Share

Bab 6

 

Wira gelisah tak bisa tidur hingga tengah malam, padahal esok hari ia harus berangkat pagi untuk menemui kawannya yang baru pulang dari luar negri, ngajakin bisnis bareng.

 

Tapi, yang mengganggu fikirnya bukan itu, melainkan sikap dermawan Rara yang baru diketahuinya, bayangkan selama tiga tahun ia ikhlas menyedekahkan setengah nafkahnya.

 

Bahkan, ia tak yakin Diandra mampu melakukan itu.

 

Rasa bersalah menyeruak, harusnya kami tak bercerai, tapi bagaimana tuntutan keluarga, pun Diandra yang tak ingin dimadu.

 

Janin dalam perut itu yang selama ini ditunggu-tunggu mama dan papa. Kedua orang tua itu memang kerap menuntut.

 

Baik pada Wira atau pada Wanda--adik bungsunya-- terhadap Wira mereka menuntut cucu, sedangkan pada Wanda mereka menuntut segera menikah.

 

Padahal gadis berusia di puluh sembilan tahun itu masih betah melajang dan sedang berada di puncak kesuksesan.

 

Hingga pukul setengah empat barulah Wira terlelap, waktunya salat subuh dia malah terlelap sulit terbangun saking ngantuknya.

 

Apalagi Diandra ia terbiasa bangun siang.

 

**

 

"Semoga berhasil ya, Mas," ucap Diandra sambil membetulkan dasi suaminya.

 

Wira masih ingin tidur tapi bagaimana lagi ia tak ingin kehilangan kesempatan yang mungkin takkan datang dua kali.

 

"Aamiin, aku juga ga mau nanti dedek bayi lahir papanya masih nganggur." Wira mengelus perut Diandra yang mulai membukit.

 

Sekarang wanita berwajah tirus itu malas memakai korset, rasanya gerah dan tak nyaman, lebih baik pakai baju yang longgar saja.

 

"Mulai sekarang panggil aku 'Mas' dong, atau Papa jangan panggil nama," kelakar Wira sambil mencubit pipi kusam istrinya karena belum mandi.

 

"Iya, Sayang." Diandra melingkarkan tangan ke pinggang suaminya.

 

Kalau kamu berduit baru aku mau, begitu fikirnya.

 

"Kira-kira mama sama Papaku marah ga ya kalau kita udah bohongi mereka?" tanya Wira sambil memandang dirinya di cermin.

 

Diandra melepas pelukan lalu berkata. "Engga mungkin lah, yang terpenting bagi mereka itu cucu, keturunan kamu."

 

Tapi tetap saja Wira resah, sebentar lagi perut istrinya akan membukit dan itu pasti akan jadi pertanyaan besar bagi keluarganya, bagaimana jika mereka jadi benci?

 

Kalau orang tua Diandra memang sudah mengetahui hal ini sebelumnya, keluarga hedonis itu tak faham agama, yang penting bagi mereka Diandra ada yang bertanggung jawab.

 

"Aku yakin mama sama papamu akan menyayangi anak ini, apalagi kalau laki-laki, itu 'kan yang mereka harapkan?" sahut Diandra lagi.

 

Wira berbalik badan.

 

"Ya semoga saja. Aku berangkat hati-hati di rumah dan jangan bertengkar dengan Rara, sebisa mungkin kamu hindari dia dan jangan cari gara-gara."

 

Wira mengecup kening istrinya dengan mesra.

 

**

 

Tiga puluh menit Wira sampai di tempat yang sudah mereka janjikan, sebuah tempat tongkrongan khusus pria.

 

"Hai bro." Mereka bersalaman khas lelaki.

 

"Hai, apa kabar?" tanya lelaki yang bernama Kevin itu.

 

Mata biru milik pria blasteran Indonesia Jerman itu memancarkan bahagia, sudah lama mereka tak jumpa.

 

"Baik, cuma kantong aja yang sakit," kelakar Wira lalu mereka terbahak bersama.

 

"Jadi gini, sekarang kita akan bisnis kuliner yang banyak disukai anak remaja, aku kasih modal kamu yang jalankan," ucap pria bertubuh tinggi kurus itu.

 

Wira diam menimbang-nimbang, sepertinya ide bagus juga.

 

"Ok, terus masalah profit sharing gimana?" tanya Wira

 

"Jangan khawatir lima puluh persen untukku dan lima puluh persen untukmu, tapi diambil dari hasil bersih ya, modal ulang beda lagi."

 

Wira mangut-mangut, di kepalanya sudah tersusun beberapa rencana seperti apa yang hendak di jalankan.

 

Tiga puluh menit mereka berbincang panjang lebar, hingga akhirnya perbincangan itu harus berakhir kala telpon Wira berbunyi.

 

"Vin, angkat telpon dulu ya," pinta Wira yang dibalas anggukan oleh kawan lamanya itu.

 

"Ada apa, Diandra, aku sibuk ini?" tanya Wira menahan jengkel.

 

"Mas, di rumah ada beberapa orang yang mau sita mobil kamu, katanya ini udah waktunya, sekarang kamu pulang ya," ujar Diandra sedikit panik.

 

Fikirnya kacau saat ini, terbayang bagaimana sulitnya bepergian kalau tak punya kendaraan.

 

"Ok aku pulang."

 

Wira mematikan telpon dengan gusar.

 

"Bro, ada urusan mendadak nih, kita lanjutkan rapat ini besok ya."

 

"Ok, tapi besok kayanya ga bisa aku sibuk, nanti kabari lagi deh," jawab Kevin.

 

"Iya ga apa-apa, aku pulang dulu ya."

 

Kevin menganggukan kepala lalu mengembuskan napas.

 

Hanya dua puluh menit mobil yang sebentar lagi akan disita itu telah membawa Wira pulang ke rumah, benar saja ada beberapa pria berpakaian rapi dan dua orang yang berpenampilan seperti preman sudah berkerumun di terasnya.

 

"Ada apa ini Pak?" tanya Wira basa-basi.

 

"Dengan Pak Wira Wijaya ya?" 

 

Lelaki yang kini menegang itu mengangguk.

 

"Kami dari pihak bank mau mengambil jaminan atas pinjaman perusahaan PT Sinarwangi, karena perusahaan Anda tak lagi bisa membayar hutang dan bunganya, ini data-data lengkapnya, Pak." Lelaki berjas rapi itu menyodorkan berkas yang terbungkus dalam sebuah map.

 

Wira membaca dengan pandangan pasrah, bukan hanya mobil ini yang sudah disita melainkan rumah orng tuanya yang terletak di kawasan elit, beberapa apartemen, vila dan aset lainnya yang sempat dijadikan jaminan.

 

Semuanya habis dalam sekejap, orang tuanya sih tak perlu khawatir, ia memiliki Wanda adik bungsunya, seorang CEO sukses yang bisa menjamin kehidupan kedua orang tuanya ke depan.

 

"Mas," lirih Diandra putus asa.

 

Wira menyerahkan surat-surat mobil walau tak rela lalu memandang pasrah saat mobil itu dibawa oleh mereka.

 

Hanya rumah ini yang tersisa, itu pun jika ia masih sanggup membayar cicilannya ke pegadaian, hutang riba benar-benar telah menghancurkan segalanya.

 

Wira terduduk di lantai dengan putus asa, pandangannya menerawang, ia benar-benar menyesal tak menggubris kata-kata ayahnya tempo hari.

 

"Mas, itu mobil siapa?" Diandra menunjuk ke arah mobil yang masuk ke pekarangan rumah.

 

Toyota Alphard warna putih itu berhenti di hadapan mereka, hingga pintunya terbuka membuat Diandra menganga, ternyata Rara yang mengemudikannya.

 

Perempuan berhijab hitam senada dengan abaya yang dikenakannya itu mengayunkan langkah, hingga tepat di hadapan Diandra.

 

"Kenapa mobil ini ga disita, Mas?" tanya Diandra dengan penuh penekanan.

 

Wira diam tak bisa menjelaskan.

 

"Karena mobil ini atas nama Rara? iya?!" Suara Diandra mulai meninggi.

 

Wira masih juga bungkam tak menyangka kini Rara sudah pandai menyetir mobil.

 

"Sini kuncinya! Itu mobil dibeli pakai uang suamiku, maka sekarang akulah yang berhak memakainya karena aku istrinya sekarang!" pinta Diandra ngotot.

 

Rara tersenyum santai, percaya diri sekali gundik ini, fikirnya.

 

"Ini mobil aku, Diandra, enak aja main minta-minta," jawab Rara sambil tersenyum remeh.

 

"Iya mobil elo! Tapi belinya pakai duit suami gua 'kan?!

Diandra sudah habis kesabaran.

 

Enak saja menikmati harta suaminya sementara ia sendiri kesusahan, hatinya menggerutu.

 

"Siapa bilang? ini mobilku dan suamimu sama sekali ga ada sangkut pautnya dengan mobil ini," sahut Rara masih santai.

 

"Ga usah banyak bacot! berikan kunci mobilnya, ga tahu diri lo ya pakai mobil orang." Diandra berusaha merebut kunci mobil dari tangan Rara secara kasar, hingga mereka terlibat adu fisik.

 

"Cukup! Berhenti!" teriak seorang lelaki tua yang keluar dari dalam mobil.

 

"A-ayah," gumam Wira, ia terbelalak melihat mertuanya ada di dalam mobil itu, menyaksikan adegan tak pantas ini.

 

"Ini mobil Rara hadiah dari saya ayahnya, mau apa kamu hah?!"

 

Diandra mematung mendengar ucapan yang keluar dari lelaki tua itu, ia menatap Rara dan mobil berwarna putih itu bergantian.

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IsOne Wan
ya cam gitulah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status