Share

6. Menembus Pertahanan

"Parfum siapa yang kau gunakan?"

Ignes sakit hati mendengarnya. Parfum siapa? Memangnya dia mencuri dari siapa?

"Aku menggantinya beberapa hari lalu. Kau saja yang tidak menyadarinya."

Elan terdiam. Meski tidak berniat kasar, dia tanpa sengaja kali ini menuduh Ignes dengan bahasa yang tidak menyenangkan. Seolah hanya seseorang 'itu' yang boleh menggunakan parfum beraroma khas yang pernah sempat menghilang jauh dari indera penciumannya, tapi kini muncul kembali seakan memaksanya untuk mengingat semua itu lagi sekarang.

"Sudah tengah malam. Besok pagi kita harus bersiap pulang. Ayo, ke kamar." Elan mengalah sebagai bentuk permintaan maafnya karena menggunakan kalimat tidak mengenakkan itu pada Ignes.

Menurut, Ignes yang masih kesal, mengikuti Elan dari belakang. Rasa senang menggantikan kekesalannya, karena Elan membiarkannya masuk ke kamar.

"Walau sedikit memalukan, aku harus coba menggodanya lebih dulu." Tekad Ignes selaras dengan rasa tidak ingin gagal lagi malam ini.

Menurunkan sendiri ritsleting gaunnya, Ignes membiarkan bahan satin itu meluncur turun dari tubuhnya. Berada di bawah kedua kakinya dalam sekejap dan dia keluar dari sana.

Hanya tersisa lingerie hitam berbahan lace yang menonjolkan segala sisi lekukan tubuh Ignes. Dia membungkuk dengan sengaja untuk memperlihatkan belahan payudaranya dihadapan sang suami, saat memungut gaun cokelat gandumnya menggunakan gerakan yang elegan dan sensual.

Sejak beberapa menit, Elan menatap perilaku istrinya dengan kening mengerut. Aneh melihat Ignes yang tertarik untuk menggodanya. Dia tahu bahwa Ignes mungkin sedikit tergila-gila padanya, tapi tidak pernah tahu bahwa wanita berambut pirang alami itu, bersedia melakukan hal seperti ini, menggodanya.

Ignes mendekat. Langkahnya begitu anggun, seksi dan menuntut lewat tatapan matanya.

Elan menelan kengerian di dalam hatinya. Seseorang, dulu sekali. Pernah menggodanya dengan cara seperti ini. Dia hanya berusaha untuk tidak mundur, agar menuntaskan rasa penasarannya terhadap apa yang ingin dilakukan istrinya terhadap dirinya.

"Coba kulihat. Apa dia benar-benar akan melakukannya seperti Fredeliba atau tidak." Elan bergumam di dalam hati. Menantang dirinya sendiri untuk melihat pertunjukan ini sampai akhir.

Aroma tubuh Ignes semakin terasa di indera penciuman Elan. Hasrat yang berbeda dari yang pernah dirasakannya saat bercinta dengan Ignes di malam-malam yang jarang terjadi, membuat pria itu sedikit bingung.

Tubuh Ignes seakan seperti jelmaan wanita lain. Wanitanya yang dulu. Istrinya yang telah tiada.

"Elan Flaxen. Kendalikan dirimu. Dia sudah mati. Kini jalani hidupmu sebagai suami dari Ignes Tangerine."

Suara di kepala Elan mengingatkannya dengan keras. Benar, tidak ada orang mati yang bisa bangkit dari kematian. Ini bukan cerita fantasi. Tidak ada yang akan terjadi, meski dia menangisi kematian mantan istrinya itu bertahun-tahun lamanya.

Waktu terus berjalan meninggalkan masa lalu.

"Elan?" panggil Ignes. Dia melembut dan menghaluskan suaranya di telinga Elan. Memberi tiupan lembut di sana sambil menempelkan tubuhnya tanpa ragu.

Merasa hatinya berdebar hanya karena aroma parfum yang nyaris sama dengan yang pernah dipakai istri terdahulunya, dia menelan lagi kengerian dalam hatinya.

Satu kecupan di leher Elan, menghantarkan rasa panas yang menjalar hingga membangkitkan hasrat yang sudah lama mati. Dia perlu mengingatkan bahwa hasratnya terhadap sang mantan istri dan istrinya saat ini sangat lah berbeda.

Yang dirasakannya kini adalah hasrat untuk Fredeliba Maureen. Wanita yang pernah menjadi istrinya. Wanita yang tidak akan pernah pernah dilupakannya sampai mati.

Elan membalas sentuhan Ignes tanpa memikirkan apa pun. Rasa takut, rindu, bahkan kecewanya kini bercampur aduk dalam dirinya.

"Sayang, kendalikan dirimu untuk tidak menyebut nama wanita itu di depanku." Setelah saling bertatapan, Ignes memberanikan diri mengatakan apa yang selama ini dipendamnya di dalam hati.

Elan menutupi rasa bersalahnya untuk banyak hal. Bahkan di detik ini pun, dia berharap bahwa wanita di depannya ini adalah mantan istrinya yang telah mati.

Sial!

Elan mengumpati dirinya sendiri. Bersiap menjauh dari tubuh Ignes yang menempel padanya, tapi wanita itu mencegahnya. Memberi perlawanan yang tidak pernah sebelumnya dilakukan Ignes terhadap sang suami.

Dengan segenap tenaga, Ignes mendorong tubuh Elan hingga terjatuh ke tempat tidur. Merangkak cepat ke atas tubuh suaminya, sebelum pria itu menolaknya lagi malam ini.

"Biarkan aku menyentuhmu bila kau tidak ingin menyentuhku." Kalimat manis dari bibir Ignes sungguh ajaib. Tentu saja ini yang dibisikkan Nancy padanya.

"Ignes."

"Ya, Sayang?" Hati Ignes berbunga-bunga.

"Cium aku," perintah Elan. Bukan tanpa sebab, dia hanya ingin membuat tubuhnya menyadari bahwa wanita yang tengah menindihnya ini bukan lah Fredeliba Maureen.

Dengan senyum merekah hingga nyaris membuat kegirangan, Ignes mengangguk.

"Kapan lagi dia memintaku menciumnya? Ini kesempatan bagus. Berikan ciuman terbaik untuknya." Peringatan di benak Ignes menyala-nyala. Jangan ada kesalahan.

Ciuman yang tanpa respon, awalnya Ignes ragu. Tapi tetap saja, dia tidak harus patah semangat di kesempatan pertama.

Aroma Ignes yang semakin menyatu dengan indera penciuman dan tubuh Elan, membuatnya terbuai. Meski dia sadar bahwa tubuh indah itu milik Ignes, dia tetap membalas ciuman istrinya karena aroma itu sungguh memabukkan.

Membuatnya berangan-angan entah ke mana-mana. Terutama ke masa lalu.

Elan membiarkan Ignes melayaninya malam ini. Melepas pakaiannya, hingga memimpin permainan mereka yang berdurasi cukup lama dari yang biasa pernah mereka lakukan.

*****

[Kau tahu, kami baru saja selesai bercinta. Saranmu terbukti berhasil. Sekarang suamiku sedang tidur karena kelelahan]

Mengabaikan pesan kegembiraan meluap dari Ignes, Nancy beranjak keluar dari kamarnya. Dia pergi ke kamar Andrian.

Karena Nancy selalu melarang Andrian mengunci pintu kamarnya sebelum pria itu naik ke ranjang, dia selalu bisa datang kapan pun di malam hari tanpa perlu mengetuk pintu.

Walau itu sangat lah jarang terjadi. Nancy hanya seperti memberikan harapan yang nyaris sulit terwujud.

Nancy masuk dan menutup pintu dibelakangnya dengan hati-hati. Dia duduk ditepi ranjang Andrian. Memandang wajah suami yang tidak pernah dicintainya itu. Mungkin belum.

Entah. Setiap kali melihat Andrian Heather, Nancy merasa frustrasi dan tidak tahu harus bagaimana, selain melampiaskan segala kekesalannya. Dalam bentuk apa pun.

Pria itu tidak pura-pura tidur. Memang terlelap karena kelelahan. Pekerjaan yang ditimpakan Nancy dan keluarganya, membuat waktu istirahat Andrian berkurang banyak.

Suaminya itu bahkan sering melewatkan makan siangnya. Itu menurut sekretarisnya, Garry Hartigan.

"Tuan Andrian sering tertidur di kursinya jika sudah jam pulang kantor."

Itu kata Garry untuk hari ini.

Mengusap wajah Andrian yang tampan rupawan, Nancy tidak mengerti kenapa setiap kali melihat dan bersama pria ini, emosinya sering naik turun tidak menentu.

Andrian terlalu lelah hingga tidak menyadari saat tangan lembut Nancy terus membelai wajah dan rambutnya.

Dia tidak terbangun.

Setelah puas memandang dan mengusap wajah Andrian, Nancy merangkak naik untuk tidur di samping suaminya. Malam ini dia ingin tidur bersama dengannya.

Mengambil posisi berbaring miring menghadap Andrian, dia segera menutup mata takkala tangan pria berambut cokelat tua itu meraba-raba sekelilingnya. Dia hanya tidak ingin tertangkap basah sedang memandanginya.

Itu kebiasaan Andrian saat tidur. Dia mencari-cari sesuatu untuk dipeluk. Entah itu bantal, guling, atau selimut. Apa pun itu, dia butuh mendekap erat dalam tidurnya.

Ini kali pertama Nancy masuk ke kamar Andrian tengah malam, ketika pria itu sudah terlelap. Pikiran kacaunya menuntun langkah kakinya untuk datang ke sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status