Share

Resepsi Pernikahan

Berat meninggalkan Iwan sendirian di rumah ini meskipun ada pesuruh dari kedua mertuanya yang senantiasa menjaga nanti, tetap saja Bulan merasa akan jauh lebih baik bila Iwan ikut bersamanya.

 Namun, Iwan memutuskan untuk tidak ikut, acara resepsi yang akan digelar di kota besar itu pun tanpa kedatangan Iwan karena kondisinya yang tak memungkinkan. Dan siang ini, Sam memboyong Bulan ke kota setelah sempat berziarah ke makan ibu kandung Bulan lebih dulu.

 “Mas-“

 Sam menekan jari telunjuknya di depan mulut Bulan. “Lo bisa nggak sih kalau manggil gue jangan begitu?!”

 “Em, emangnya aku harus manggil kamu apa?” balas Bulan bingung.

 “Di tempat gue, nggak ada yang dipanggil ‘Mas’, dikiranya nanti aku yang jagain rumah atau kang kebun. Panggil yang lain!” titahnya kesal.

 Bulan berpikir sejenak, dia bingung karena setiap panggilan yang dia utarakan, tidak cocok, Sam menolaknya. Laki-laki itu sungguh membuat kesabarannya harus dipertebal lagi, baru hitungan jam menikah saja rasanya sudah ampun-ampun.

 “Yaudah, kalau gitu, Bulan panggil kamu ‘Abang’ aja,” katanya memutuskan.

 “Emang bang bakso?” balas Sam lagi tidak terima.

 “Terus apa? Bukannya, di tempat kamu itu dipanggilnya begitu? Atau mau dipanggil ‘Encang’ aja?”

 Sam melotot, memangnya dia siapanya Bulan sampai harus dipanggil begitu, dia juga tidak terlalu tua sehingga cocok dipanggil dan disebut pamannya Bulan. Terpaksa, dia setuju dengan panggilan yang itu, kalaupun harus memaksa Bulan memanggilnya ‘Kakak’, entah kenapa telinganya juga merasa aneh, apalagi logat Bulan tidak cocok saja menyebut itu.

 Sepanjang perjalanan, sebisa mungkin Bulan melayani apa saja kebutuhan suaminya itu. Kasar dan seenaknya sendiri, tapi kalau Bulan beri sesuatu selalu diterima seperti orang tidak pernah diperhatikan meskipun awalnya harus mengomeli Bulan lebih dulu. Tujuan mereka tetap di rumah utama keluarga Sam, mereka akan tinggal tidak jauh dari rumah itu nantinya, semua sudah disiapkan dan akan mulus kalau orang tua Sam tidak melihat keanehan pada tingkah anaknya itu.

 “Lo denger baik-baik!” katanya memerintah.

 “Apa, Bang?” tanya Bulan polos.

 “Lo harus jaga sikap lo di depan semua orang, termasuk kedua orang tua gue. Jangan pernah sekalipun lo bahas kejelekan gue di depan mereka! Jangan laporan! Mereka harus tahu kalau gue jadi suami yang baik buat lo!” jawab Sam memerintah seenaknya.

 Bulan tertegun dengan suruhan itu, dia tahu kalau istri adalah pakaian untuk suaminya, tapi dia di sini sendiran. Kalau bukan pada mertuanya itu, lantas dia harus bercerita pada siapa, otomatis dia akan datang pada mami Dara yang bukan hanya dikenal sangat baik, tapi memang baik padanya.

 “Denger nggak?”

 “Iya.”

 “Awas lo kalau sampe mereka manggil gue karena aduan lo!” kata Sam menunjuk kening Bulan, baru mengajak gadis itu masuk, sedang mami Dara sudah menunggu tak sabar sejak tadi.

 Bulan tersenyum sebagaimana yang sudah Sam katakan tadi, harus terlihat baik-baik saja dan mereka itu pasangan yang sangat serasi, tanpa peduli rasa tertekan yang Bulan rasakan karena Sam terus saja mengintimidasinya. Gadis itu memeluk mami Dara dan Hardja bergantian, dua orang ini memperlakukannya dengan baik sejak lama, sangat amat berbeda dari Sam sendiri.

 Mami Dara mengantarkan Bulan ke kamar Sam yang ada di lantai dua, kamar yang sudah dihias sedemikian rupa untuk pengantin baru dan rencananya sengaja mami Dara membatalkan pesanan kamar hotel hanya untuk keduanya bisa bermalam di sini saja.

 “Papi nggak lagi bercanda’kan?” Sam membelalakkan kedua matanya.

 “Salah gimana? Tanya aja sama mamimu, dia yang atur!” jawab Hardja menyeringai tipis.

 Sam berdecak, seharusnya dia sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu melawan dan menutupi apapun dari kedua orang tuanya, mereka terlalu cerdas. Rencana Sam untuk meninggalkan Bulan sendiri di kamar hotel dan dia main pun batal, sebab dia harus pulang ke sini setelah resepsi selesai.

 Ah, dia ingin sekali ikut minum bersama Sita dan yang lain. Jujur, sejak kemarin dia terbayang Sita, seperti ada yang menyambar hatinya dan tidak nyaman.

 “Mi-“

 “Kamu istirahat sama istrimu, sebelum sibuk resepsi!” potong mami Dara membuat Sam tidak bisa berkata-kata.

 Semua rencana yang sempat Sam dengar sebelum pernikahan ini terjadi, semuanya berubah, dia hanya mendengar angin, sedang kenyataannya yang terjadi sekarang di bawah kendali mami Dara, dia tinggal terima.

 Dengan wajah kesal, Sam pergi ke kamarnya. Semakin kesal lagi, kamar yang sudah dia penuhi nuansa serba hitam putih itu, sekarang berubah warna menjadi hijau muda.

 “Mamiiiiiiii ...” raungnya tidak berdaya.

 ***

 Bulan tidak menyangka akan ada resepsi pernikahan se megah ini, dia yang terbiasa sederhana, sedikit kebingungan meskipun masih bisa dia tutupi dan bersikap biasa saja. Beruntung dia diberikan ibu mertua yang sangat baik sehingga apapun yang membuatnya risau, teratasi dengan mudah.

 “Bulan, ayo ke depan sama Mami!” ajak mami Dara menggandeng tangan menantunya.

 Bulan mengangguk, dia memakai gaun pernikahan mewah dan pastinya mahal, tapi tetap dengan gaya berbusananya yang serba tertutup. Jilbab yang memanjang menutupi dada dan rambutnya pun tidak membuat sinar di wajah Bulan lantas redup. Walaupun dia tidak menunjukkan tubuhnya dengan pakaian resepsi pernikahan yang seksi lagi terbuka, semua tamu yang hadir dibuat terperangah dan kagum, tidak salah bila Bulan menjadi menantu di keluarga besar ini.

 Bulan sedikit gugup, apalagi dia harus terus tersenyum di samping kedua orang tua Sam dan bergandengan dengan suaminya seolah mereka sangat dekat. Dilihatnya wajah Sam yang berubah dingin saat menoleh padanya, bahkan laki-laki itu menyeringai lagi menatap remeh, sangat berbeda saat Sam menyambut para tamu dan temannya.

 “Sam!” seru salah satu tamu undangan, Bulan pun ikut menoleh ke arah itu.

 Seorang gadis dengan gaun malam yang dibilang seksi lagi cantik berlari ke hadapan Sam, melompat sehingga tubuhnya diterima dan digendong oleh Sam, mereka berpelukan cukup lama. Di sini, seperti tidak ada Bulan sama sekali, keduanya berbicara banyak dan berfoto sendiri tanpa peduli ada Bulan sebagai istri Sam.

 “Halo,” sapa seorang laki-laki yang tidak lain itu Leon, teman Sam dan kekasih Sita.

 Bulan tersenyum tipis, dia mengatupkan kedua tangannya memberi tanda pada Leon bahwa dia tidak bisa membalas uluran tangan laki-laki yang bukan muhrimnya.

 “Oo, oke, maaf ... Selamat ya, jangan hiraukan mereka! Sita udah lama jadi temen Sam, mereka udah deket banget kayak anak kembar, gue aja pacarnya sampe dikacangin, maklum ya!” jelas Leon merasa tidak enak karena sejak tadi Sita bahkan belum berjabat tangan dengan Bulan.

 “Iya, nggak apa, Mas. Terima kasih banyak ya,” balas Bulan tidak terlalu menatap Leon.

 Leon pun menepuk bahu Sita dan sedikit menarik tangan itu, memberi isyarat pada Sita bahwa ada istri Sam di sini dan dia belum memberikan selamat.

 “Hei, selamat ya!” kata Sita seraya menarik Bulan dalam dekapannya, menggoyangkan ke kanan dan kiri. “Kamu kalau dia macem-macem, inget ada aku! Aku bisa bikin dia kapok, pokoknya kalau sama aku, dia nurut banget!”

 “Sayang ...” tegur Leon mengalungkan tangannya di bahu Sita.

 Bulan hanya tersenyum setelah melepaskan pelukan itu, dia melirik ke arah Sam, seperti ada yang aneh di sini, ekspresi Sam seakan tidak suka melihat Leon begitu dekat dengan Sita, padahal baru saja Leon mengatakan kalau dia itu teman sekaligus kekasih Sita sendiri.

 “Aku doain kalian cepet dapet momongan,” kata Sita.

 “Aamiin, makasi banyak, Mbak,” balas Bulan, lagi-lagi tersenyum.

 Dua orang itu lantas turun pelaminan, setelah sebelumnya tentu saja Sita mendatangi Sam dan memeluk lagi. Bisa Bulan lihat jelas bahwa saat ini suaminya berkaca-kaca dalam dekapan Sita dan dekapannya sangatlah kuat.

 “Apa bener cuman temen?” gumamnya lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status