LOGINSam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya.
Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh.
“Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu.
Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lalu memakai baju di kamar mandi atau berlari ke kamar memakai handuk.
“Stress gue!” katanya meremat rambutnya sendiri.
Belum selesai, pintu kamar Bulan juga dirasa kurang layak, tidak bisa ditutup rapat. Kalau ada orang lewat, yang di dalam bisa melihatnya, begitu yang di luar bisa mengintip yang di dalam.
“Mas-“
“Jangan manggil gue gitu!” potong Sam membentak, dia masih meremat rambutnya, menoleh dan melotot pada Bulan. “Heh, lo yakin ngajakin gue tidur di sini, hah?”
Bulan mengangguk polos, dia sudah membenahi kamarnya, bahkan memasang pendingin itu mendadak, beruntung ada pemuda kampung yang bisa membantunya.
“Kenapa emangnya, Mas?” tanya Bulan sambil memastikan tak ada yang aneh dengan kamarnya.
Sam menunjuk semua hal yang membuatnya tidak habis pikir. “Nggak ada tembok pembatas yang utuh, gue teriak begini, bapak lo denger. Terus, nggak ada plafon kamar, tikus bisa lewat kapan aja, nyamuk banyak. Terus, pintu ini nggak bisa ditutup rapet, pakai gorden gini lo pikir di IGD, hah? Satu lagi, nggak ada kamar mandi di kamar, lo mau gue lari-lari pake handuk ke kamar kalau habis mandi?”
Purfft ...
Bukan berniat menertawakan Sam, tapi semua yang Sam katakan itu lucu menurut Bulan. Selama dia tinggal di sini, bahkan semua rumah di kampung ini sama dengan rumahnya, tidak pernah ada keluhan seperti yang Sam sampaikan dari para tetangga, justru mereka nyaman. Tapi, laki-laki dari kota besar yang datang sudah penuh kesombongan itu mempermasalahkannya.
Bulan mengatupkan belah bibirnya, kemudian dia berkeliling kamarnya yang memang hanya sepetak itu.
“Kalau ada tikus, aku punya penangkapnya. Kalau ada nyamuk, aku selalu pasang obat nyamuk elektrik. Kalau temboknya nggak penuh itu, semua rumah di sini sama, lebih dingin. Kalau pintunya, orang di sini jarang memakai pintu di kamar mereka, rata-rata pakai gorden aja dan aman. Terus, kamar mandi, semua kamar mandi ada di luar kamar, Mas. Nggak perlu lari-lari, Mas bisa ganti di kamar mandi atau pakai handuk kimono, terus ganti di kamar,” jelas Bulan mengitari kamarnya.
“Ck! Gue nggak mau tidur di sini!” tolak Sam.
Bulan melorotkan kedua bahunya, Iwan selalu berpesan agar dia menjadi orang yang sabar lagi lembut karena orang yang dihadapinya tentu mempunyai karakter yang berbeda-beda, termasuk pada Sam. Gadis itu mendekat, dia sudah tidak memakai kebaya pernikahan, hanya gamis manis untuk menemui tamu yang kebetulan datang, sedangkan Sam masih memakai kemeja berjasnya. Saat tangannya hendak menyentuh tangan Sam, laki-laki itu menjauh dan menolaknya.
Bulan tersenyum. “Hanya malam ini, Mas nggak akan tidur lama di sini. Nggak apa ya kalau hanya malam ini, Mas?”
Sam merotasikan kedua bola matanya, memang dia hanya semalam di rumah Bulan, tapi protesnya banyak sekali. Tapi, tetap dia tidak akan merendah sama sekali.
“Yaudah, tapi gue nggak mau satu ranjang sama lo. Lo tidur aja di bawah pake tiker itu!” kata Sam menunjuk tikar yang ada di sudut kamar Bulan, bahannya kasar dan pasti membekas di kulit Bulan besok pagi. “Mau nggak lo?”
Lagi-lagi Bulan tersenyum, kemudian dia mengangguk.
“Bagus! Lo emang harus tahu bedanya gue sama lo, ambilin baju gue, gue mau mandi!” katanya berkuasa.
“Sekarang? Masih ada tamu loh, Mas-“
“Terserah gue, nggak ada urusan sama mereka, lo aja sana!” potong Sam dan itu hanya bisa Bulan angguki, dia pun bergegas mengambilkan baju untuk Sam, tadi mami Dara sudah memberitahunya.
***
Pukul 12 malam, Bulan baru selesai membereskan rumah, di bagian depan dibantu oleh beberapa pemuda kampung, sekali lagi Bulan mengucapkan terima kasih dan tidak lupa memberikan bingkisan sebelum mereka pulang.
Senyuman gadis itu melebar, setelah memastikan Iwan tidur dengan nyenyak, hari ini pasti sangat melelahkan untuk ayahnya. Sedangkan, kedua orang tua Sam sudah bertolak ke kota langsung, mereka tidak jadi menginap karena ada urusan yang harus mereka selesaikan.
“Ya Allah, lupa kalau ada suami!” katanya menepuk kening sendiri, Bulan bergegas ke kamarnya, kebetulan memang kamarnya dan Iwan itu bersebelahan. “Mas-“
Laki-laki itu sudah tidur, ranjang yang biasanya cukup untuk ukuran dua orang, sekarang dikuasai oleh Sam. Bahkan, laki-laki itu tidak memberikan dia bantal dan guling untuk tidur di bawah.
Seperti ini rasanya menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya, atau lebih tepat lagi menikah karena perjodohan yang orang tua mereka buat karena hubungan baik di masa lalu. Bulan melipat sebelah tangannya menjadi bantal, dia pun meringkuk dan memejamkan mata. Rasa lelah yang luar biasa, memudahkan gadis itu untuk terlelap meskipun tanpa perlengkapan yang semestinya.
Ish!
Sam menggosok pipinya, menepuk pelan, tapi terus saja berulang. Sudah dia gosok dan garuk, tetap saja pipi sampai tangan dan ujung kakinya terasa gatal. Belum lagi, mendadak dari atas seperti ada yang jatuh, suaranya sangat kencang.
“Apaan tuh?” gumamnya mulai membuka mata, dia melongo ke bawah, ada Bulan di sana, lalu melihat lagi ke atas. “Mampus gue kalau ada tikus jatuh! Lan, Lan, bangun lo, cepet!”
Hish, Sam memukul guling di sebelahnya, bagaimana bisa gadis itu bangun kalau dia bersuara pelan, tapi kalau dia bersuara keras, yang ada Iwan juga akan lari ke kamarnya tertatih-tatih. Suara di atas sana terdengar lagi, ini malam pertamanya setelah menikah, akan tetapi seperti sedang uji nyali saja meskipun dia berdua bersama Bulan di kamar.
Sam menurunkan sebelah kakinya, dengan ibu jari kakinya, dia berusaha menggoyangkan Bulan agar gadis itu terbangun.
“Lan, Lan ... gila lo, tidur apa mati?!” omelnya menggoyangkan lengan Bulan lagi, kali ini dia sudah ikut turun, berjongkok di samping Bulan. “Heh, cewek kampung, bangun! Ada pasukan hutan lo tuh, usir cepet!”
“Eeemm ... besok pagi ya, Pak!”
“Ck! Besok pagi, mata lo! Bangun!” sahut Sam, ternyata dia takut juga kalau Iwan terbangun.
Sial!
Sam mendekatkan wajahnya, mungkin dengan bersuara di depan wajah Bulan, gadis itu akan terbangun. “Laaaaan ...”
Namun, begitu Bulan membuka matanya, gadis itu berteriak kencang.
“BAPAK, MALING!”
Entah sihir apa yang ada pada diri istrinya itu, Sam merasa semuanya berbeda. Nama Sita yang dulu menguasai hatinya semakin ke sini semakin pudar, bahkan saat wanita itu memintanya bertemu, Sam memberikan alamat rumah sakit. "Iya—" Bulan tercekat melihat siapa yang datang, wajah itu tak mungkin ia lupakan. "Sebentar, saya panggilkan ya, duduk dulu!" Bulan menunjuk kursi tunggu di depan ruangan itu. Sita mengangguk, ia sendiri tak menyangka dan berpikir Sam yang sakit sampai tadi sebelum ke rumah sakit mampir membeli buah untuk teman istimewanya itu. Ternyata, bukan Sam, melainkan bapak mertua lelaki itu. "Bang, ada temennya," Kata Bulan. "Dia di depan, Bang," tambahnya. Sam yang tadi baru saja membalas email lantas berdiri, alih-alih keluar sendiri, lelaki itu yang tadinya sudah mengambil dua langkah, kembali lagi dan mengambil tangan Bulan untuk digenggam. "Iya?" "Ikut gue ke depan!" Walaupun cukup aneh dan tidak tahu maksud suaminya, status lelaki itu masih harus B
Cukup mengerikan Sam datang ke rumah sakit tempat tujuan mertuanya akan dipindahkan, prosesnya cukup rumit tadi, tetapi beruntung kondisi mertuanya membaik dan memenuhi peraturan untuk bisa dipindahkan. Mereka masih menunggu, Bulan tampak lebih tenang dari tadi pagi saat kabar itu baru diketahuinya. Bulan langsung ingin pulang, bahkan sudah siap ke terminal, beruntung mami dan papi mengetahuinya sehingga mereka mengajak Bulan berkoordinasi dengan pihak rumah sakit besar di sini sembari terus meng-update hasil perkembangan terbaru. Sebenarnya, tak lama juga Sam terlewat, tetapi seperti sudah lama sekali dan terlewat beberapa kejadian. Matanya menyapu seisi ruang tunggu, istrinya ada di sana, duduk bersandar pada tiang pembatas dengan wajah pucat dan basah. Semalam wanita itu demam, pun nekat melayaninya, wajar saja jika Bulan kurang sehat. "Lan," panggilnya sehingga wanita itu mendongak, menatapnya. Bulan terdiam, ia masih tak menyangka benar suaminya akan datang, walaupun mer
Tubuh Bulan nyaris menindih suaminya, Sam sendiri tidak menyangka jika tindakannya tadi akan seperti sekarang. "Aku—" "Diem! Gue bantu kompres, lo nurut!" potong Sam lantas menyingkirkan tubuh Bulan dari atasnya, lalu berdiri. Wajah lelaki itu memerah, dadanya berdebar-debar, ia tahu benar ukuran istrinya itu sejak malam setelah pernikahan. Dan tadi, astaga menempel padanya sampai nyaris tersedak, padahal tidak meminum apa pun. Sam mengeram dalam hati, tak pernah ia salah tingkah, bisa-bisanya dengan Bulan ia seperti pria baik-baik yang tak pernah dibelai. "Argh, resek! Udah kasih obat aja biar tenang dia, gue juga aman. Kalau dia sakit kan gue juga yang repot, mana disalahin mami, parah!" gerutunya, tangannya bergerak cepat mengambil kompres, obat, roti dan air mineral, semuanya di satu nampan, lalu dibawanya ke atas. Langkahnya sedikit mengendap, bahaya jika maminya bangun dan ketahuan, bisa digantung besok. "Duduk!" titahnya begitu di kamar. Bulan yang memili
“Ta, mual?” Sam melihat gejala aneh pada temannya itu. Sita yang menyadari keberadaan Sam spontan menghapus jejak basah di mulutnya kemudian berbalik dan tampil biasa. “Em, enggak, ini kayak nggak enak aja minumannya. Oiya, gimana? Kamu butuh apa ini?” Sita mencoba mengalihkan perhatian. Sam menggelengkan kepalanya, ia hanya menarik tangan Sita untuk ikut bersamanya selagi Leon sibuk dengan urusan yang lain, kebetulan pria itu bertemu kawan lama di sana. Di meja sudut bar itu dengan minim pencahayaan, Sam mengajak Sita duduk berdua di sana. Wajah Sita cukup terlihat tegang, pasalnya ia khawatir kalau mendadak mual di depan Sam dan pria itu akan curiga kepadanya, sedangkan semua itu haruslah terungkap usai ia menikah dengan Leon sebentar lagi. “Ada apa, Sam?” tanya Sita menunggu. Sam meletakkan sesuatu ke meja, menggesernya tepat ke depan tangan Sita yang indah di matanya, Sita suka sekali memakai gelang. “Apa ini?” Sita membukanya, matanya melebar begitu melihat hadiah a
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia







