Share

Bab 7

Author: widiabd
last update Last Updated: 2025-12-23 12:21:16

Sesampainya di rumah, Nala segera menata belanjaan di dapur sementara Bu Raras mulai mengeluarkan bumbu-bumbu dapur. Namun, rasa penasaran Nala sudah di ujung lidah. Sambil pura-pura sibuk memindahkan lupis dan jajanan lainnya ke piring, ia mencoba memancing informasi.

"Ma," panggil Nala pelan. "Mama kok bisa kenal sama Mas Hanggara?"

​"Ya kenal, to, Nala. Memang dia bukan orang desa kita, dia itu asalnya dari desa sebelah, Desa Sukomulyo. Tapi ya siapa yang nggak kenal keluarga Pak Gunawan? Namanya tersohor sampai ke sini karena toko berasnya itu yang paling besar di pasar tadi," jelas Bu Raras panjang lebar.

​Nala terdiam sejenak, membayangkan sosok tinggi besar itu berdiri di antara tumpukan karung beras. Pantas saja Hanggara bisa berada di pasar pagi-pagi sekali.

​"Mas Hanggara itu anak tunggal. Ayahnya, Pak Gunawan, sebenarnya masih ada, tapi kondisinya sudah sepuh dan sering sakit-sakitan. Makanya sekarang semua urusan keluarga mereka, mulai dari sawah yang luas sampai peternakan ayam di desa sebelah, Mas Hanggara yang pegang kendali," lanjut ibunya sembari kembali sibuk dengan bawangnya.

​"Peternakan ayam?" Nala meletakkan sendoknya, ketertarikannya semakin sulit disembunyikan.

​"Iya, peternakan ayam petelur. Kabarnya itu yang paling besar di kecamatan kita. Dia itu lulusan sarjana dari kota, lho. Tapi saking berbaktinya sama orang tua, dia milih pulang buat urus usaha bapaknya daripada kerja di kantoran sana. Makanya dia disegani, bukan cuma karena mapan, tapi karena pribadinya yang sopan dan nggak banyak tingkah meskipun orang berada."

Nala tertegun sejenak. Informasi itu seperti kepingan puzzle yang mulai membentuk gambaran utuh tentang sosok Hanggara. Ternyata, di balik kesederhanaannya dan cara bicaranya yang hemat kata, pria itu memikul tanggung jawab yang sangat besar. Ada rasa kagum yang diam-diam menyelinap di sela rasa penasarannya.

"Pantas saja auranya beda ya, Ma," gumam Nala tanpa sadar, matanya masih tertuju pada piring lupis yang kini sudah tertata rapi.

Bu Raras melirik putrinya dengan senyum penuh arti. "Bedanya gimana? Karena dia ganteng atau karena dia yang bayarin jajananmu tadi?" goda ibunya, membuat Nala nyaris tersedak ludahnya sendiri.

"Bukan gitu, Ma! Maksudnya... dia kelihatan dewasa banget. Nggak kayak cowok-cowok seumuran aku yang kerjaannya cuma nongkrong," kilah Nala dengan wajah yang mulai memerah.

Bu Raras terkekeh, tangannya mulai mengulek bumbu di atas cobek. "Ya jelas beda. Mas Hanggara itu tipikal laki-laki yang tahu apa yang harus dia kerjakan. Dia punya tanggung jawab yang besar buat ngejalanin usaha-usahanya, nggak ada waktu buat nongkrong-nongkrong nggak jelas. Dan di zaman sekarang, laki-laki kayak gitu udah jarang."

Nala terdiam, memikirkan kata-kata ibunya. Ia teringat kembali bagaimana Hanggara menahan lengannya di pasar agar tidak menabrak keranjang, dan bagaimana pria itu dengan tenang membayar belanjaannya tanpa meminta ganti. Ada ketegasan yang dibungkus dengan kelembutan yang sangat tipis, nyaris tak terlihat jika tidak dirasakan dengan hati.

"Eh, tapi Ma..." Nala menggantung kalimatnya, ragu-ragu. "Mas Hanggara itu... sudah punya calon belum?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat gerakan tangan Bu Raras yang sedang mengulek mendadak berhenti. Ibunya menoleh sepenuhnya, menatap Nala dengan binar jahil yang semakin menjadi-jadi.

"Nah, kan! Keluar juga pertanyaannya," sahut Bu Raras sambil tertawa renyah. "Setahu Mama sih belum ada. Gosipnya banyak yang mau menjodohkan dia sama anak kepala desa atau anak juragan tanah di sana, tapi Mas Hanggara-nya adem-adem aja. Katanya masih fokus urus usaha keluarga."

Nala hanya mengangguk-angguk kecil, berusaha terlihat tidak terlalu peduli meski dalam hatinya ada perasaan lega yang aneh. Ia kemudian beranjak dari kursi.

"Udah ah, Ma. Aku mau mandi dulu, terus nyusul Papa ke warung. Keburu siang," pamit Nala, berusaha melarikan diri dari godaan ibunya yang lebih lanjut.

Namun, saat ia berjalan menuju kamar mandi, satu hal terlintas di pikirannya. Desa Sukomulyo tidaklah terlalu jauh dari desanya—Desa Sumberasih. Ia juga memiliki sawah di desa ini, jika Hanggara sering mengunjungi Sumberasih untuk mengurus sawah atau peternakannya, bukankah kemungkinan besar mereka akan bertemu lagi?

Nala tersenyum tipis pada bayangannya di cermin. Benarkah ia sudah tertarik dengan laki-laki itu?

---

Nala memacu motor matic milik ayahnya dengan kecepatan sedang. Angin pagi yang masih sejuk menerpa wajahnya, namun pikirannya tidak benar-benar berada di jalanan. Ia masih terbayang ucapan ibunya—tentang pengabdian Hanggara pada keluarganya, tentang usahanya yang cukup besar, dan tentu saja, tentang statusnya yang masih "sendiri".

Jalanan menuju warung Pak Bakti melewati hamparan sawah hijau yang dipisahkan oleh jalan aspal yang tidak terlalu lebar. Saat sedang asyik menikmati pemandangan, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Sebuah mobil pick up besar berhenti di bahu jalan dengan posisi yang agak miring ke arah parit.

Di samping mobil itu, seorang pria sedang berjongkok, memeriksa ban depan. Nala memperlambat laju motornya. Begitu jaraknya semakin dekat, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

Postur tubuh tegap itu.

"Mas Hanggara?" cicit Nala pelan saat ia menghentikan motornya di belakang pick up tersebut.

Pria itu menoleh. Wajah tegasnya tampak sedikit berkeringat, dan ada noda oli di telapak tangannya. Hanggara berdiri, menyeka dahi dengan punggung tangan yang bersih. "Loh, Mbak Nala? Mau ke warung?"

"Iya, Mas. Ini... kenapa? Ban bocor?" Nala turun dari motornya, menatap nanar ke arah ban depan yang tampak kempes dan sedikit amblas ke tanah lunak di pinggir parit.

"Cuma kempes dan bannya slip. Tanahnya lembek, jadi bannya terjebak," jelas Hanggara dengan nada tenang, meski ada gurat kelelahan di matanya. "Dongkrak saya macet. Sepertinya sudah berkarat karena jarang dipakai."

Nala melihat ke sekeliling. Jalanan sedang sepi. Hanya ada mereka berdua dan hamparan sawah yang luas. "Terus gimana? Perlu aku panggilin Papa atau Mas Banyu?"

Hanggara terdiam sejenak, menatap Nala, lalu beralih ke mobilnya yang berisi beberapa tumpukan karung beras. "Sebenarnya saya cuma butuh orang yang bantu jaga kemudi saat saya dorong."

Nala langsung menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. "Saya bisa bantu dorong! Eh, nggak deng, saya yang nyetir, Mas yang dorong. Badan Mas kan kuat," cetusnya penuh semangat, yang kemudian membuatnya merona sendiri karena sadar baru saja memuji fisik pria itu secara tidak langsung.

Hanggara sempat terpaku mendengar tawaran Nala. Ia menatap gadis mungil di depannya, lalu senyum tipis yang jarang terlihat itu muncul lagi. Ia menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Oke. Mbak Nala di kemudi aja. Cukup injak gas pelan-pelan saat saya beri aba-aba. Bisa?"

"Bisa!"

Nala pun naik ke kursi kemudi yang terasa sangat tinggi baginya. Aroma di dalam kabin pick up itu sangat khas; perpaduan aroma keringat, dan... parfum Hanggara yang maskulin. Ia menarik napas dalam tanpa sadar, lalu memegang setir dengan mantap.

"Satu... dua... TIGA!" teriak Hanggara dari luar.

Nala menginjak gas. Mesin menderu, ban belakang berputar menciptakan cipratan lumpur. Hanggara mengerahkan seluruh tenaga, otot-otot lengannya terlihat menegang saat ia mendorong sekuat tenaga.

Crat!

Satu sentakan kuat berhasil membawa pikap itu kembali ke aspal yang keras. Nala segera menginjak rem dan menarik napas lega. Ia keluar dari mobil dengan wajah sumringah.

"Berhasil, Mas!" serunya girang.

Namun, kegembiraan Nala sedikit terhenti saat ia melihat kondisi Hanggara. Bagian depan celana dan sedikit bagian kaosnya terkena cipratan lumpur. Bahkan ada sedikit noda hitam di pipinya.

Nala refleks merogoh saku celananya, mengeluarkan tisu basah yang selalu ia bawa. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah mendekat. "Mas, diam sebentar... itu di pipinya ada kotoran."

Tangan Nala bergerak ragu, namun Hanggara tidak menghindar. Ia justru berdiri diam, membiarkan gadis itu mengusap noda di pipinya. Untuk beberapa detik, waktu seolah berhenti. Jarak mereka sangat dekat, hingga Nala bisa mencium aroma keringat dan parfum pria itu yang bercampur menjadi satu—sebuah aroma yang menurut Nala, sangat "laki-laki".

Tatapan tajam Hanggara melunak, ia menatap mata Nala dengan kedalaman yang membuat lutut gadis itu terasa lemas.

"Terima kasih, Nala," ucap Hanggara rendah. Kali ini, ia tidak memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'.

Nala tersentak kecil. Suara Hanggara yang menyebut namanya tanpa embel-embel "Mbak" terasa jauh lebih intim, membuat dadanya berdesir hebat. Ia buru-buru menarik tangannya, menyembunyikan tisu basah yang kini menghitam di balik punggungnya.

"Sama-sama, Mas Hanggara," sahut Nala pelan, berusaha mengalihkan pandangannya ke arah ban mobil yang sudah aman di atas aspal. "Tapi ban mobilnya kempes, Mas, harus diisi angin."

Hanggara mengikuti arah pandang Nala, "Nggak apa-apa, saya bawa pompa." Hanggara berjalan ke arah bak mobil, lalu mengambil sebuah pompa injak manual. Ia meletakkannya di samping ban yang tadi selip. Gerakannya efisien dan tenang, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa menghadapi kendala teknis sendirian.

Nala memerhatikan dalam diam. Ada sesuatu yang sangat menarik dari cara Hanggara bekerja. Dia tidak mengeluh, tidak mengumpat pada nasibnya yang kurang beruntung pagi ini, dan tetap menjaga ketenangannya.

"Mas Hanggara setiap hari lewat sini?" Nala mencoba memecah keheningan, suaranya sedikit lebih berani sekarang.

"Hampir setiap hari. Kalau nggak ke sawah, ya mengantar beras ke pelanggan di Desa Sumberasih, termasuk ke warung Papamu." jawab Hanggara tanpa menghentikan kegiatannya. Ia berhenti sejenak untuk menyeka keringat di pelipisnya dengan lengan kaos, lalu menatap Nala. "Kamu sendiri? Kenapa repot-repot bantu saya? Harusnya kamu bisa langsung lewat aja tadi."

Nala memainkan kunci motor di tangannya, merasa sedikit tersipu. "Ya masa lihat orang kesusahan didiemin aja, Mas? Apalagi Papa selalu bilang, kalau di jalan harus saling bantu. Apalagi dari tadi nggak ada orang lewat sama sekali, kan."

Hanggara menghentikan gerakan kakinya di atas pompa, lalu berdiri tegak. Ia menatap hamparan sawah sejenak sebelum pandangannya kembali tertuju pada Nala. Ada binar tipis di matanya, jenis tatapan yang membuat Nala merasa seolah-olah hanya ada mereka berdua di tengah luasnya Sumberasih.

"Iya, sepi sekali pagi ini. Untung ada kamu," ucap Hanggara rendah. Kalimat sederhana itu entah mengapa terdengar seperti pengakuan yang dalam bagi Nala.

Hanggara merapikan kembali pompa manualnya ke dalam bak pick up. Ia menyambar jaket denim yang tadi sempat ia lepas dan menyampirkannya di bahu. "Ban udah aman. Sekali lagi terima kasih ya, Nala."

"Sama-sama, Mas. Kebetulan aja saya lewat," sahut Nala, berusaha menormalkan detak jantungnya yang sedari tadi berisik. "Kalau gitu, saya duluan ya. Udah ditungguin Papa," pamitnya.

Hanggara mengangguk. "Iya, hati-hati."

Nala segera naik ke atas motornya, menyalakan mesin, dan memberikan senyum pamit terakhir sebelum mulai melaju. Sementara Hanggara menatap kepergian Nala dengan tatapan yang sulit diartikan, ia terdiam cukup lama di samping pintu kemudi, membiarkan motor Nala menjauh. Ada garis senyum yang tertinggal di sudut bibirnya, sesuatu yang bahkan bagi Hanggara sendiri terasa asing.

Ia menyentuh pipinya, tempat di mana jemari Nala tadi sempat bersentuhan dengan kulitnya saat mengusap noda lumpur di sana. Hangatnya masih terasa. Hanggara menarik napas panjang, menghirup sisa aroma parfum bayi yang tadi sempat memenuhi indra penciumannya saat gadis itu mendekat.

Selama ini, hidup Hanggara hanya tentang tanggung jawab: peternakan, timbangan beras, dan sawah. Namun, kehadiran Nala yang tiba-tiba seolah membuka jendela di ruangan gelap yang selama ini ia kunci rapat-rapat.

"Nala..." gumamnya pelan, mencoba merasakan bagaimana nama itu terdengar saat ia ucapkan sendiri.

Pria itu menggeleng kecil, menertawakan detak jantungnya yang sedikit tidak beraturan. Ia kemudian naik ke kabin mobil, menyalakan mesin, dan mulai melaju perlahan.

***

Tbc..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 8

    Sudah lebih dari satu minggu Nala berada di kampung halamannya. Dan selama itu pula Nala menghabiskan waktunya di warung membantu ayahnya. Namun, hari jumat ini berbeda, karena Pak Bakti menutup warungnya. Memang sudah menjadi tradisi keluarga, setiap hari Jumat warung Pak Bakti akan tutup, dan buka kembali besok hari.​Kini Nala berada di kamarnya. Ia merebahkan tubuh di kasur yang terasa sejuk, sementara angin sepoi-sepoi masuk melalui sela jendela. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, berpindah-pindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya karena rasa bosan yang mulai menyerang. Hingga kemudian, sebuah unggahan iklan film terbaru muncul di lini masanya.​Itu adalah film drama romantis yang sudah lama ia nantikan sejak masih di Jakarta. Nala menatap poster film itu dengan binar mata yang mendadak terang. Ia sangat ingin menontonnya. Namun, sedetik kemudian, ia menghela napas panjang dan melempar ponselnya ke samping bantal.​Keinginannya itu terasa seperti kemustahilan di sini. U

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 7

    Sesampainya di rumah, Nala segera menata belanjaan di dapur sementara Bu Raras mulai mengeluarkan bumbu-bumbu dapur. Namun, rasa penasaran Nala sudah di ujung lidah. Sambil pura-pura sibuk memindahkan lupis dan jajanan lainnya ke piring, ia mencoba memancing informasi."Ma," panggil Nala pelan. "Mama kok bisa kenal sama Mas Hanggara?"​"Ya kenal, to, Nala. Memang dia bukan orang desa kita, dia itu asalnya dari desa sebelah, Desa Sukomulyo. Tapi ya siapa yang nggak kenal keluarga Pak Gunawan? Namanya tersohor sampai ke sini karena toko berasnya itu yang paling besar di pasar tadi," jelas Bu Raras panjang lebar.​Nala terdiam sejenak, membayangkan sosok tinggi besar itu berdiri di antara tumpukan karung beras. Pantas saja Hanggara bisa berada di pasar pagi-pagi sekali.​"Mas Hanggara itu anak tunggal. Ayahnya, Pak Gunawan, sebenarnya masih ada, tapi kondisinya sudah sepuh dan sering sakit-sakitan. Makanya sekarang semua urusan keluarga mereka, mulai dari sawah yang luas sampai peternaka

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 6

    Nala mengangkat rak plastik berisi makanan ringan itu dengan tenaga ekstra. Setelah semuanya rapi di dalam, ia membantu ayahnya menarik rolling door yang berderit nyaring saat ditarik, lalu membiarkan ayahnya menguncinya rapat-rapat. Setelah itu mereka bergegas untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang yang hanya memakan waktu lima menit dengan motor, angin sore menerpa wajah Nala. Pikirannya masih tertambat pada aroma parfum Hanggara. Wanginya tidak menusuk, tapi meninggalkan jejak yang kuat, seperti kepribadian pria itu sendiri. "Sudah sampai," suara Pak Bakti memecah lamunan Nala. "Besok mau ikut Papa ke warung lagi?" tanyanya. Nala turun dari boncengan, lalu menganggukan kepalanya cepat-cepat. "Mau, biar Papa ada temennya." ujarnya sambil terkekeh kecil. "Kalau mau di rumah aja nggak apa-apa loh, Dek. Papa nggak akan maksa kamu buat ikut ke warung terus," Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Di rumah juga nggak ngapa-ngapain, Pa. Lagian aku seneng bantu Papa," ja

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 5

    Nala mengangguk kecil. Ia meraih permen yang dimaksud, lalu membuka freezer kecil di sudut warung untuk mengambil es mambo. "Permennya dua ribu, es mambo seribu lima ratus," ucapnya pelan, lebih ke mengingatkan diri sendiri daripada si pembeli. "Jadi totalnya tiga ribu lima ratus." Anak itu mengulurkan uang lima ribuan yang sudah agak lecek. Nala menerimanya, membuka laci, lalu menghitung kembalian. "Ini kembaliannya seribu lima ratus," katanya sambil menyerahkan uang itu. "Makasih, Tante," ujar si anak ceria sebelum berlari keluar warung. Nala menghela napas lega setelah pintu warung kembali tertutup. Ia melirik buku kecil di depannya, lalu menuliskan transaksi pertama dengan tulisan rapi, meski sedikit terlalu serius untuk pembelian permen dan es mambo. Tak lama kemudian, seorang bapak datang membeli rokok, disusul ibu muda yang membeli minyak goreng dan telur. Nala sempat salah menyebut harga minyak, tapi cepat membetulkannya setelah mengecek daftar harga di laci. Jantu

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 4

    Setelah mandi dan berganti dengan pakaian sederhana—kaus putih lengan pendek dan celana jeans—Nala kembali ke ruang tengah. Rambutnya diikat asal, masih sedikit lembap. Papa Bakti sudah menunggu di teras dengan tas kain besar berisi daftar belanja dan uang pecahan. "Siap?" tanya Papa. "Siap, Pa," jawab Nala ceria. Mereka berjalan kaki menuju warung yang jaraknya tak sampai lima menit dari rumah. Warung itu berdiri di pinggir jalan utama desa, bangunan yang lebih mirip dengan minimarket dengan rolling door hijau yang sudah mulai pudar warnanya. Begitu Papa membuka pintu, aroma khas warung—campuran kopi, gula, sabun, dan plastik—langsung menyambut. "Pertama-tama, kita bersih-bersih dulu," kata Papa sambil menyingsingkan lengan kemejanya. Nala mengangguk dan langsung sigap. Ia menyapu lantai, mengelap etalase kaca, lalu menata ulang beberapa barang yang terlihat berantakan. Tangannya sempat kikuk saat menyusun mi instan dan snack, tapi lama-lama ia menikmati kegiatan itu. Ada k

  • Nala dan Mas Juragan   Bab 3

    Keesokan harinya, Nala terbangun oleh suara ayam berkokok dan aroma kopi tubruk yang samar-samar menyelinap ke kamarnya. Ia membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa langit-langit lilac di atasnya bukanlah plafon kosan sempit di Jakarta, melainkan kamar lamanya—rumah. Ia melirik jam di meja kecil. Pukul lima kurang sepuluh. Refleks, Nala langsung duduk tegak. Di Jakarta, jam segini biasanya ia baru saja tertidur setelah semalaman begadang. Di sini, rumah sudah hidup sejak subuh. Dari balik pintu, terdengar suara Mama berbincang dengan Papa di dapur, diselingi bunyi sendok yang berada dengan gelas. Nala menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Ia meraih cardigan tipis, menyampirkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar. Dapur tampak hangat. Papa sudah duduk di bangku kayu, menyesap kopi, sementara Mama berdiri di depan kompor, menggoreng tahu dan tempe. Begitu melihat Nala, Mama tersenyum lebar. "Lho, sudah bangun, tidurnya nyenyak, Nduk?" Tan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status