“Ta, mual?” Sam melihat gejala aneh pada temannya itu. Sita yang menyadari keberadaan Sam spontan menghapus jejak basah di mulutnya kemudian berbalik dan tampil biasa. “Em, enggak, ini kayak nggak enak aja minumannya. Oiya, gimana? Kamu butuh apa ini?” Sita mencoba mengalihkan perhatian. Sam menggelengkan kepalanya, ia hanya menarik tangan Sita untuk ikut bersamanya selagi Leon sibuk dengan urusan yang lain, kebetulan pria itu bertemu kawan lama di sana. Di meja sudut bar itu dengan minim pencahayaan, Sam mengajak Sita duduk berdua di sana. Wajah Sita cukup terlihat tegang, pasalnya ia khawatir kalau mendadak mual di depan Sam dan pria itu akan curiga kepadanya, sedangkan semua itu haruslah terungkap usai ia menikah dengan Leon sebentar lagi. “Ada apa, Sam?” tanya Sita menunggu. Sam meletakkan sesuatu ke meja, menggesernya tepat ke depan tangan Sita yang indah di matanya, Sita suka sekali memakai gelang. “Apa ini?” Sita membukanya, matanya melebar begitu melihat hadiah a
"Iya, Bang?" Bulan mengerutkan keningnya tipis, mereka sudah berada di kamar dengan pintu terkunci rapat. "Abang mau sesuatu?" Sam memejamkan matanya singkat, pusing sekali menghadapi wanita satu itu, selain penampilannya yang membuat sakit mata, ternyata juga banyak bicara dan pandai sekali memberikan jawaban yang sialnya terkadang Sam banyak kalahnya. "Lo tau kalau harus jaga nama baik gue, kan? Bisa-bisanya, lo ke luar kamar nggak bilang-bilang, hah? Kalau mami tanya gue di mana, gimana? Lo jawab apa? Gue habis kabur, terus capek, akhirnya molor bangun gitu?" tuduh lelaki itu sambil menunjuk wajah Bulan. "Abang tenang aja, aku nggak jawab gitu kok. Maaf ya, Bang, aku nggak pamit. Tadi, dingin aja di sini dan kalau aku udah coba bangunin kamu, tapi rada susah. Maafin ya, Bang?" Alih-alih ikut meledak seperti Sam, Bulan justru mengambil bawahnya sehingga amarah lelaki itu hilang. "Yaudah, lo harus tau itu pokoknya. Beda kalau nanti udah tinggal di rumah sendiri, lo bebas mau pam
"Ngapain kamu tanya soal Sita?" tanya Sam melotot dan manyun pada Bulan, mereka sedang berada di kamar lama Sam sekarang seperti yang mami Dara mau. Bulan menggedikkan kedua bahunya. "Tanya aja, Bang. Kalian deket banget tadi sampe pelukan, dia bukan mah-" "Nggak usah ceramahin gue!" potong Sam menutup telinganya, lalu bergegas mengganti baju tanpa peduli saat itu Bulan pun kesusahan melepaskan aneka aksesoris di kepalanya, sepanjang perjalanan kembali ke rumah pun seperti itu, masih menempel di kepala Bulan. "Gue mau ke luar, lo tidur aja sendiri!" "Bang, kalau mami sama papi tanya gimana?" Bulan berusaha menahan suaminya itu, sungguh dia harus ekstra sabar menghadapi Sam. "Bebas lo mau ngarang apa, intinya kasih tahu mereka baik-baik!" jawab Sam menggeser tubuh Bulan sehingga dia bisa segera ke luar dan pergi ke tempat yang sudah dia janjikan bersama teman yang lain, termasuk ada Sita di sana bersama Leon. Bulan memejamkan matanya sembari mengusap dada, baru saja satu hari dia
Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya. Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu. “Mas-“ Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!” “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung. “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal. Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah am
“LAN!” Iwan berteriak di depan kamar. Sekarang, bukan hanya Bulan di kamar itu, tapi ada menantunya. Tidak mungkin Iwan main masuk, kalau yang di dalam ternyata sedang bermain maling-malingan, dia akan malu. Tapi, sejauh ini memang rumah mereka aman dari maling, baru kali ini Iwan mendengar Bulan berteriak seperti itu. Sementara itu, Sam membekap mulut Bulan dengan kedua tangannya, meminta gadis itu diam. Bulan pun mengangguk, bodohnya dia bisa berteriak seperti itu, pasti Iwan sangat cemas. “Eh, Nak Sam ... Bapak ke sini cuman itu loh-“ astaga, mana bisa Iwan melanjutkannya, apalagi Sam ke luar dengan kancing baju terbuka sebagian. “-Sam, tadi Bulan teriak, itu kenapa?” sambungnya. Sam tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, malu, tapi biarlah. “Maaf ya, Pak, kalau tadi Bulan teriak dan bangunin Bapak. Nggak apa, kami cuman lagi main aja, Pak,” jawab Sam malu-malu, lebih tepatnya dia sedang bergaya malu-malu saja agar Iwan tidak curiga. Iwan melorotkan kedua ba
Sam menganga melihat kamar yang akan dia tempati nanti malam, di bagian atas tidak ada plafonnya, langsung terlihat barisan kayu dan genteng, tampak celah-celan di mana menjadi peluang bagi tikus dan hewan lainnya masuk meskipun belum ada tanda-tandanya. Dan satu lagi, tembok pembatas antara kamar Bulan dan Iwan itu tidak utuh sampai atas, bila dia bersuara sedikit keras saja, Iwan bisa mendengar mereka, begitu sebaliknya. Itu, katanya Bulan baru saja memasang pendingin ruangan, benar adanya. Tapi, bukan untuk kamar Bulan saja, melainkan dibagi dengan kamar Iwan karena kondisi tembok pembatas yang tidak utuh. “Gila, gue naik kursi aja udah kelihatan tuh orang lagi ngapain di sebelah. Ini niat apa nggak bikin kamar?” gerutu Sam berkacak pinggang, dia benar-benar memeriksa tinggi tembok itu. Dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai rambutnya berubah putih juga dia tidak akan menemukan kamar mandi di kamar Bulan. Itu artinya dia harus ke luar kamar bila ingin buang air atau mandi, lal