“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar.
Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu.
Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas.
“Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya.
Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah.
“Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga.
Iwan melorotkan kedua bahunya sembari mengusap dada merasa lega, dia sampai tidak membawa tongkat ini tadi ke kamar Bulan saking paniknya.
“Yaudah, kalian lanjutin aja mainannya. Bapak tidur lagi ya, Nak!” kata Iwan senyum-senyum, tidak lupa mengepalkan tangannya memberi semangat.
Sam mengangguk, kemudian senyumnya itu hilang seperti ditelan bumi, berganti wajah sombong dan menyebalkan yang selalu tampil di depan Bulan. Laki-laki itu kembali menarik gorden dan menutup pintu yang memang tidak bisa ditutup sempurna, berbalik pada Bulan yang sudah kembali meringkuk.
Sam berjongkok di depan Bulan, gadis itu hampir-hampir menutup wajahnya dengan selimut sembari memejamkan mata.
“Ck! Ganteng gini lo bilang maling, emang ada maling seganteng gue, hah? Lagian, jadi maling juga mikir kali, nyuri di sini dapet apaan?!” omelnya mendorong kening Bulan setelah menarik turun selimut gadis itu.
“Ya, Mas tadi ngagetin aku. Kan, aku ya kaget. Emangnya, Mas Sam butuh apa?” balas Bulan mengubah posisinya duduk menghadap Sam.
Sam menunjuk atas, membuat Bulan mendongak kebingungan.
“Kenapa emangnya, Mas?” tanya Bulan tidak mengerti.
“Kenapa, kenapa! Lo tidur kayak orang mati, tuh pasukan tikus udah salto-salto di atas, gue keganggu!” jawab Sam kembali mendorong kening Bulan.
“Terus, Bulan harus gimana? Mas tutupin aja deh telinganya ya, bentaran aja!” Bulan kembali terdorong mundur, lagi-lagi dia salah.
Terpaksa, malam ini harus Sam lewati dengan waswas, dia tidak nyaman sama sekali. Setiap kali ada suara dari atas, maka dia akan menendang kaki Bulan untuk kembali terjaga sampai dia mendengkur. Terhitung, lebih dari sepuluh kali Bulan terbangun karena kaki Sam, gadis itu pun memilih untuk membuat kopi dan terjaga saja. Tikar yang tadi dia gunakan tidur sebentar, Bulan lipat, dia ganti dengan kasur lipat tipis yang ada di kolong ranjang, setidaknya tidak terlalu sakit sambil menunggu Sam tidur.
Adzan shubuh pun terdengar, Bulan hendak bersiap mengambil wudhu dan salat, berbeda dengan Sam yang menarik selimut hingga menutup kepala sambil mengomel.
“Kenceng banget, sakit telinga gue!” kata Sam protes.
Bulan tersenyum. “Makanya, Mas bangun. Kita salat shubuh bersama, yuk!”
“Ogah, lo aja. Susah emang tinggal di kampung, berisik!” omel Sam lagi.
Bulan hanya bisa menghela nafasnya sembari mengusap dada, berharap Sam bisa berubah kelak dan menjadi lebih baik lagi. Tidak peduli mau tinggal di kampung atau kota, adzan tetaplah panggilan yang indah.
Biasanya, Bulan akan salat bersama Iwan, akan tetapi karena dia tidak mengatakan yang benar pada ayahnya, Iwan meminta Bulan salat bersama Sam saja yang katanya sudah berwudhu sebelum Iwan bangun. Gadis itu pun patuh, dia masuk kamar dan salat di dalam yang tanpa sepengetahuan Iwan, dia hanya salat seorang diri, suaminya masih tidur.
***
“Nak Sam nggak sarapan, Nduk?” tanya Iwan sudah menikmati teh panasnya.
Bulan melirik kamarnya, Sam saja belum mau bangun, dia harus mencari alasan yang sekiranya membuat Iwan tidak memandang buruk pada suaminya itu dan sudah menjadi tugasnya menjaga naa baik Sam.
“Sebentar lagi katanya, Pak. Di sini dingin kalau pagi, mas Sam jadi pengen balik tidur lagi, gitu,” jawab Bulan sembari merapihkan jilbabnya.
“Oo, ya namanya orang kota jarang bisa nikmatin pagi hari kayak gini. Oh ya, kan di rumah ini cuman ada Bapak sama suamimu. Nggak apa kalau kamu lepas jilbabnya, Nduk!” Iwan menunjuk kain segiempat yang sudah terpasang di kepala Bulan.
Astaga, beruntung semalam bukan dia yang menemui Iwan, kalau tidak, Iwan akan curiga dengan hubungannya bersama Sam. Lagi-lagi, mengingat bagaimana semalam, kesalnya kembali datang.
“Kamu masih malu sama suamimu?” tanya Iwan senyum-senyum.
“Hehehe, Bulan cuman kebiasa aja, Pak. Lagian, kalau ada tamu mendadak, Bulan udah siap,” jawabnya dirasa masuk akal, Iwan pun memahaminya.
Setelah menyiapkan sarapan Iwan, gadis itu pun kembali ke kamar, senyumnya terbit saat melihat sang suami sudah duduk di tepi ranjang dengan ponsel menyala di tangannya. Bulan akui kalau suaminya itu tampan meskipun sifatnya membuat Bulan harus lebih sabar lagi.
Sam melirik kecil, lalu kembali fokus pada ponselnya. Sedangkan, Bulan membuka tas laki-laki itu untuk mengambil baju ganti.
“Mas mandi ya, setelah itu sarapan. Aku siapin bajunya,” kata Bulan.
“Gue? Sarapan harus mandi dulu? Terus, mandi lagi di kamar mandi kecil lo itu yang kayak ponten umum?”
Bulan memejamkan matanya sebentar, lalu menoleh sembari tersenyum. “Iya, Mas biar segeran dan makin ganteng. Ini bajunya ya, Mas!”
Sam berdecih, air di daerah sini memang segar dibuat mandi, tapi dia terbiasa ada pilihan air hangat dan dingin, sedang di sini mau mandi air hangat saja harus masak air lebih dulu. Bulan letakkan baju lengkap Sam di samping laki-laki itu, tidak lupa handuk yang sudah dia ambil dari jemuran belakang. Tapi, saat dia beranjak ke luar, tanpa sengaja bersamaan dengan itu Sam berdiri. Tubuhnya dan Sam saling bertabrakan.
Keduanya tidak seimbang sehingga terjatuh bersama, Sam berada di bawah, sedangkan Bulan menindihnya. Masalahnya bukan itu, Sam tidak keberatan dengan bobot tubuh Bulan, tapi dia keberatan pada dua bongkahan yang menindih dan terasa begitu tebal di sisi wajahnya.
“Semangka atau jambu air?” batin Sam memutar bola matanya ke kanan dan kiri.
“Gila, gue ketindih gunung!” batinnya lagi.
“Ya Allah,” ucap Bulan setelah sadar, gadis itu beranjak bangun, merapihkan baju juga jilbab panjangnya dan berlalu ke luar kamar dengan wajah memerah.Kesadaran Sam belum sepenuhnya kembali, dia tertegun dalam posisi terlentang sambil membayangkan dua benda yang menghimpitnya tadi.
“Ta, mual?” Sam melihat gejala aneh pada temannya itu. Sita yang menyadari keberadaan Sam spontan menghapus jejak basah di mulutnya kemudian berbalik dan tampil biasa. “Em, enggak, ini kayak nggak enak aja minumannya. Oiya, gimana? Kamu butuh apa ini?” Sita mencoba mengalihkan perhatian. Sam menggelengkan kepalanya, ia hanya menarik tangan Sita untuk ikut bersamanya selagi Leon sibuk dengan urusan yang lain, kebetulan pria itu bertemu kawan lama di sana. Di meja sudut bar itu dengan minim pencahayaan, Sam mengajak Sita duduk berdua di sana. Wajah Sita cukup terlihat tegang, pasalnya ia khawatir kalau mendadak mual di depan Sam dan pria itu akan curiga kepadanya, sedangkan semua itu haruslah terungkap usai ia menikah dengan Leon sebentar lagi. “Ada apa, Sam?” tanya Sita menunggu. Sam meletakkan sesuatu ke meja, menggesernya tepat ke depan tangan Sita yang indah di matanya, Sita suka sekali memakai gelang. “Apa ini?” Sita membukanya, matanya melebar begitu melihat hadiah a
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia
Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya. Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu. “Mas-“ Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!” “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung. “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal. Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah am
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal