang. 2 Januari, 202x. Tahun baru, semangat baru. Aku harus bisa lulus dengan nilai terbaik, lalu kuliah di kampus impian, dan langsung dapat kerja di perusahaan multinasional di Jakarta. Aku harus mandiri, nggak mau terus-terusan jadi 'anak mami' yang cuma bisa minta uang dari Papa dan Mas-Mas. Nala memejamkan mata sejenak. Ia sudah berhasil lulus sekolah dengan nilai terbaik, ia juga sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Tapi untuk satu hal yang terakhir itu... Nala gagal. Ia membalik lagi. Ada coretan tentang bagaimana ia meyakinkan Papa untuk mengizinkannya merantau, dan bagaimana Banyu, meskipun mengejek, adalah orang pertama yang membantunya mencari kosan yang aman. 15 Juli, 202x. Hari ini Mas Banyu beliin aku tiket kereta. Dia bilang: "Pergi sana, cari pengalaman, tapi ingat, kalau capek, jangan malu bilang. Jakarta itu hutan, Dek. Jangan sok jadi singa kalau masih kayak anak kucing." Aku benci dia selalu nganggap aku lemah, tapi aku tahu dia cuma khawatir. Nala menarik napas dalam. Betapa ironisnya. Saat itu ia marah karena dianggap anak kucing, dan kini, ia pulang karena memang merasa kalah oleh 'hutan' itu. Ia terus membaca hingga mencapai halaman terakhir, yang ternyata ia tulis sesaat sebelum keberangkatannya ke Jakarta. 27 Agustus. Aku pergi. Aku nggak akan pulang sebelum aku bisa buktikan ke semua orang, terutama ke diriku sendiri, bahwa aku bisa survive. Jakarta, tunggu aku. Aku akan sukses. Ps: tapi nggak mungkin aku nggak pulang sama sekali sih, Mas Banyu yang nyebelin parah itu pasti bakalan ngomel-ngomel di telepon setiap hari. Membaca janji terakhir itu, air mata Nala menetes. Ia tidak sukses. Ia melanggar janjinya sendiri hanya dalam hitungan bulan. Rasa malu itu kembali menusuk. Boro-boro sukses, baru diomelin atasan aja udah keok. Nala menutup buku harian itu dengan rasa nyeri yang menusuk. Ia memeluk buku itu di dadanya seolah memeluk versi dirinya yang penuh semangat dan ambisi, sebelum ia bertemu kenyataan pahit ibu kota. Tuk... Tuk... Tuk... Nala menoleh begitu mendengar ketukan pintu, ia buru-buru menghapus jejak air mata diwajahnya sebelum bangkit untuk membukakan pintu. Setelah pintu dibuka, sosok sang ayah terlihat berdiri sambil memegang segelas susu hangat. Dulu, saat SMA, setiap ingin tidur, Nala selalu minta dibuatkan segelas susu. Dan ternyata, Papanya masih ingat dengan kebiasaan anaknya dulu. "Papa lihat lampu kamarnya masih nyala, jadi Papa bikinkan susu. Diminum, ya." Nala menerimanya dengan senang hati, "Papa masih inget aja. Padahal semenjak kuliah aku udah nggak minum susu lagi sebelum tidur," ujarnya. Dulu, Nala minta dibuatkan susu karena ia ingin cepat tinggi. Namun ternyata, sampai ia duduk di bangku kuliahpun, ia tidak bertambah tinggi, masih kalah jauh dengan kakak-kakaknya. "Gimana Papa bisa lupa? Dulu, kalau nggak dibikinkan susu, kamu pasti ngambek." Ujar Papa Bakti yang langsung membuat Nala meringis malu. Mungkin karena anak bungsu, Nala gampang sekali ngambek. Bahkan meskipun berjauhan dengan keluarganya, Nala seringkali ngambek karena hal sepele. Kalau sudah ngambek, ia akan mengabaikan semua telepon dan pesan dari semua anggota keluarganya, tanpa terkecuali, sampai mereka kelabakan. Tipikal anak bungsu sekali bukan? "Sudah minumnya? Sini Papa simpankan gelasnya, kamu langsung tidur ya. Jangan begadang," Nala mengangguk lalu menyerahkan gelas yang sudah kosong itu. Setelah ayahnya pergi, Nala menutup pintu kamarnya dan kembali ke tempat tidur. Ia menatap sekeliling kamar sekali lagi, sebelum akhirnya ia memilih untuk berbaring dan memejamkan matanya. ***Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang.Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," jawabny
Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu
Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k
Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan
Nala menarik napas pelan, merasakan aroma masakan brongkos yang langsung menyambutnya. Rasa lelah dan penat yang ia bawa dari Jakarta perlahan menguap, digantikan oleh ketenangan yang menaungi. Ia membiarkan langkahnya dipandu oleh Papa dan Mama, melewati ruang tamu menuju ruang makan. Di sana, di atas meja makan kayu jati tua yang masih terlihat kokoh, terhidang berbagai macam lauk pauk yang sudah lama ia rindukan. Bukan hanya brongkos dan tempe mendoan, tapi juga sambal terasi, ayam goreng laos, dan semangkuk besar sayur asem kesukaan Papanya. Banyu menjatuhkan ransel dan koper Nala di dekat sofa, lalu tanpa basa-basi ia sudah duduk di kursi, langsung menyambar sepotong tempe mendoan. "Wah, tempe mendoan paling enak sedunia," komentarnya sambil mengunyah dengan mata terpejam. Mama menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, lalu menunjuk sebuah kursi di samping Banyu untuk Nala. "Ayo, Nduk, duduk. Makan yang banyak ya," titah Mama Raras penuh perhatian. Nala tersenyum. Ia
Setelah perjalanan panjang yang diisi keheningan, kereta yang membawa Nala dari ibu kota akhirnya tiba di stasiun kecil yang letaknya tidak jauh dari kampung halamannya. Dengan ransel di punggung dan koper kecil di tangan, Nala melangkah keluar dari peron, menghirup udara pedesaan yang lembap dan dingin yang menusuk paru-parunya, jauh berbeda dari asap knalpot yang selama ini ia hirup. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari seseorang yang akan menjemputnya. Lalu matanya berbinar saat melihat sosok yang tinggi besar dengan kaus oblong yang terlihat lusuh dan sedikit belepotan oli di bagian lengan. Itu Banyu—kakak keduanya—yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tengil khas miliknya. "Mas Banyu!" seru Nala, segera melompat ke pelukan sang kakak. Pelukan Banyu terasa hangat dan sedikit berbau oli mesin, aroma yang familiar yang langsung mengendurkan sedikit ketegangan di pundak Nala. Banyu membalas pelukan Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain ia gunakan







