Share

Nama Wanita Lain Yang Disebut Suamiku
Nama Wanita Lain Yang Disebut Suamiku
Penulis: Dwi Sartika Juni

1. Saran Perdana

“Aku berhasil, Nan!” Ignes terburu-buru menghampiri Nancy yang tengah bersandar di railing balkon.

Nancy menyambutnya dengan senyum. “Sungguh?”

“Mm-hm,” angguk Ignes bahagia. Sangat tidak menyangka bahwa saran perdana dari sahabat barunya itu berhasil dengan tidak terduga.

“Apa kata suamimu?”

“Dia bertanya, dari mana aku tahu bahwa dia menyukai parfum dengan aroma langka seperti yang kuhadiahkan itu?”

Nancy berdiri tegak. Merubah posisi tangannya menjadi terlipat di depan dada. “Lalu, apa jawabanmu?”

“Seperti permintaanmu, aku tidak mengatakan padanya, bahwa kau yang memberi saran untuk menghadiahinya parfum yang hanya diproduksi sebanyak seribu botol saja sejak pertama kali dirilis itu. Kukatakan, aku hanya menebak dari zodiaknya.” Ignes masih tersenyum lebar nan bahagia.

“Bagus.” Nancy puas dengan jawaban Ignes. Dia menghela napas, lalu mendongak menatap langit malam tanpa bintang.

“Nan, apa kau punya saran untuk hal lainnya?”

Nancy tidak mengalihkan pandangannya dari langit, tapi perhatian dan telinganya tetap untuk apa yang dikatakan Ignes.

“Hal lain apa?”

“Hmm, begini ...” Ignes bergerak semakin mendekati Nancy, “hubungan seks kami sedikit bermasalah.”

“Bermasalah?” Kali ini, Nancy menurunkan pandangannya. Menoleh dan memperhatikan dengan seksama wajah muram Ignes yang terlihat merana.

“Ya, ah, tapi sebenarnya tidak bermasalah dalam hal yang bisa terlalu dipikirkan, namun bagiku, itu cukup mengganggu.”

“Apa yang mengganggumu, Ignes?”

Ignes menggigit bibirnya. Sejauh pernikahannya dengan Elan yang masih berusia tiga belas bulan, belum pernah sekali pun dia berani menceritakan tentang masalah rumah tangganya yang teramat pribadi, bahkan pada keluarga terdekatnya sekali pun.

“Itu ... suamiku. Dia, salah memanggil atau mungkin sengaja menyebut nama mendiang istrinya beberapa kali saat sedang bercinta denganku.”

Nancy menyembunyikan senyum misteriusnya. Senyum menawan yang kemudian digantikan untuk memberi semangat pada Ignes.

“Kau perlu cara yang lebih lembut untuk memenangkan hati suamimu di atas ranjang, Ignes.”

Mengerjap-ngerjap bahagia, Ignes menyambutnya dengan senyum. “Benarkah? Apa itu? Bagaimana caranya?”

Nancy mendekatkan bibirnya ke telinga Ignes. Membuat wajah wanita itu merona merah karena bisikan Nancy ternyata memiliki siasat yang sedikit nakal, menurut telinga Ignes.

“Kau yakin?” Ignes ragu. Lebih tepatnya, malu harus melakukan saran dari Nancy.

“Kau boleh tidak menerima saran dariku, Ignes.” Nancy tersenyum maklum. Tidak memaksa. “Pikirkan lagi sebelum memutuskan.”

Ignes berpikir sejenak. Dia memang baru sekali menggunakan saran dari Nancy dan kebetulan berhasil. Masih ada kemungkinan cara yang tidak pernah terpikirkan olehnya ini, bisa berhasil sesuai saran dari Nancy.

“Sebaiknya, kita turun dan makan malam bersama dengan teman-teman yang lain.”

Ignes mengangguk. Masih saja memikirkan saran dari Nancy. Sampai tidak sadar, kakinya salah menginjak anak tangga. Begitu cepat tubuhnya menabrak Nancy, tapi dengan gerak yang tidak kalah cepatnya juga, Nancy menahan tubuh mereka agar tidak berguling sampai ke bawah.

Keduanya jatuh terduduk di beberapa anak tangga. Ignes terpekik. Ketakutan saat melihat sudut kening Nancy tergores dan berdarah. Itu karena dirinya. Permata di cincinnya, melukai Nancy. Bahkan setengah tubuhnya menimpa tubuh Nancy yang lebih ramping dari Ignes.

Teman-teman dari klub Mauve berlarian dari kursi mereka menuju ke arah tangga.

“Lulu, telepon dokter Jean.” Shelly Shafron berusaha tidak panik. Membantu menenangkan Ignes yang ketakutan. “Ignes, tenang lah. Jangan berteriak lagi.”

Caroline Ebony membantu Nancy bangkit dari posisinya. Dia dibantu oleh Veronica Willow, sementara Shelly dan Iris Crimson menangani Ignes yang sesekali berteriak histeris kembali karena melihat Nancy yang pucat dan berdarah.

“Dia takut darah?” Veronica berbisik pada Caroline.

Caroline mengangkat bahu sambil menggeleng. “Hanya Shelly yang tahu.”

Mereka berlima membawa keduanya ke ruang istirahat. Kepanikan mulai mereda, ketika Lulu Wisteria masuk bersama dokter Jean Cerulean.

Satu jam setelahnya.

Nancy dijemput suaminya, Andrian Heather. Pria muda berusia tiga puluh empat tahun itu, memaksa untuk menggendong Nancy sampai ke dalam mobil.

“Andrian, kau harus memperlakukannya dengan baik malam ini.” Veronica bermaksud menggoda.

Bersama senyum dan kepala yang mengangguk, Andrian berlalu dari hadapan kelima teman perkumpulan istrinya dengan perasaan tidak menentu. Plester yang menempel diujung kening Nancy bukan lah apa-apa, tapi bisa dipastikan malam ini dia tidak akan bisa tidur jika keadaan istrinya seperti sekarang ini.

“Turunkan aku.” Dengan dinginnya, Nancy memerintah.

Andrian segera melakukan keinginan Nancy, bahkan ketika mereka belum sampai ke mobil.

“Kenapa kau lakukan itu?” Nancy menatap Andrian. Sengaja menyembunyikan kekesalannya.

“Agar mereka melihat sosok suami sempurna seperti yang ingin kau tunjukkan.”

Nancy mendengus. “Lakukan semuanya atas izin dariku. Lain kali, jangan lakukan hal-hal di luar persetujuanku.”

Kedua pundak Andrian terkulai lesu. Dia hanya harus bertahan, imbalan dari semua yang bisa dia dapatkan selama ini adalah patuh.

“Baik lah.” Andrian membukakan pintu bagian penumpang untuk Nancy.

Sebelum naik, wanita itu memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Dengan tenang, Nancy masuk dan duduk sambil memejamkan matanya setelah mengumpat kesal.

“Dasar wanita bodoh.”

Andrian melirik dari kaca spion bagian dalam. “Kita langsung pulang?”

“Ya.”

Setelah lima belas menit mobil Andrian meninggalkan gedung klub Mauve, mobil Elan tiba di sana. Dia keluar dengan terburu-buru, karena sudah ditegur dari telepon oleh ayah mertuanya.

Rupanya, Ignes tahu bahwa di jam istirahatnya, Elan tidak akan bisa diganggu. Sehingga dia meminta sang ayah untuk memerintah sopir di rumah mereka, agar datang ke gedung klub Mauve menggantikannya mengemudikan mobil.

“Dia baik-baik saja, hanya sedikit shock karena melihat darah.” Shelly yang juga istri dari teman Elan memberitahu di ambang pintu.

“Darah?” Elan terkejut. Ayah mertua akan marah besar jika tahu tentang hal ini. “Bagian mana yang berdarah?”

Shelly menggeleng sambil tersenyum singkat. “Bukan Ignes yang berdarah, tapi Nancy.”

“Nancy? Siapa itu?”

“Dia anggota klub Mauve yang baru.”

“Oh begitu. Dia yang terluka bersama istriku?”

“Ignes tidak terluka, dia hanya shock. Nancy yang melindungi Ignes sehingga dia baik-baik saja.”

Elan mengangguk lagi. “Baik lah. Sampaikan terima kasihku pada teman baru kalian. Aku harus segera membawa Ignes pulang. Ayah mertua mencemaskannya.”

“Oke, tapi kau harus menggendongnya seperti yang Andrian lakukan pada Nancy. Ignes sudah tertidur tidak lama setelah meminum obat yang diberikan Jean.”

Kening Elan mengerut, sedikit dalam dan tidak begitu senang dengan usulan dari Shelly.

Haruskah dia melakukannya?

Ignes tidak sepenuhnya tertidur. Dia setengah sadar akan kehadiran Elan didekatnya. Saat suaminya itu menggendong dengan enggan, dia justru merasakan keromantisan Elan tanpa perlu membuka mata untuk melihatnya secara langsung.

“Jika kau berpura-pura tertidur, itu artinya, kau bisa menjelaskan pada ayahmu nanti tentang apa yang terjadi padamu.”

Seketika, wajah Ignes mengerut. Dia kesal. Bukan pada Elan, tapi pada ayahnya, Alvin Tangerine.

Ayahnya itu pasti baru saja memarahi suami tercintanya. Itu artinya, akan ada kekesalan lain yang menyusul.

Keturunan yang tidak kunjung tiba.

“Masih tiga belas bulan. Seharusnya, aku bisa hamil nanti setelah usia pernikahan kita memasuki dua tahun.”

Elan tidak menanggapinya. Dia malas membahas tentang keturunan. Belum saatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status