Berhasil menyusul Elan ke kota Hue yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Sand Dollar, Ignes menempati hotel yang sama dengan sang suami.
Berkat cara jitunya dalam mengancam sekretaris Elan, Viria Minelli, dia merasa senang karena keberhasilannya menjadi lebih cepat dari dugaannya.
Hal itu juga tidak lepas dari bantuan seorang informan terpercaya di dalam perusahaan ayahnya. Bukan sekedar memantau tindak tanduk suaminya untuk Ignes, si informan juga memperhatikan keadaan sekeliling.
“Jika tidak mau kuadukan pada ayahku tentang kasus perselingkuhanmu dengan salah satu kepala divisi di Tangerine Company, beritahu aku ke mana tujuan perjalanan bisnis suamiku. Dan bila kau tidak pintar menutup mulutmu, aku sendiri yang akan melakukannya.”
Ancaman Ignes selalu berhasil untuk siapa pun lawannya. Bagaimana mungkin ada yang berani membantah putri pemilik Tangerine Company? Si pewaris tunggal yang selalu menemukan cara agar bisa memandang rendah orang lain.
Setelah mengirimkan lokasi keberadaan atasannya, Viria Minelli mengeluh sedih di dalam hati.
“Kenapa jika orang-orang dengan status sepertiku tidak boleh selingkuh, sementara mereka bisa?”
Dia memang salah, tapi perjalanan cintanya sudah berada dipertengahan jalan.
Jika sampai berita tentang hubungannya dengan sang kepala divisi sampai ke telinga Alvin Tangerine, jangankan dirinya, pasangan selingkuhannya itu pun pasti ikut diberhentikan secara tidak hormat.
Sementara itu, Ignes sedang menikmati waktu nyamannya dengan berendam di bathtub. Membayangkan bagaimana suaminya akan kebingungan melihat kedatangannya yang tiba-tiba ke kota Hue.
Selesai lebih cepat, dia menyamakan waktu dengan jadwal Elan yang akan bertemu kolega bisnis di restoran hotel tepat tiga puluh menit sebelum jam makan siang.
Tidak lupa menyemprotkan parfum pemberian Nancy, Ignes tersenyum mengingat kegeniusan sahabat barunya.
“Aku penasaran bagaimana kehidupan rumah tangga Nancy dan Andrian. Apakah seromantis yang bisa kubayangkan sejak tahu bahwa Nancy begitu lembut dan manis?” Ignes tersenyum sambil bicara dan bertanya pada dirinya sendiri di depan cermin.
Kemarin, dia juga sempat merasakan manis dan lembutnya aroma parfum milik Nancy. Menandakan betapa wanita itu begitu peduli terhadap penampilan dan tubuh rampingnya.
“Dia pintar merawat diri. Aku semakin menyukainya.”
Merasa cukup dengan aroma dan penampilannya, Ignes meraih tas kecil di atas ranjang, lalu pergi meninggalkan kamarnya.
Sesampainya di restoran hotel, dia sengaja duduk dengan seorang wanita suruhannya yang pasti tidak akan dikenali Elan. Karena pria itu hafal semua wajah teman-temannya di klub Mauve, kecuali Nancy.
“Oh, kenapa bukan Nancy saja ya, yang kuajak ke sini?” Ignes baru menyadari hal itu ketika melihat Elan muncul bersama Viria Minelli menuju ke meja diseberang mejanya.
Elan tampak sempurna dengan penampilan semi formalnya. Bahkan suami Ignes itu mengubah gaya rambutnya. Membuat Ignes terpesona dan batal untuk tidak menatapnya.
Viria yang tahu bahwa istri atasannya itu begitu tergila-gila pada pria di sisinya ini, segera memberitahu tentang keberadaan Ignes.
Langkah Elan terhenti. Dia menatap kaku ke arah Ignes yang mengenakan gaun jingga labu yang kini tengah memandangnya tanpa berkedip.
Ignes marasa harus memulai rencananya.
“Sayang?” Ignes terpekik pelan. Mendorong kursinya ke belakang dan segera menghampiri suaminya yang kini mengerutkan kening melihat kehadiran istrinya di tempat yang sama dengannya.
“Kau memberitahu tujuanku pada Ignes?”tanya Elan pada Viria yang berdiri canggung di sisi kanannya.
Viria menggeleng. Berusaha tidak terlihat berbohong. “Tidak, Pak Elan. Aku tidak memberitahu nyonya akan keberadaan Anda.”
Ignes segera mengamit lengan sang suami saat pria itu justru tampak enggan akan sikap istrinya.
Kebetulan?
Elan tidak akan pernah percaya akan hal itu.
“Sedang apa kau di sini?” Mata Elan melihat seorang wanita lain di meja Ignes. Wanita asing.
“Oh, aku sedang membicarakan peluang membuka bisnis salon di kota ini bersama temanku, Stefany.” Ignes menunjuk ke arah wanita bayaran yang dimintanya untuk mengatakan apa yang harus dikatakan, jika tiba-tiba Elan menanyainya.
Ignes tersenyum, sambil terus berusaha bersikap tenang karena Elan tampaknya langsung percaya, meski pun dalam hati dia tidak bisa tahu apa yang suaminya itu pikirkan.
“Kau menginap di hotel ini?” Elan bertanya lagi. Dia membiarkan saja Ignes menempel padanya, sebelum kolega bisnisnya datang.
“Awalnya tidak. Aku menginap di rumah Stefany. Tapi karena merasa tidak enak hati sebab dia tinggal di rumah keluarga besarnya, aku pindah ke sini.”
Itu kebohongan ciptaannya sendiri. Nancy tidak membantunya soal itu. Wanita itu hanya memberi sarannya saja.
Kebohongan yang membuat Elan mendadak sakit kepala.
“Kau juga menginap di sini?” tanya Ignes, pura-pura bodoh dengan bola mata yang membulat sempurna.
Elan mengangguk. “Aku akan bertemu dengan dua rekan bisnisku di sini. Kau akan lama di kota Hue? Aku bisa minta Viria menemanimu jalan-jalan jika kau bosan.” Tawaran ini bertujuan untuk membuat Ignes tidak mengganggunya seharian ini.
Ignes menggeleng. Dia tidak bisa disingkirkan dengan mudah. “Tidak. Aku sudah punya rencana lain bersama Stefany.” Senyum Ignes menandakan dia kesal, bahkan melirik tajam pada Viria agar wanita itu tidak perlu mengantarkannya ke mana pun.
“Oke kalau begitu. Sampai nanti, Ignes. Tamuku sudah tiba.” Melepas tangannya dari Ignes yang masih tampak tidak rela, Elan melakukannya dengan halus. Sebuah penolakan yang rapi terlaksana.
Ignes menatap punggung Elan yang menjauh. Tidak jauh, hanya diseberang mejanya.
Usai makan siang yang dipenuhi drama di meja Ignes, dia dan wanita asing itu masuk ke kamar hotel Ignes.
“Ini bayaranmu.” Ignes memberikan sebuah amplop berisi uang pada Stefany—bukan nama sebenarnya—dan mengangkat dagunya, isyarat agar wanita itu segera enyah dari hadapannya. “Jika kau berpapasan dengan suamiku atau sekretarisnya, bersikaplah ramah dan hindari memberi jawaban yang tidak perlu.”
Wanita itu mengangguk patuh. Hanya duduk diam dan bersandiwara seolah mereka berteman, dia mendapatkan bayaran yang jauh dari apa yang bisa dibayangkan olehnya selama bekerja.
Ignes menunggu sore berganti malam dan segera membersihkan diri dari keringat. Dia harus lebih cantik dari sebelumnya. Memilih gaun sedikit di atas lutut dengan warna cokelat gandum. Rambut hitamnya tergerai melewati bahu. Parfum pemberian Nancy harus lebih menebarkan keseksian dirinya malam ini. Harus. Dia tidak boleh gagal lagi kali ini.
[Aku tidak boleh gagal lagi malam ini. Kau yakin aku akan berhasil, kan?]
Sebelum meninggalkan kamarnya, Ignes mengirimi Nancy pesan dan berharap wanita itu segera membalasnya. Dia butuh dukungan saat ini.
Menunggu selama lima menit dan tidak kunjung mendapat jawaban, Ignes memutuskan untuk segera mendatangi kamar suaminya. Dia harus bergerak sekarang atau Elan akan menolaknya lagi dengan alasan butuh istirahat seperti malam sebelumnya.
Elan tidak ada di kamarnya. Pesan mendadak masuk ke ponselnya, membuat pria itu bergegas pergi dan menghilang, tepat ketika Ignes membuka pintu kamar untuk pergi menemuinya.
Keluar dari hotel, dengan terburu-buru, Elan menyeberangi jalanan yang mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Dia sampai ke sebuah minimarket dua puluh empat jam dan sibuk mencari keberadaan seseorang dari luar dinding kaca tempat itu.
“Elan Flaxen.”
Genee Dalbert, berdiri gelisah di tempatnya. Mengenakan sweater hijau tua lengkap dengan penutup kepala sambil tangannya bersembunyi di saku jaketnya. “Sudah lama menunggu?” Elan berbasa-basi. Menyapu seluruh sudut untuk memastikan keadaan aman terkendali. “Tidak. Lima menit lalu.” Genee pun ikut melihat setiap jangkauan mata. "Bisakah kita duduk di kafe seberang sana?" “Oke.” Elan bergerak lebih dulu. Membuat jarak. Karena tidak bisa dipastikan olehnya, kemungkinan mata-mata dari keluarga Tangerine ada untuk mengintainya. Karena Alvin Tangerine tidak sepenuhnya menyukai dan mempercayai dirinya. Mendapat tempat di sudut belakang kafe dengan penerangan yang redup, Genee melepas penutup kepalanya. “Masih belum ada kepastian. Dinata Danny sudah pindah ke negara lain. Dia ikut suaminya yang bertugas ke sana. Dan Darren Danny tidak bisa ditanyai apa pun karena sedang dalam keadaan berkabung. Kekasihnya meninggal dunia.” Elan mengangguk. Berusaha memahami bahwa keadaannya jauh lebih ti
"Parfum siapa yang kau gunakan?"Ignes sakit hati mendengarnya. Parfum siapa? Memangnya dia mencuri dari siapa?"Aku menggantinya beberapa hari lalu. Kau saja yang tidak menyadarinya."Elan terdiam. Meski tidak berniat kasar, dia tanpa sengaja kali ini menuduh Ignes dengan bahasa yang tidak menyenangkan. Seolah hanya seseorang 'itu' yang boleh menggunakan parfum beraroma khas yang pernah sempat menghilang jauh dari indera penciumannya, tapi kini muncul kembali seakan memaksanya untuk mengingat semua itu lagi sekarang."Sudah tengah malam. Besok pagi kita harus bersiap pulang. Ayo, ke kamar." Elan mengalah sebagai bentuk permintaan maafnya karena menggunakan kalimat tidak mengenakkan itu pada Ignes.Menurut, Ignes yang masih kesal, mengikuti Elan dari belakang. Rasa senang menggantikan kekesalannya, karena Elan membiarkannya masuk ke kamar."Walau sedikit memalukan, aku harus coba menggodanya lebih dulu." Tekad Ignes selaras dengan rasa tidak ingin gagal lagi malam ini.Menurunkan sendi
Terbangun dengan Nancy yang terlelap di sisinya, membuat Andrian terkejut sekaligus terpana.Terkejut karena Nancy sangat jarang berinisiatif untuk mendatangi dia di kamarnya seperti ini, apalagi sampai tidur sepanjang malam bersamanya.Terpana, sebab istrinya itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Entah karena dia yang terlalu jenuh melihat kecantikan wanita lain atau memang Nancy itu secantik apa yang ada dibayangannya.Yang jelas, ini momen langka yang sayang jika dilewatkan begitu saja.Saat melihat jam di dinding, Andrian mengeluh dalam hati.Sudah hampir jam masuk kantor.Tidak ada dalam sejarahnya seorang Andrian Heather yang disegani semua orang di Osvaldo Group, tiba terlambat di ruangannya.Dan sekali lagi dia memandang wajah sang istri. Rasa malas menghinggapinya. Benar-benar enggan beranjak dari tempat tidur untuk meninggalkan Nancy di sana sendirian.Ini momen yang ingin diabadikannya dalam ingatan. Memori terpenting yang indah, dikala rasa kesal akan sikap semena-m
Berlibur ke Fereydoon menjadi menjengkelkan untuk Nancy, karena Cassandra mengundang semua teman-temannya dari klub Mauve, tidak terkecuali dengan Ignes Tangerine.Mereka membawa pasangan masing-masing, kecuali—lagi—Ignes. Wanita itu tidak bisa memaksa Elan Flaxen yang sudah kembali ke perangai aslinya, gila kerja."Kau saja yang pergi. Aku sudah menunda dua pertemuan kemarin karena menghabiskan waktu di kamar, nyaris seharian."Ucapan Elan sarat akan makna untuk menyalahkan Ignes. Jadi, ya begitu lah. Dia menerima disalahkan, asal waktu kebersamaan mereka berdua kemarin, benar-benar bisa menghasilkan kebersamaan lain yang semakin menambah kemesraan mereka di kesempatan selanjutnya."Aku ingin terus bercinta dengan perasaan yang seperti itu. Hasrat yang sebanding antara satu sama lain." Ignes selalu mengingat hal itu di sepanjang waktunya. Agar tidak kecewa karena hari ini, hanya dia saja yang tidak memiliki pasangan dalam liburan menyenangkan bersama keluarga Osvaldo.Ignes baru tahu
"Mulai hari ini, hentikan kebiasaanmu itu." Nancy melempar sneakers-nya melewati ranjang. Menabrak sisi lemari pakaian."Oke."Nancy menoleh sekilas untuk menatap Andrian. "Kau tidak butuh alasannya?"Senyum geli hadir sekilas di wajah Andrian. Ini jelas 'bukan Nancy' yang biasanya sangat tidak senang ditanya-tanyai."Suasana hatimu sedang tidak baik. Sebaiknya ..." Andrian mundur beberapa langkah ketika sang istri maju selangkah demi selangkah ke hadapannya, "sebaiknya aku diam."Nancy tertawa, lalu berjinjit untuk bisa menatap Andrian lebih dalam dari biasanya. Sejak kejadian menginap di kamar suaminya semalaman, perasaannya sedikit bergeser ke arah yang tidak wajar. Tak menentu.Nancy sulit menjabarkannya. Andai nanti dia sudah melewati masa sulitnya, rasanya enggan untuk mengakuinya."Ada apa, Nan?" tanya Andrian lembut. Tidak pernah kasar. Seperti itu lah dirinya bersikap di depan Nancy, meski wanita itu selalu darah tinggi padanya atau walau di dalam hati, Andrian juga sering men
Nancy meringkuk di dalam pelukan Andrian. Kepalanya dipenuhi bukan rasa penyesalan, tapi kebimbangan."Kau menyesalinya?" Andrian selalu lebih peka dari siapa pun yang berada didekat Nancy."Meski tidak sering, kita pernah seperti ini sebelumnya. Apanya yang menyesal?" Tawa Nancy tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di hatinya. "Walau sebelumnya, setiap kali percintaan kita selesai, aku tidak pernah berlama-lama bersamamu seperti yang sekarang terjadi."Itu benar. Berhubungan seksual tidak rutin dan hanya sesukanya Nancy saja sudah cukup menyenangkan bagi Andrian.Jika Nancy bisa menahan diri, maka Andrian Heather yang normal akan mencari 'cara aman' dengan menggunakan jasa wanita malam kelas tinggi yang bisa menjaga rahasia.Andrian hanya akan meminta wanita itu menggunakan mulut dan tangan untuk memuaskannya."Jangan lakukan hal lain. Milikku hanya boleh berada di dalam diri istriku."Itu yang selalu diucapkannya setiap kali para pelacur kelas kakap itu, siap membuka kedua kaki mere
Ignes tersenyum lebar sempurna. Membalas sambil terburu-buru berjalan menjauhi tempat pesta.[Sekarang. Aku segera dalam perjalanan. Tunggu aku]Di kejauhan, gerakan setengah berlari Ignes tertangkap oleh mata Nancy. Wanita itu sempat keheranan, tapi ketika Andrian mengecup pelipisnya, dia sadar siapa yang bisa membuat Ignes menjadi seperti itu.“Kita keluar dari keramaian ini?” Andrian menawarkan kepekaannya lagi.Nancy menatap seolah dia memiliki perasaan cinta yang membutakan. “Kau selalu bisa membaca apa yang ada dipikiranku.”Jemari mereka saling bertaut, berciuman dan mendapat sorakan dari para tamu.Setelahnya, mereka meminta izin menjauh dari para tamu dan pergi ke sudut tersepi.“Kau tahu? Aku tidak ingin ini berakhir.” Andrian mengeluh. Bermanja dengan ragu-ragu. Cemas andai ditolak lagi. Bayangan sikap dingin Nancy masih membayanginya.Nancy memeluk erat suaminya. Menyadari kesalahannya selama ini dan ingin memperbaikinya.“Kita akan terus seperti ini.”Mengusap lembut punda
Sebenarnya, Elan hanya sambil lalu bertanya tentang kepulangan istrinya ke Sand Dollar. Itu karena setelah dia membantu Genee dan Gio Dalbert mendapatkan kebebasannya, wanita itu punya tujuan untuk ke Fereydoon menemui kakaknya itu. Tepat sekali dengan tempat Ignes menghabiskan beberapa hari waktunya di sana dengan anggota klub Mauve.Karena itu lah, ketika balasan pesan dari Ignes memberitahu bahwa wanita itu akan segera pulang, Elan melarangnya dengan mengatakan bahwa dia juga punya tujuan tertentu ke Fereydoon. Mereka kemudian janji bertemu di restoran luar bandara, tapi wanita itu sama sekali tidak datang meski sudah ditunggu Elan selama dua puluh menit.[Kau di mana? Jika tidak berniat menjemputku, tidak masalah. Aku akan menginap di hotel saja]Mendapat pesan bernada ketus seperti itu, Ignes ciut juga. Dia menjauh dari Iris dan Veronica yang sedang duduk dekat dengannya, lalu pergi ke sudut tanpa orang-orang. Daripada membalas pesan, lalu merasa penasaran sendirian, lebih baik di