Setelah kejadian hari itu, Erin tidak masuk kuliah selama beberapa hari. Ia justru sibuk membantu ayahnya memeriksa laporan tentang beberapa usaha yang dijalankan keluarganya. Gadis bermata coklat itu mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih banyak dari yang biasanya ia lakukan.
Meski dikenal sebagai salah satu anak orang terkaya di Yogyakarta, ia tidak hanya bermalas-malasan dan menghamburkan uang. Ia justru belajar dan bekerja lebih banyak.
Erin mematikan ponselnya dan hanya berkomunikasi dengan teman-temannya melalui I*******m yang dibukanya melalui PC. Ia mengetahui keadaan kacau di kampusnya juga dari teman-temannya. Nathan disebut akan menjalani sidang kode etik dan kemungkinan akan diturunkan dari jabatannya sebagai ketua BEM Fakultas.
Jessie memberitahu Erin bahwa Mina mulai dijauhi oleh teman-teman di angkatannya. Gadis berkacamata itu juga membolos selama beberapa waktu untuk menunggu suasana mereda. Erin yang membaca informasi dari teman-temannya itu hanya tersenyum simpul. Meski begitu rasa sakit hatinya masih belum juga berkurang.
David juga memberitahu Erin bahwa adiknya dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya karena mempermalukan keluarga sehingga hampir semua fasilitas yang biasa didapatkan mulai dihentikan setelah kejadian hari itu.
Gadis bermata coklat itu memandangi cincin saat ia bertunangan dengan Nathan dulu. Hari ini ia berencana mendatangi kediaman Nathan untuk membatalkan pertunangan tersebut. Erin sengaja memilih hari dimana Nathan tidak ada di rumah karena menjalani sidang kode etik organisasi. Ia tidak ingin ada keributan yang akan membuatnya merasa terbebani, karena bagaimanapun Erin pernah mencintai Nathan dalam waktu yang lama.
“Pa, ada yang mau Erin bicarakan… .”
Seorang pria tua berjas hitam yang sedang fokus di depan komputer itu menoleh ke arah sumber suara.
“Terkait pekerjaan?” tanya Harsano.
“Tidak, ini terkait hal pribadi… .”
Harsano melepas kacamatanya lalu berpindah duduk di sofa yang ada pada bagian tengah ruangan itu begitupun dengan Erin.
“Kamu sudah siap menceritakannya?”
“Papa sudah tau?”
“Ya, tentu saja, banyak karyawan yang membicarakan tentang itu.”
“Maafin Erin pa… .”
“Papa yang harusnya minta maaf karena kurang memperhatikan mu di saat kamu sedang kesulitan.”
Erin terdiam memandangi ujung sepatunya. Dulu dia lah yang memohon kepada ayahnya untuk mengizinkannya bertunangan dengan Nathan meski masih harus berkuliah. Saat itu ia benar-benar yakin di masa depan mereka akan menikah.
“Nathan berselingkuh… jadi Erin nggak mau lagi melanjutkan pertunangan ini,” ucap Erin pelan.
Harsano bangkit lalu mengelus kepala anaknya. Ia merasa bersalah karena kurang memerhatikan anak semata wayangnya itu.
“Baiklah…, apa yang perlu papa lakukan?”
Erin memandang ke arah ayahnya dengan ekspresi serius. “Saat ini belum ada, tapi kalau Erin butuh bantuan, pasti Erin bilang.”
Harsano menghela nafas. “Ya, papa akan selalu mendukung apa yang ingin kamu lakukan.”
Erin memeluk ayahnya, saat ini ia belum bisa mengatakan tentang maksudnya menikah karena bisa membuat ayahnya curiga.
“Makasih pa, Erin pergi dulu.” Harsano mengangguk dan membiarkan Gadis bermata coklat itu pergi dari ruangan itu.
***
Erin tiba di kediaman Nathan saat siang hari. Hanya ada ibu Nathan di rumah itu, qyah Nathan dan David masih belum pulang dari kantor tempat mereka bekerja.
“Erin?” ucap Amelian yang kaget dengan kedatangan Erin yang tiba-tiba.
“Selamat siang, ibu,” sapa Erin sambil tersenyum.
Amelian menjadi gugup. Ia tahu betul apa yang sudah terjadi namun Nathan sama sekali tidak membahas tentang Erin sejak hari itu.
“Ah iya, mari masuk.”
Gadis bermata coklat itu memasuki rumah minimalis tersebut dengan ekspresi tenang. Ia sudah beberapa kali datang ke rumah tersebut saat diundang.
“Kamu mau minum apa?” tanya Amelian dengan ekspresi cemas.
“Tidak perlu, saya hanya hampir sebentar… .”
“Ah begitu, bagaimana kabar mu? Saya dengar kamu beberapa hari ini tidak masuk kuliah?”
Erin tersenyum. “Ya, saya sedang menenangkan diri… .”
Amelian terdiam, ia menatap Erin dengan ekspresi sedih. “Maafkan ibu yang kurang dalam mendidik anak ibu.”
“Tidak kok, ibu penuh dengan kasih sayang dan tegas secara bersamaan, jika ada sesuatu yang salah itu bukan karena ibu,” ucap Erin mencoba menghibur.
Amelian terdiam, ia sudah merasa sangat sayang dengan Erin dan sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga.
“Saya ingin mengembalikan ini, saya ingin membatalkan pertunangan dengan Nathan. Saya sudah meminta izin dan papa sudah menyetujui ini,” ucap Erin sambil menyodorkan sebuah kotak cincin.
Amelian terdiam, ia ingin menahan perempuan itu tapi ia sadar betul bahwa tindakan anaknya sudah melewati batas.
“Maafkan ibu… .”
“Ibu tidak usah khawatir, saya tetap menyayangi ibu dan ayah seperti orang tua saya sendiri, sesekali saya akan tetap berkunjung.” Erin mencoba menghibur Amelian.
“Benarkah?”
“Ya… .”
Amelian menatap hangat Erin. Wanita paruh baya itu sejak lama menginginkan anak perempuan dan kehadiran Erin lah yang membuatnya merasa senang.
Erin terdiam, ada sedikit perasaan ragu. ‘Apa aku perlu sejauh itu hanya untuk balas dendam? Bukankah ayah, ibu dan mas David tidak bersalah?
“Saya mohon pamit dulu bu, saya hanya izin keluar sebentar kepada papa,” ucap Erin yang segera bangkit dari tempat duduknya.
“Ah baiklah… hati-hati di jalan Erin.”
Erin mengangguk lalu berlalu pergi. Pikirannya penuh dengan berbagai pertimbangan tentang apa yang dilakukannya selanjutnya. Namun amarahnya masih juga belum reda. Rasa sakit hatinya membuatnya tetap ingin membalas laki-laki yang sudah mengkhianatinya itu meski itu harus membuatnya menyakiti orang lain.
Drrrttt… sebuah pesan masuk muncul berkali-kali pada notifikasi layar ponselnya. Tidak lama kemudian panggilan masuk dari David muncul.
Klik…
“Ya halo?”
“Saya diberitahu ibu, kamu tadi datang ke rumah dan mengembalikan cincin tunangan?”
“Ya, saya tidak ingin datang saat Nathan ada di rumah karena dia pasti bersikeras menolak pembatalan pertunangan itu.”
David menghela nafas panjang. “Kenapa kamu tidak memberitahu saya?”
“Memangnya apa yang berubah jika saya memberi tahu anda?”
“Erin, kita sudah sepakat untuk bekerja sama, saya perlu tau tindakan mu untuk mengantisipasi hal lain.”
“Baiklah, maafkan saya… Saya akan memberitahu anda jika akan melakukan sesuatu nantinya.”
“Kamu belum mengatakan apapun tentang rencana pernikahan kan?”
“Tentu saja, saya harus memberi jeda agar semua terlihat alami… .”
“Kamu tidak berubah pikiran meski sudah bertemu ibu?”
Erin terdiam, ia bukannya tidak mengerti maksud perkataan David, hanya saja akal sehatnya dan hati nuraninya tertutup oleh amarah.
“Asal anda tidak mengatakan hal tersebut kepada ibu, beliau tidak akan merasa sakit. Bukankah ibu akan bahagia jika saya tetap menjadi menantunya?”
David menghela nafas panjang. Di satu sisi ia ingin membantu Erin sebagai bentuk balas budi, namun di sisi lain ia memikirkan orang-orang yang disayanginya.
Hati nurani Erin sepertinya ikut hancur bersamaan dengan perasaannya setelah diselingkuhi oleh laki-laki yang sangat dicintainya. Meski beberapa kali sempat menimbang, ia lagi-lagi lebih memilih melanjutkan rencana gilanya. Menikahi kakak dari mantan tunangannya.
*****
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”