Share

Kenyataan Pahit

 "Jaga bicaramu, Ga!" Neni tunjuk Arga tegas, ia menolak keras pembelaan anaknya pada gadis bernama Meliana yang kini telah berubah menjadi seorang janda.

 Setelah mengantar Meliana kembali ke rumah kontrakan itu, Arga putar kemudinya ke rumah sang ibu yang cukup jauh, rumah baru di mana dulu Arga memutuskan untuk pindah bersama keluarganya setelah Meliana menikah.

 Juna sudah berusaha menghentikan, bahkan ia sampai rela meminjam mobil kantor untuk menyusul Arga, tapi sampai tengah jalan mobil itu mogok, mau tidak mau Juna harus menunggu jemputan dari bengkel langganan kantornya.

 "Apa yang Ibu katakan ke Amel itu kasar, kejam ... Amel tidak seburuk itu, Bu!" batinnya tersayat mendengar kenyataan bahwa ibunya lah yang menjadi penyebab Meliana pergi waktu itu.

 "Ibu seperti itu untuk kebaikanmu, kau bisa menikah dengan wanita lain yang jauh lebih-"

 "Lebih apa? Lebih apa, Bu? Lihat aku sekarang, aku menjadi duda setelah menikah tiga bulan dengan Nia. Ibu menolak Amel dan mempertemukanku dengan Nia, padahal Ibu tahu kondisi kesehatan Nia juga buruk, kenapa?"

 Neni tidak bisa menjawab, alasan terbesarnya adalah status sosial keluarga Meliana yang dia anggap tidak satu level dengannya, walau Nia juga sakit, setidaknya Nia berasal dari keluarga yang baik, terlihat harmonis, berbeda dengan pandangan orang pada keluarga Meliana selama ini.

 "Ibu tidak tahu kalau Nia sakit," ungkap Neni.

 "Bohong!"

 "Benar, Ibu tidak tahu, jangan terpengaruh dengan ucapan Meliana, Arga!"

 "Amel tidak bicara apapun tentang Nia, dia tidak tahu apa-apa tentang Nia, tapi Ibu tahu ... Tidak mungkin Ibu tidak tahu, sedang waktu Nia merasa kesakitan di rumah sakit, Ibu berbicara empat mata dengan dokter itu, Bapak dan Juna saksinya!" setengah berteriak Arga membuka semuanya.

 Hari ini, kenyataan pahit dan penuh luka itu terbuka dengan jelas. Arga harus mendengar semua hal yang telah menjadi salah paham selama ini sampai ia membenci Meliana, dan setelah ia tahu, pertemuannya dengan Meliana tidak akan pernah berlanjut lagi karena Arga telah berjanji untuk tidak menemui atau menjalin hubungan apa-apa dengan Meliana setelah penjelasan itu Arga dapat.

 Tubuh Arga bergetar hebat seiring dengan emosinya yang meluap, wajahnya memerah dan kepalanya terasa terbakar.

 "Kalau Ibu tidak suka dengan Amel, bicaralah yang baik, jangan menyakiti hatinya. Amel sakit itu sama dengan Nia yang tidak pernah berharap ada penyakit di tubuhnya,Bu ...."

 Arga terduduk lemah, orang yang selama ini ia patuhi dan junjung tinggi, ternyata kejam meskipun tujuannya memang untuk kebaikan, tapi cara itu tetaplah salah, tidak ada manusia yang terlahir di bumi ini mau menjadi sarang penyakit.

 "Terus, sekarang kau mau apa? Menikah sama Meliana yang sudah sendiri juga, begitu?" tanya Neni bernada menantang.

 "Menikah?" ulang Arga. Sontak Neni mengangguk meskipun restu tidak akan turun dengan mudah.

 Arga tertawa miris, "Setelah apa yang sudah Ibu katakan dan perbuat ke Amel, Ibu masih bisa bertanya aku akan menikah dengan dia, begitu? Neni mengangguk lagi. "Bahkan Ibu tahu kalau aku sudah mencintai Nia, Ibu masih bisa bertanya seperti itu, menuduhku seperti itu?" 

 Neni mengangguk, "Memangnya apalagi yang kau inginkan selain menikah dan hidup bersama wanita itu," jawabnya.

 "Aku datang ke rumah Ibu bukan untuk meminta restu menjalin hubungan dengan Amel karena itu tidak mungkin lagi, aku datang ke rumah ini karena aku ingin Ibu mengaku dan meminta maaf, aku datang ke depan Ibu karena ingin membela hak Amel yang waktu itu Ibu renggut dengan kejam!" jelas Arga.

 Neni berdecak kesal, ia tidak peduli dengan air mata putranya, sampai detik ini dia tidak berminat untuk minta maaf atau sekedar merasa menyakini Meliana, lagipula apa yang ia lakukan dirasa sudah benar di mana Meliana terbukti tidak bisa memberikan keturunan dan ditinggalkan suaminya, bagi Neni semua itu sudah benar.

 "Ibu tidak akan minta maaf, dia tidak bisa punya anak kan, itu artinya dia memang benar tidak sempurna. Pergi dan carilah wanita yang terjamin kesehatannya, yang bisa memberimu keturunan, lupakan Meliana, mengerti!" 

 Neni tinggalkan Arga yang masih terduduk pasrah itu, hatinya terus tersayat dan mungkin rasa sakit seperti ini yang dulu Meliana rasakan setelah mendengar ucapan ibunya.

 Dan Arga sendiri tidak tahu sampai dirinya ikut membenci Meliana, dia tidak ada ketika gadis itu membutuhkan bahu untuk bersandar, dia tidak ada ketika Meliana membutuhkan kekuatan, pasti Meliana melalui semua waktunya dengan berat meskipun bibirnya berucap telah mencintai Natan, pria yang Meliana pilih menjadi seorang suami.

 "Maaf, Mel, maaf ...." 

 Penyesalan itu kini tidak berarti lagi, sebenarnya ia sempat bertemu Meliana dulu setelah menikah dengan Nia, rasa benci itu sempat membuat Arga hampir membuat Meliana celaka, beruntung ada orang lewat yang menarik Meliana sehingga gadis itu tidak terjatuh dengan keras.

 "Maaf ...." berakhir, dia sudah berjanji tidak akan menemui Meliana lagi.

 ***

 Mata sembab itu menjadi tanda bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi, tapi bibirnya Meliana sudah mengembangkan senyuman yang begitu menentramkan.

 Rika bantu mencatat semua akun yang akan Meliana hubungi sebagai suplier, mereka sepakat untuk menjadi penjual daster online, Rika sendiri juga sudah tidak bekerja saat ni.

 "Kau sudah lega?" tanya Rika, ia seduh teh manis hangat untuk Meliana yang merasa kedinginan.

 "Hem, kau benar ... Seharusnya aku katakan semua ini pada Arga di taman itu, aku akan lebih merasa tenang, tapi ini sudah cukup."

 Rika ulas senyum, sebenarnya ia berharap mereka berdua masih bisa berteman, tapi keputusan Meliana juga tidak bisa disalahkan, Meliana tidak mau Arga bertengkar dengan ibunya hanya karena ingin pertemanan mereka diakui.

 Kalau saat ini Arga marah pada ibunya, paling tidak esok hari mereka bisa berbaikan kembali, mengingat Arga tidak akan menemui Meliana.

 "Apa kau benar-benar tidak ingin-"

 "Jangan bertanya padaku tentang keputusan ini, aku tidak mau Arga menjadi jauh dari Ibunya ... Semua itu Ibunya lakukan demi kebaikan dan masa depan Arga sendiri, Rik," potong Meliana, ia tahu arah pembicaraan Rika.

 "Baiklah, kalau begitu kita mulai menghubungi satu per satu kontak yang kau kumpulkan ... Kita harus cepat karena setiap hari butuh uang untuk makan, iya kan?"

 "Ehehehehhe ... Semangat!" Meliana kepalkan kedua tangannya, ia angkat tinggi dengan senyum merekahnya.

 Kenyataan itu memang pahit untuk didengarkan dan dirasakan, tapi hidup memang butuh rasa yang tidak tepat agar kita mengerti dan mengenal mana yang lebih tepat, sederhana seperti itu sebenarnya.

 Meliana tatap hamparan langit luas itu, ia percaya saat ini Arga juga menatapnya dan ia berharap Arga bisa hidup lebih baik lagi meskipun mereka tidak akan pernah bersatu.

 "Kenapa, Rik?" menoleh heran pada Rika yang tertegun menatap layar ponselnya.

 Rika menoleh kaku, bibirnya ingin berucap, tapi lidahnya keluh.

 "Ada apa?" Meliana rebut ponsel itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status