“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ignes?” Nancy menyibak selimut, turun dari ranjang sambil menarik plester di keningnya. Melangkah menuju cermin. Menunggu Ignes mengutarakan maksudnya.
“Aku gagal bahkan sebelum mencoba.”
“Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Sambil mematut diri di cermin, Nancy mengusap keningnya yang melukiskan goresan kecil akibat dari permata di cincin Ignes. Masih sedikit perih.
Ignes mulai mengeluh.
“Semalam dia terlihat lelah. Kupikir, jika aku menggodanya dengan caramu, kemungkinan dia akan terpancing. Tapi sebelum niat itu terlaksana, dia sudah menarik selimut untuk tidur.”
“Kau tidak mencegahnya?” Nancy mengulum senyum. Menahan tawa, tapi tidak yakin mampu bertahan sampai lebih dari satu menit.
“Dia mengatakan padaku bahwa dia butuh istirahat yang cukup untuk mengikuti rapat pagi di kantor.”
“Ah, sayang sekali. Itu bentuk penolakan yang halus, Ignes.”
“Yah, kau benar. Dia memang tipikal pria yang tidak pintar menolak secara terang-terangan. Selalu menggunakan cara halus untuk mengabaikan keinginanku.”
Nancy tersenyum penuh makna. “Itu artinya, kau bisa gunakan hal itu sebagai senjata andalanmu untuk menghadapinya.”
“Contohnya?”
“Selama ini, siapa yang selalu lebih dulu mengutarakan keinginan untuk bercinta?”
Ignes terdiam. Coba mengingat. Selama tiga belas bulan ini, mereka bercinta bukan karena permintaan satu sama lain apalagi paksaan. Melainkan karena hasrat masing-masing yang mendorong tubuh keduanya bereaksi terhadap sentuhan atau pelukan di atas ranjang.
Terjadi begitu saja. Tidak rutin, tapi tidak jarang. Sepekan sekali atau dalam dua pekan hanya tiga kali. Tanpa babak tambahan, apalagi pengulangan.
Hanya satu kali putaran.
“Tidak ada di antara kami yang pernah meminta secara langsung. Kami melakukannya karena ingin. Biasanya, itu terjadi dengan sendirinya. Walau selalu, dia yang memulai.”
Nancy tersenyum sinis. Mencari-cari plester baru di dalam laci. “Coba lah untuk melakukan perubahan, Ignes.”
“Maksudmu, aku harus memintanya lebih dulu?” Ignes cepat tanggap untuk urusan seperti ini. Dia memang lihai dalam urusan ranjang, tapi kurang mendapat apresiasi dari Elan.
“Mm-hm.” Nancy menjepit ponsel dengan telinga dan pundaknya.
Menghela napas, Ignes mengeluh kembali. “Aku harus bersabar sampai lusa.”
Nancy sudah selesai mengganti plester-nya. “Memangnya dia tidak akan pulang ke rumah hari ini?”
Ignes berusaha menahan air matanya. Merasa heran kenapa dirinya begitu sulit menjadi pihak yang bisa mengerti.
“Elan langsung berangkat ke luar kota setelah pulang dari kantor.”
Nancy berdiri tegak di depan cermin. Berpikir sejenak sebelum memberi keputusan.
“Tidak perlu menunggu, Ignes. Susul dia.”
“Apa?” Ignes yang masih berbaring malas, kini duduk tegak dalam keterkejutan. Selama ini, dia tidak pernah terpikir untuk menyusul suaminya yang nyaris dua pekan sekali selalu mengadakan perjalanan bisnis, paling dekat ke luar kota dan tentu yang paling jauh itu ke luar negeri.
“Kenapa tidak? Kau takut?”
“Tidak, aku tidak takut.” Ignes jadi bersemangat, melempar selimutnya dan bergegas mondar-mandir di sisi ranjangnya. Mulai berpikir sambil menggigit kuku dan bicara pada Nancy diseberang sana. “Bagaimana agar semua itu terlihat alami?”
Nancy menebar senyum penuh artinya lagi di depan cermin. Hanya untuk dirinya sendiri. “Kau bisa gunakan alasan apa saja untuk itu, Ignes. Coba pikirkan dengan tenang, oke? Bukankah kau paling tahu mengenai hal itu? Pertama-tama, cari tahu lebih dulu ke mana tujuan perjalanan bisnisnya.”
“Hmm, kau benar. Akan kucari tahu setelah ini. Lalu? Apa lagi yang perlu kupersiapkan, Nan?”
Nancy mengambil botol kecil dari dalam tasnya. “Aku perlu menemuimu nanti, sebelum jam makan siang. Ada yang akan kuberikan padamu sebagai saran terbaik yang bisa kubagi denganmu.”
Ignes berhenti menggigit kukunya. “Sungguh? Apakah itu hadiah untukku? Apa itu, Nan?”
“Kau akan tahu nanti. Temui aku di restoran seafood Mr.Fisher.”
“Oke, Nan.” Ignes nyaris melompat kegirangan. “Tapi, Nan. Tunggu sebentar.”
“Ada apa?”
“Hmm ... apa ada yang kau inginkan dariku?”
Nancy duduk ditepi ranjang sambil menyilangkan kakinya. Senyum sinis menghiasi wajahnya sepersekian detik.
“Untuk saat ini, aku belum menginginkan apa pun, Ignes. Jika nanti aku sudah menemukan apa yang tepat, kau harus berjanji padaku agar menepatinya tanpa ragu. Bagaimana?”
Walau sedikit bingung, Ignes yang merasa senang memiliki sahabat baru seperti Nancy yang unik, segera melupakan rasa bingungnya.
“Oke. Katakan padaku. Apa pun itu.”
*****
“Parfum?” Ignes membolak-balik botol kecil di tangannya. Itu pemberian dari Nancy. “Kemarin parfum dan sekarang parfum lagi?”
Mereka berdua sudah duduk berhadapan di meja restoran.
“Benar. Bukan hanya dia. Kau juga butuh itu. Sesuatu yang mampu memikat dengan kuat. Cobalah, kau akan suka aromanya.” Nancy tersenyum lembut, anggun, dan santun.
Ignes tidak menunggu lagi. Dia segera menyemprotkan sedikit parfum itu ke pergelangan tangannya. Mendekatkan nadinya ke hidung dan menghirupnya dengan penuh kenikmatan.
“Wow, kau benar. Aromanya manis, lembut dan menenangkan.” Ignes mengakuinya dengan sungguh-sungguh, karena selama ini, dia hanya suka parfum yang beraroma segar dari perpaduan buah-buahan.
“Seperti ada aroma vanili dan bunga melati. Apa aku benar?” tebak Ignes setelah coba mengendusnya lebih lama lagi.
“Tepat, Ignes. Ada banyak kombinasi. Cendana, ambergris dan yang lainnya. Aku tidak begitu hafal, tapi yang kau sebutkan tadi memang bagian dari aroma parfum ini.” Nancy tersenyum lagi. Tidak jelas senyum itu memiliki artian yang seperti apa, yang pasti, Ignes tidak memperhatikannya.
“Kau sungguh perhatian, Nan. Aku berhutang banyak padamu.”
Nancy mengangguk. “Tentu saja. Semuanya tidak gratis, Ignes. Kau harus membayarnya suatu saat nanti.”
Tidak ada keraguan yang tergambar dari wajah Ignes. Tentu saja dia akan membalas semua kebaikan Nancy dengan apa pun itu. Dia memiliki banyak uang. Tidak masalah jika dirinya nanti menghadiahkan Nancy sebuah mobil atau rumah. Bahkan jika dia memberikan keduanya sekaligus pun, hal itu tetap tidak akan bisa membuatnya jatuh miskin seketika.
Walau Ignes ragu, bahwa Nancy yang bersuamikan pria kaya, mustahil menginginkan mobil atau rumah yang wanita itu pun mampu memintanya dan pasti langsung terkabul dalam tempo lima menit.
“Tidakkah kau ingin meminta balasannya sekarang?”
Nancy menggeleng dengan cepat dan yakin. “Sudah kukatakan ditelepon tadi. Saat ini aku belum membutuhkan apa pun. Biar kupikirkan nanti dengan sungguh-sungguh. Jangan takut, aku tidak akan membuatmu merasa tidak adil.”
Sama-sama tertawa, mereka akhirnya sepakat untuk melanjutkan pertemuan dengan makan siang yang penuh perbincangan tentang hal-hal seputar kewanitaan.
“Nan, bagaimana bisa kau memilihkan parfum itu untukku?”
Nancy tidak menghentikan tangannya yang sedang memotong steak daging sapi. Dia tersenyum sambil mengangkat bahu. “Hanya firasat, Ignes. Dulu sekali, seingatku, entah itu memang benar, parfum ini pernah dihadiahkan oleh seseorang untukku. Ingatan tentang itu samar dan kabur di benakku. Jadi, yah ... aku tidak bisa memastikannya dengan benar.”
“Dia pasti seseorang yang istimewa.”
“Ya, jika itu memang benar. Aku sungguh tidak ingat. Naluriku secara alamiah memilih parfum ini untukmu.”
“Hmm, jadi kau tidak memakai parfum dengan wangi yang sama?” Ignes menunjuk botol mungil yang masih berada di atas meja, dekat dengan gelasnya.
Nancy mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah botol dengan bentuk unik yang terlihat mewah.
“Tidak. Yang ini parfumku. Kau mau mencobanya?”
Aku menyesal pernah hampir menyerah mencintai istriku, Nancy. Namun setelah aku tahu dari ayah mertua tentang masa lalu Nancy dan selanjutnya kutelusuri sendiri kebenarannya, rasa cintaku pada wanita itu kian bertambah. Trauma yang diderita istriku tidak main-main. Apalagi dendam yang mungkin belum tercabut sampai ke akarnya, malah diperparah dengan kehadiran pria masa lalu itu di dekatnya.Tidak masalah bagiku jika dia membutuhkanku untuk membalaskan dendamnya pada pria bernama Elan Flaxen itu. Mantan suami Nancy yang menurut ayah mertua tidak sengaja melakukan segala hal yang berakibat fatal pada wanita itu.Namun aneh, sangat aneh walau itu begitu membuatku bahagia, saat suatu hari Nancy mulai berubah. Bukan sekadar ‘berubah’ tapi malah membuka diri sepenuhnya untukku. Lebih membingungkan lagi bagiku ketika akhirnya dia berniat melepas dendamnya pada Elan begitu saja.Awalnya, aku masih pesimis. Bukan tidak mempercayai Nancy, tapi aku tahu itu sulit. Trauma tidak mudah sembuh begitu
Suamiku ada di depanku. Dia masih sama. Tidak tertarik padaku.Apa tidak keterlaluan? Aku sudah menunggu. Bagiku memang ini belum terlalu lama, tapi aku mulai bosan. Bukan, lebih tepatnya aku lelah alih-alih bosan. Semua cara yang telah disarankan Nancy padaku telah kulakukan. Kecuali yang terakhir. Kutolak dengan halus, bukan berarti tidak menghargai usahanya untuk membantu. Aku hanya ingin berhenti, sungguh. Tidak ada keinginan lain yang kuinginkan saat ini, selain berhenti mengharapkan Elan mencintaiku.“Kenapa belum tidur?”Suara itu. Aku tersentak dalam mode singkat, lalu memalingkan tubuh. Memunggunginya yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan di layar laptop yang berada di atas pangkuannya.Dia tidak butuh jawabanku. Kesannya selalu begitu. Seolah bertanya hanya sekadar basa-basi atau bentuk formalitas saja.Sebenarnya, dia tidak pelit bicara padaku. Cuma, perkataannya tidak ada yang bisa menyenangkan hatiku. Selalu membuatku rendah diri. Bahkan selama bercinta yang telah kuusa
Untuk sekian lama, perasaanku membeku. Pada pria, sudah pasti. Siapa pun prianya, sama saja bagiku. Sampai pada beberapa waktu lalu, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta kembali.Pada pria yang kini tengah berbaring sambil memeluk pinggangku. Posisinya miring menghadapku. Dia ... Andrian Heather. Suamiku. Suami yang akhirnya kuanggap setelah beberapa waktu kuabaikan, bahkan kuperlakukan sesukaku. Setiap kami bertemu.Kini, bukan kecanduan bercinta saja yang kurasakan padanya, tapi juga tidak pernah bosan-bosannya kutatapi wajah tidurnya seperti ini, setiap malam.Dia bahkan tidak tahu tentang hal ini. Andai dia sampai tahu, kupastikan dia akan panik dengan wajah memerah sampai ke telinga. Lucu dan manisnya suamiku. Sampai aku benar-benar lupa pada tujuan awalku.Elan Flaxen dan istrinya, Ignes Tangerine.Ignes mungkin tidak bersalah padaku, malah semakin ke sini aku merasa kian iba pada wanita itu. Apalagi sejak tahu bahwa Elan rupanya—mungkin saja—merasa bersalah dengan menyebut
Aku yakin, dia Fredeliba Mauren atau biasa kusapa Dee. Mantan—bukan, dia masih istriku. Dia menghilang dalam beberapa tahun lalu. Dalam kecelakaan itu.Aku mungkin perlu berulang kali memastikannya, tapi hatiku tidak perlu. Aku menyadarinya. Genee dan Gio Dalbert sebenarnya tidak perlu lagi mencari tahu.Meski telah berlalu sepuluh tahun sekalipun, aku tetap mengenali wanita yang dipanggil Ignes dengan panggilan ‘Nancy’ itu sebagai istriku yang hilang di peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu.Keluarga Danny—kerabat dari pihak ibunya Dee—tidak akan bisa menipuku lagi. Bahkan keluarga Flaxen pun demikian.Mereka semua mungkin tahu bahwa Dee masih hidup. Berganti identitas dan merombak wajah sedemikian rupa, tapi tetap ada sisa yang bisa kukenali dengan baik.Tujuan keluargaku bersikap seolah tak tahu apa pun, memang untuk melindungi Dee, seolah aku akan menyakiti istriku demi bisa mencapai tujuanku.Kuakui memang. Keberadaan Dee bukan mengancam, tapi menyulitkanku. Ambisiku untuk jadi
Nancy dengan tampilan manis mengenakan gaun tidur panjang melewati lutut itu segera turun tangga dan menghampiri Ignes. Mengabaikan Elan yang mendadak kaku seperti patung batu karena melihat sahabat istrinya itu.Seperti tidak asing. Tapi, di mana?“Ignes, kau tak apa?” Memegangi kedua pundak Ignes, segera Nancy membawa wanita itu menjauh. Lagi, mengabaikan Elan Flaxen yang belum beranjak dengan mata fokus ke arahnya.“Tidak. Aku sangat terluka. Bawa aku bersamamu,” bisik Ignes, seolah dia ketakutan.Raut Nancy mendadak iba dan terus menuntun temannya itu sambil melirik sekilas melewati bahunya. Elan Flaxen yang telah menyakiti Ignes. Bukan orang lain. Tidak ada siapa pun yang bisa menyakiti Ignes, selain pria itu.“Kau akan menginap?” Shelly muncul dari lorong yang berada lurus dibelakang Elan.Saat berbalik dan menemukan Shelly di sana, Elan spontan mempertanyakan rasa penasarannya. “Wanita itu ....”Shelly menatap ke arah yang ditunjuk Elan. Punggung Nancy dan Ignes yang makin menj
Bukannya cemburu, Elan justru marah besar. Dengan tegas meminta Ignes kembali ke mansion keluarga Osvaldo tanpa berniat mengantarnya.“Cepat kembali dan ganti pakaianmu.”Tidak menurut, meski dengan mudah dia bisa meminta salah satu dari teman se-klub Mauve-nya, bahkan Nancy, untuk datang menjemput, tapi dia tidak mau melakukan hal itu.“Aku tidak mau.” Merasa dipermalukan di atas panggung, sampai tidak ditolong saat dia terjatuh dari tiang, benar-benar membuatnya sakit hati.Elan Flaxen tertawa hampa, sekaligus marah. “Jika ingin melakukan hal seperti itu, jangan di sini, Ignes. Lakukan di tempat di mana ayah dan ibumu bisa ikut melihat betapa liar putrinya di luaran.”Sakit hati karena ucapan suaminya yang tidak pernah manis, apalagi lembut untuknya selama mereka menikah, membuat Ignes melempari Elan dengan high heels yang tadi sempat dibawanya turun dari atas panggung.“Kau bisa dan aku tidak? Kau bebas merangkul dan menempel pada wanita di bandara, ketika tidak dalam pengawasan ay
Rencana Nancy sedikit mengerikan. Membuat Ignes khawatir, sekaligus penasaran bagaimana jika dia benar-benar mewujudkan rencana itu agar segera terealisasikan.Nancy memberi keleluasaan untuk Ignes dapat beraksi sesuai rencana.Dibalik gaun ketat yang menempel di tubuhnya, Ignes ragu-ragu, meski nekat untuk melakukannya.Nancy bahkan tidak ada di sana untuk menyemangati sahabatnya. Dia bercinta berjam-jam bersama Andrian di kamar mereka.Pada dasarnya, Ignes itu wanita baik-baik, walau bukan wanita alim. Dia tidak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, karena dia berasal dari kalangan keluarga terhormat.Malam ini, itu jelas berbeda. Entah bagaimana Nancy bisa tahu bahwa Elan akan berada di salah satu bar elit yang ada di Fereydoon.“Nancy benar-benar hebat. Kurasa, aku akan berhasil malam ini,” bisiknya pada diri sendiri, ketika sedikit mengintip dari balik tirai ke bagian sudut mana suaminya berada.Elan ada di sana bersama seorang pria muda. Meski Ignes tidak mengenal siapa pria i
Sebenarnya, Elan hanya sambil lalu bertanya tentang kepulangan istrinya ke Sand Dollar. Itu karena setelah dia membantu Genee dan Gio Dalbert mendapatkan kebebasannya, wanita itu punya tujuan untuk ke Fereydoon menemui kakaknya itu. Tepat sekali dengan tempat Ignes menghabiskan beberapa hari waktunya di sana dengan anggota klub Mauve.Karena itu lah, ketika balasan pesan dari Ignes memberitahu bahwa wanita itu akan segera pulang, Elan melarangnya dengan mengatakan bahwa dia juga punya tujuan tertentu ke Fereydoon. Mereka kemudian janji bertemu di restoran luar bandara, tapi wanita itu sama sekali tidak datang meski sudah ditunggu Elan selama dua puluh menit.[Kau di mana? Jika tidak berniat menjemputku, tidak masalah. Aku akan menginap di hotel saja]Mendapat pesan bernada ketus seperti itu, Ignes ciut juga. Dia menjauh dari Iris dan Veronica yang sedang duduk dekat dengannya, lalu pergi ke sudut tanpa orang-orang. Daripada membalas pesan, lalu merasa penasaran sendirian, lebih baik di
Ignes tersenyum lebar sempurna. Membalas sambil terburu-buru berjalan menjauhi tempat pesta.[Sekarang. Aku segera dalam perjalanan. Tunggu aku]Di kejauhan, gerakan setengah berlari Ignes tertangkap oleh mata Nancy. Wanita itu sempat keheranan, tapi ketika Andrian mengecup pelipisnya, dia sadar siapa yang bisa membuat Ignes menjadi seperti itu.“Kita keluar dari keramaian ini?” Andrian menawarkan kepekaannya lagi.Nancy menatap seolah dia memiliki perasaan cinta yang membutakan. “Kau selalu bisa membaca apa yang ada dipikiranku.”Jemari mereka saling bertaut, berciuman dan mendapat sorakan dari para tamu.Setelahnya, mereka meminta izin menjauh dari para tamu dan pergi ke sudut tersepi.“Kau tahu? Aku tidak ingin ini berakhir.” Andrian mengeluh. Bermanja dengan ragu-ragu. Cemas andai ditolak lagi. Bayangan sikap dingin Nancy masih membayanginya.Nancy memeluk erat suaminya. Menyadari kesalahannya selama ini dan ingin memperbaikinya.“Kita akan terus seperti ini.”Mengusap lembut punda