"Jangan mengindar lagi, Aileen. Saya ingin kita membicarakan ini serius." Pandangan Aileen mulai samar, kepalanya berdenyut pusing. Mungkin itu efek alkohol yang diminumnya, sehingga membuat Aileen sedikit kehilangan kesadaran. "Em, kita tidak bisa bicara serius saat ini," ucap Aileen. Pipi Aileen memerah, ia mulai gelisah. "Kenapa? Apa kau mulai mabuk?" "Em, mungkin sedikit. Karena itu, bagaimana kalau kita bicarakan hal seriusnya besok saja?" Aileen lalu menyentuh tangan Albani, menempelkan tangan pria itu di pipinya. "Aku mengerti, kita ini suami istri." Albani terhenyak dalam sentuhan tangan Aileen. "Hem, jadi kau mengerti.""Iya, kau suamiku, Al. Aku istrimu." Aileen terkekeh. "Iya, kan. Jadi, malam ini kita tidur bersama, harusnya begitu bukan?" "Ah, kau benar. Suami istri selalu bersama, tidak boleh tidur terpisah.""Hem, kau mau menggendongku ke kamar?" "Apa? Kenapa kau mau digendong?" "Ya, aku selalu ingin digendong oleh pria yang kucintai." Albani memejamkan mata s
Albani pertama kalinya merasa tertarik membuat pesta kejutan. Walau ini tidak bisa dikatakan benar-benar kejutan karena Aileen sudah tau malam itu Albani akan membuat pesta kecil-kecilan di rumah. Hanya saja ada perasaan aneh yang membuat Albani heran dengan dirinya. Padahal selama ini Albani bukan tipikal yang suka dengan pesta, apalagi merayakan ulang tahun. "Entahlah, saya rasa ini karena Aileen baik, mungkin saja begitu," gumam pria itu sambil mendekor ruangan yang disiapkan untuk pesta ulang tahun Aileen. Bahkan Albani sampai melakukannya sendiri, padahal mudah saja jika Albani tak mau repot, ia hanya tinggal menyuruh orang melakukannya. Tapi semua itu beralasan, Aileen pernah bilang ingin sekali diberikan kejutan yang manis dan tulus oleh seseorang. Seperti halnya acara makan malam dengan cahaya lilin, bukan di tempat mewah, melainkan di rumah, dibuat sendiri dekorasinya sesederhana mungkin. "Gadis yang aneh, padahal jujur ini merepotkan," gumam Albani. Tapi apa yang tak bis
"Rio." Rio mengehentikan langkah kakinya. Baru saja ia hendak masuk ke dalam kamar kontrakannya, ia malah mendengar suara tak asing. Suara itu jelas familiar bahkan begitu mendengarnya Rio langsung gemetar. "Rio, aku merindukanmu." Rio meremas telapak tangan, ingatannya mulai kembali pada situasi dimana ia dibuang seperti orang yang tak layak sama sekali. Harga dirinya diinjak-injak oleh wanita itu, seolah ia tak pantas untuk hidup sebagai pria normal lagi semenjak saat itu. Sampai kapanpun ingatan itu akan terus membuat kemarahan Rio terpancing. Ia yang selama ini berusaha bersikap tenang dan tak gegabah, hingga harus mengorbankan perasaan tulusnya terhadap gadis yang dicintainya selama bertahun-tahun demi nafsu sesaat yang justru membelenggunya dalam waktu lama. Setelah bisa terbebas dari itu, sekarang ia malah harus mendengar lagi suara mengerikan wanita itu. "Rio, kenapa kau tak mau berbalik?" tanya wanita itu. Rio tidak menjawab, ia memilih langsung masuk ke kamarnya d
Aileen tidak bisa mentolerir lagi tindakan berani Rio yang sengaja menaruh kue di atas mejanya, bahkan memberikan foto kebersamaan keduanya di masa lalu sebagai alat untuk mengancam. Meskipun saat itu Rio meminta maaf atas tindakan tidak sopannya menceritakan tentang hubungan mereka pada karyawan lain. Tapi tetap saja bagi Aileen itu keterlaluan dan ia tidak tahan lagi. "Bu Aileen, Anda mau kemana?" tanya Hasya, ia mengikuti Aileen yang kelihatan marah lalu pergi keluar ruangan menuju ruangan petugas kebersihan. "Bu, Anda tidak mau menemui Rio, kan?" Kata-kata Hasya itu membuat Aileen mengentikan langkah kakinya. "Memangnya kenapa kalau saya menemui dia?" "Maaf, Bu. Itu sama sekali bukan urusan saya, tapi saya wajib melindungi ibu dari anggapan buruk karyawan lain. Saya mohon, urungkan niat ibu. Kita bisa pikirkan cara lain agar Rio tak perlu lagi berurusan dengan Ibu." Hasya ada benarnya, kalau dia langsung melabrak Rio, yang ada namanya hanya akan semakin buruk. Meskipun ia men
"Cepatlah, kenapa kau dandan lama sekali sih!" Lenka buru-buru mengikuti Rio pergi, keduanya memutuskan untuk membuntuti Rio hari itu. Siapa lagi kalau bukan Marsha, keduanya sekarang menjadi partner untuk satu tujuan yaitu menyingkirkan Aileen. "Kau tau, aku sudah lama sekali tidak bertemu Al, sudah tiga hari dan itu rasanya seperti setahun." "Lalu apa hubungannya dengan berdandan lama, sih, bodoh!" ketus Lenka. Padahal Lenka juga suka berdandan, tapi menunggu Marsha berdandan rasanya sangat menjengkelkan. "Tentu saja ada hubungannya, aku harus tampak cantik di depan Al. Kau tau kan, tak ada yang boleh lebih cantik dari Marsha." Marsha berkata demikian dengan penuh percaya diri. Keduanya sudah berdiri di depan gang rumah kontrakan Rio. Saat itu Rio hendak pergi ke kantor untuk bekerja. "Ayo cepat, kita naik taksi," ujar Lenka mengikuti Rio yang baru saja masuk ke dalam angkutan umum. "Kenapa tidak naik mobilku saja sih!" ketus Marsha. "Kau bodoh atau apa, kalau pakai mobilmu
"Rio, kau tidak ada cerita seru lagi hari ini?" tanya Taka, keduanya memang dikenal akrab, kemana-mana selalu bersama saat bekerja pun begitu. Belum lama ini Rio sering memperlihatkan foto Aileen versi masa lalu pada rekan sesama petugas kebersihan. Tak heran jika teman-temannya jadi ingin tau lebih banyak tentang foto Aileen versi dulu. "Ah, apa maksudmu, cerita seru apanya." Rio bersikap seolah enggan memberitahu, ia memilih melanjutkan aktifitasnya membersihkan area pantry. "Hei, sebentar lagi kau akan membersihkan ruangan meja bu direktur, apa kau tak merasa rindu ingin tau kabarnya?" tanya Taka, mulai berani menyinggung ke arah sana. "Jangan berlebihan, kau tau saat ini bu Aileen sudah punya suami," sahut Rio. "Memangnya kenapa? Padahal kau punya banyak kenangan dengannya, kan, apalagi dia tampak sangat menyukaimu dulu," ucap Taka. Rio tersenyum canggung, ia melirik ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah situasi aman. "Kau mau lihat foto saat Aileen berulang tahun