Share

5. Aroma Masa Lalu

Genee Dalbert, berdiri gelisah di tempatnya. Mengenakan sweater hijau tua lengkap dengan penutup kepala sambil tangannya bersembunyi di saku jaketnya.

“Sudah lama menunggu?” Elan berbasa-basi. Menyapu seluruh sudut untuk memastikan keadaan aman terkendali.

“Tidak. Lima menit lalu.” Genee pun ikut melihat setiap jangkauan mata. "Bisakah kita duduk di kafe seberang sana?"

“Oke.” Elan bergerak lebih dulu. Membuat jarak. Karena tidak bisa dipastikan olehnya, kemungkinan mata-mata dari keluarga Tangerine ada untuk mengintainya. Karena Alvin Tangerine tidak sepenuhnya menyukai dan mempercayai dirinya.

Mendapat tempat di sudut belakang kafe dengan penerangan yang redup, Genee melepas penutup kepalanya.

“Masih belum ada kepastian. Dinata Danny sudah pindah ke negara lain. Dia ikut suaminya yang bertugas ke sana. Dan Darren Danny tidak bisa ditanyai apa pun karena sedang dalam keadaan berkabung. Kekasihnya meninggal dunia.”

Elan mengangguk. Berusaha memahami bahwa keadaannya jauh lebih tidak mendukung untuk memastikan banyak hal saat ini, setelah masa lalu berlalu dengan begitu cepat.

“Kau tahu ini akan sangat membahayakan kita berdua? Keluarga besarmu tidak berhenti menyelidiki ini, Elan Flaxen.”

“Aku tidak peduli.” Elan menggeleng tanpa ragu. Hanya harus peduli pada keluarga Tangerine yang menurutnya lebih berpeluang membuatnya jatuh hingga tidak dapat bangkit lagi dengan mudah. Merangkak pun jauh akan lebih sulit jika kaki Alvin Tangerine sudah menendang siapa pun yang berpotensi dianggap oleh pria tua itu sebagai lawan.

Genee mulai gusar ketika seorang pelayan wanita yang membuatnya terlihat mencurigakan terus memperhatikannya sambil membawa daftar menu pesanan.

“Tolong tuliskan.” Tanpa melihat menu, Elan menyebutkan langsung. “Teh lemon hangat.”

“Baik, Tuan.” Si pelayan melirik Genee masih dengan tatapannya yang menyelidik. “Bagaimana dengan Anda, Nona?”

“Samakan saja.”

“Baik. Silakan tunggu sebentar.” Dengan senyum yang tidak mendapat balasan, pelayan dengan papan nama Leyna Turner itu segera berlalu setelah memastikan bahwa dia memang mengenali Genee Dalbert di suatu tempat, entah di mana.

“Dia mengenalimu.” Elan mengetuk jarinya di meja. Sama. Dia pun menjadi gelisah karena ada yang mengenali salah satu dari mereka di sini.

“Aku pergi sekarang.”

“Duduk, Genee.” Suara tegas memerintah Elan membuat wanita dua puluh sembilan tahun itu membatalkan niatnya.

“Tapi sekarang, setelah melihat wajahku, dia pasti langsung mengakses pencarian untuk menemukan siapa aku dan kakakku, Elan.”

“Tenang. Dia hanya pelayan biasa. Coba ingat-ingat lagi. Kau mungkin mengenalnya di masa lalu.”

Genee menjalin setiap jemarinya dengan perasaan tidak menentu. Jika kakaknya meminta dia mematuhi semua perintah Elan, itu artinya wajib, tanpa tawar menawar.

“Nama belakangnya Turner. Kau mengenalnya?” Elan sempat membaca sekilas papan nama si pelayan. Yang terpenting nama belakang. Itu menurutnya.

“Turner?” Karena terus saja menghindar, Genee tidak menyadari akan hal itu.

“Yap. Jika kau tidak mengenalnya, abaikan saja. Saat kuperintahkan untuk pergi, kau harus segera pergi. Tapi jika—”

“Leyna Turner.” Genee yakin itu dia. Hanya ada satu Turner di kehidupannya sejak dulu. Namun perubahan status dan wajah penuh makeup Leyna, membuat Genee mudah tertipu.

Ada rasa tenang yang segera membuat Elan mengangguk. “Bagus. Kau bisa menghabiskan teh lemonmu sebelum pergi. Jangan bersikap berlebihan. Itu akan menimbulkan perhatian.”

“Oke.”

Di kamar hotel, Ignes baru saja tahu bahwa kamar suaminya tertutup rapat. Pria itu tidak ada di kamarnya. Dengan segenap perasaan marah, dia melempar semua barang yang terlihat di matanya.

Berteriak dan mengamuk karena rencananya kembali gagal, air mata tumpah ruah di kedua belah pipinya.

Dengan tangan gemetar, dia menghubungi sang sahabat untuk mengadu.

“Nan ...” Di antara isak, Ignes menyerut ingus dan berusaha bicara dengan lancar, “aku gagal lagi. Dia tidak ada di kamarnya.”

Kembali histeris tanpa ditutup-tutupi, Ignesa meraung seperti gadis kecil di lantai. Diseberang, Nancy hanya menghela napas sambil menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.

“Nan, kau mendengarku?”

“Ya, aku di sini.” Menyisir rambutnya dengan pelan menggunakan satu tangan, Nancy berusaha bersabar menghadapi kelabilan putri tunggal keluarga Tangerine.

“Aku harus bagaimana? Ke mana suamiku pergi hampir tengah malam seperti ini?”

“Teleponmu tidak dijawab?”

“Tidak.” Derai air matanya semakin deras. Walau begitu, dia merasa beruntung bahwa masih ada yang benar-benar peduli padanya.

“Tetap tenang. Tunggu dia pulang. Tidak mungkin dia tidak kembali, bukan?”

Tangis Ignes reda sejenak. Kembali? Dia tidak yakin.

“Mungkin saja dia sudah masuk dan tidur di kamar hotel bersama wanita lain.”

“Jika itu yang ada dipikiranmu, coba cari dia jika kau bisa.”

Ignes seketika bingung dengan saran dari Nancy.

“Mencarinya? Ke mana aku harus mencarinya? Ini bukan di Sand Dollar. Aku tidak tahu di mana tempat dia biasa berkeliaran di tengah malam seperti ini. Bahkan ketika di Sand Dollar pun, dia tidak begini.”

“Itu artinya, tidak ada cara lain selain menunggunya sampai pagi tiba dan terus kirimi dia pesan bahwa kau merindukannya.”

Usulan Nancy memang sebelumnya sudah ada dipikirannya, entah kenapa, dia lebih percaya diri jika kalimat itu justru diutarakan dari mulut orang lain.

Sebegitu tidak percayanya Ignes pada dirinya sendiri.

Untuk hal sekecil ini pun, Ignes masih saja membutuhkan orang lain agar memilihkan pilihan untuk dirinya.

Kebingungan dalam amarahnya sendiri, dia menyudahi panggilan setelah Nancy memintanya untuk tetap waras dan berhenti menangis.

Ignes tiba di lobi setelah membenahi penampilan dirinya. Merapikan rambut, mencuci muka, bahkan menyemprotkan parfum pemberian Nancy.

Menunggu dengan gelisah, Ignes terus mencoba mengirim pesan ke ponsel suaminya yang mati. Sengaja dinonaktifkan oleh Elan. Pria itu jelas tahu bahwa Ignes akan mengganggunya.

Jam dua dini hari, Elan kembali dari kafe tanpa pembicaraan yang terlalu lama dengan Genee. Wanita itu pamit lebih dulu karena terus cemas akan ketahuan.

Sambil melewati lobi, Elan menyalakan kembali ponselnya.

“Sayang!”

Wajah Elan terangkat dengan kesal karena dia tahu bahwa itu suara Ignes. Wanita itu menunggunya sampai selarut ini.

“Kenapa kau menungguku?” Kernyitan pertanda tidak senang, langsung tergambar jelas di depan Ignes yang setengah jiwanya baru dikembalikan oleh mimpi.

“Aku ingin pindah ke kamarmu.”

Elan berusaha bersabar untuk menghadapi putri tunggal Alvin Tangerine yang manja dan kekanakan ini, walau selalu kesulitan.

Dia kepayahan mengimbangi wanita seperti Ignes Tangerine. Meski tidak ada alasan baginya untuk membenci seseorang yang tidak berbuat salah padanya.

“Kenapa dengan kamarmu?”

Ignes bingung harus menjawab apa. Pikirnya, suami istri tidak butuh alasan untuk tidur sekamar seperti yang ingin dia lakukan bersama Elan.

Apa setelah tiga belas bulan berlalu dia masih harus diperlakukan seperti orang asing oleh suaminya sendiri?

Masih bingung, mereka hanya mematung tanpa suara di lobi. Elan mengendus aroma dari Ignes secara tidak sengaja. Parfum yang tidak asing. Mengingatkannya pada masa lalu. Benar-benar tidak asing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status