NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP
"Kenapa melamun, Ci?" tanya emak mertua yang mengagetkan'ku.Aku memang tidak langsung masuk ke dalam rumah, memilih duduk di teras."E-Emak." Langsung berdiri dan menuntun perempuan berumur enam puluh lima tahun tersebut untuk duduk. "Emak kenapa tidak istirahat saja. Pasti capek karena tadi bantuin Suci bikin nagasari dan lemet.""Capek apanya. Orang Emak cuma duduk sambil bungkusin saja."Satu minggu yang lalu Emak mertua baru pulang dari rumah sakit. Beliau opname tiga hari karena jantungnya kambuh."Ci … itu nasi kotaknya kok belum dikumpulin? Bukannya tadi kamu sudah ke rumah Bu Kadus, ya," tanya emak sambil menatap tumpukan kardus putih di sebelahku.Bagaimana ini? Tidak mungkin aku jujur sama Emak. Nanti yang ada beliau kaget. Takutnya jantungnya kambuh. Apalagi dokter sudah mewanti-wanti agar Emak tidak banyak pikiran."O-oh itu. Ternyata nasi kotaknya dikumpulin langsung ke dusun sebelah, Mak. Suci salah dengar pas pengumuman di PKK kemarin. Kalau begitu Suci anterin nasinya dulu, ya, Mak. Emak masuk ke dalam saja. Istirahat."Gegas aku membawa pergi nasi tersebut karena tidak ingin Emak mertua curiga.Saat melewati jalan dusun, aku bertemu beberapa ibu-ibu. Mereka terlihat saling berbisik satu sama lain sambil menatapku."Nasi yang dishare tadi ternyata punya kamu to, Ci. Pantas saja kalau disuruh ambil lagi. Masa' bikin nasi kotak kok isinya cuma kaya' gitu," ucap salah satu dari mereka.Ternyata cepat sekali berita ini tersebar."Terus, nasi itu mau dibawa ke mana? Dibuang, ya? At-au jangan-jangan mau kamu antar sendiri ke dusun sebelah. Aduh, mendingan jangan, Ci. Nama dusun kita bisa tercoreng," sambungnya lagi sebelum sepatah katapun terucap dari bibirku."Iya, Bu. Nasi ini mau saya bawa ke dusun sebelah," jawabku sengaja membuat mereka agar lebih heboh dan laporan pada ibu-ibu lainnya.Apa sebegitu tidak layaknya nasi kotak buatanku. Sampai-sampai mereka merendahkan.Melanjutkan kembali langkahku, meninggalkan mereka.-"Mbah, ini ada sedikit rezeki." Memberikan dua nasi kotak pada seorang nenek yang tengah memilah sampah di pinggir jalan."Alhamdulillah, terima kasih, Nak." Beliau menerima dengan sangat senang. Terlihat dari senyumnya yang mengembang."Tapi maaf, Mbah. Isinya hanya ala kadarnya.""Semoga Allah melimpahkan rizki dan rezeki pada kamu dan keluarga."Seketika rasa sakit hati atas ucapan orang-orang dusun tadi terobati oleh jawaban beliau.Aku memberikan lagi nasi kotak lainnya pada orang-orang yang memang mau menerima.Nasi kotak yang tadi dijadikan bahan hinaan, Alhamdulillah habis tidak tersisa.-"Dila ikut ke pengajian, ya, Bu," rengek bocah berumur enam tahun yang baru pulang dari bermain. Dia sangat antusias karena sejak kecil memang sering diajak ke acara pengajian oleh simbahnya."Ibu tidak ikut pengajian, Nak.""Ya … Ibu. Semua teman-teman Dila pada ikut.""Besok saja kalau ada acara pengajian lagi.""Ci, kamu ajak saja Dila ke pengajian. Lagian tidak jauh juga." Emak mertua yang mendengar rengekan Dila akhirnya bicara."Tapi, Mak. Suci mau beres-beres rumah biar bersih. Emak 'kan harus tinggal di tempat yang sehat."Bukannya tidak ingin datang ke acara pengajian. Tetapi aku tidak mau ada omongan menyakitkan lagi."Bu … ayo kita ke pengajian.""Dila. Kalau Ibu bilang tidak, ya, tidak." Sedikit meninggikan suara.Seketika Dila pun diam sambil menundukkan kepala."Kamu sedang banyak pikiran, ya, Ci? Tidak biasanya marah-marah. Maafin Emak karena selalu merepotkan. Pasti kamu kecapekan mengurus Emak.Astaghfirullah, tidak seharusnya aku bersikap kasar pada anakku. Dia hanya ingin ke pengajian. Apa salahnya."Sekarang Dila bersih-bersih, terus ganti baju. Kita berangkat," terangku.Bocah berkepang dua itu mengangguk dan langsung lari ke belakang."Kalau ada masalah, cerita! Jangan dipendam sendiri.""Tidak ada masalah apa-apa, Mak. Sebenarnya cuma mau ngajari anak biar tidak sedikit-sedikit merengek. Emak jangan salah paham, ya. Suci minta maaf.""Merengek ngajakin ke pengajian 'kan bagus, Ci. Mendapat pahala, menambah ilmu agama, bisa silaturahim juga."Harusnya memang seperti itu, Mak. Tapi sayangnya, acara pengajian malah dijadikan ajang pamer dan ghibah oleh sebagian orang yang ingin terlihat wah tanpa mempedulikan kemampuan orang lain. Contohnya seperti yang kita alami saat ini. Mereka menolak nasi kotak buatan kita, menjawab dalam hati.-Sudah kuduga, pasti akan ada pemandangan tidak mengenakkan. Baru saja sampai di tempat pengajian, orang-orang yang masih satu dusun denganku menatap aneh."Astaga, bisa-bisanya datang. Tidak tahu malu banget.""Iya, ya. Disuruh bikin nasi kotak saja menunya ngawur. Eh … sekarang pengen makan enak."Kali ini ucapan tersebut bukan keluar dari mulut pedas Bu Evi, Bu Yati maupun Bu Atik dan gengnya. Melainkan dari ibu-ibu lain.Aku pun mengajak Dila duduk tanpa mempedulikan ucapan mereka. Niat kami ke sini memang untuk mengikuti pengajian. Soal nyinyiran orang-orang, lebih baik masuk telinga kanan keluar telinga kiri.Selama pengajian berlangsung, aku mendengarkan ceramah Ustadz dengan seksama.Di tengah-tengah acara, terlihat beberapa pria mengenakan kemeja senada membawa nampan besar berisi minum dan juga snack.Sebelum mereka sampai di tempat kami duduk, aku segera mengeluarkan botol minum berisi teh hangat serta snack yang kubawa dari rumah. Dan juga nasi kotak."Terima kasih, tapi saya sudah membawa sendiri," tolak'ku saat minuman dan snack tersebut bergilir dari tangan satu ke tangan lain hingga akhirnya sampai di tempat kami duduk."Halah, gayanya itu lho. Sok nolak. Padahal aslinya ngiler dapat snack enak. Memangnya punya dia. Dikasih saja ogah."Berhadapan sama orang-orang yang memiliki penyakit hati memang susah. Selalu saja salah."Bu, enak." Dila menunjukkan nagasari buatan simbahnya."Alhamdulillah, dihabisin, ya. Jangan suka membuang makanan. Apalagi membandingkan. Tidak baik."Sekelompok tukang nyinyir saling senggol dengan sesekali menoleh ke belakang melirik sinis.BersambungNASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Duduk di ruang tamu dengan kaki selonjor. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan pelan. Hari ini kesabaranku benar-benar sedang diuji. "Assalamu'alaikum." Terdengar suara Mas Ihsan yang baru pulang. "Wa'alaikumsalam." Segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri pria berpostur tinggi dengan kulit sawo matang tersebut. Aku mencium punggung tangannya. Sesaat Mas Ihsan menatapku lalu membuka topi dan mengambil handuk yang melingkar di leher."Aku ambilin minum dulu.""Tidak usah. Mas sudah minum," jawabnya sambil menjatuhkan bobot di kursi. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan meletakkan di atas meja."Mas … aku pinjam ponselnya, ya?" Mengadahkan tangan di depan suami. Dia pun langsung memberikan padaku. Sebenarnya tidak ingin melihat group lagi, tapi aku penasaran. Dan ternyata banyak sekali chat baru yang masuk. Tadi pagi saat membuka lewat ponsel milik Bu Atik baru seratusan lebih. Sekarang hampir delapan ratusan chat.Membaca
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah drama nasi kotak, aku merasa seperti di'asingkan. Sebagian warga dusun menjauhiku. Terutama yang dekat dengan Bu Evi. Bu Evi memang sangat diistimewakan. Pun dengan suaminya. Mungkin karena mereka orang berada. Bahkan bisa dibilang salah satu orang terkaya di daerahku. Suaminya memiliki pabrik tahu, pabrik bakmi dan juga rental mobil. Pekerjanya lumayan banyak, terutama bapak-bapak dusun sini. Bu Evi dan suaminya sering memberi sumbangan untuk dusun dan diumumkan sendiri saat ada acara.Dulu Mas Ihsan sempat kerja di sana beberapa bulan, tapi akhirnya memilih berhenti karena suatu hal. Pak Marno–suaminya Bu Evi marah besar saat Mas Ihsan tidak masuk kerja selama dua hari. Padahal waktu itu dia sedang sakit.—----------"Eh, Suci. Kebetulan kamu di luar," ucap Bu Yati. Aku yang sedang menyapu halaman langsung berhenti. "Ada apa, Bu?" "Emm … sebentar." Bu Yati terlihat memilah sesuatu di tangannya. "Ups, lupa. Anak kamu 'kan tidak dapat
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kok belum tidur, Dek?" "Aku tidak bisa tidur, Mas. Semakin hari perlakuan mereka pada keluarga kita sangat keterlaluan.""Maksud kamu, Bu Evi dan–.""Siapa lagi," memotong ucapan Mas Ihsan. "Kemarin nasi kotak buatanku jadi bahan bully'an. Tadi karena mug, Dila dijewer sampai telinganya merah. Belum lagi ucapan pedas yang membuat hati panas. Rasanya kesabaran ini habis. Aku pikir hidup di dusun tidak akan bertemu dengan orang-orang seperti keluargaku. Ternyata sama saja.""Apa kamu menyesal menikah dengan Mas?" "Aku tidak pernah menyesal menikah dan menjadi Ibu dari anak kamu. Aku justru bersyukur bisa memiliki suami dan mertua yang baik.""Tapi hidupmu jadi serba kekurangan. Sampai-sampai dihina oleh warga dusun sini. Padahal kamu anak orang berada."Aku tidak pernah menganggap terlahir dari keluarga kaya. Karena bagiku sama saja dengan lainnya. Ya … ayahku memang pemilik salah satu hotel bintang empat. Dia juga memiliki beberapa restaurant y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Maaf, Mak. Suci belanjanya lama. Terpaksa jalan kaki ke dusun sebelah beli beras sama gulanya," jelasku setelah mengucap salam.Emak terlihat aneh, beliau hanya diam tanpa menjawab ucapanku. Padahal biasanya, apapun yang aku katakan langsung ditanggapi. "Emak marah karena kelamaan nunggu Suci, ya? Ini minum buat siapa, Mak?" tanyaku ketika Emak membawa nampan yang atasnya ada segelas air putih."Ternyata menyedihkan sekali hidup kamu." Seketika pandanganku beralih pada sosok perempuan yang baru saja masuk dari belakang. Kaget bukan kepalang ketika melihat perempuan yang telah merebut Ayah dariku tiba-tiba ada di sini. Entah dari mana dia tahu keberadaanku. "Ngapain anda ke sini?" "Duh, sopan sekali. Orang tua datang bukannya disambut dengan cium tangan. Malah ketus begitu."Tersenyum getir. "Orang tua? Orang tua saya hanya Bunda Ratri yang sudah tiada. Dan kini Emak mertua adalah orang tua pengganti Bunda Ratri.""Mama ke sini bukan ngajakin
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Ini, Pak." Setelah membayar taksi, aku pun langsung turun. Berdiri di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Menatap rumah tiga tingkat dengan perpaduan cat dua warna ivory turquoise dan putih. Kedua warna tersebut adalah pilihanku dan Almarhum Bunda Ratri. Ternyata Ayah belum mengganti warna tersebutSetidaknya ada sedikit rasa bahagia ketika menginjakkan kaki ke rumah ini lagi setelah delapan tahun lamanya. "Cari siapa, Mbak?" tanya seorang pria mengenakan pakaian satpam. Sepertinya dia orang baru. Lantas Pak Imron ke mana? "Tolong buka gerbangnya!" "Mbak mau nyari siapa dulu. Di rumah ini tidak sembarangan orang bisa masuk.""Saya ingin bertemu Bapak Rudi Prayogo.""Maaf, ada keperluan apa? Bapak tidak bisa diganggu. Beliau sedang kurang sehat."Apa? Ayah sakit? Apa ini alasan Mama Ane datang menemuiku kemarin? Perempuan lic*k."Tolong buka sekarang. Kalau tidak saya akan teriak dan membuat pemilik rumah ini terganggu."Satpam tersebut
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Pulang ke mana? Ini 'kan rumah kamu," jawab ayah ketika aku berpamitan. Sebenarnya masih ingin berlama-lama di sini, tapi kasihan Mas Ihsan, Dila dan juga Emak. "Sekarang Suci 'kan sudah punya suami, Yah. Jadi, ya, mesti ikut ke manapun dia tinggal." Ayah begitu sedih. Membuatku merasa berat meninggalkan beliau. "Ini buat kamu." Ayah memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru. "Suci sudah punya, Yah. Dipakai berdua sama Mas Ihsan.""Jangan bikin Ayah sedih dengan menolaknya." Ayah memberikan lagi sebuah amplop cokelat ke tanganku. "Cash seratus juta cukup 'kan buat saku perjalanan? Sisanya Ayah transfer."Mengembalikan kembali amplop tersebut. "Kenapa? Ihsan melarangmu?"Mas Ihsan memang pernah bilang, kalau aku tidak boleh merepotkan orang tua. Dia akan berusaha semampunya untuk mencukupi semua kebutuhanku. Dan semua memang dibuktikan. Sedikit banyak hasil menarik angkutan selalu diberikan padaku. "Ayah tahu dia pria bertanggung jawab. Di
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa, Pak?" tanyaku saat Pak Wan malah diam ketika memintanya ikut turun. "Mbak Suci beneran tinggal di rumah ini?"Aku mengangguk."Saya salut sama Mbak Suci. Anak orang berada, tapi bisa hidup sederhana. Padahal dari kecil Mbak Suci terbiasa hidup berkecukupan."Sebenarnya untuk hidup sederhana aku tidak begitu kaget. Karena dalam bergaul pun tidak pernah memilah teman hanya karena materi. Almarhumah Bunda Ratri juga tidak pernah menunjukkan kemewahan yang beliau miliki. Padahal beliau juga terlahir dari orang berada. Kekayaan yang dimiliki orang tuaku bukan dari mengandalkan warisan. Mereka bekerja keras untuk mencapai keberhasilan saat ini.Sebenarnya sifat Ayah pun hampir sama dengan Almarhumah Bunda Ratri. Hanya saja setelah menikah dengan perempuan yang salah, sekarang beliau terlalu mempermasalahkan soal materi.Orang tuaku memiliki tiga rumah mewah, salah satunya yang ditempati Ayah saat ini dan menjadi rumah utama. Serta Villa kelua
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah pulang mengantar Dila, aku melihat di rumah Bu Atik banyak ibu-ibu sedang kumpul. Tidak berapa lama mereka keluar dari pintu gerbang dan melihat ke arahku yang baru saja memakirkan mobil. Membuka pintu belakang dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan. Tadi habis dari sekolah Dila, aku mampir ke mini market membeli segala kebutuhan pokok rumah dan juga jajan Dila."Ci, belanjanya banyak banget." Emak keluar dan membantuku. "Kebutuhan pokok, Mak. Mumpung ada rezeki.""Mampir, ibu-ibu," ucap emak ketika melihat ibu-ibu tersebut semakin mendekat ke rumah kami. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. "E-eh Emak. Mau ada acara, Mak? Kok belanja banyak," tanya salah satu dari mereka."Tidak ada. Emak saja kaget Suci belanja banyak begini.""Suci kok tiba-tiba banyak duit, ya. Padahal baru sehari jadi pembantu. Aneh," celetuk lainnya."Iya, aneh. Kerja satu bulan saja paling gaji pembantu berapa." Disusul ucapan demi ucapan y