Menyadari Yuna pergi tanpa pamit, dua pria itu akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Di tangan mereka masing-masing ada surat yang diberikan Yuna. Saking paniknya, Arga langsung berlari ke mobil. Namun, Bian mencegah dan menyarankan agar mereka menyewa jasa supir untuk mengantar mereka pulang.Bagaimanapun, kepala Bian masih pusing. Ia tidak ingin mengambil resiko. Jangan sampai mereka berdua malah mengalami kecelakaan karena kurang konsentrasi dalam berkendara."Apa Yuna memasukkan sesuatu ke dalam kopi kita semalam?" tanya Arga mencoba menerka alasan mengapa mereka berdua bisa tertidur sepulas itu."Jangan tanyakan hal yang sudah pasti. Bukankah Yuna sendiri juga punya obat-obatan yang ditunjukkan pada kita? Aku sendiri tidak menduga jika dia sampai senekat ini," balas Bian yang membaca kalimat demi kalimat yang ditulis Yuna.Arga mengusap wajahnya kasar. Informasi tentang keberangkatan adiknya ke Seoul masih abu-abu. Benarkah Yuna berangkat ke sana? Bukankah adiknya sendiri minta
Sepasang mata sembab itu menatap sendu ke arah layar televisi di sebuah klinik kecil. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak sanggup mengungkapkan apa yang saat ini tengah ia alami. Rasanya masih sulit percaya ia lolos dari maut.“Kasihan sekali para penumpang pesawat itu. Katanya, tidak ada satu pun yang selamat. Banyak yang menduga, cadangan oksigen di pesawat habis. Makanya, penumpang pesawat itu tidak ada yang keluar sebelum pesawatnya jatuh,” komentar salah seorang perawat.“Huh ... keluarga korban pasti sangat terpukul. Yang kudengar, salah satu penumpangnya adalah putri mentri,” sambung yang lain.OB yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengepel lantai turut berkata, “Pesawatnya jatuh dan patah jadi dua karena membentur karang yang cukup besar. Jadi banyak korban yang hanyut dan tenggelam.”“Tapi masih ada juga yang masih bisa diselamatkan jasadnya karena masih duduk di bangku pesawat. Tubuhnya tidak terbawa arus karena masih terpasang sabuk pengaman,”
Dari balik kaca jendela taksi online, sepasang mata tak hentinya menitikkan cairan bening. Ia melihat para pelayat yang keluar masuk melintasi gerbang rumahnya. Suasana duka menyelimuti kediaman keluarga Diratama. Keluarga itu berduka setelah kehilangan putri bungsu mereka.“Maaf kalau aku egois. Papi sama mami akan sangat malu saat tahu aku hamil di luar nikah. Kak Bian sama sekali tidak ingat. Dia pasti akan meragukan anak dalam kandunganku,” batin Yuna menekan dadanya yang sesak.Sebelum Yuna meminta supir taksi online kembali melaju, ia melihat calon kakak iparnya keluar. Tasya terus saja menggerutu. Langkahnya yang disentak diikuti oleh mamanya. Perlahan ia menurunkan sedikit kaca mobil agar bisa mendengar percakapan mereka.“Tasya! Tasya! Dengarkan mama!” bentak wanita itu sembari menarik lengan putrinya.“Apa lagi sih, Ma?” sahut Tasya yang sudah gerah dan ingin cepat kembali ke apartemennya.
‘Perut kamu kram itu karena kurang olahraga, Yun. Sampai kapan sih, kamu mau jadi gadis manja? Aku juga heran, kenapa harus kamu yang dijodohkan denganku?’ “Nona Ayuna?” “Ha?! Dokter bilang a-apa tadi?” tanya gadis cantik itu tersentak. Ia tidak fokus karena memikirkan penolakan seseorang yang enggan menemaninya ke rumah sakit. “Di dalam sini,” ucap dokter berjibab biru itu menunjuk perut Yuna. “Ada dua janin yang tumbuh. Selamat ya, Anda hamil anak kembar!” Mata Yuna mengerjap seperti mata boneka. Gadis itu masih linglung mengetahui dirinya hamil. Fakta itu perlahan menghadirkan semburat kemerahan di kedua pipinya. Sudut bibirnya tertarik naik melukis senyum mengembang hingga memamerkan deretan gigi putihnya. “Hamil ... aku hamil,” lirihnya parau dengan mata berkaca-kaca. Rasanya ia masih sulit percaya. Apalagi ia mengandung buah cintanya dengan Bian. Laki-laki yang dijodohkan dengannya dan begitu sulit ia luluhkan. Sungguh ia tidak menyangka jika dalam rahimnya ada darah dagin
"Pa, sampai kapan aku harus pura-pura bahagia jadi pacarnya Yuna? Papa tahu? Kepalaku selalu mau meledak menghadapi sifat manjanya itu," keluh Bian menyandarkan tubuh lelahnya di sofa.Ponselnya serasa diteror oleh gadis itu. Dua pesan terakhir pagi tadi enggan dibalas Bian. Baginya, pertanyaan Yuna sama sekali tidak penting. Tanpa rasa bersalah ia pun menolak panggilan telpon gadis itu."Sabar sebentar lagi, Nak. Papa sama orang tuanya Yuna masih ada proyek kerja sama. Proyek ini sangat menguntungkan kedua belah pihak," jawab Andra pada putra sulungnya.Bian mencebik kesal. Meski Yuna cantik, wajahnya imut menggemaskan, tapi sifatnya yang kekanakan membuat Bian kadang merasa jadi pasien hipertensi.Ia tidak ingin mati muda hanya karena punya pacar gadis kekanakan seperti Yuna. Ditambah lagi kedua orang tuanya sendiri begitu memanjakan Yuna seolah gadis itu adalah putri mereka sendiri. Hidupnya akan makin sengsara kalau gadis itu yang jadi istrinya.Selama ini yang membuatnya cukup be
Yuna mengulas senyum kala keluar dari mobilnya. Dengan menenteng sebuah paper bag berisi kue kesukaan Bian, Yuna menghampiri ART keluarga Kawiraginandra."Selamat sore, Bibi. Apa Tante Amba ada di dalam?" tanya Yuna."Selamat sore juga, Nona. Makin cantik saja," puji wanita yang sedang menyiram bunga itu. "Nyonya ada di dalam, lagi buat puding.""Oh iya Bi, ini coklat buat keponakan Bibi. Kemarin aku janji sama dia. Aku titip ya, soalnya aku nggak bisa lama-lama," ucap Yuna mengulurkan sebungkus coklat dari dalam tas selempangnya."Terima kasih ya, Nona. Tiap kali ke sini, pasti ada saja yang Nona kasih buat keponakan saya," ujar wanita itu terharu. Ia sangat berharap gadis itu yang kelak menjadi nyonya mudanya."Sama-sama, Bi. Yuna masuk dulu, ya," pamitnya.Yuna meneguhkan hati lalu mengayuh langkah menghampiri ibu dari pacarnya. Amba sedang menuang adonan pudingnya ketika Yuna masuk ke dapur.“Hai, Sayang. Tumben nggak telpon dulu, tante kayak lagi dikasih surprise, deh,” ujar Amba
Keesokan harinya, pagi Bian disambut dengan satu pesan dari Yuna. Gadis itu mengabari jika selama tiga hari ia akan berlibur ke tempat neneknya. Mungkin akan sulit menghubunginya karena kondisi jaringan seluler di sana kurang baik.Senyum Bian seketika merekah. Itu artinya selama tiga hari kedepan, dirinya tidak akan diusik oleh Yuna. Dirinya akan bebas dari cerewetnya gadis itu. “It’s like freedom days!” sorak Bian.Secepat kilat Bian beranjak dari tempat tidur. Ia ingin fokus kerja dan lembur hari ini. Dengan begitu selama akhir pekan nanti, ia bisa menikmati waktu dengan bebas. Tidak akan ada Yuna yang merengek manja dan membuatnya sakit kepala.Andra dan Amba heran melihat putra sulungnya yang tampak begitu bahagia pagi ini. Mereka baru saja membahas hubungan antara Bian dan Yuna."Tumben senyum-senyum terus?" tanya sang papa.Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Bian menjawab, "Yuna lagi ke tempat neneknya. Artinya, Bian nggak akan sakit kepala selama tiga hari."Amba m
Tiga hari berlalu dan mereka kembali menyambut hari Senin. Bian kembali dengan kesibukannya di kantor, mendapat pesan ajakan makan siang dari Yuna. Isi pesannya ada hal penting yang harus mereka bahas berdua saja.Meja di ruangan luas itu tampak penuh dengan banyak orang yang sedang mengisi perut. Karyawan resto sejak tadi wara-wiri melayani penikmat sajian. Termasuk Bian dan Yuna yang juga sedang menikmati makan siang. Namun, satu kalimat yang dilontarkan Yuna membuat Bian tersedak."Kamu bilang apa barusan?!" sentak Bian yang tak habis pikir dengan ucapan Yuna beberapa detik yang lalu.“Nikahi aku sehari saja!” ulang Yuna.Bian menggeleng pelan. Gadis yang mengajaknya makan siang bersama ini, sudah gila. Setelah tiga hari tanpa kabar, Yuna datang membawa permintaan yang terdengar seperti petir yang menggelegar."Kamu sadar dengan kekonyolan kamu barusan, Yuna?" tanya Bian memijat kepalanya."Sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Mungkin saat melakukannya, dia tidak sadar sama sekal