Share

3. Kejutan

“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ignes?” Nancy menyibak selimut, turun dari ranjang sambil menarik plester di keningnya. Melangkah menuju cermin. Menunggu Ignes mengutarakan maksudnya.

“Aku gagal bahkan sebelum mencoba.”

“Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Sambil mematut diri di cermin, Nancy mengusap keningnya yang melukiskan goresan kecil akibat dari permata di cincin Ignes. Masih sedikit perih.

Ignes mulai mengeluh.

“Semalam dia terlihat lelah. Kupikir, jika aku menggodanya dengan caramu, kemungkinan dia akan terpancing. Tapi sebelum niat itu terlaksana, dia sudah menarik selimut untuk tidur.”

“Kau tidak mencegahnya?” Nancy mengulum senyum. Menahan tawa, tapi tidak yakin mampu bertahan sampai lebih dari satu menit.

“Dia mengatakan padaku bahwa dia butuh istirahat yang cukup untuk mengikuti rapat pagi di kantor.”

“Ah, sayang sekali. Itu bentuk penolakan yang halus, Ignes.”

“Yah, kau benar. Dia memang tipikal pria yang tidak pintar menolak secara terang-terangan. Selalu menggunakan cara halus untuk mengabaikan keinginanku.”

Nancy tersenyum penuh makna. “Itu artinya, kau bisa gunakan hal itu sebagai senjata andalanmu untuk menghadapinya.”

“Contohnya?”

“Selama ini, siapa yang selalu lebih dulu mengutarakan keinginan untuk bercinta?”

Ignes terdiam. Coba mengingat. Selama tiga belas bulan ini, mereka bercinta bukan karena permintaan satu sama lain apalagi paksaan. Melainkan karena hasrat masing-masing yang mendorong tubuh keduanya bereaksi terhadap sentuhan atau pelukan di atas ranjang.

Terjadi begitu saja. Tidak rutin, tapi tidak jarang. Sepekan sekali atau dalam dua pekan hanya tiga kali. Tanpa babak tambahan, apalagi pengulangan.

Hanya satu kali putaran.

“Tidak ada di antara kami yang pernah meminta secara langsung. Kami melakukannya karena ingin. Biasanya, itu terjadi dengan sendirinya. Walau selalu, dia yang memulai.”

Nancy tersenyum sinis. Mencari-cari plester baru di dalam laci. “Coba lah untuk melakukan perubahan, Ignes.”

“Maksudmu, aku harus memintanya lebih dulu?” Ignes cepat tanggap untuk urusan seperti ini. Dia memang lihai dalam urusan ranjang, tapi kurang mendapat apresiasi dari Elan.

“Mm-hm.” Nancy menjepit ponsel dengan telinga dan pundaknya.

Menghela napas, Ignes mengeluh kembali. “Aku harus bersabar sampai lusa.”

Nancy sudah selesai mengganti plester-nya. “Memangnya dia tidak akan pulang ke rumah hari ini?”

Ignes berusaha menahan air matanya. Merasa heran kenapa dirinya begitu sulit menjadi pihak yang bisa mengerti.

“Elan langsung berangkat ke luar kota setelah pulang dari kantor.”

Nancy berdiri tegak di depan cermin. Berpikir sejenak sebelum memberi keputusan.

“Tidak perlu menunggu, Ignes. Susul dia.”

“Apa?” Ignes yang masih berbaring malas, kini duduk tegak dalam keterkejutan. Selama ini, dia tidak pernah terpikir untuk menyusul suaminya yang nyaris dua pekan sekali selalu mengadakan perjalanan bisnis, paling dekat ke luar kota dan tentu yang paling jauh itu ke luar negeri.

“Kenapa tidak? Kau takut?”

“Tidak, aku tidak takut.” Ignes jadi bersemangat, melempar selimutnya dan bergegas mondar-mandir di sisi ranjangnya. Mulai berpikir sambil menggigit kuku dan bicara pada Nancy diseberang sana. “Bagaimana agar semua itu terlihat alami?”

Nancy menebar senyum penuh artinya lagi di depan cermin. Hanya untuk dirinya sendiri. “Kau bisa gunakan alasan apa saja untuk itu, Ignes. Coba pikirkan dengan tenang, oke? Bukankah kau paling tahu mengenai hal itu? Pertama-tama, cari tahu lebih dulu ke mana tujuan perjalanan bisnisnya.”

“Hmm, kau benar. Akan kucari tahu setelah ini. Lalu? Apa lagi yang perlu kupersiapkan, Nan?”

Nancy mengambil botol kecil dari dalam tasnya. “Aku perlu menemuimu nanti, sebelum jam makan siang. Ada yang akan kuberikan padamu sebagai saran terbaik yang bisa kubagi denganmu.”

Ignes berhenti menggigit kukunya. “Sungguh? Apakah itu hadiah untukku? Apa itu, Nan?”

“Kau akan tahu nanti. Temui aku di restoran seafood Mr.Fisher.”

“Oke, Nan.” Ignes nyaris melompat kegirangan. “Tapi, Nan. Tunggu sebentar.”

“Ada apa?”

“Hmm ... apa ada yang kau inginkan dariku?”

Nancy duduk ditepi ranjang sambil menyilangkan kakinya. Senyum sinis menghiasi wajahnya sepersekian detik.

“Untuk saat ini, aku belum menginginkan apa pun, Ignes. Jika nanti aku sudah menemukan apa yang tepat, kau harus berjanji padaku agar menepatinya tanpa ragu. Bagaimana?”

Walau sedikit bingung, Ignes yang merasa senang memiliki sahabat baru seperti Nancy yang unik, segera melupakan rasa bingungnya.

“Oke. Katakan padaku. Apa pun itu.”

*****

“Parfum?” Ignes membolak-balik botol kecil di tangannya. Itu pemberian dari Nancy. “Kemarin parfum dan sekarang parfum lagi?”

Mereka berdua sudah duduk berhadapan di meja restoran.

“Benar. Bukan hanya dia. Kau juga butuh itu. Sesuatu yang mampu memikat dengan kuat. Cobalah, kau akan suka aromanya.” Nancy tersenyum lembut, anggun, dan santun.

Ignes tidak menunggu lagi. Dia segera menyemprotkan sedikit parfum itu ke pergelangan tangannya. Mendekatkan nadinya ke hidung dan menghirupnya dengan penuh kenikmatan.

“Wow, kau benar. Aromanya manis, lembut dan menenangkan.” Ignes mengakuinya dengan sungguh-sungguh, karena selama ini, dia hanya suka parfum yang beraroma segar dari perpaduan buah-buahan.

“Seperti ada aroma vanili dan bunga melati. Apa aku benar?” tebak Ignes setelah coba mengendusnya lebih lama lagi.

“Tepat, Ignes. Ada banyak kombinasi. Cendana, ambergris dan yang lainnya. Aku tidak begitu hafal, tapi yang kau sebutkan tadi memang bagian dari aroma parfum ini.” Nancy tersenyum lagi. Tidak jelas senyum itu memiliki artian yang seperti apa, yang pasti, Ignes tidak memperhatikannya.

“Kau sungguh perhatian, Nan. Aku berhutang banyak padamu.”

Nancy mengangguk. “Tentu saja. Semuanya tidak gratis, Ignes. Kau harus membayarnya suatu saat nanti.”

Tidak ada keraguan yang tergambar dari wajah Ignes. Tentu saja dia akan membalas semua kebaikan Nancy dengan apa pun itu. Dia memiliki banyak uang. Tidak masalah jika dirinya nanti menghadiahkan Nancy sebuah mobil atau rumah. Bahkan jika dia memberikan keduanya sekaligus pun, hal itu tetap tidak akan bisa membuatnya jatuh miskin seketika.

Walau Ignes ragu, bahwa Nancy yang bersuamikan pria kaya, mustahil menginginkan mobil atau rumah yang wanita itu pun mampu memintanya dan pasti langsung terkabul dalam tempo lima menit.

“Tidakkah kau ingin meminta balasannya sekarang?”

Nancy menggeleng dengan cepat dan yakin. “Sudah kukatakan ditelepon tadi. Saat ini aku belum membutuhkan apa pun. Biar kupikirkan nanti dengan sungguh-sungguh. Jangan takut, aku tidak akan membuatmu merasa tidak adil.”

Sama-sama tertawa, mereka akhirnya sepakat untuk melanjutkan pertemuan dengan makan siang yang penuh perbincangan tentang hal-hal seputar kewanitaan.

“Nan, bagaimana bisa kau memilihkan parfum itu untukku?”

Nancy tidak menghentikan tangannya yang sedang memotong steak daging sapi. Dia tersenyum sambil mengangkat bahu. “Hanya firasat, Ignes. Dulu sekali, seingatku, entah itu memang benar, parfum ini pernah dihadiahkan oleh seseorang untukku. Ingatan tentang itu samar dan kabur di benakku. Jadi, yah ... aku tidak bisa memastikannya dengan benar.”

“Dia pasti seseorang yang istimewa.”

“Ya, jika itu memang benar. Aku sungguh tidak ingat. Naluriku secara alamiah memilih parfum ini untukmu.”

“Hmm, jadi kau tidak memakai parfum dengan wangi yang sama?” Ignes menunjuk botol mungil yang masih berada di atas meja, dekat dengan gelasnya.

Nancy mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah botol dengan bentuk unik yang terlihat mewah.

“Tidak. Yang ini parfumku. Kau mau mencobanya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status