Share

Nasi Kotak
Nasi Kotak
Penulis: Emylia Arkana Putra

Bab 1

NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP

"Eh, Ci. Kamu sudah buka group dusun, belum?" tanya Bu Atik–tetangga samping rumah yang tiba-tiba datang. Tidak biasanya dia mau main ke tempatku.

"Belum, Bu," jawabku sambil menggelengkan kepala.

"Mending cepetan buka, deh. Ada berita heboh," terangnya.

"Maaf, tapi ponsel saya dibawa Mas Ihsan. Maklum satu untuk berdua."

"Astaga, hari gini cuma punya satu ponsel. Ya sudah, aku kasih lihat lewat ponselku saja." Bu Atik memberikan ponselnya. "Hati-hati. Itu baru beli tiga hari yang lalu. Harganya mahal, lima jutaan."

Tidak ingin berlama-lama, aku pun segera membuka group dusun.

[Ibu-ibu, ini nasi kotak buatan siapa, ya? Sangat memalukan dusun kita. Mending diambil lagi di tempat Bu Kadus.] Disertai foto nasi kotak.

Chat tersebut dikirim oleh Bu Evi. Dia mengirim sebuah foto nasi kotak yang tak asing buatku. Nasi kotak tersebut adalah nasi yang baru selesai ku'buat setengah jam lalu dan dikumpulkan di rumah Bu Kadus.

Banyak sekali komentar menyakitkan dari anggota lain yang membuatku lebih memilih untuk tidak meneruskan membaca.

"Ini, Bu." Aku mengembalikan ponsel pada Bu Atik.

"Sudah?"

Hanya menjawab dengan anggukan.

"Keterlaluan, ya. Bikin nasi kotak kok isinya cuma kaya' gitu. Bisa-bisa dusun kita jadi bahan omongan kalau sampai ada orang luar yang tahu," ucap Bu Atik.

Ya … nasi kotak buatanku memang isinya hanya nasi dengan irisan telur dadar dan oseng tempe. Snack'nya juga hanya kue nagasari sama lemet buatan emak mertua. Tidak mewah seperti yang telah disepakati oleh beberapa ibu-ibu saat acara PKK kemarin.

Satu bulan sekali di daerah kami selalu menggilir pengajian antar dusun. Dan dusun yang tidak ketempatan pengajian mendapat jatah membuat nasi kotak plus snack.

"Menurut saya lebih keterlaluan lagi yang tega men'share foto tersebut ke group. Permisi, saya mau ke rumah Bu Kadus."

"Ci, tunggu!" Bu Atik mengikuti langkahku yang berjalan buru-buru. "Jangan bilang nasi kotak itu buatanmu, Ci," tanya'nya dengan napas terdengar ngos-ngosan.

Aku diam tanpa memperdulikan pertanyaan dari Bu Atik.

Hati ini rasanya begitu sakit. Apalagi uang yang seharusnya untuk kontrol emak mertua, aku ambil setengahnya agar bisa membuat sepuluh nasi kotak plus snack. Tapi justru hinaan yang aku dapat dari orang-orang yang menganggap diri mereka kaum sosialita.

"Assalamu'alaikum," ucapku ketika sudah sampai di rumah Bu Kadus. Di sana banyak ibu-ibu yang ditunjuk untuk mengurus nasi kotak sebelum diantar ke dusun sebelah.

"Wa'alaikumsalam, Mbak Suci," jawab Bu Kadus ramah. Beliau memang Kadus yang baik, hanya saja kurang tegas dalam menghadapi warganya yang suka nyinyir dan suka membeda-bedakan dari segi materi.

"Bu, saya mau mengambil nasi kotak yang tadi dishare di group," terangku membuat semua pandangan mengarah padaku tanpa berkedip. Pun dengan Bu Atik yang berdiri di sebelah.

"Oh … jadi nasi itu buatan kamu, Ci. Duh duh duh, kemarin 'kan sudah dibilangin agar bikin nasi kotak dan snack dengan menu mewah. Biar nama dusun kita mentereng di mata dusun lain," sahut Bu Evi. Dia yang tadi duduk sambil mengecek setiap kotak nasi, langsung berdiri.

"Bukannya yang penting itu ikhlas, ya, Bu. Lagipula tujuan diadakan pengajian bukan ajang untuk saling pamer 'kan."

Bu Evi langsung melengos, membuang muka setelah mendengar jawabanku.

"Tapi ya tetep saja menu nasi kotak kamu itu memalukan. Setidaknya kasih ayam lah, perkedel daging lah. Terus sayurnya yang pantes dikit," sambung Bu Yati sambil membenarkan posisi gelang keroncongnya.

"Memalukan? Mungkin hanya untuk orang-orang sombong seperti kalian saja, menyebut nasi kotak buatan saya memalukan. Tidak semua orang bisa membuat menu nasi kotak seperti milik kalian. Apa iya, kami mesti hutang demi mendapat pujian?"

Selama ini sebagai warga aku memilih mencari aman. Tidak mau ikut campur urusan orang, apalagi ikut kumpul-kumpul yang tidak penting dan ujung-ujungnya ghibah. Keluar rumah hanya seperlunya, seperti belanja, mengantar anak sekolah dan guyup rukun.

Tetapi kali ini mereka sudah sangat keterlaluan. Apalagi Bu Evi yang sampai hati men'share menu nasi kotak'ku di group.

"Ya sudah, cepet ambil nasi kotak kamu. Bawa pulang sana!" lanjut Bu Yati.

Aku pun segera mengambil sepuluh nasi kotak yang tutupnya terbuka dan disendirikan di pojok.

"Mbak Suci, tidak usah diambil lagi. Tidak apa-apa. Lagipula tidak ada menu tertentu kok. Sudah mau bikin saja Alhamdulillah," terang Bu Kadus.

"Aduh, Bu. Jangan karena membela satu orang, lantas Bu Kadus mengabaikan warga lain yang sudah mau bikin nasi kotak dengan menu mewah. Kami seperti ini juga untuk nama baik dusun kita. Iya 'kan ibu-ibu." Lagi-lagi mulut pedas Bu Evi membuat telinga ini panas.

"Iya, betul," jawab ibu-ibu lain bersamaan. Termasuk Bu Atik.

Segera menutup nasi kotak milikku lalu mengikat kembali seperti semula dan membawa pulang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status