Share

4. Belum Saatnya

Berhasil menyusul Elan ke kota Hue yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Sand Dollar, Ignes menempati hotel yang sama dengan sang suami.

Berkat cara jitunya dalam mengancam sekretaris Elan, Viria Minelli, dia merasa senang karena keberhasilannya menjadi lebih cepat dari dugaannya.

Hal itu juga tidak lepas dari bantuan seorang informan terpercaya di dalam perusahaan ayahnya. Bukan sekedar memantau tindak tanduk suaminya untuk Ignes, si informan juga memperhatikan keadaan sekeliling.

“Jika tidak mau kuadukan pada ayahku tentang kasus perselingkuhanmu dengan salah satu kepala divisi di Tangerine Company, beritahu aku ke mana tujuan perjalanan bisnis suamiku. Dan bila kau tidak pintar menutup mulutmu, aku sendiri yang akan melakukannya.”

Ancaman Ignes selalu berhasil untuk siapa pun lawannya. Bagaimana mungkin ada yang berani membantah putri pemilik Tangerine Company? Si pewaris tunggal yang selalu menemukan cara agar bisa memandang rendah orang lain.

Setelah mengirimkan lokasi keberadaan atasannya, Viria Minelli mengeluh sedih di dalam hati.

“Kenapa jika orang-orang dengan status sepertiku tidak boleh selingkuh, sementara mereka bisa?”

Dia memang salah, tapi perjalanan cintanya sudah berada dipertengahan jalan.

Jika sampai berita tentang hubungannya dengan sang kepala divisi sampai ke telinga Alvin Tangerine, jangankan dirinya, pasangan selingkuhannya itu pun pasti ikut diberhentikan secara tidak hormat.

Sementara itu, Ignes sedang menikmati waktu nyamannya dengan berendam di bathtub. Membayangkan bagaimana suaminya akan kebingungan melihat kedatangannya yang tiba-tiba ke kota Hue.

Selesai lebih cepat, dia menyamakan waktu dengan jadwal Elan yang akan bertemu kolega bisnis di restoran hotel tepat tiga puluh menit sebelum jam makan siang.

Tidak lupa menyemprotkan parfum pemberian Nancy, Ignes tersenyum mengingat kegeniusan sahabat barunya.

“Aku penasaran bagaimana kehidupan rumah tangga Nancy dan Andrian. Apakah seromantis yang bisa kubayangkan sejak tahu bahwa Nancy begitu lembut dan manis?” Ignes tersenyum sambil bicara dan bertanya pada dirinya sendiri di depan cermin.

Kemarin, dia juga sempat merasakan manis dan lembutnya aroma parfum milik Nancy. Menandakan betapa wanita itu begitu peduli terhadap penampilan dan tubuh rampingnya.

“Dia pintar merawat diri. Aku semakin menyukainya.”

Merasa cukup dengan aroma dan penampilannya, Ignes meraih tas kecil di atas ranjang, lalu pergi meninggalkan kamarnya.

Sesampainya di restoran hotel, dia sengaja duduk dengan seorang wanita suruhannya yang pasti tidak akan dikenali Elan. Karena pria itu hafal semua wajah teman-temannya di klub Mauve, kecuali Nancy.

“Oh, kenapa bukan Nancy saja ya, yang kuajak ke sini?” Ignes baru menyadari hal itu ketika melihat Elan muncul bersama Viria Minelli menuju ke meja diseberang mejanya.

Elan tampak sempurna dengan penampilan semi formalnya. Bahkan suami Ignes itu mengubah gaya rambutnya. Membuat Ignes terpesona dan batal untuk tidak menatapnya.

Viria yang tahu bahwa istri atasannya itu begitu tergila-gila pada pria di sisinya ini, segera memberitahu tentang keberadaan Ignes.

Langkah Elan terhenti. Dia menatap kaku ke arah Ignes yang mengenakan gaun jingga labu yang kini tengah memandangnya tanpa berkedip.

Ignes marasa harus memulai rencananya.

“Sayang?” Ignes terpekik pelan. Mendorong kursinya ke belakang dan segera menghampiri suaminya yang kini mengerutkan kening melihat kehadiran istrinya di tempat yang sama dengannya.

“Kau memberitahu tujuanku pada Ignes?”tanya Elan pada Viria yang berdiri canggung di sisi kanannya.

Viria menggeleng. Berusaha tidak terlihat berbohong. “Tidak, Pak Elan. Aku tidak memberitahu nyonya akan keberadaan Anda.”

Ignes segera mengamit lengan sang suami saat pria itu justru tampak enggan akan sikap istrinya.

Kebetulan?

Elan tidak akan pernah percaya akan hal itu.

“Sedang apa kau di sini?” Mata Elan melihat seorang wanita lain di meja Ignes. Wanita asing.

“Oh, aku sedang membicarakan peluang membuka bisnis salon di kota ini bersama temanku, Stefany.” Ignes menunjuk ke arah wanita bayaran yang dimintanya untuk mengatakan apa yang harus dikatakan, jika tiba-tiba Elan menanyainya.

Ignes tersenyum, sambil terus berusaha bersikap tenang karena Elan tampaknya langsung percaya, meski pun dalam hati dia tidak bisa tahu apa yang suaminya itu pikirkan.

“Kau menginap di hotel ini?” Elan bertanya lagi. Dia membiarkan saja Ignes menempel padanya, sebelum kolega bisnisnya datang.

“Awalnya tidak. Aku menginap di rumah Stefany. Tapi karena merasa tidak enak hati sebab dia tinggal di rumah keluarga besarnya, aku pindah ke sini.”

Itu kebohongan ciptaannya sendiri. Nancy tidak membantunya soal itu. Wanita itu hanya memberi sarannya saja.

Kebohongan yang membuat Elan mendadak sakit kepala.

“Kau juga menginap di sini?” tanya Ignes, pura-pura bodoh dengan bola mata yang membulat sempurna.

Elan mengangguk. “Aku akan bertemu dengan dua rekan bisnisku di sini. Kau akan lama di kota Hue? Aku bisa minta Viria menemanimu jalan-jalan jika kau bosan.” Tawaran ini bertujuan untuk membuat Ignes tidak mengganggunya seharian ini.

Ignes menggeleng. Dia tidak bisa disingkirkan dengan mudah. “Tidak. Aku sudah punya rencana lain bersama Stefany.” Senyum Ignes menandakan dia kesal, bahkan melirik tajam pada Viria agar wanita itu tidak perlu mengantarkannya ke mana pun.

“Oke kalau begitu. Sampai nanti, Ignes. Tamuku sudah tiba.” Melepas tangannya dari Ignes yang masih tampak tidak rela, Elan melakukannya dengan halus. Sebuah penolakan yang rapi terlaksana.

Ignes menatap punggung Elan yang menjauh. Tidak jauh, hanya diseberang mejanya.

Usai makan siang yang dipenuhi drama di meja Ignes, dia dan wanita asing itu masuk ke kamar hotel Ignes.

“Ini bayaranmu.” Ignes memberikan sebuah amplop berisi uang pada Stefany—bukan nama sebenarnya—dan mengangkat dagunya, isyarat agar wanita itu segera enyah dari hadapannya. “Jika kau berpapasan dengan suamiku atau sekretarisnya, bersikaplah ramah dan hindari memberi jawaban yang tidak perlu.”

Wanita itu mengangguk patuh. Hanya duduk diam dan bersandiwara seolah mereka berteman, dia mendapatkan bayaran yang jauh dari apa yang bisa dibayangkan olehnya selama bekerja.

Ignes menunggu sore berganti malam dan segera membersihkan diri dari keringat. Dia harus lebih cantik dari sebelumnya. Memilih gaun sedikit di atas lutut dengan warna cokelat gandum. Rambut hitamnya tergerai melewati bahu. Parfum pemberian Nancy harus lebih menebarkan keseksian dirinya malam ini. Harus. Dia tidak boleh gagal lagi kali ini.

[Aku tidak boleh gagal lagi malam ini. Kau yakin aku akan berhasil, kan?]

Sebelum meninggalkan kamarnya, Ignes mengirimi Nancy pesan dan berharap wanita itu segera membalasnya. Dia butuh dukungan saat ini.

Menunggu selama lima menit dan tidak kunjung mendapat jawaban, Ignes memutuskan untuk segera mendatangi kamar suaminya. Dia harus bergerak sekarang atau Elan akan menolaknya lagi dengan alasan butuh istirahat seperti malam sebelumnya.

Elan tidak ada di kamarnya. Pesan mendadak masuk ke ponselnya, membuat pria itu bergegas pergi dan menghilang, tepat ketika Ignes membuka pintu kamar untuk pergi menemuinya.

Keluar dari hotel, dengan terburu-buru, Elan menyeberangi jalanan yang mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Dia sampai ke sebuah minimarket dua puluh empat jam dan sibuk mencari keberadaan seseorang dari luar dinding kaca tempat itu.

“Elan Flaxen.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status