“Aku berhasil, Nan!” Ignes terburu-buru menghampiri Nancy yang tengah bersandar di railing balkon.
Nancy menyambutnya dengan senyum. “Sungguh?”
“Mm-hm,” angguk Ignes bahagia. Sangat tidak menyangka bahwa saran perdana dari sahabat barunya itu berhasil dengan tidak terduga.
“Apa kata suamimu?”
“Dia bertanya, dari mana aku tahu bahwa dia menyukai parfum dengan aroma langka seperti yang kuhadiahkan itu?”
Nancy berdiri tegak. Merubah posisi tangannya menjadi terlipat di depan dada. “Lalu, apa jawabanmu?”
“Seperti permintaanmu, aku tidak mengatakan padanya, bahwa kau yang memberi saran untuk menghadiahinya parfum yang hanya diproduksi sebanyak seribu botol saja sejak pertama kali dirilis itu. Kukatakan, aku hanya menebak dari zodiaknya.” Ignes masih tersenyum lebar nan bahagia.
“Bagus.” Nancy puas dengan jawaban Ignes. Dia menghela napas, lalu mendongak menatap langit malam tanpa bintang.
“Nan, apa kau punya saran untuk hal lainnya?”
Nancy tidak mengalihkan pandangannya dari langit, tapi perhatian dan telinganya tetap untuk apa yang dikatakan Ignes.
“Hal lain apa?”
“Hmm, begini ...” Ignes bergerak semakin mendekati Nancy, “hubungan seks kami sedikit bermasalah.”
“Bermasalah?” Kali ini, Nancy menurunkan pandangannya. Menoleh dan memperhatikan dengan seksama wajah muram Ignes yang terlihat merana.
“Ya, ah, tapi sebenarnya tidak bermasalah dalam hal yang bisa terlalu dipikirkan, namun bagiku, itu cukup mengganggu.”
“Apa yang mengganggumu, Ignes?”
Ignes menggigit bibirnya. Sejauh pernikahannya dengan Elan yang masih berusia tiga belas bulan, belum pernah sekali pun dia berani menceritakan tentang masalah rumah tangganya yang teramat pribadi, bahkan pada keluarga terdekatnya sekali pun.
“Itu ... suamiku. Dia, salah memanggil atau mungkin sengaja menyebut nama mendiang istrinya beberapa kali saat sedang bercinta denganku.”
Nancy menyembunyikan senyum misteriusnya. Senyum menawan yang kemudian digantikan untuk memberi semangat pada Ignes.
“Kau perlu cara yang lebih lembut untuk memenangkan hati suamimu di atas ranjang, Ignes.”
Mengerjap-ngerjap bahagia, Ignes menyambutnya dengan senyum. “Benarkah? Apa itu? Bagaimana caranya?”
Nancy mendekatkan bibirnya ke telinga Ignes. Membuat wajah wanita itu merona merah karena bisikan Nancy ternyata memiliki siasat yang sedikit nakal, menurut telinga Ignes.
“Kau yakin?” Ignes ragu. Lebih tepatnya, malu harus melakukan saran dari Nancy.
“Kau boleh tidak menerima saran dariku, Ignes.” Nancy tersenyum maklum. Tidak memaksa. “Pikirkan lagi sebelum memutuskan.”
Ignes berpikir sejenak. Dia memang baru sekali menggunakan saran dari Nancy dan kebetulan berhasil. Masih ada kemungkinan cara yang tidak pernah terpikirkan olehnya ini, bisa berhasil sesuai saran dari Nancy.
“Sebaiknya, kita turun dan makan malam bersama dengan teman-teman yang lain.”
Ignes mengangguk. Masih saja memikirkan saran dari Nancy. Sampai tidak sadar, kakinya salah menginjak anak tangga. Begitu cepat tubuhnya menabrak Nancy, tapi dengan gerak yang tidak kalah cepatnya juga, Nancy menahan tubuh mereka agar tidak berguling sampai ke bawah.
Keduanya jatuh terduduk di beberapa anak tangga. Ignes terpekik. Ketakutan saat melihat sudut kening Nancy tergores dan berdarah. Itu karena dirinya. Permata di cincinnya, melukai Nancy. Bahkan setengah tubuhnya menimpa tubuh Nancy yang lebih ramping dari Ignes.
Teman-teman dari klub Mauve berlarian dari kursi mereka menuju ke arah tangga.
“Lulu, telepon dokter Jean.” Shelly Shafron berusaha tidak panik. Membantu menenangkan Ignes yang ketakutan. “Ignes, tenang lah. Jangan berteriak lagi.”
Caroline Ebony membantu Nancy bangkit dari posisinya. Dia dibantu oleh Veronica Willow, sementara Shelly dan Iris Crimson menangani Ignes yang sesekali berteriak histeris kembali karena melihat Nancy yang pucat dan berdarah.
“Dia takut darah?” Veronica berbisik pada Caroline.
Caroline mengangkat bahu sambil menggeleng. “Hanya Shelly yang tahu.”
Mereka berlima membawa keduanya ke ruang istirahat. Kepanikan mulai mereda, ketika Lulu Wisteria masuk bersama dokter Jean Cerulean.
Satu jam setelahnya.
Nancy dijemput suaminya, Andrian Heather. Pria muda berusia tiga puluh empat tahun itu, memaksa untuk menggendong Nancy sampai ke dalam mobil.
“Andrian, kau harus memperlakukannya dengan baik malam ini.” Veronica bermaksud menggoda.
Bersama senyum dan kepala yang mengangguk, Andrian berlalu dari hadapan kelima teman perkumpulan istrinya dengan perasaan tidak menentu. Plester yang menempel diujung kening Nancy bukan lah apa-apa, tapi bisa dipastikan malam ini dia tidak akan bisa tidur jika keadaan istrinya seperti sekarang ini.
“Turunkan aku.” Dengan dinginnya, Nancy memerintah.
Andrian segera melakukan keinginan Nancy, bahkan ketika mereka belum sampai ke mobil.
“Kenapa kau lakukan itu?” Nancy menatap Andrian. Sengaja menyembunyikan kekesalannya.
“Agar mereka melihat sosok suami sempurna seperti yang ingin kau tunjukkan.”
Nancy mendengus. “Lakukan semuanya atas izin dariku. Lain kali, jangan lakukan hal-hal di luar persetujuanku.”
Kedua pundak Andrian terkulai lesu. Dia hanya harus bertahan, imbalan dari semua yang bisa dia dapatkan selama ini adalah patuh.
“Baik lah.” Andrian membukakan pintu bagian penumpang untuk Nancy.
Sebelum naik, wanita itu memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Dengan tenang, Nancy masuk dan duduk sambil memejamkan matanya setelah mengumpat kesal.
“Dasar wanita bodoh.”
Andrian melirik dari kaca spion bagian dalam. “Kita langsung pulang?”
“Ya.”
Setelah lima belas menit mobil Andrian meninggalkan gedung klub Mauve, mobil Elan tiba di sana. Dia keluar dengan terburu-buru, karena sudah ditegur dari telepon oleh ayah mertuanya.
Rupanya, Ignes tahu bahwa di jam istirahatnya, Elan tidak akan bisa diganggu. Sehingga dia meminta sang ayah untuk memerintah sopir di rumah mereka, agar datang ke gedung klub Mauve menggantikannya mengemudikan mobil.
“Dia baik-baik saja, hanya sedikit shock karena melihat darah.” Shelly yang juga istri dari teman Elan memberitahu di ambang pintu.
“Darah?” Elan terkejut. Ayah mertua akan marah besar jika tahu tentang hal ini. “Bagian mana yang berdarah?”
Shelly menggeleng sambil tersenyum singkat. “Bukan Ignes yang berdarah, tapi Nancy.”
“Nancy? Siapa itu?”
“Dia anggota klub Mauve yang baru.”
“Oh begitu. Dia yang terluka bersama istriku?”
“Ignes tidak terluka, dia hanya shock. Nancy yang melindungi Ignes sehingga dia baik-baik saja.”
Elan mengangguk lagi. “Baik lah. Sampaikan terima kasihku pada teman baru kalian. Aku harus segera membawa Ignes pulang. Ayah mertua mencemaskannya.”
“Oke, tapi kau harus menggendongnya seperti yang Andrian lakukan pada Nancy. Ignes sudah tertidur tidak lama setelah meminum obat yang diberikan Jean.”
Kening Elan mengerut, sedikit dalam dan tidak begitu senang dengan usulan dari Shelly.
Haruskah dia melakukannya?
Ignes tidak sepenuhnya tertidur. Dia setengah sadar akan kehadiran Elan didekatnya. Saat suaminya itu menggendong dengan enggan, dia justru merasakan keromantisan Elan tanpa perlu membuka mata untuk melihatnya secara langsung.
“Jika kau berpura-pura tertidur, itu artinya, kau bisa menjelaskan pada ayahmu nanti tentang apa yang terjadi padamu.”
Seketika, wajah Ignes mengerut. Dia kesal. Bukan pada Elan, tapi pada ayahnya, Alvin Tangerine.
Ayahnya itu pasti baru saja memarahi suami tercintanya. Itu artinya, akan ada kekesalan lain yang menyusul.
Keturunan yang tidak kunjung tiba.
“Masih tiga belas bulan. Seharusnya, aku bisa hamil nanti setelah usia pernikahan kita memasuki dua tahun.”
Elan tidak menanggapinya. Dia malas membahas tentang keturunan. Belum saatnya.
Nancy merebahkan dirinya di ranjang kebesarannya yang sebenarnya, bisa menampung lebih dari tiga tubuh dewasa sekaligus, tapi dia hanya ingin tidur sendirian malam ini. “Pergilah.” Nancy memerintah dengan suara pelan pada Andrian yang tampaknya enggan melangkah keluar dari sana. Dengan kepala yang sedikit terangkat dari bantalnya, dia melihat Andrian membungkuk, lalu berlutut di ujung ranjang. Tepat di bawah kakinya. Pria itu bersiap melepaskan pumps tujuh sentimeter yang masih terpasang di kedua kakinya. “Sudah kukatakan pergi, Andrian. Tolong, pergilah.” Nancy menahan gejolak amarahnya sambil melemparkan kembali kepalanya ke bantal. “Tapi, Nan—aduh!” Andrian mengaduh, ketika Nancy melempar bantalnya dan mengenai wajah Andrian. “Sudah kukatakan dengan begitu jelas, Andrian.” Andrian menghela napas. Sebelah pumps dengan warna hazelnut sudah berhasil dia lepaskan dari kaki kiri Nancy. “Kembalikan ke asalnya.” Nancy bicara dalam nada yang serius. Tanpa memandang Andrian. Matanya t
“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ignes?” Nancy menyibak selimut, turun dari ranjang sambil menarik plester di keningnya. Melangkah menuju cermin. Menunggu Ignes mengutarakan maksudnya. “Aku gagal bahkan sebelum mencoba.” “Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Sambil mematut diri di cermin, Nancy mengusap keningnya yang melukiskan goresan kecil akibat dari permata di cincin Ignes. Masih sedikit perih. Ignes mulai mengeluh. “Semalam dia terlihat lelah. Kupikir, jika aku menggodanya dengan caramu, kemungkinan dia akan terpancing. Tapi sebelum niat itu terlaksana, dia sudah menarik selimut untuk tidur.” “Kau tidak mencegahnya?” Nancy mengulum senyum. Menahan tawa, tapi tidak yakin mampu bertahan sampai lebih dari satu menit. “Dia mengatakan padaku bahwa dia butuh istirahat yang cukup untuk mengikuti rapat pagi di kantor.” “Ah, sayang sekali. Itu bentuk penolakan yang halus, Ignes.” “Yah, kau benar. Dia memang tipikal pria yang tidak pintar menolak secara terang-terangan. Selalu m
Berhasil menyusul Elan ke kota Hue yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Sand Dollar, Ignes menempati hotel yang sama dengan sang suami. Berkat cara jitunya dalam mengancam sekretaris Elan, Viria Minelli, dia merasa senang karena keberhasilannya menjadi lebih cepat dari dugaannya. Hal itu juga tidak lepas dari bantuan seorang informan terpercaya di dalam perusahaan ayahnya. Bukan sekedar memantau tindak tanduk suaminya untuk Ignes, si informan juga memperhatikan keadaan sekeliling. “Jika tidak mau kuadukan pada ayahku tentang kasus perselingkuhanmu dengan salah satu kepala divisi di Tangerine Company, beritahu aku ke mana tujuan perjalanan bisnis suamiku. Dan bila kau tidak pintar menutup mulutmu, aku sendiri yang akan melakukannya.” Ancaman Ignes selalu berhasil untuk siapa pun lawannya. Bagaimana mungkin ada yang berani membantah putri pemilik Tangerine Company? Si pewaris tunggal yang selalu menemukan cara agar bisa memandang rendah orang lain. Setelah mengirimkan lokas
Genee Dalbert, berdiri gelisah di tempatnya. Mengenakan sweater hijau tua lengkap dengan penutup kepala sambil tangannya bersembunyi di saku jaketnya. “Sudah lama menunggu?” Elan berbasa-basi. Menyapu seluruh sudut untuk memastikan keadaan aman terkendali. “Tidak. Lima menit lalu.” Genee pun ikut melihat setiap jangkauan mata. "Bisakah kita duduk di kafe seberang sana?" “Oke.” Elan bergerak lebih dulu. Membuat jarak. Karena tidak bisa dipastikan olehnya, kemungkinan mata-mata dari keluarga Tangerine ada untuk mengintainya. Karena Alvin Tangerine tidak sepenuhnya menyukai dan mempercayai dirinya. Mendapat tempat di sudut belakang kafe dengan penerangan yang redup, Genee melepas penutup kepalanya. “Masih belum ada kepastian. Dinata Danny sudah pindah ke negara lain. Dia ikut suaminya yang bertugas ke sana. Dan Darren Danny tidak bisa ditanyai apa pun karena sedang dalam keadaan berkabung. Kekasihnya meninggal dunia.” Elan mengangguk. Berusaha memahami bahwa keadaannya jauh lebih ti
"Parfum siapa yang kau gunakan?"Ignes sakit hati mendengarnya. Parfum siapa? Memangnya dia mencuri dari siapa?"Aku menggantinya beberapa hari lalu. Kau saja yang tidak menyadarinya."Elan terdiam. Meski tidak berniat kasar, dia tanpa sengaja kali ini menuduh Ignes dengan bahasa yang tidak menyenangkan. Seolah hanya seseorang 'itu' yang boleh menggunakan parfum beraroma khas yang pernah sempat menghilang jauh dari indera penciumannya, tapi kini muncul kembali seakan memaksanya untuk mengingat semua itu lagi sekarang."Sudah tengah malam. Besok pagi kita harus bersiap pulang. Ayo, ke kamar." Elan mengalah sebagai bentuk permintaan maafnya karena menggunakan kalimat tidak mengenakkan itu pada Ignes.Menurut, Ignes yang masih kesal, mengikuti Elan dari belakang. Rasa senang menggantikan kekesalannya, karena Elan membiarkannya masuk ke kamar."Walau sedikit memalukan, aku harus coba menggodanya lebih dulu." Tekad Ignes selaras dengan rasa tidak ingin gagal lagi malam ini.Menurunkan sendi
Terbangun dengan Nancy yang terlelap di sisinya, membuat Andrian terkejut sekaligus terpana.Terkejut karena Nancy sangat jarang berinisiatif untuk mendatangi dia di kamarnya seperti ini, apalagi sampai tidur sepanjang malam bersamanya.Terpana, sebab istrinya itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Entah karena dia yang terlalu jenuh melihat kecantikan wanita lain atau memang Nancy itu secantik apa yang ada dibayangannya.Yang jelas, ini momen langka yang sayang jika dilewatkan begitu saja.Saat melihat jam di dinding, Andrian mengeluh dalam hati.Sudah hampir jam masuk kantor.Tidak ada dalam sejarahnya seorang Andrian Heather yang disegani semua orang di Osvaldo Group, tiba terlambat di ruangannya.Dan sekali lagi dia memandang wajah sang istri. Rasa malas menghinggapinya. Benar-benar enggan beranjak dari tempat tidur untuk meninggalkan Nancy di sana sendirian.Ini momen yang ingin diabadikannya dalam ingatan. Memori terpenting yang indah, dikala rasa kesal akan sikap semena-m
Berlibur ke Fereydoon menjadi menjengkelkan untuk Nancy, karena Cassandra mengundang semua teman-temannya dari klub Mauve, tidak terkecuali dengan Ignes Tangerine.Mereka membawa pasangan masing-masing, kecuali—lagi—Ignes. Wanita itu tidak bisa memaksa Elan Flaxen yang sudah kembali ke perangai aslinya, gila kerja."Kau saja yang pergi. Aku sudah menunda dua pertemuan kemarin karena menghabiskan waktu di kamar, nyaris seharian."Ucapan Elan sarat akan makna untuk menyalahkan Ignes. Jadi, ya begitu lah. Dia menerima disalahkan, asal waktu kebersamaan mereka berdua kemarin, benar-benar bisa menghasilkan kebersamaan lain yang semakin menambah kemesraan mereka di kesempatan selanjutnya."Aku ingin terus bercinta dengan perasaan yang seperti itu. Hasrat yang sebanding antara satu sama lain." Ignes selalu mengingat hal itu di sepanjang waktunya. Agar tidak kecewa karena hari ini, hanya dia saja yang tidak memiliki pasangan dalam liburan menyenangkan bersama keluarga Osvaldo.Ignes baru tahu
"Mulai hari ini, hentikan kebiasaanmu itu." Nancy melempar sneakers-nya melewati ranjang. Menabrak sisi lemari pakaian."Oke."Nancy menoleh sekilas untuk menatap Andrian. "Kau tidak butuh alasannya?"Senyum geli hadir sekilas di wajah Andrian. Ini jelas 'bukan Nancy' yang biasanya sangat tidak senang ditanya-tanyai."Suasana hatimu sedang tidak baik. Sebaiknya ..." Andrian mundur beberapa langkah ketika sang istri maju selangkah demi selangkah ke hadapannya, "sebaiknya aku diam."Nancy tertawa, lalu berjinjit untuk bisa menatap Andrian lebih dalam dari biasanya. Sejak kejadian menginap di kamar suaminya semalaman, perasaannya sedikit bergeser ke arah yang tidak wajar. Tak menentu.Nancy sulit menjabarkannya. Andai nanti dia sudah melewati masa sulitnya, rasanya enggan untuk mengakuinya."Ada apa, Nan?" tanya Andrian lembut. Tidak pernah kasar. Seperti itu lah dirinya bersikap di depan Nancy, meski wanita itu selalu darah tinggi padanya atau walau di dalam hati, Andrian juga sering men