Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga.
"Mas yakin mau anter aku pulang?"
Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."
Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.
Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.
Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudikan mobil membelah jalan pasar Sawo yang ramai. Beberapa kali, lelaki di sampingku ini mengklakson tak sabar, seolah sedang dikejar polisi saja. Yaelah. Namanya pasar ya ramai, Mas. Aku membatin dalam hati sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Beda sekali dengan Mas Rofi yang penuh kesabaran saat menghadapi keramaian.
"Kenapa?" Ia menatapku sekilas. Sinis seperti biasa. Jika bukan karena tawarannya yang menggiurkan, aku tak sudi duduk semobil dengannya.
"Gak papa."
Ia mendesis. Seperti ular saja.
"Tumben kamar ibu masih terkunci, yaa?" Aku berkata seolah pada diri sendiri. Dan melengos saat bertemu pandang dengan matanya yang memancar sinis.
"Aku ajak ibu bapak begadang semalam."
Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Biasanya, Ibu tak mau tidur malam-malam.
"Aku bukan kamu yang berbuat tanpa memikirkan resikonya. Aku hanya ajak ibu dan bapak ngobrol yang menarik saja dan akhirnya mereka masuk kamar setelah salat subuh."
Syukurlah. Aku menyandarkan bahu. Qila dalam gendongan menggeliat. Matanya perlahan terbuka lalu bibirnya melekuk senyum. Tangannya bergerak meraba-raba ke arah dadaku. Aku agak menyamping lalu menyusui Qila. Mas Rasya menyentak napas dengan tatapan terus ke jalan raya.
Cukup lama kami saling diam. Tegang rasanya, duduk diam-diaman begini. Jangankan diam-diaman, sambil ngobrol juga aku tetap saja tegang jika di dekat si manusia harimau. Sesekali, kuusap keringat di wajah. Tanganku meraba-raba ke dalam tas cangklong saat terdengar dering HP dan terlonjak begitu melihat panggilan dari Ibu mertua.
Mas Rasya menoleh. Keningnya mengernyit, membuat alisnya yang tebal hitam nyaris bertaut.
"Ibu."
"Matikan."
Langsung kumatikan. Bukan hanya panggilan Ibu yang kumatikan, tapi HP-nya sekalian.
"Kalau nanti aku dilaporin polisi bagaimana, Mas?" ucapku saat terngiang ucapan Ibu kemarin sore. Mas Rasya menyentak napas.
"Tenang saja."
Mobil memelan dan berhenti di dekat lampu merah. Aku memandang keluar dengan tak nyaman. Jalanan begitu ramai oleh kendaraan yang mengklakson tak sabar. Begitu pun Mas Rasya. Tangannya berkali-kali memukul-mukul setir dengan wajah tampak jengkel. Seolah dengan begitu, lampu akan langsung hijau. Aneh.
"Sial!" Mas Rasya lagi-lagi memukul stir, membuatku terlonjak kaget. Qila dalam gendongan langsung menangis kencang.
"Kenapa sih, Mas."
"Sudah jam berapa ini? Aku harus ketemu client."
"Ya sudah turunkan aku di sini saja. Aku bisa naik taksi." Setidaknya dengan begitu, keteganganku akan lenyap. Ia memicingkan sebelah mata, lalu tersenyum merendahkan.
Helaan napas terdengar dari mulutnya saat mobil kembali melaju kencang membelah lalu lintas yang padat. Aku berdoa dalam hati semoga tak kecelakaan. Mas Rofi walaupun sangat buru-buru, namun tak akan pernah bertindak membahayakan nyawa seperti ini.
Saat mobil memasuki komplek perumahan, mobil Mas Rasya memelan. Akhirnya berhenti di depan rumah megah bertingkat satu. Beragam jenis bunga tumbuh subur di halaman luas itu. Senyumku merekah lebar. Tak sabar rasanya bertemu dengan Mama.
Baru saja aku mendorong pintu mobil hingga terbuka, Mas Rasya berkata. "Tunggu." Lalu tangannya meraih ransel di dekat kakinya.
"Mas mau ke mana bawa ransel?" Aku mengerutkan kening.
"Minggat."
"Ke mana, Mas?" tanyaku penasaran.
"Aku tak mau juga jadi bulan-bulanan ibu. Setelah ini, kamu terserah mau sembunyi di mana. Tapi ingat." Ia menatapku tajam. Mirip seperti harimau. "Jangan di rumah." Lanjutnya. "Sembunyi di mana saja agar kita tak menikah."
Aku mengangguk. Ternganga saat tangannya mengulurkan beberapa tumpuk uang yang diikat dengan karet gelang.
"Apa itu?" Aku menatapnya ingin tahu.
"Bagian Rofi selama 4 bulan. Aku akan transfer bagian Rofi setiap bulan."
Aku meraih uang darinya, sementara Mas Rasya meraih HP. "Nomermu sebutkan."
Kusebutkan nomer HP-ku yang segera ia miscal.
"Nomer rekeningmu nanti kirimkan."
Aku mengangguk kecil. Mas Rofi dan Mas Rasya membuka beberapa outlet makanan siap saji masing-masing terletak di pasar Sawo, Kampung Rambutan, dan Tanah Abang. Mas Rasya yang mengelola, sementara suamiku tinggal terima bagian. Itu modal bersama.
"Mas Rasya." Aku berkata takut-takut. Mungkin kami tak akan bertemu lagi. Palingan, Ibu yang mencariku karena ingin bertemu Qila.
Kalau Mas Rasya mana mungkin. Dia benci banget pada adik iparnya ini.
"Aku sangat mencintai Mas Rofi."
Hening.
Ia menghela napas.
Rasa nyeri berdenyar di dadaku setiap menyebut nama itu. "Kalau aku tau bakal kehilangan Mas Rofi, aku tak mungkin melakukannya. Maaf. Aku gak ada niat misahin kalian."
Mas Rasya menyentak napas.
"Maaf." Ulangku. Tanganku terulur ke arahnya. Ia menatap sinis, membiarkan tanganku terus mengambang di udara. Tenggorokanku terasa tercekat dan mataku memanas seperti akan menangis. Aku terpana saat tangan Mas Rasya tiba-tiba terangkat lalu mengusap kepalaku.
"Jaga Qila. Jangan bertindak ceroboh," katanya, menyambut uluran tanganku. Aku mengangguk kecil.
"Aku dimaafin, kan?"
Ia hanya tersenyum sinis. Aku tahu, ia sangat kehilangan.
"Turun," katanya.
"Mas Rasya juga turun."
Ia langsung menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya. "Buat apa aku turun?!"
"Bawakan barang-barangku lah, Mas. Ke rumah. Aku gak mungkin bawa tas berat itu sendiri!" Tanganku menuding ke arah jok belakang. Mas Rasya menyentak napas.
"Memang kamu manja dari dulu. Heran, kenapa Rofi bisa bertahan bersamamu," gumamnya sambil membuka pintu di sampingnya dan melompat turun. Aku menyusul turun. Kami segera melangkah beriringan menuju rumah yang terbuka lebar itu.
"Mamaa!" Teriakku tak dapat menyembunyikan letupan bahagia.
"Emma-mmaa!" Mas Rasya membeo ucapanku lantas mencibir. Terlihat sekali ia sedang meledekku. "Sudah punya anak kelakuan masih seperti anak kecil." Sungutnya.
"Mamaaa! Aku pulang diantar Mas Rasya, niih. Yang kata mama orangnya galak seperti harimau."
Mas Rasya menyentak napas kesal. Kalau sudah berada dekat dengan dua pahlawanku itu, aku jadi lebih berani pada Mas Rasya. Gak papa, lah. Toh, kita tak akan bertemu lagi. Kami terus melangkah menuju rumah.
"Mas, sebelum kita pisah, aku akan ungkapkan uneg-unegku selama tujuh tahun ini. Boleh?" Aku menoleh. Mas Rasya membawa ransel dan menarik gagang koperku dengan wajah sangat kesal. Tahu, kan, kalau harimau sedang menggeram mengintai mangsa? Bayangkan saja seperti itu ekspresinya saat ini.
"Selama ini aku tertekan sama sikap Mas. Sangat sangat tertekan Mas Rasya."
Ia menatapku tak suka.
"Jangan jutek-jutek jadi orang, Mas, nanti cepat tua." Aku semakin berani. Apalagi saat melihat Mas Hanif melambai dengan senyum terkembang di lantai atas. Aku balas melambai.
"Mas Haniif, aku bebas dari nerakaaa!" Seruku riang sambil melirik Mas Rasya yang menyentak napas sebal. Silakan kalau mau marah, toh, tak akan bertemu lagi. Gampang nanti minta maaf lagi lewat WA.
"Mamaaa!" teriakku senang. Tinggal beberapa langkah dari ambang pintu. Aku melangkah cepat dengan senyum terkembang, senyum yang langsung pias saat bersitatap dengan ibu mertua yang menggelengkan kepala.
Bukan hanya aku, Mas Rasya juga tercekat tak percaya. Ibu mertuaku langsung melambai. Aku mendekat ke arah Bapak dan Ibu yang duduk berdekatan, sementara Mama dan Papa yang duduk di seberangnya tersenyum lebar padaku.
"Cucu nenek. Sini, sayang." Mama menjulurkan tangan ke arah Qila. Kutatap Mama dan Ibu bergantian.
"Ibu tak bisa tidur. Akhirnya, ibu ajak Bapak untuk membicarakan pernikahan kalian. Iya, kan, Mak ee?" Ibu menatap Mama yang langsung mengangguk.
"Kita sedang bahas mau sewa tempat di mana untuk resepsi kalian," imbuh Papa.
Aku menoleh menatap Mas Rasya yang terdiam tanpa kata. Teringat ucapanku pada Mas Rasya tadi, jantungku mengentak kuat. Aku sangat berharap, ini mimpi.
Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara
Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa
Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk
Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b
Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo
POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.