Share

Bab 7

Author: Dee
last update Last Updated: 2024-06-23 12:31:13

Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya.

“Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog.

“Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai.

Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas.

“Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya.

Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo.

Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu yang membuat keributan hingga tidurnya terganggu.

***

Bimo duduk di warteg langganannya, tidak jauh dari balai desa. Di antara jari tengah dan jari telunjuk Bimo terselip sebatang rokok di mana ujungnya telah dibakar. Dia mendekatkan benda itu pada mulut, menghisap, kemudian mengeluarkan asapnya dari mulut dan juga hidung. Kemudian menyesap kopi yang berada di hadapannya. Bimo memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya. Semakin hari para preman itu semakin brutal. Ia tidak bisa bebas ke mana-mana karena selalu diintai oleh para penagih hutang itu.

Bimo tidak mau sampai orang tuanya tahu kalau ia terlibat banyak hutang, belum lagi Ratna yang selalu banyak permintaan. Perawatan, shopping, arisan, dan lainnya. Padahal uang ayah Bimo lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan ibunya. Namun wanita yang telah melahirkannya itu lebih gemar meminta uang kepada sang anak dengan dalih balas budi karena sudah mengandung, melahirkan, serta membesarkannya.

Dari kejauhan, Bimo melihat pria dengan seragam cokelat berjalan ke arahnya. Otaknya langsung menemukan ide. Bimo melambaikan tangan kepada pria itu, kemudian memberi dengan menepuk bangku kosong di sebelahnya, kode agar si pria duduk di sebelahnya.

Pria dengan perut buncit itu pun duduk di sebelah Bimo dan mengisyaratkan kepada pemilik warung agar menyiapkan makan untuknya.

“Makin ganteng aja Pak Kades ini, setiap hari kelihatannya makin muda,” puji Bimo seperti penjilat.

Sedikit berdehem, pria yang merupakan kepala desa itu tersenyum bangga mendengar gombalan Bimo. Wajahnya tampak semakin sombong atas pujian yang dilontarkan.

“Bisnis kemarin lancar, Pak?” basa-basi Bimo sebelum melakukan serangan. Pak Kades hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya.

Bimo menggeser kursinya agar lebih mendekat lagi ke kursi Pak Kades. “Ehm ..., begini, Pak, sebenarnya saya gak enak mau bilangnya, tapi gimana, ya, saya lagi butuh uang. Mertua saya lagi sakit, harus operasi secepatnya. Jadi, saya mau menggadaikan rumah saya ke Bapak. Itu, sih, kalau Bapak mau menolong saya,” ujar Bimo dengan wajah memelas dan sedih.

“Kenapa gak minta sama Pak Hermawan aja? Papamu pasti dengan mudah mengeluarkan uang,” tutur Pak Kades sambil menerima sepiring nasi rames lengkap dengan lauknya yang baru saja diantarkan.

“Bapak, kan, tau sendiri kalau Mama tidak menyukai Laila dan keluarganya. Bisa marah dia kalau tau aku meminjam uang untuk operasai ibu. Ayolah, Pak, bantu aku. Aku akan merasa bersalah jika tidak bisa menjadi menantu yang bermanfaat. Masa aku tega melihat orang tua istri dalam keadaan sakit dan harus dioperasi aku hanya diam saja.” Bimo memasang wajah menyedihkan untuk meyakin Pak Kades yang juga seorang rentenir.

Sambil menyendokkan nasi ke mulutnya Pak Kades bertanya, “Kamu butuh berapa?”

“250 juta, Pak,” jawab Bimo cepat.

“Balik 300 juta dalam 2 bulan. Kalau mau antarkan sertifikatnya ke rumah siang ini.”

Seperti mendapat durian runtuh, Bimo langsung menyanggupinya. Urusan bagaimana nanti ia melunasinya belakangan, yang terpenting saat ini ia dapat terbebas dari preman-preman itu. Namun tanpa ia sadari, dari jauh ada yang memperhatikannya.

Bimo bergegas pamit dari sana dan meminta izin pulang untuk mengambil sertifikat rumah milik Laila. Pak Kades hanya mengangguk tanda setuju. Secepat kilat ia menunggangi kuda besi milik Laila untuk segera pulang ke rumah. Dalam benaknya sangat berbunga-bunga, kesempatan baik karena Laila masih berada di stasiun saat ini. Bimo merasa lebih leluasa untuk mengambil sertifikat rumah itu.

Sesampainya di rumah, Bimo langsung menuju kamar dan membuka lemari pakaian. Ia tahu persis di mana istrinya menyimpan surat berharga itu. Laci bawah, tepat bagian tengah lemari. Diliriknya jam yang melingkar ditangan kiri, sudah pukul 12.55, sebentar lagi Laila pulang, cepat ia mengambi benda itu, kemudian penyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja. Sebelum pergi, ia menghubungi Pak Kades, menanyakan di mana mereka akan bertemu.

“Baik, Pak, saya ke sana sekarang.” Bimo menyalakan motor dan melesat cepat ke tempat yang telah disepakati.

Hampir 40 menit membelah jalanan, laki-laki yang mengenakan jaket biru itu masuk ke dalam sebuah kafe tidak jauh dari balai desa. Di sana, sudah ada Pak Kades yang menunggu dengan segelas jus jeruk dan sepiring pisang goreng di hadapannya. Bimo duduk di kursi yang berada di depan pria itu. Tanpa basa basi, Bimo langsung menyodorkan map berwarna hijau dengan lambang garuda itu kepada pria di hadapannya.

“Sesuai kesepakatan tadi, 250 juta kembali 300 juta dalam waktu 2 bulan,” terang Pak Kades. “Jika dalam waktu 2 bulan tidak ada tebusan, maka rumah itu jadi milikku.”

“Baik, Pak.”

Pak Kades mengambil ponsel yang tergeletak di meja, mengutak-atik benda itu, lalu kemudian menunjukkan bukti transfer kepada Bimo.

“Sudah aku transfer ke rekeningmu.”

“Terima kasih banyak, Pak.” Bimo meraih tangan Pak Kades dan menyalaminya.

Bimo lega, masalah hutangnya untuk sementara bisa diatasi. Selanjutnya ia akan mencari alasan yang tepat agar Laila tidak murkah.

Keluar dari kafe tersebut, Bimo langsung menghubungi para preman yang mengincarnya. Hari itu juga ia harus menyelesaikan semua agar Ratna tidak curiga lagi kepadanya.

***

Malam itu, di meja makan, wajah Bimo tampak semringah. Ia seperti burung yang baru saja bebas dari sarang. Menikmati hidangan telur ceplok, sayur bening, dan oseng tempe tanpa protes. Biasanya, setiap kali Laila memasakkan masakan sederhana, ia akan protes dan marah lalu keluar sambil membanting pintu. Namun kali ini ia sangat menikmati lauk yang di sajikan istrinya.

Laila hanya menatap suaminya heran, tidak biasanya laki-laki yang duduk di hadapannya itu makan dengan lahap dan terlihat sangan bahagia. Namun ia tidak begitu peduli, setidaknya hari ini tidak ada pertengkaran di antara mereka.

Namun sepasang suami istri itu terkejut karena gedoran pintu yang sangat keras. Siapa yang tidak sopan bertamu ke rumah orang dengan menggedor begitu kencang. Cepat Laila berjalan menuju pintu. Laila terkejut saat membuka pintu dan orang di hadapannya langsung menyerobot masuk.

“Andara!” Pekik Laila.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 70

    Di pintu keberangkatan internasional, Aminah, Rossa, dan Andara mengantar kepergian Laila dan Gio yang akan terbang ke Turki."Jaga diri baik-baik di sana, ya!" seru Aminah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Bu. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja," balas Laila, tersenyum lembut.Sementara itu, Naya yang berada dalam pelukan Gio tak kalah antusias melambaikan tangan. Wajah gadis kecil itu berseri-seri, matanya berbinar penuh kegembiraan."Bunda, kita liburan ke luar negeri lagi, ya?" tanya Naya penuh semangat.Laila mengangguk, mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Sayang. Ini perjalanan spesial buat kita.""Bro, jangan lupa pulang bawa jagoan buat temen gue gelut," bisik Andara sambil tertawa."Tenang, gue udah bawa jamu yang banyak," balas Gio santai. "Oh iya, nanti aku bawain sesuatu yang spesial buat pernikahan kalian," lanjutnya, melirik Rossa yang tersenyum malu.Setelah berbicara sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam area pemeriksaan. Aminah, Rossa, dan Andara melambaikan

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 69

    Jhon membungkukkan tubuh saat memasuki ruang makan, di mana Gio dan Laila sedang menikmati sarapan mereka."Semua dokumen sudah siap, Tuan. Hari ini isbat pernikahan Tuan dan Nyonya akan dilakukan di Pengadilan Agama," lapor Jhon dengan sopan.Gio meletakkan sendoknya, lalu menatap Laila sambil menyentuh tangannya. "Sayang, hari ini kita akan meresmikan pernikahan kita. Kamu siap?"Senyum dan binar bahagia terpancar dari wajah Laila. Ia mengangguk mantap."Kabari Ibu dan Andara, kita akan menjemput mereka," lanjut Gio."Baik, Mas."Di ruang sidang Pengadilan Agama, Gio dan Laila duduk berdampingan. Pengacara Gio sudah menyiapkan semua dokumen agar proses berjalan lancar.Setelah mendengar kesaksian mereka, hakim akhirnya mengetuk palu."Dengan ini, pernikahan saudara Gio dan Laila dinyatakan sah secara hukum negara. Buku nikah akan segera diterbitkan."Laila menghela napas lega. Tangannya digenggam erat oleh Gio, seolah meyakinkan bahwa semua ini nyata. Kini mereka telah sah, bukan ha

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 68

    Laila menatap Gio dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia kini mengerti betapa berat beban yang selama ini dipikul oleh suaminya. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Pasti berat banget kamu bertahan selama ini, ya, Mas? Maaf ... aku sudah marah-marah sama kamu dan gak ngerti perasaan kamu."Gio tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya untuk membelai pipi Laila dengan lembut. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Aku paham, kamu hanya ingin kejujuran dan kepastian. Aku yang salah karena menutupi semuanya darimu," ucapnya lirih.Air mata Laila jatuh tanpa bisa ia tahan. Dengan perlahan, ia melingkarkan tangannya di leher Gio, memeluknya erat seakan ingin menyalurkan seluruh perasaannya. "Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Mas. Aku ingin jadi bagian dari hidupmu, sepenuhnya," bisiknya.Gio membalas pelukan itu lebih erat, membenamkan wajahnya di bahu Laila, menghirup aroma tubuhnya yang selalu membawa ketenangan. "Selama ada kamu di sampingku, semuanya akan baik-baik saja," ucapny

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   67

    Malam itu, Gio duduk di teras rumah sederhana, menatap langit yang bertabur bintang. Udara segar dari pepohonan di sekitar terasa menyejukkan, diiringi suara jangkrik yang bersahutan. Begitu berbeda dengan suasana rumahnya di kawasan elit. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas berat. Pikirannya dipenuhi semua perkataan Laila. Baru menikah, tapi ia sudah menghadapi ujian besar.Rasa bersalah dan penyesalan menggelayut dalam hatinya. Rahasia yang selama ini ia simpan kini menjadi bumerang dalam rumah tangganya. Ia ingin jujur, tapi di saat yang sama, ia belum siap. Bagaimana jika setelah ia mengungkapkan segalanya, Laila justru semakin membencinya dan benar-benar pergi? Bayangan itu terus menghantuinya.Tiba-tiba, kursi di sebelahnya bergeser. Rossa menariknya dan duduk, menghela napas panjang sebelum berbicara."Capek, ya, Mas?" sapanya mencoba mencairkan suasana.Gio membuka matanya yang sempat terpejam, menoleh ke arah Rossa. "Sedikit," jawabnya singkat."Sampai kapan lu

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 66

    Gio menangkap bayangan di balik pintu. Seketika matanya menyipit, lalu memberikan isyarat kepada Jhon untuk menghentikan pembicaraan.Ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu.Di luar, Laila tersentak saat melihat suaminya bergerak ke arahnya. Panik, ia segera membalikkan badan, berusaha pergi sebelum ketahuan. Namun, ia kalah cepat. Sebelum sempat melangkah lebih jauh, tangan Gio mencengkeram pergelangannya dengan kuat."Laila," suara Gio terdengar dalam dan berat.Laila menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. Perlahan, ia berbalik, menatap suaminya yang berdiri tegak di depannya."Sejak kapan kamu di sana?" suara Gio terdengar tajam, mencurigai.Sekilas, rasa takut menyelimuti Laila, tetapi ia segera menguasai dirinya. Dengan cepat, ia menepis tangan suaminya, menatapnya penuh selidik."Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?" suaranya bergetar, tetapi nadanya penuh penuntutan.Mata Gio tetap mengunci pandangan istrinya. "Kamu mendengar semuanya?""Jawab aku, Mas!" Laila se

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 65

    Sudah lebih dari seminggu Laila dan Naya berada di Italia bersama Gio. Selama di sana, mereka tidak hanya menikmati keindahan Verona, tetapi juga menjelajahi berbagai kota dengan pesona yang memukau—Venezia dengan kanal-kanalnya yang romantis, Florence yang penuh seni, hingga pesona pedesaan di Tuscany yang begitu tenang. Bagi Naya, perjalanan ini terasa seperti dongeng. Bocah itu selalu ceria, berlarian di antara bangunan bersejarah, menikmati gelato di bawah sinar matahari sore, dan tertawa lepas saat melihat burung merpati beterbangan di Piazza San Marco. Sementara itu, Laila menyimpan perasaan campur aduk. Ada kebahagiaan saat melihat Naya begitu senang, tetapi juga ada kepedihan di sudut hatinya. Hidup yang tenang seperti ini terasa asing baginya, berbeda jauh dari kenyataan yang selama ini ia jalani. Namun, ia tetap menjaga kebahagiaan di depan Naya. Sesekali ia membagikan momen-momen itu di media sosial, memperlihatkan senyum tulus Naya yang bercahaya dalam setiap foto. Namun

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 64

    Gio duduk di kursinya, menatap Jhon yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius.“Bagaimana dengan Sintya?” tanyanya datar.Jhon menunduk sedikit sebelum menjawab, “Sesuai perintah, kami memperlakukannya dengan baik. Anda ingin bertemu dengannya, Tuan?”Gio mengangguk tanpa ragu. Jhon pun memberi isyarat agar ia mengikutinya.Saat mereka keluar dari ruang kerja, tanpa sengaja Laila melihat keduanya berjalan melewati ruang tengah, tetapi bukannya masuk, mereka berbelok ke arah lain. Laila mengernyit, memperhatikan langkah mereka yang berhenti di depan sebuah dinding kayu. Namun, bukan sekadar dinding biasa—ada sesuatu yang tersembunyi di sana.Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat Jhon menarik sebuah pajangan di rak, dan tiba-tiba, sebuah pintu tersembunyi terbuka.Laila menahan napas. Tangannya refleks menutup mulutnya agar tidak bersuara. Ketika Gio dan Jhon menghilang di balik pintu itu, ia mendekat perlahan. Tangannya meraba pajangan yang tadi disentuh Jhon, dan dengan

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 63

    "Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanya Laila penuh curiga. Gio terdiam. Otaknya berputar cepat, mencari alasan yang tepat agar Laila tidak semakin curiga. "Aku melihat semuanya, Mas." Laila menatap tajam. "Aku melihat Mas dan Jhon keluar rumah bersama beberapa pengawal. Apa yang sebenarnya Mas lakukan? Kenapa baju Mas penuh darah? Siapa Mas sebenarnya?" Gio menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Sayang, dengarkan Mas dulu." Ia mencoba merangkul Laila, tetapi wanita itu menghindar. "Jelaskan, Mas!" "Semalam Mas ada panggilan mendadak. Salah satu karyawan mengalami kecelakaan, jadi Mas harus segera ke Turin." Laila menatapnya tajam, mencoba menangkap kebohongan jika ada. "Kamu gak bohong, 'kan, Mas?" "Tentu, Sayang." "Lalu, darah ini dari mana?" "Mas menolong mereka yang kecelakaan dan harus membawa mereka ke rumah sakit. Maaf Mas gak bilang, Mas takut ganggu tidur kamu." Gio akhirnya berhasil meraih Laila dalam pelukannya. Perempuan itu tidak

  • Nelangsanya Jadi Istrimu, Mas!   Bab 62

    "Kalian istirahat aja duluan, Mas masih ada pekerjaan," ujar Gio.Laila, yang sedang menemani Naya di tempat tidur, hanya terdiam. Tadinya ia berpikir malam ini akan menjadi malam pertama yang istimewa bagi mereka, tetapi lagi-lagi Gio tampak tidak peduli. Bukannya bersama istrinya, pria itu justru memilih keluar tanpa banyak bicara.Laila hendak bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Ia takut hal itu hanya akan membuat Gio semakin menjauh. Akhirnya, ia memilih diam dan membiarkan suaminya pergi.Laila menghela napas saat pintu tertutup. Ia menatap wajah putrinya yang mulai terpejam, lalu membelai kepalanya dengan lembut. "Selamat tidur, Sayang," bisiknya pelan.***Di bagian lain vila, yang tersembunyi di balik perpustakaan, Gio dan Jhon berkumpul di ruang taktis yang telah lama ia siapkan. Ruangan itu minim cahaya, hanya diterangi lampu meja dan layar monitor besar yang menampilkan peta elektronik. Beberapa senjata tersusun rapi di rak besi di sudut ruangan, bersama peralatan komunika

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status