Hari ini aku memilih stelan baju dan celana putih. Kusisir rambutku sebentar dan hendak kembali keluar.
Begitu pintu kamar mandi kubuka, dia sudah ada di depan mata dan mendorongku masuk, "Ikut aku mandi," Katanya."Richard, kau ini! Jangan main-main!" Aku melepaskan diri.
"Main-main? Aku suamimu, Jasmine."
"Anggap saja bukan," Jawabku. Tanpa menunggu, buru-buru aku langsung keluar sebelum dia semakin ganas.
Jujur, jantungku berdebaran karena takut. Tetapi untungnya tidak terjadi sesuatu.
Saat masuk ke dapur, ponselku yang ada di kamar berdering jadi aku kembali masuk kamar lagi.
Kuhampiri suara dimana ponsel itu berada, didekat meja panjang disalah satu sudut kamar. Ternyata Sasha yang menelponku. Begitu berbalik dan melihat kearah kamar mandi yang belum ditutup pintunya, aku berteriak.
"AAAAAHHH!!"
"Ada apa? Ada apa??!"
Demi tuhan, kenapa aku harus melihat Richard telanjang disana?! Lebih tepatnya, kenapa dia tidak menutup pintu kamar mandi?!!
"Kau ini! Ah! tidak tahu lah!" Kataku buru-buru keluar sambil melihat kearah lain.
Dia tertawa sambil geleng-geleng.
Diluar kamar, kuangkat telfon Sasha dengan jantung yang masih berdebaran.
"Hei,"
"Hallo, Jasmine... Kau dimana?"
"Aku dirumah Richard, Sha. Aku pindah disini sekarang."
"Aaaaawww! Bagaimana malam pertamamu?"
Aku melihat kearah ponselku dimana nama Sasha terpampang jelas disana. Hampir saja aku lupa kalau Sasha adalah Sasha.
"Bisakah kita bicarakan hal lain?"
Terdengar suara Sasha terkikik dibalik ponsel. "Kau mau pindah kerumah Richard, tidak mungkin tidak terjadi apapun, kan?"
Aku mendengus. "Tidak. Memang tidak terjadi apapun,"
"Ah, sepertinya kau merahasiakannya dariku,"
Aku memutar mata. "Hei, nanti kuhubungi kau lagi, bagaimana? Aku lapar dan belum makan, nanti kuhubungi lagi, oke?"
"Tap, Jas,"
Tanpa menunggu jawaban, langsung kumatikan panggilan.
Percuma jika aku harus bicara dengannya saat ini. Dia hanya akan memperkeruh suasana hati.
Aku duduk sambil memegang dadaku. Berusaha mengatur napas dan memikirkan cara masak.
Setelah kembali berdiri, aku langsung mencari bahan-bahan makanan yang ada di lemari atas maupun laci. Ada tepung, terigu, gula, dan semacamnya, sayangnya aku tidak tahu bagaimana cara mengolah semua bahan ini menjadi makanan. Sama sekali tidak tahu.
Untungnya di ujung lemari atas ada setoples sereal coklat. Kutarik toples tersebut dan menaruhnya di meja, kemudian kubuka kulkas ada susu. Sempurna!
Richard keluar dari kamar dengan rambutnya yang masih basah dan belum tersisir rapih. Dia melihatku sedang mengunyah makanan dengan lahap.
“Kau tidak membuatkan untukku juga?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku mengangkat bahu.
“Sereal?” Richard mengerutkan alis begitu melihat mangkuk makananku. Dia bingung.
Dia berjalan kearah dimana lemari atas paling ujung berada dan membuka lemari. Mengambil toples sereal yang tadi kuambil. “Tunggu… Apa kau ambil sereal dari toples ini?” tanyanya dengan wajah masih keheranan.
“Iya.” Jawabku sambil mengunyah.
Richard langsung menepuk dahinya sambil menghela napas panjang. “Ini bukan sereal, Jasmine. Ini makanan kucing!!!!”
Aku langsung tersedak dan spontan memuntahkan apa yang ada dimulutku ke mangkuk. Kemudian berlari kearah wastafel dan berusaha mengeluarkan isi perutku. “Hueek, hueekk, hueeekk,”
“Duuuh,” Richard geleng-geleng.
“Hueek, hueek, hueek,”
“Bagaimana mungkin kau tidak sadar ini makanan kucing?”
“Aku tidak tahu makanan kucing! Eww!” kuputar keran dan kumur-kumur.
Pantas saja rasanya seperti ikan teri dan sedikit aneh. Kupikir ini sereal keluaran terbaru, ternyata makanan kucing!
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanyaku dengan kesal.
“Kau tidak bertanya,”
“Dan untuk apa kau menyimpan makanan kucing disana?! kau bahkan tidak memelihara kucing, Richard!”
“Aku memelihara kucing sebelumnya. Tapi setelah tahu calon istriku takut kucing, aku tidak memeliharanya lagi.”
Kumatikan keran dan melihat kearah Richard dengan serius. “Dari mana kau tahu aku takut kucing?”
“Lily yang memberitahku,” jawabnya. Richard berusaha tidak tertawa. Entah dia hendak menertawakan kebodohanku karena makan makanan kucing, atau menertawakan mentalku yang takut kucing.
Aku mendengus. Diam-diam ternyata dia sudah mengambil beberapa informasi tentangku pada Lily. Gadis itu… benar-benar tidak bisa dipercaya.
“Hmmh!” Aku menghela napas.
“Jangan kesal. Kau mau kubuatkan pancake? Aku bisa membuatkanmu sesuatu,” katanya.
Aku diam.
Dengan lincah, dia mengambil beberapa bahan yang ada dilemari, menaruh mangkuk dan mencampur bahan-bahan tersebut disana. menyalakan kompor dan meletakkan penggorengan diatasnya.
“Bisa kau ambilkan margarin di kulkas?” pintanya padaku.
Kubuka kulkas dan mengambilkannya margarin. Dia tersenyum manis kearahku begitu kuberikan margarinnya.
“Kau harus bangga punya suami sepertiku… tidak semua pria bisa masuk dapur tapi aku bisa. Yah, meskipun skill-ku tidak seberapa, tapi setidaknya aku bisa membuat beberapa—”
Aku memutar mata dengan malas. Sekarang dia sedang membangga-banggakan dirinya dan aku harus mendengarkan semua itu. Karena kesal, kutinggalkan dia yang masih terus mengoceh. Begitu Richard sadar kata-katanya tidak ada satupun yang kutanggapi, dia melihat ke kanan dan mendapatiku sudah tidak disampingnya.
“Jasmine!” suaranya setengah berteriak.
Aku yang sedang rebahan di kamar sambil bermain ponsel tertawa. “Hahahaha,”
Dia pasti kesal dengan kelakuanku.
Kurang dari 15 menit kemudian, dia masuk kamar sambil membawa nampan berisi dua piring makanan. Ditaruhnya nampan tersebut di meja dekat tempat tidur sambil berkata dengan nada memerintah, "Cepat makan, setelah itu, kita berhubungan badan,"
Mendengar pernyataan tersebut, aku langsung membenarkan posisiku menjadi duduk. “Apa katamu? Berhubungan apa?”
“Jangan banyak bertanya. Cepat makan,”“Kau sudah gila, ya? Kau pikir aku mau melakukan hal semacam itu?”
Richard langsung duduk di kasur dan mendekatkan wajahnya kearahku.
Aku menatap ponselku. Menunggu pesan masuk dari Emily. Kemudian...Ting!Tanda pesan masuk baru. 1 foto blur yang otomatis ku unduh. Ketika gambarnya jelas, aku berdecak kesal."Dasar!" kataku.Rivi yang berdiri di belakangku ikut melihat apa yang kulihat."Siapa itu?" tanya Rivi.Tanpa perlu memperbesar foto pun aku tahu siapa pria itu. "Ini Suaminya Sasha, Riv." Kataku."Dasar, Emily. Kupikir Istriku bersama siapa,"Kemudian kudengar dari rekaman, Emily mulai beraksi. Dia yang sudah membawa nampan makanan mendatangi Jasmine dan Sasha sambil pura-pura mengenal keduanya. Kemudian dia ingin bergabung bersama mereka.Emily mengatakan bahwa dirinya juga alumni sekolah Jasmine. Dia tahu Jasmine populer, ketua cheerleaders dan semacamnya. Kemudian Sasha memberitahu pria yang bersama mereka itu suaminya dan Emily mengajaknya berkenalan juga.Setelah bertanya basa-basi kenapa mereka disini dan sebagainya, akhirnya topik berganti soal masa-masa sekolah. Aku dan Rivi mulai tegang karena takut
Malam hari jam pulang kerja, aku melihat CCTV rumah lewat ponselku. Ada Ibu datang entah sejak kapan. Kuputar mundur CCTV sampai di titik sore menjelang malam. Ibu datang pada saat itu. Kemudian aku kembali melihat apa yang sedang mereka bicarakan sekarang. Keduanya ada di dapur sambil tertawa. "Ibu memang tidak pintar memasak. Tapi untungnya Ayah mau makan ayam gosong itu," Jasmine masih tertawa. "Tapi seiring berjalannya waktu, Ibu mulai bisa beberapa resep. Hanya beberapa resep saja karena selebihnya sudah dikerjakan koki di rumah," Jasmine mengangguk-angguk. Aku ikut tersenyum melihatnya. Kemudian aku masuk ke dalam mobil. Meletakkan ponselku pada penyangga di dashboard, lalu menyalakan mesin. Selama perjalanan, aku tidak fokus mendengarkan pembicaraan mereka, tapi di lampu merah, Ibu berkata, "Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin memiliki cucu," Ibu melihat Jasmine sambil tersenyum lebar dan Jasmine merasa sedikit kikuk. "Apa kau sudah melakukan test pack?" Jasmine mulai b
Pagi itu aku meminta 3 suruhanku mencari informasi apapun tentang persahabatan dan riwayat hidup Jasmine. Hanya dalam waktu seminggu, mereka sudah memberiku berbagai informasi tentang Sasha dan Harit. Berapa lama mereka bersahabat, kemana saja mereka pergi, apa saja yang biasa mereka lakukan, film apa yang biasa mereka tonton. Juga sekumpulan foto Jasmine dengan mereka. Foto berpelukkan, foto di kelas waktu mereka masih SMA, juga foto dengan teman-temannya yang lain. Aku menggelengkan kepala sambil mengamati foto itu satu per satu. Belum ada hal yang mencurigakan disana. Kemudian informasi tentang sahabat Jasmine waktu SD sampai SMP yang bernama Sally. Foto-foto mereka berdua yang lebih banyak memeluk. Jasmine dan Sally selalu berdekatan. Mereka selalu pergi bersama sambil bergandengan tangan, bahkan Sally sudah dianggap anak oleh Mama Sarah. Mereka sudah satu kelas sejak SD sampai SMP, sayangnya setelah kelulusan SMP, Sally pindah keluar negeri hingga keduanya mulai putus komunika
Namaku Richard Holmes, tapi orang-orang terdekatku biasa memanggilku Richie. Aku lahir di musim kemarau, tepatnya pada bulan april sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama keluarga Holmes. Ayahku adalah pengusaha besar pemilik perusahaan Holmes dan keluargaku cukup terkenal di kalangan para pengusaha sebagai orang yang baik dan terpandang. Sejak kecil, kedua orang tuaku sudah memberikan yang terbaik. Mereka menyekolahkanku di sekolah terbaik, mencarikanku guru les terbaik dan mengumpulkan ku dengan orang-orang terpelajar. Banyak orang yang mengatakan diriku sempurna. Terlahir dari keluarga terhormat, memiliki fisik yang tampan, dan memiliki sifat yang dermawan seperti Ayahku (kata mereka). Tapi diantara 3 pujian tersebut, yang paling sering kudengar adalah ketampanan fisik. Sejak masuk taman kanak-kanak, sudah banyak perempuan yang ingin dekat denganku. Waktu sekolah dasar, aku pernah curi dengar anak-anak perempuan yang sedang membicarakanku. Salah satu diantara mereka meng
"K-kau..." Mama terbata-bata. "Apa yang kau pikirkan, Jasmine??" Tiba-tiba suaranya meninggi, tapi kemudian diam sambil menutup mata sejenak. Mama sadar kami sedang tidak berdua, ia manatap Lily dan memberinya isyarat untuk pergi. Lily yang sejak kemarin memang tidak tahu kejadian apapun langsung angkat kaki. Kemudian Mama kembali bertanya tapi kali ini suaranya jelas. "Jadi kemarin kau membentak Richard?""Hmm," Jawabku mengiyakan. "Astaga, Jasmine. Kau tahu? 21 tahun, Jasmine. 21 tahun Mama menikah dengan Papamu, sampai detik ini belum pernah Mama membentak. Kau baru 2 hari menikah langsung membentak suamimu seperti itu? Kau tahu posisi kita ini apa?" Suara Mama kembali meninggi hingga aku tak berani menatapnya lagi. "Tanpa keluarga Richard, Papa tidak bisa membesarkan perusahaannya menjadi seperti sekarang. 5 tahun lebih Papamu bekerja sama dengan keluarga Richard. Bisa-bisa hancur karena ulahmu!" "Tapi aku tidak mau menikah, Ma! Ini bukan kemauanku!" "Papa bilang kau sudah ma
Aku langsung mengambil bantal dan menepuk wajahnya yang hendak mendekat, "NOO!!" Richard mundur seketika. "Sudah kubilang aku tidak mau, aku tidak siap sekarang Richard, aku tidak si--" "Baiklah, baiklah." Richard mengangkat kedua tangannya. "Aku menyerah sekarang, sungguh, aku mau tidur saja," Dia merebahkan tubuhnya di kasur sedangkan aku masih duduk. Aku mendengus kesal karena kasur ini tidak luas. Mau tidak mau jarakku dengan Richard selalu berdekatan. "Kenapa?" Tanya Richard. "Harusnya kasur ini diganti dengan kasur sebelah." "Aku tidak mau." Jawab Richard. "Kasur sebelah bekas tidur tamu, dan kasur satunya bekas Rivi. Ini satu-satunya kasurku." "Duuuh, apa penting kasur ini bekas tamu atau siapalah," "Penting." Richard menghadapkan tubuhnya kearahku dan menutup mata. "Nanti kubelikan kasur baru... kau mau yang seperti apa? King size? Tapi begini saja sudah nyaman." "Ya. Nyaman untukmu tapi tidak untukku." Richard tidak menjawab. Dia masih menutup matanya. Aku kembali