Share

Bab 2

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

"Kenapa melamun, Ci?" tanya emak mertua yang mengagetkan'ku.

Aku memang tidak langsung masuk ke dalam rumah, memilih duduk di teras.

"E-Emak." Langsung berdiri dan menuntun perempuan berumur enam puluh lima tahun tersebut untuk duduk. "Emak kenapa tidak istirahat saja. Pasti capek karena tadi bantuin Suci bikin nagasari dan lemet."

"Capek apanya. Orang Emak cuma duduk sambil bungkusin saja."

Satu minggu yang lalu Emak mertua baru pulang dari rumah sakit. Beliau opname tiga hari karena jantungnya kambuh.

"Ci … itu nasi kotaknya kok belum dikumpulin? Bukannya tadi kamu sudah ke rumah Bu Kadus, ya," tanya emak sambil menatap tumpukan kardus putih di sebelahku.

Bagaimana ini? Tidak mungkin aku jujur sama Emak. Nanti yang ada beliau kaget. Takutnya jantungnya kambuh. Apalagi dokter sudah mewanti-wanti agar Emak tidak banyak pikiran.

"O-oh itu. Ternyata nasi kotaknya dikumpulin langsung ke dusun sebelah, Mak. Suci salah dengar pas pengumuman di PKK kemarin. Kalau begitu Suci anterin nasinya dulu, ya, Mak. Emak masuk ke dalam saja. Istirahat."

Gegas aku membawa pergi nasi tersebut karena tidak ingin Emak mertua curiga.

Saat melewati jalan dusun, aku bertemu beberapa ibu-ibu. Mereka terlihat saling berbisik satu sama lain sambil menatapku.

"Nasi yang dishare tadi ternyata punya kamu to, Ci. Pantas saja kalau disuruh ambil lagi. Masa' bikin nasi kotak kok isinya cuma kaya' gitu," ucap salah satu dari mereka.

Ternyata cepat sekali berita ini tersebar.

"Terus, nasi itu mau dibawa ke mana? Dibuang, ya? At-au jangan-jangan mau kamu antar sendiri ke dusun sebelah. Aduh, mendingan jangan, Ci. Nama dusun kita bisa tercoreng," sambungnya lagi sebelum sepatah katapun terucap dari bibirku.

"Iya, Bu. Nasi ini mau saya bawa ke dusun sebelah," jawabku sengaja membuat mereka agar lebih heboh dan laporan pada ibu-ibu lainnya.

Apa sebegitu tidak layaknya nasi kotak buatanku. Sampai-sampai mereka merendahkan.

Melanjutkan kembali langkahku, meninggalkan mereka.

-

"Mbah, ini ada sedikit rezeki." Memberikan dua nasi kotak pada seorang nenek yang tengah memilah sampah di pinggir jalan.

"Alhamdulillah, terima kasih, Nak." Beliau menerima dengan sangat senang. Terlihat dari senyumnya yang mengembang.

"Tapi maaf, Mbah. Isinya hanya ala kadarnya."

"Semoga Allah melimpahkan rizki dan rezeki pada kamu dan keluarga."

Seketika rasa sakit hati atas ucapan orang-orang dusun tadi terobati oleh jawaban beliau.

Aku memberikan lagi nasi kotak lainnya pada orang-orang yang memang mau menerima.

Nasi kotak yang tadi dijadikan bahan hinaan, Alhamdulillah habis tidak tersisa.

-

"Dila ikut ke pengajian, ya, Bu," rengek bocah berumur enam tahun yang baru pulang dari bermain. Dia sangat antusias karena sejak kecil memang sering diajak ke acara pengajian oleh simbahnya.

"Ibu tidak ikut pengajian, Nak."

"Ya … Ibu. Semua teman-teman Dila pada ikut."

"Besok saja kalau ada acara pengajian lagi."

"Ci, kamu ajak saja Dila ke pengajian. Lagian tidak jauh juga." Emak mertua yang mendengar rengekan Dila akhirnya bicara.

"Tapi, Mak. Suci mau beres-beres rumah biar bersih. Emak 'kan harus tinggal di tempat yang sehat."

Bukannya tidak ingin datang ke acara pengajian. Tetapi aku tidak mau ada omongan menyakitkan lagi.

"Bu … ayo kita ke pengajian."

"Dila. Kalau Ibu bilang tidak, ya, tidak." Sedikit meninggikan suara.

Seketika Dila pun diam sambil menundukkan kepala.

"Kamu sedang banyak pikiran, ya, Ci? Tidak biasanya marah-marah. Maafin Emak karena selalu merepotkan. Pasti kamu kecapekan mengurus Emak.

Astaghfirullah, tidak seharusnya aku bersikap kasar pada anakku. Dia hanya ingin ke pengajian. Apa salahnya.

"Sekarang Dila bersih-bersih, terus ganti baju. Kita berangkat," terangku.

Bocah berkepang dua itu mengangguk dan langsung lari ke belakang.

"Kalau ada masalah, cerita! Jangan dipendam sendiri."

"Tidak ada masalah apa-apa, Mak. Sebenarnya cuma mau ngajari anak biar tidak sedikit-sedikit merengek. Emak jangan salah paham, ya. Suci minta maaf."

"Merengek ngajakin ke pengajian 'kan bagus, Ci. Mendapat pahala, menambah ilmu agama, bisa silaturahim juga."

Harusnya memang seperti itu, Mak. Tapi sayangnya, acara pengajian malah dijadikan ajang pamer dan ghibah oleh sebagian orang yang ingin terlihat wah tanpa mempedulikan kemampuan orang lain. Contohnya seperti yang kita alami saat ini. Mereka menolak nasi kotak buatan kita, menjawab dalam hati.

-

Sudah kuduga, pasti akan ada pemandangan tidak mengenakkan. Baru saja sampai di tempat pengajian, orang-orang yang masih satu dusun denganku menatap aneh.

"Astaga, bisa-bisanya datang. Tidak tahu malu banget."

"Iya, ya. Disuruh bikin nasi kotak saja menunya ngawur. Eh … sekarang pengen makan enak."

Kali ini ucapan tersebut bukan keluar dari mulut pedas Bu Evi, Bu Yati maupun Bu Atik dan gengnya. Melainkan dari ibu-ibu lain.

Aku pun mengajak Dila duduk tanpa mempedulikan ucapan mereka. Niat kami ke sini memang untuk mengikuti pengajian. Soal nyinyiran orang-orang, lebih baik masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Selama pengajian berlangsung, aku mendengarkan ceramah Ustadz dengan seksama.

Di tengah-tengah acara, terlihat beberapa pria mengenakan kemeja senada membawa nampan besar berisi minum dan juga snack.

Sebelum mereka sampai di tempat kami duduk, aku segera mengeluarkan botol minum berisi teh hangat serta snack yang kubawa dari rumah. Dan juga nasi kotak.

"Terima kasih, tapi saya sudah membawa sendiri," tolak'ku saat minuman dan snack tersebut bergilir dari tangan satu ke tangan lain hingga akhirnya sampai di tempat kami duduk.

"Halah, gayanya itu lho. Sok nolak. Padahal aslinya ngiler dapat snack enak. Memangnya punya dia. Dikasih saja ogah."

Berhadapan sama orang-orang yang memiliki penyakit hati memang susah. Selalu saja salah.

"Bu, enak." Dila menunjukkan nagasari buatan simbahnya.

"Alhamdulillah, dihabisin, ya. Jangan suka membuang makanan. Apalagi membandingkan. Tidak baik."

Sekelompok tukang nyinyir saling senggol dengan sesekali menoleh ke belakang melirik sinis.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status