Share

2. Kegagalan Yang Menyakitkan

Nancy merebahkan dirinya di ranjang kebesarannya yang sebenarnya, bisa menampung lebih dari tiga tubuh dewasa sekaligus, tapi dia hanya ingin tidur sendirian malam ini.

“Pergilah.” Nancy memerintah dengan suara pelan pada Andrian yang tampaknya enggan melangkah keluar dari sana.

Dengan kepala yang sedikit terangkat dari bantalnya, dia melihat Andrian membungkuk, lalu berlutut di ujung ranjang. Tepat di bawah kakinya. Pria itu bersiap melepaskan pumps tujuh sentimeter yang masih terpasang di kedua kakinya.

“Sudah kukatakan pergi, Andrian. Tolong, pergilah.” Nancy menahan gejolak amarahnya sambil melemparkan kembali kepalanya ke bantal.

“Tapi, Nan—aduh!” Andrian mengaduh, ketika Nancy melempar bantalnya dan mengenai wajah Andrian.

“Sudah kukatakan dengan begitu jelas, Andrian.”

Andrian menghela napas. Sebelah pumps dengan warna hazelnut sudah berhasil dia lepaskan dari kaki kiri Nancy.

“Kembalikan ke asalnya.” Nancy bicara dalam nada yang serius. Tanpa memandang Andrian. Matanya terpejam, menahan nyeri di sudut keningnya. Dia hanya bisa merasakan sepersekian detik kemudian, pumps-nya kembali terpasang di kakinya.

“Jika kau butuh—”

“Aku pasti akan mendatangi kamarmu jika membutuhkan sesuatu, Andrian. Kenapa kau terus menggangguku, hmm?” Kali ini, Nancy bersiap dengan tas tangan yang berhasil dia gapai dari meja di samping headboard. Menggantungnya di udara hanya untuk sekedar menggertak.

“Hei, hei tenang. Oke, oke. Aku pergi sekarang.” Andrian mundur dengan kedua tangan setengah terangkat. Dia tidak bisa terus-terusan jadi sasaran kekesalan Nancy yang suasana hatinya selalu berubah-ubah.

Andrian mengumpat kesal di dalam hati. Berulang kali merasa sial karena sudah berhasil masuk perangkap. Walau setelah berada di dalamnya dia bukan disiksa, malah diberi tidak hanya kemewahan dan kemudahan, tapi juga status yang tinggi. Bahkan tidak ada yang bisa memandang rendah dirinya lagi, kecuali satu orang itu.

Yap. Nancy Aquamarine. Dialah satu-satunya orang yang bisa memperlakukan Andrian sesuai dengan suasana hati yang tengah meliputi perasaan Nancy.

Hebat? Tentu saja. Nancy sehebat itu di mata Andrian.

“Aku tidak bisa protes atas sikapnya itu, karena dia selalu bertingkah sesuka hati pada saat hanya ada kami berdua saja. Bukan di depan banyak orang.”

Penyangkalan itu memang masuk akal. Dan karena alasan itulah, Andrian membiarkan Nancy bersikap semaunya pada dirinya.

Setiap kali sikap Nancy berubah, Andrian selalu menggunakan alasan itu di dalam hati dan benaknya.

Dengan penekanan bahwa dirinya tidak pernah boleh membenci Nancy.

*****

“Kau sungguh baik-baik saja?” Alvin Tangerine berdiri di ambang pintu kamar Ignes dan Elan. Pria enam puluh tahun itu sudah tiba lebih dulu di rumah mereka.

“Iya, Ayah.” Ignes ingin sekali mengeluh, tapi melihat tatapan Elan yang tampak lelah, dia tidak bisa membuat suaminya ini kesulitan karena ayahnya pasti akan menceramahi Elan habis-habisan. Padahal jelas, ini kesalahannya.

“Kau harus lebih memperhatikan Ignes, Elan. Dia itu istrimu. Butuh perhatian. Bukan hanya sekedar status.” Peringatan Alvin memang tidak kasar, tapi nadanya begitu tidak menyenangkan untuk didengar.

“Ayah, berhenti lah menyalahkan suamiku. Aku tidak berhati-hati hingga terjadi hal seperti tadi. Tapi sungguh, Ayah. Aku baik-baik saja. Sebenarnya, bukan aku yang perlu dikhawatirkan.”

“Lalu siapa?” Alvin bertanya dengan ketus. Sudah menduga bahwa jawaban dari pertanyaannya itu adalah ‘Elan’bukan yang lain.

“Sahabat baruku. Nancy Aquamarine. Dia menahan tubuhku agar tidak terguling di tangga dan mendapatkan luka di keningnya karena permata cincinku melukainya.”

Alvin merasa, baru kali ini tebakannya salah. “Siapa dia?”

“Sahabatku.”

“Maksud Ayah, dari keluarga mana dia berasal dan apa pekerjaannya?”

Elan yang hanya menyimak, ikut membenarkan ucapan ayah mertuanya di dalam hati.

“Ah, itu. Aku tidak bertanya siapa keluarganya dan dari mana dia berasal. Veronica yang membawanya ke klub Mauve seminggu yang lalu.”

Alvin mendengus. “Kau masih saja bergabung dengan klub bodoh itu? Buang-buang waktu saja.”

Ignes memijit keningnya dengan frustrasi, tapi setidaknya, ini bukan pembahasan tentang kehamilan.

“Di klub Mauve, kami bukan hanya membuang-buang waktu, Ayah.”

“Kalau begitu, buang-buang uang.” Alvin berusaha untuk tidak terkekeh. Senang sekali rasanya mencampuri urusan pribadi putri tunggalnya. Berbeda sekali dengan Viola, istrinya. Wanita itu malah lebih peduli untuk mengurusi panti asuhan dan butik.

Ignes mendesah malas. Melirik suaminya yang sedang menahan kantuk dalam diamnya, sambil duduk di sisi ranjang, tepat didekatnya.

“Ayah, maafkan aku, tapi saat ini, kami benar-benar butuh waktu untuk istirahat.”

Kesenangan di wajah Alvin seketika menghilang. Dia berdeham, pertanda bahwa nyatanya, dia kalah dari sang menantu. Ignes lebih membutuhkan suaminya, daripada ayahnya.

Oh, tentu saja begitu.

“Baik lah. Aku akan membiarkanmu kali ini.”

Setelah Alvin mengucapkan kalimat itu, Elan bergegas berdiri untuk pergi mengantarkan sang ayah mertua sampai ke mobilnya.

Entah beruntung atau sengaja, kali ini, Alvin tidak menahannya lebih lama lagi dengan sebuah obrolan yang menyulitkan, seperti biasanya.

Ignes segera duduk bersandar di headboard, ketika melihat suaminya kembali dari luar.

Pikiran tentang siasat yang diutarakan Nancy padanya tadi, mengusik rasa penasarannya untuk mencoba.

Perlukah itu dilakukannya sekarang?

“Kenapa tidak berbaring saja? Apa ada hal lain yang kau butuhkan?” Elan melepas mantel, menyangkutkannya di tiang gantungan mantel, lalu mendekat ke sisi Ignes yang terus menatapnya tanpa berkedip.

“Ada apa?” Elan coba lebih memperhatikan Ignes seperti apa yang diinginkan ayah mertuanya, sebelum terjadi perang antara ayah dan anak.

“Aku hanya merasa ayah selalu menekanmu. Membuatmu kesulitan.”

“Aku tidak merasa begitu. Wajar ayahmu bersikap seperti itu, karena hanya kau satu-satunya putri yang dimilikinya saat ini.”

Ignes merasa masih sangat mengantuk. Ini pasti pengaruh obat, tapi dia ingin bercinta sebelum tidur.

“Sayang ....”

“Hmm?” Elan lebih peka dari Ignes. Dia tahu maksud panggilan istrinya itu. Dengan cepat memadamkan lampu, menarik selimut dan berucap. “Selamat tidur, Sayang. Besok ada rapat pagi di kantor. Aku butuh istirahat yang cukup.”

Ignes terdiam sesaat untuk mengatasi rasa malunya. Ternyata, hanya dirinya saja yang menginginkan hal itu.

Apa besok pagi masih ada kesempatan? Entah lah. Setiap ada peluang, sudah sepatutnya dicoba.

Ignes berjanji dalam hati, bahwa dia akan coba menjalankan saran dari Nancy esok pagi.

Paginya, kekecewaan besar membuat Ignes benar-benar menangis. Bukan hanya gagal menjalankan rencananya, ternyata sang suami sudah berangkat pagi-pagi buta ke kantor, lengkap dengan pesan berisi pemberitahuan yang membuatnya semakin kecewa.

[Aku lupa memberitahumu. Sepulang kantor, aku akan langsung berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis. Lusa pagi aku kembali. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa minum vitaminnya]

“Sialaaaaan!” teriak Ignes di antara tangisnya.

Begitu berhasrat pagi ini, tapi semuanya hanya tinggal mimpi yang tidak menjadi nyata.

Setelah menyeka air matanya, dia tahu harus menghubungi siapa.

“Halo, Nan. Aku butuh saranmu lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status