"Duduklah," ucap Albani. Aileen pun duduk setelah Albani menarik kursi untuknya. "Al, kau tampak sempurna." Melani membuka obrolan, tidak menyapa Aileen, ia malah memuji putranya sendiri. "Selamat malam, Tante," ujar Aileen. "Apa? Tante?" Melani terkekeh. "Aileen, panggil kami dengan sebutan papa dan mama, karena kami orang tuamu," ucap Martin pada menantunya. "Tidak, kau saja yang dipanggil papa. Aku tidak sudi dipanggil mama olehnya!" tegas Melani. "Hentikan sikap kekanakanmu." Martin mengingatkan istrinya agar tidak berlebihan. "Kenapa? Kau bilang aku boleh menyambut tamu, beginilah caraku menyambutnya." Melani sangat ketus. Albani menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Bersikaplah elegan, kalian tidak hadir saat saya menikah. Sekarang, di depan kalian adalah anggota keluarga baru yang juga dari keluarga baru. Tidak sepantasnya kalian berdebat dan bersikap seenaknya pada istri saya." Aileen tidak mengira jika Albani akan mengatakan hal itu di depan kedua
"Mengapa kita harus menginap di sini, Al?" Aileen bukannya tidak mau menginap di rumah orang tua Albani, hanya saja ia merasa tidak enak jika harus tidur berdua lagi dengan Albani dalam satu ranjang. "Ini permintaan mama," kata Al. "Mamamu meminta kita menginap?" Tentu saja Aileen tidak langsung percaya, apalagi sikap Melani yang jelas menunjukkan hal sebaliknya. Melani tidak menyukainya, itu yang Aileen tangkap dari sikapnya. "Ya, mama bilang kita setidaknya tinggal satu bulan." "SATU BULAN?" sahut Aileen amat terkejut. "Kau bercanda, kan, Al?" Albani menghela napas. "Kau keberatan, ya?" Tentu saja, batin Aileen. Apalagi itu tandanya mereka harus tidur satu kamar selama satu bulan lamanya. Satu hari saja sangat menyiksa, apalagi satu bulan. "Saya tau kau begini karena melihat sikap mama yang kurang menyenangkan. Tapi kau tenang saja, mama kali ini yang meminta kita tinggal, jadi kau tak perlu mencemaskan apa-apa." Aileen mengerti, sebenarnya ia pun sama sekali tidak masa
“Dia ini adalah tunanganku, Ai.” Aileen berniat mengejutkan pria yang dipacarinya selama sekian tahun dengan perasaan tak sabar ingin bertemu sang kekasih karena rindu. Namun, ternyata sesampainya di sana, ia justru disuguhi pemandangan mengejutkan. “Tunangan?” Awalnya Aileen menyangkal pemandangan mesra di hadapannya. Ia mengira wanita yang bersama Rio itu hanya teman kuliah Rio. Bukankah sudah biasa, terkadang teman juga bergandengan tangan, walau hanya sebatas teman. Sikap polosnya itu selalu membuatnya berpikiran positif dengan sang pacar tercinta. Namun, ternyata dugaan itu salah. “Siapa sih cewek culun ini?” ketus wanita di sebelah Rio sambil bergandengan tangan. Aileen berdiri dengan kebodohannya. Ya, dia telah dibodohi oleh Rio. Jadi, pria yang selama ini dia percaya selingkuh di belakangnya? “Dia pacarmu itu, Rio?” ujar wanita itu. Rio hanya diam sambil tak berani menatap wajah Aileen. “Bisa-bisanya cewek culun seperti ini kau jadikan pacar,” kata wanita
Pipi putihnya kelihatan pucat sekarang. Aileen menatap pantulan wajahnya dari kubangan air tempat ia berteduh. Hujan turun cukup lebat, aroma hujan bercampur asap knalpot kendaraan menusuk ke penciuman. Aileen berdiri dengan pandangan kosong, sambil menghela napas berat berusaha menghilangkan pikiran tentang kejadian memuakkan beberapa waktu lalu. “Aileen kau memang terlalu bodoh!” Gadis malang itu mengumpat menyaksikan kebodohan dirinya sendiri. Rasanya ingin memutar kembali waktu untuk menghajar laki-laki brengsek yang sudah membuat hatinya hancur. Namun semua tidak mungkin, semuanya telah terlanjur. Di saat hatinya sedang kacau, mobil melaju kencang hingga membuat genangan air mengenai dirinya. Aileen memejamkan mata, ia hanya ingin teriak sekuatnya. “Sialan!!” Aileen menarik napas panjang. “Kenapa aku sangat sial!!!” “Kenapa, Tuhan!!!” Seorang pria yang tak sengaja melihat pemandangan gadis berteriak di tengah hujan deras pun tersenyum, mungkin juga merasa terhibu
Aileen membaringkan tubuhnya di kasur. Ini hari kedua ia berada di kota, jauh dari kedua orang tuanya. Seharusnya saat ini ia sedang bersama Rio, tapi semuanya sudah berantakan. Rencana itu hanya menjadi kenangan pahit yang harus ia telan bersama pengkhianat bernama Rio. "Mama daritadi telepon," ucap Aileen saat melihat panggilan tak terjawab berulangkali dari sang mama. "Halo, Ma." Aileen menatap sapu tangan abu-abu yang tertinggal di dalam tasnya. Ia baru ingat, benda itu milik pria yang memberi tumpangan tadi. "Ai tadi tidak lihat mama telepon, maaf ya." Mamanya pasti cemas, apalagi selama ini Aileen tidak pernah cerita kalau ia berpacaran dengan seseorang yang ada di kota. "Ya, Aileen belum tau, tapi sementara Aileen akan kost di sini, Ma." Aileen terkejut saat mamanya bilang akan pindah ke kota untuk urusan bisnis. Mamanya jug bilang agar Aileen tidak perlu kost, ia bisa tinggal dengan mamanya. "Ah, begitu. Baik, Ma, atur saja." Aileen lelah, ia ingin memejamk
Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. "Halo, Ma." Aileen melotot. "Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..." Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama. "Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was. "Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi. Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu. "Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu. ** "Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio. "Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk
Aileen termenung di balkon apartemen sambil memikirkan penawaran dari Albani. Pria asing itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia ingin menolak tawaran pria itu, tapi setelah dipikir-pikir mungkin saja ini jalan dari Tuhan agar rasa sakitnya bisa terbalaskan. Namun, apa Tuhan merestui pernikahan kontrak, pikirnya ragu. Setelah nomor Rio kembali ia blokir, ia tak perlu cemas memikirkan telepon masuk dari laki-laki brengsek itu. Hanya saja, Aileen belum puas mengingat Rio sudah menguras tabungan miliknya. Ia ingin marah, tapi itu semua terjadi salah satunya karena kebodohan dia sendiri. Suara ponselnya berdering, mamanya menghubungi. "Halo, Ma." "Iya, Ai udah ketemu sama yang namanya Albani." Aileen menghela napas. Mamanya kedengaran tak sabar ingin tahu pendapatnya tentang pria itu. "Ya, menurut Ai sih lumayan." Aileen tidak tau harus berkata apa. Ia nyaris saja mengacaukan acara perkenalan itu karena emosi luar biasa. "Hem, mungkin kita harus saling kenal dulu, Ma. Ap
"Hei kau mengulanginya seolah-olah aku akan jatuh cinta padamu, begitu?" ucap Aileen. Ia mengibaskan tangannya sembari menggerutu. "Bagus, saya tenang sekarang. Kalau begitu, sekarang kau ceritakan sedikit saja tentang penyebab kau putus asa." Aileen terdiam. Ini pertama kalinya ada yang bertanya tentang perasaannya, deritanya, dan juga masalah yang ia hadapi. "Kau takkan paham, apalagi kau tidak percaya wanita," tukas Aileen. "Ini bagian dari perjanjian kita, jadi kau perlu cerita agar aku mudah membantu," terang Albani. "Begitu, ya." Albani menatap mata Aileen, di sana tampak jelas ada gurat kesedihan mendalam. "Katakan saja, aku mungkin takkan terlalu iba. Tapi aku bisa menganalisis cara apa yang tepat untuk digunakan sebagai alat balas dendam nantinya." Albani selalu saja mengatakan perkataan yang tajam, batin Aileen. Tapi dia tak peduli, perkataan kejam Albani itu lebih baik dibandingkan perkataan Rio yang manis tapi penuh dengan kebusukan. "Aku dibodohi ol
"Mengapa kita harus menginap di sini, Al?" Aileen bukannya tidak mau menginap di rumah orang tua Albani, hanya saja ia merasa tidak enak jika harus tidur berdua lagi dengan Albani dalam satu ranjang. "Ini permintaan mama," kata Al. "Mamamu meminta kita menginap?" Tentu saja Aileen tidak langsung percaya, apalagi sikap Melani yang jelas menunjukkan hal sebaliknya. Melani tidak menyukainya, itu yang Aileen tangkap dari sikapnya. "Ya, mama bilang kita setidaknya tinggal satu bulan." "SATU BULAN?" sahut Aileen amat terkejut. "Kau bercanda, kan, Al?" Albani menghela napas. "Kau keberatan, ya?" Tentu saja, batin Aileen. Apalagi itu tandanya mereka harus tidur satu kamar selama satu bulan lamanya. Satu hari saja sangat menyiksa, apalagi satu bulan. "Saya tau kau begini karena melihat sikap mama yang kurang menyenangkan. Tapi kau tenang saja, mama kali ini yang meminta kita tinggal, jadi kau tak perlu mencemaskan apa-apa." Aileen mengerti, sebenarnya ia pun sama sekali tidak masa
"Duduklah," ucap Albani. Aileen pun duduk setelah Albani menarik kursi untuknya. "Al, kau tampak sempurna." Melani membuka obrolan, tidak menyapa Aileen, ia malah memuji putranya sendiri. "Selamat malam, Tante," ujar Aileen. "Apa? Tante?" Melani terkekeh. "Aileen, panggil kami dengan sebutan papa dan mama, karena kami orang tuamu," ucap Martin pada menantunya. "Tidak, kau saja yang dipanggil papa. Aku tidak sudi dipanggil mama olehnya!" tegas Melani. "Hentikan sikap kekanakanmu." Martin mengingatkan istrinya agar tidak berlebihan. "Kenapa? Kau bilang aku boleh menyambut tamu, beginilah caraku menyambutnya." Melani sangat ketus. Albani menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Bersikaplah elegan, kalian tidak hadir saat saya menikah. Sekarang, di depan kalian adalah anggota keluarga baru yang juga dari keluarga baru. Tidak sepantasnya kalian berdebat dan bersikap seenaknya pada istri saya." Aileen tidak mengira jika Albani akan mengatakan hal itu di depan kedua
"Halo, tadi kau menelepon?" tanya Albani yang sedang diperjalanan menuju rumah. Albani tersentak mendengar penjelasan Aileen, ia pun segera mematikan telepon untuk memeriksa apa benar yang Aileen katakan. Ia kaget begitu melihat foto profil chat-nya berubah. "Siapa yang mengganti fotonya?" gumamnya bingung. Albani pun segera menghapus karena tidak ingin Aileen salah paham. "Halo, Aileen. Mengenai makan malam memang benar, malam ini ada acara makan malam di rumah papa. Tapi kalau foto profil, maaf itu jelas bukan saya yang mengubahnya. Begitu juga untuk chat yang dikirimkan padamu, itu bukan saya yang mengirim," jelas Albani. Aileen sekarang mengerti, jadi bukan Albani yang melakukannya sendiri. Lantas siapa, batin Aileen. Setelah menjelaskan, Albani mematikan telepon dengan alasan sedang diperjalanan menuju rumah. Albani meminta agar Aileen segera bersiap. "Jadi siapa yang mengirimkan pesan itu padaku, ya." Aileen pun heran sambil memikirkan siapa orangnya. Tapi apaka
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu
Albani keluar setelah yakin bahwa dirinya kini lebih tenang. Aileen sama sekali tidak bisa tidur, tapi gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata dan berpura-pura sudah terlelap. Tentu saja itu Aileen lakukan sebab ia tak ingin kalau nantinya Albani tidak nyaman dengannya. "Apa kau sudah tidur?" tanya Albani. Ia duduk di sisi Aileen dengan sedikit jarak. Aileen tidak menjawab karena ingin dianggap sudah tidur oleh Albani. "Jangan memaksakan diri kalau belum bisa tidur," ucap Albani. Ia tau, Aileen belum tidur dan hanya berpura-pura. "Em, kau tau ya. Maafkan aku, Al." "Tidak perlu minta maaf. Kau sudah lebih enakan?" "Ya, sudah tidak apa-apa." Albani berbaring di sisi Aileen, di tengah-tengah mereka ada bantal yang menjadi penghalang. "Sebenarnya baju ini kau dapat dari siapa, Al?" tanya Aileen. Ia penasaran, karena baju yang dia kenakan lebih mirip lingerie dibandingkan baju tidur biasa. "Asisten saya, besok akan saya tanya mengapa ia memilih baju begitu."
Melani benar-benar emosi dengan kejadian tadi. Ia benci harus melihat Albani dan gadis itu memiliki kemungkinan untuk saling mengisi dan berdekatan. Padahal sebelumnya ia yakin bahwa putranya takkan tertarik dengan gadis kampungan seperti Aileen. Namun yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, Albani malah mengusirnya. Apalagi tadi Aileen dengan tidak tau diri memanggil Albani, padahal sudah jelas Albani sedang berbicara dengan orang lain di pintu kamar. "Dia sudah jelas terlihat sangat cari perhatian. Aku takkan biarkan dia menguasai Al. Aku takkan biarkan gadis itu bertingkah seenaknya sendiri." "Kenapa kau bicara sendiri?" Suaminya tiba-tiba saja muncul membuat Melani terkejut. "Kau tak perlu tau!" tegas Melani. Ia takkan bicara tentang Albani lagi di depan Martin. Kini dia harus berhati-hati sebab Martin dan dirinya punya pemikiran dan cara yang berlawanan. "Kau mengganggu Al ya." Martin mengambil handuk, ia akan bersiap untuk mandi. Pria itu baru saja pulang, ia curiga m
"Kau tak masalah minum wine?" tanya Albani. "Mm, boleh kalau hanya sedikit," jawab Aileen. Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Tubuhnya terasa lengket karena terkena tumpahan minuman yang tak sengaja mengenainya. Kejadiannya begitu singkat saat seorang pelayan hotel masuk membawakan sebotol wine untuk mereka sebagai hadiah. Aileen bermaksud memutar gelas, namun wine itu malah tumpah mengenai pakaian yang ia pakai. "Ah bagaimana ini," kata Aileen sembari memeriksa bajunya yang basah. "Apa basah sekali?" tanya Albani. "Ya, ini lumayan," terang Aileen. "Kau bisa bersihkan dulu, lalu pakai ini," ujar Albani memberikan satu set perlengkapan tidur pada Aileen. . "Tadi saya pikir mungkin ini perlu untuk berjaga-jaga," ucap Albani sambil menggaruk tengkuknya canggung. Rupanya Albani juga mempersiapkan baju tidur segala, batin Aileen gugup. Itu wajar, tak ada yang aneh dengan hal itu. Aileen berusaha tetap biasa dan tidak perlu memikirkan hal-hal aneh walau pikiran itu sela
Situasinya jadi amat canggung antara Albani dan Aileen. Mereka harus tetap di dalam kamar hotel sementara karena orang-orang yang membuntuti keduanya masih ada di sekitarnya. Aileen mencoba mengubur rasa tak nyaman itu dengan memainkan ponsel. Begitupun Albani, tapi pria itu memang sedang bekerja dengan ponselnya seperti biasa. "Kau sedang bekerja, ya?" tanya Aileen. "Ya, sedikit. Ada apa?" Aileen cepat menggeleng. "Tidak kok, hanya membuka obrolan karena terlalu sepi." Albani menatap Aileen sekilas kemudian memasukkan ponsel ke sakunya. "Kau bosan ya, apa kita keluar saja?" "Tidak, di sini saja. Maksudku memang ini rencananya untuk mengelabuhi mereka, kan," ujar Aileen. Albani juga sebenarnya bosan, tapi benar yang Aileen katakan barusan. Keberadaan keduanya di dalam kamar hotel demi mengelabuhi orang-orang di luar. "Em, sebenarnya ini membuatku penasaran, Al." "Penasaran?" "Ya, keluargamu, mengapa mereka harus mengawasi kita?" tanya Aileen ingin tau alasan