Tanpa membuang waktu, Alina segera turun ke lantai satu. Ia mulai menata makan malam di meja dengan rapi.
Segelas air putih, sepiring nasi hangat, dan lauk kini tersusun rapi di tempat biasa Gallen duduk.
Alina menatap hasil kerjanya itu, lalu tersenyum kecil.
Entah Gallen peduli atau tidak, setidaknya kali ini ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pembuat onar.
Suara lift yang terbuka memutus lamunannya. Langkah berat dan tegas terdengar semakin dekat. Alina buru-buru kembali ke tempat duduknya, berusaha bersikap tenang.
Tak lama, Gallen muncul di hadapannya. Tubuh tegap pria itu dibalut piyama hitam. Rambutnya masih setengah basah, dan Alina bisa mencium samar aroma sabun mandi dari tubuhnya.
Seperti yang ia duga, pandangan Gallen langsung tertuju pada meja makan.
Alina menelan ludah, lalu berkata pelan, “Tenang saja. Ini semua masakan Bibi. Aku cuma menyajikan.”
Gallen tak mengucap sepatah kata pun. Hanya menarik kursi perlahan, duduk, lalu mulai makan dengan tenang.
Alina menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam sendok erat.
Gallen memang bukan tipe pria yang mudah basa-basi, bahkan mengucapkan terima kasih pun rasanya terlalu mahal baginya.
Dan sikapnya yang seperti ini selalu membuat pikiran Alina berputar-putar.
Kenapa diam?
Apa dia lupa dengan janjinya tadi?
Bukankah dia bilang akan bicara?
Saat tatapan mereka akhirnya bertemu, Gallen berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendok perlahan di tepi piring, lalu menatap Alina lurus-lurus.
“Makan dulu, baru bicara.” Seperti biasa suara Gallen keluar dengan nada dingin.
Hanya beberapa kata, tapi cukup untuk membuat Alina tak punya pilihan selain menurut.
Alina mengangguk pelan, lalu mulai menyuap makanannya. Mereka makan dalam diam, hanya ditemani suara detak jam dan gemerincing sendok menyentuh piring.
Begitu suapan terakhir masuk ke mulutnya, Alina meletakkan alat makannya.
Di saat yang sama, Gallen menyelesaikan makannya. Ia meneguk air, lalu menyeka mulut dengan tisu.
Setelah itu, ia melipat lembaran putih itu dengan rapi, menyilangkan tangan di dada, dan bersandar santai sambil menatap Alina lekat-lekat.
“Langsung saja. Apa yang mau kamu bicarakan?” tanyanya.
Alina menarik napas, lalu menegakkan bahu. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Aku ingin mengajukan beberapa permintaan. Yang pertama... aku tidak mau terus dikurung di lantai dua."
Respons yang diberikan Gallen hanya berupa helaan napas panjang. Raut wajahnya berubah, jelas terlihat, ia tak ingin membahas topik itu. Namun, Alina tak mundur.
“Aku sungguh bosan seharian tidak melakukan apa-apa.” Alina mengerucutkan bibirnya. “Kamu tega mengurungku seperti itu?”
“Kamu hanya perlu istirahat,” jawab Gallen. Pria itu masih belum menunjukkan perubahan ekspresi.
Alina lantas melipat tangan di meja. Matanya menatap sang suami dengan serius.
Keberaniannya tumbuh perlahan.
Apalagi setelah menyadari Gallen tidak langsung memotong atau marah, kesempatan ini terlalu berharga untuk disia-siakan.
"Justru ibu hamil itu dianjurkan banyak gerak dan butuh suasana hati yang bagus. Kamu mau aku stres? Lalu anak ini kenapa-kenapa karena kamu melarang aku melakukan hal yang membuatku senang?"
Wajah Gallen menegang sesaat. Pupil matanya berubah menggelap. Namun, tetap saja, ia tak langsung menjawab. Hanya menatap Alina dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Alina tahu ia telah menyentuh titik paling sensitif dari pria itu. Bayi itu—meski hanya kehamilan palsu—adalah satu-satunya celah untuk menembus pertahanan dingin seorang Gallen Dhira Sankara.
“Sudah lupa apa yang kamu lakukan tadi pagi?” Akhirnya, Gallen mengeluarkan kalimat sindirannya.
Alina menunduk, menghela napas pelan, cukup keras agar terdengar.
"Aku tahu sudah salah, aku minta maaf," katanya lirih, "Tapi kalau terus-terusan dikurung begini, aku bisa gila!"
Sejurus kemudian wanita bergaun biru itu mengangkat wajah, menatap Gallen dengan sorot mata sendu—yang meyakinkan. Satu tangannya bergerak mengelus perut dengan gerakan selembut mungkin. "Bagaimanapun, anak ini juga butuh ibu yang bahagia, kan?"
Gallen memejamkan mata lalu memijat pangkal hidungnya beberapa saat. “Yang lain?”
Seulas senyum langsung terbit di wajah Alina. Akhirnya, cara ini cukup manjur!
“Kedua, aku tidak nyaman dengan keramaian. Aku ingin kamu hentikan semua pelayan di rumah ini.”
Detik itu juga, Gallen membuka matanya. Kerutan di dahinya terlihat amat jelas membuat Alina segera menambahkan argumennya. “Aku hanya takut mereka tahu kita tidur terpisah.”
“Mereka hanya bekerja di lantai satu.” Gallen menyahut rendah.
“Tapi semakin sedikit orang di rumah ini, semakin kecil juga kemungkinan mereka tahu,” balas Alina sambil menatap Gallen. “Kamu jangan lupa, mereka pelayan di kediaman Oma. Siapa yang tahu mereka menyelinap diam-diam?”
Sementara Gallen yang duduk di seberangnya masih belum berniat menginterupsi, hanya kembali memejamkan mata dan mendengarkan dalam diam.
Tak ada tanggapan yang menunjukkan tanda setuju ataupun menolak membuat Alina sedikit bingung.
Namun, sebelum keberaniannya luntur, Alina menyambung lagi, “Ketiga, aku tidak terlalu dekat dengan pelayan lain. Hanya Bibi Belinda yang bisa mengerti aku, jadi, biarkan Bibi Belinda kembali bekerja.”
Alina menatap Gallen dengan sorot memohon meski pria itu tidak melihatnya. “Terakhir, aku butuh kesibukan. Setidaknya biarkan aku membantu Bibi mengerjakan pekerjaan rumah.”
Gallen masih bertahan pada posisinya. Alina tahu, pria itu sedang menimbang permintaannya.
Dalam diam, Alina menunggu, menerka-nerka jawaban apa yang akan diberikan pria itu. Meskipun permintaannya begitu sederhana tetapi bagi Gallen adalah sesuatu yang krusial.
Beberapa detik kemudian, Gallen membuka mata. Namun, ia justru menatap Alina lebih dalam.
“Jadi … kamu izinkan atau tidak?” Alina bertanya dengan hati-hati.
Gallen mengangguk, tetapi jawabannya begitu ambigu membuat Alina nyaris putus harap. “Saya pertimbangkan,” katanya.
Kedua bahu Alina langsung merosot. Napas panjang ia hela, mencoba meredam kecewa akan ekspektasinya.
“Kenapa masih dipertimbangkan? Aku hanya meminta hal yang begitu sederhana kenapa kamu harus berpikir panjang untuk mengabulkannya?”
“Kenapa kamu begitu tidak sabaran?” Gallen menaikkan dagu sedikit, kedua alisnya bertaut pelan. Sejurus kemudian, tatapannya berubah menyelidik.
Bibir Alina terbuka, ia ingin bicara tapi tak ada kata yang keluar. Sementara Gallen tak memberinya waktu untuk menjawab.
“Wanita hamil dengan kondisi kandungan lemah, tapi bersikeras melakukan semuanya sendiri…” Gallen menggantung kalimatnya. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah istrinya.
Saat itu juga Alina merasa detak jantungnya berdegup tak karuan seiring dengan tatapan yang semakin menajam ke arahnya.
“Menurutmu, saya akan anggap itu masuk akal?”
Aluna terdiam membeku. Lidahnya terasa begitu berat, seakan ada simpul tak kasatmata yang mengikatnya rapat. Tenggorokannya kering, napasnya tertahan. Tatapan tajam Gallen menekan seperti bilah pisau yang siap menembus pertahanannya kapan saja.“Jangan paksa saya untuk menggunakan cara kejam, Aluna!” Suara Gallen merendah, namun justru terdengar semakin mengancam. Aura dingin memancar dari sorot matanya yang gelap, membuat udara di antara mereka terasa kian menyesakkan.“Jawab! Kalau kamu berhubungan dengan kakak saya, mengapa bisa berhubungan dengan pria lain?!”Tubuh Aluna tersentak kecil. Jari-jarinya meremas kain gaun yang ia kenakan hingga kusut. Kedua matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. Butuh waktu baginya untuk menarik napas panjang, memaksa suaranya keluar.“Saya… akui, saya salah,” bisiknya lirih, nyaris seperti pengakuan dosa yang terpaksa keluar dari bibirnya. “Awalnya saya tidak tahu siapa itu Rakha. Waktu itu Alina bekerja di butik, dan dia pernah mengantar se
Aluna menatap layar ponselnya dengan mata membelalak, tangan yang menggenggam perangkat itu bergetar halus, seolah berat menahan beban kecemasan yang mencekam. Ia menekan tombol panggil ulang berkali-kali, namun suara nada dering yang monoton terus berputar tanpa ada jawaban di ujung sana.“Tristan! Jawab, tolong!” Suaranya pecah, bergetar penuh kepanikan. Nafasnya tersengal, dada sesak seolah ada beban berat menindihnya.Setiap detik berlalu seperti menyeret waktu menjadi sangat lambat. Matanya melirik ke sekeliling ruang tamu vila yang mewah, dinding putih yang bersih dan perabotan elegan terasa sunyi dan dingin, sama sekali tak memberi ketenangan. Hanya ada suara detak jam dinding yang kian memperbesar rasa gelisah di dalam dadanya.Aluna berdiri, langkahnya mulai mondar-mandir tanpa tujuan pasti, tangan terkepal rapat, berusaha menenangkan diri namun gagal. Kepalanya berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.“Kenapa kamu tidak mengangkat? Apa yang seben
Begitu tiba di rumah sakit, Gallen tak membuang waktu. Langkahnya lebar dan cepat, nyaris seperti berlari melewati lorong-lorong yang dipenuhi bau menyengat antiseptik. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tak mampu meredam panas amarah dan cemas yang membakar dadanya.Ia langsung mendorong pintu ruang UGD, tatapannya segera tertuju pada sosok Alina yang terbaring di atas brankar. Wajah istrinya pucat, mata terpejam, dan oksigen tipis menggantung di hidungnya. Selang infus menempel di lengan, menyalurkan cairan bening yang menetes pelan.Di sisi brankar, dokter Sarah berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya penuh keseriusan.“Bagaimana keadaannya?” suara Gallen terdengar dalam, tegang, nyaris pecah. Ia menarik kursi kecil dan duduk di tepi brankar, jemarinya langsung meraih lengan Alina yang diinfus, menggenggamnya seolah takut kehilangan.Dokter Sarah menghela napas pelan sebelum menjawab, “Meskipun terjatuh cukup kencang, untungnya janin dalam kandungan Nyonya cukup kuat.
Beberapa hari setelah Aluna melahirkan, bukannya suasana menjadi tenang, justru hati Alina terusik. Seolah setiap hal, sekecil apa pun, menjadi alasan bagi Aluna untuk merepotkan Gallen. Pagi ini saja, baru lewat pukul tujuh, telepon dari Aluna sudah berdering dengan nada panik. Suaranya terdengar terburu-buru, hampir seperti menangis. Katanya, bayinya muntah setelah menyusu, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Gallen yang saat itu tengah sarapan bersama Alina pun diminta segera datang. Untungnya, Gallen tidak pernah turun tangan sendiri. Pria itu selalu mengutus orang untuk datang ke rumah Aluna, entah itu bidan, dokter, atau staf rumah tangga yang bisa membantu. Setiap kali itu terjadi, Alina hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang ibu baru bisa begitu bergantung, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditangani sendiri. Malam ini pun sama. Menjelang tengah malam, ketika Alina baru saja hendak memejamkan mata, Andreas muncul di ambang
Gallen mendongak, menatap istrinya. Secepat kilat, ekspresinya berubah menjadi lebih ramah, bahkan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris meyakinkan."Masalah pekerjaan," jawabnya singkat, suaranya terdengar santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru saja memancarkan aura sedingin baja.Namun, Alina bisa merasakan bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Tatapan Gallen hanya bertahan sebentar sebelum ia meraih gelas kopinya, meneguk pelan seakan ingin mengakhiri pembicaraan.***Setelah makan, Gallen mengajak Alina menuju rumah sakit. Udara sore itu terasa sedikit pengap, bercampur aroma antiseptik begitu mereka memasuki lobi. Di bangsal rawat, Aluna sudah terbaring di ranjang pasien dengan wajah dibuat pucat memelas, meski riasan tipisnya masih terlihat rapi.Begitu melihat Gallen masuk, senyumnya langsung merekah. Ia menegakkan tubuh, lalu menggendong bayi mungil yang dibungkus kain bedong warna putih.“Tuan Gallen, lihatlah…” Sua
Keesokan paginya, udara masih dingin saat Gallen dan Alina tiba di rumah sakit. Bau antiseptik langsung menyergap begitu mereka memasuki lobi. Suara langkah kaki para perawat dan denting alat medis berpadu menjadi irama yang tak pernah berhenti.Di depan ruang operasi, suasana penuh kecemasan. Yasmin sudah duduk di kursi tunggu, wajahnya pucat, jemari terus meremas sapu tangan seolah mencoba menyalurkan ketegangan. Begitu melihat Gallen dan Alina datang, ia berdiri terburu-buru."Bu? Bagaimana keadaan Aluna?" tanya Gallen. “Operasinya baru saja dimulai,” ucap Yasmin dengan suara pelan namun tergesa. “Dokter bilang butuh waktu sekitar satu jam.”Gallen hanya mengangguk singkat, sebelum berjalan mrndekat ke arah Andreas.Sementara Alina lalu duduk di kursi kosong. Dia ingin menyapa ibunya tapi Yasmin justru berpindah tempat, menjauh dari Alina. Dalam hati, Alinabtersenyum miris. "Hanya duduk berdamlingan saja, Yasmin menganggapnya seolah barang yang menjijikkan.""Ibu mau aku pesankan