‘Perut kamu kram itu karena kurang olahraga, Yun. Sampai kapan sih, kamu mau jadi gadis manja? Aku juga heran, kenapa harus kamu yang dijodohkan denganku?’
“Nona Ayuna?”
“Ha?! Dokter bilang a-apa tadi?” tanya gadis cantik itu tersentak. Ia tidak fokus karena memikirkan penolakan seseorang yang enggan menemaninya ke rumah sakit.
“Di dalam sini,” ucap dokter berjibab biru itu menunjuk perut Yuna. “Ada dua janin yang tumbuh. Selamat ya, Anda hamil anak kembar!”
Mata Yuna mengerjap seperti mata boneka. Gadis itu masih linglung mengetahui dirinya hamil. Fakta itu perlahan menghadirkan semburat kemerahan di kedua pipinya. Sudut bibirnya tertarik naik melukis senyum mengembang hingga memamerkan deretan gigi putihnya.
“Hamil ... aku hamil,” lirihnya parau dengan mata berkaca-kaca.
Rasanya ia masih sulit percaya. Apalagi ia mengandung buah cintanya dengan Bian. Laki-laki yang dijodohkan dengannya dan begitu sulit ia luluhkan. Sungguh ia tidak menyangka jika dalam rahimnya ada darah daging dari laki-laki yang merebut hatinya. Kini ia merasa jika memiliki Bian bukan lagi sebuah kemustahilan.
“Usia kehamilan Anda masih sebulan. Trimester pertama kehamilan itu sangat rentan. Hindari beraktivitas berat, terutama stres. Asupan makanan juga harus dijaga dan perbanyak konsumsi makanan yang mengandung asam folat. Jadi, saya harap Anda bisa memberikan perhatian lebih untuk kehamilan pertama ini. Apalagi Anda hamil bayi kembar,” tutur sang dokter turut tersenyum melihat raut bahagia di wajah pasiennya.
“Bu Dokter ... ini bukan mimpi, ‘kan? Rasanya aku ingin teriak,” cicit Yuna mengulum senyum saat gel di permukaan perutnya dibersihkan.
“Ini nyata, nanti saya cetakkan foto USG-nya. Untuk kontrol berikutnya, tolong ajak suami Anda datang,” ucap dokter itu beranjak ke meja kerjanya.
Deg! Suami?
Raut wajah Yuna seketika berubah. Mereka belum menikah dan Bian adalah pria yang sangat sibuk. Terlebih belakangan ini mereka bahkan jarang bertemu karena pria itu sedang mempersiapkan pembukaan cabang perusahaan keluarganya.
“Tapi kayaknya Kak Bian mau deh, nunda rapatnya. Keponakannya sakit, rapatnya di-cancel. Dia bahkan rela kerja dari rumah sakit. Masa buat anaknya sendiri dia nggak mau?” batin Yuna optimis.
“Bila suami Anda berhalangan atau sibuk, dia bisa menghubungi saya saja,” saran dokter kandungan itu ramah. Ini bukan pertama kalinya ia melihat pasien yang tidak menanggapi pertanyaan serupa.
Yuna mengangguk penuh semangat. Begitu besar harapannya Bian akan menemaninya datang layaknya pasangan berbahagia yang menanti kehadiran buah cinta mereka. Sesaat sebelum Yuna melewati pintu, seorang suster masuk menghampiri dokter.
“Dok, pasien yang datang dua hari lalu memutuskan untuk aborsi. Dia ingin buat janji konsultasi dengan Anda sore ini. Orang tuanya tidak mengizinkan dia melahirkan bayinya karena dia hamil diluar nikah,” ucap suster itu sendu.
Yuna bergeming menyadari satu fakta baru. Ia terlalu larut dalam euforia karena kehamilannya. Ia lupa jika dirinya juga mengalami hal serupa dengan gadis yang menjadi topik pembicaraan dua orang di belakangnya. Dirinya juga hamil diluar nikah.
Mami dan kakaknya mungkin akan memaafkannya. Namun, bagaimana dengan papinya? Hamil diluar nikah jelas adalah sebuah aib untuk keluarga besar Diratama.
“Aku harus segera bicara dengan Kak Bian. Aku yakin, Kak Bian bisa menjelaskan semuanya dengan baik pada papi. Selama ini papi yang paling sering satu frekuensi dengan Kak Bian. Bukankah papi juga yang ingin menjodohkan kami? Ayolah Yuna, jangan kebanyakan mikir. Ingat, ada dua janin di perut kamu,” batinnya kembali melajukan mobil setelah suara klakson kendaraan lain bersahutan. Ia harus fokus menyetir untuk segera tiba di kantor Bian.
Jantung Yuna semakin berdebar ketika tiba di lobi kantor dengan belasan lantai itu. Selama lift bergerak naik, Yuna justru teringat malam panas antara dirinya dengan Bian. Semua itu juga bermula di lift.
Flashback on
“Huh! Punya kakak kok bukannya meringankan beban, malah merepotkan! Tadi aku ditinggal gitu aja. Sekarang malah disuruh ke sini. Ini mereka sebenarnya pada ngapain?” gerutu Yuna mengingat sang kakak memintanya menjemput Bian setelah menghabiskan waktu bersama beberapa teman lamanya.
Kalau saja bukan untuk bertemu Bian, Yuna memilih pulang ke rumah saja. Namun, entah kenapa hatinya resah mengingat suara samar teman-teman kakaknya sedang meracau. Terbersit dugaan mungkin saja mereka sedang mabuk.
Ting!
Pintu lift terbuka dan ia melihat seorang wanita berpakaian seksi menghampiri Bian. Mata Yuna melotot dan bergegas menarik Bian sebelum wanita itu membawa pergi prianya.
“Sudah kubilang, Bian itu punya kekasih, Sayang. Nah, Yuna ini gadis yang dijodohkan dengan Bian. Lihat tuh, gercep banget ini anak. Tahu aja calon suaminya mau dibawa cewek lain,” racau salah seorang teman Bian yang sedang berpelukan dengan gadis lain. “Yun, kakak kamu udah kabur duluan pas denger ceweknya jalan sama cowok lain. Kami pamit, mau seneng-seneng.”
Yuna tidak mengatakan apa pun dan hanya mengangguk. Sejujurnya ia juga merasa pusing karena mencium aroma alkohol. Ketiga orang itu sudah keluar lebih dulu. Kini tinggal Yuna dan Bian.
“Kak, kita pulang, yuk!” ajak Yuna mengguncang tubuh Bian yang bersandar dengan mata terpejam.
“Sebentar Yun, kepalaku sakit. Aku mau tidur sebentar. Sudah dua hari aku tidur cuma sejam atau dua jam saja,” keluh Bian merogoh kartu akses di saku jasnya.
Yuna menerima kartu kamar 1102 lalu membantu Bian yang kesulitan melepas dasinya. Yuna menebak mungkin Bian merasa gerah. Namun, tiba-tiba saja Bian merangkul pinggang dan menahan tengkuk Yuna.
Yuna tersentak kaget kemudian membelalak saat bibirnya dilumat tanpa permisi. Bian mencuri ciuman pertamanya. Tubuh Yuna awalnya sekaku kayu jati. Namun, lambat laun ia terbuai dan mulai membalas ciuman Bian.
Ketika Yuna merasakan sengatan kecil di lehernya, ia bisa mendengar suara lirih Bian memujinya cantik. Rasanya Yuna semakin melambung dan tanpa canggung memeluk tubuh tinggi tegap itu. Aroma alkohol yang menyengat terkalahkan dengan bisikan mesra.
Flashback off
“Apa nanti anak kembar kami juga akan seperti Kak Bian dan kembarannya? Pasti akan sangat menyenangkan jika punya sepasang cowok cewek. Nggak apa-apa deh, kalau nggak mirip sama aku. Lebih baik mereka mewarisi semua hal baik dari Kak Bian biar jadi bibit unggul. Calon suamiku tampan, pinter, tinggi sama baik hati. Dia nyaris sempurna,” batin Yuna rasanya tidak sabar untuk tiba di lantai teratas.
Yuna mencoba menghubungi Bian. Akan tetapi, panggilan telpon darinya justru ditolak. Yuna masih berusaha berpikir positif, mungkin Bian sedang rapat. Tadinya Yuna ingin mengirim pesan seperti biasanya. Namun, kali ini ia urungkan.
“Nggak jadi deh, aku mau kasih Kak Bian kejutan,” gumamnya mengusap perutnya yang masih rata.
***
"Pa, sampai kapan aku harus pura-pura bahagia jadi pacarnya Yuna? Papa tahu? Kepalaku selalu mau meledak menghadapi sifat manjanya itu," keluh Bian menyandarkan tubuh lelahnya di sofa.Ponselnya serasa diteror oleh gadis itu. Dua pesan terakhir pagi tadi enggan dibalas Bian. Baginya, pertanyaan Yuna sama sekali tidak penting. Tanpa rasa bersalah ia pun menolak panggilan telpon gadis itu."Sabar sebentar lagi, Nak. Papa sama orang tuanya Yuna masih ada proyek kerja sama. Proyek ini sangat menguntungkan kedua belah pihak," jawab Andra pada putra sulungnya.Bian mencebik kesal. Meski Yuna cantik, wajahnya imut menggemaskan, tapi sifatnya yang kekanakan membuat Bian kadang merasa jadi pasien hipertensi.Ia tidak ingin mati muda hanya karena punya pacar gadis kekanakan seperti Yuna. Ditambah lagi kedua orang tuanya sendiri begitu memanjakan Yuna seolah gadis itu adalah putri mereka sendiri. Hidupnya akan makin sengsara kalau gadis itu yang jadi istrinya.Selama ini yang membuatnya cukup be
Yuna mengulas senyum kala keluar dari mobilnya. Dengan menenteng sebuah paper bag berisi kue kesukaan Bian, Yuna menghampiri ART keluarga Kawiraginandra."Selamat sore, Bibi. Apa Tante Amba ada di dalam?" tanya Yuna."Selamat sore juga, Nona. Makin cantik saja," puji wanita yang sedang menyiram bunga itu. "Nyonya ada di dalam, lagi buat puding.""Oh iya Bi, ini coklat buat keponakan Bibi. Kemarin aku janji sama dia. Aku titip ya, soalnya aku nggak bisa lama-lama," ucap Yuna mengulurkan sebungkus coklat dari dalam tas selempangnya."Terima kasih ya, Nona. Tiap kali ke sini, pasti ada saja yang Nona kasih buat keponakan saya," ujar wanita itu terharu. Ia sangat berharap gadis itu yang kelak menjadi nyonya mudanya."Sama-sama, Bi. Yuna masuk dulu, ya," pamitnya.Yuna meneguhkan hati lalu mengayuh langkah menghampiri ibu dari pacarnya. Amba sedang menuang adonan pudingnya ketika Yuna masuk ke dapur.“Hai, Sayang. Tumben nggak telpon dulu, tante kayak lagi dikasih surprise, deh,” ujar Amba
Keesokan harinya, pagi Bian disambut dengan satu pesan dari Yuna. Gadis itu mengabari jika selama tiga hari ia akan berlibur ke tempat neneknya. Mungkin akan sulit menghubunginya karena kondisi jaringan seluler di sana kurang baik.Senyum Bian seketika merekah. Itu artinya selama tiga hari kedepan, dirinya tidak akan diusik oleh Yuna. Dirinya akan bebas dari cerewetnya gadis itu. “It’s like freedom days!” sorak Bian.Secepat kilat Bian beranjak dari tempat tidur. Ia ingin fokus kerja dan lembur hari ini. Dengan begitu selama akhir pekan nanti, ia bisa menikmati waktu dengan bebas. Tidak akan ada Yuna yang merengek manja dan membuatnya sakit kepala.Andra dan Amba heran melihat putra sulungnya yang tampak begitu bahagia pagi ini. Mereka baru saja membahas hubungan antara Bian dan Yuna."Tumben senyum-senyum terus?" tanya sang papa.Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Bian menjawab, "Yuna lagi ke tempat neneknya. Artinya, Bian nggak akan sakit kepala selama tiga hari."Amba m
Tiga hari berlalu dan mereka kembali menyambut hari Senin. Bian kembali dengan kesibukannya di kantor, mendapat pesan ajakan makan siang dari Yuna. Isi pesannya ada hal penting yang harus mereka bahas berdua saja.Meja di ruangan luas itu tampak penuh dengan banyak orang yang sedang mengisi perut. Karyawan resto sejak tadi wara-wiri melayani penikmat sajian. Termasuk Bian dan Yuna yang juga sedang menikmati makan siang. Namun, satu kalimat yang dilontarkan Yuna membuat Bian tersedak."Kamu bilang apa barusan?!" sentak Bian yang tak habis pikir dengan ucapan Yuna beberapa detik yang lalu.“Nikahi aku sehari saja!” ulang Yuna.Bian menggeleng pelan. Gadis yang mengajaknya makan siang bersama ini, sudah gila. Setelah tiga hari tanpa kabar, Yuna datang membawa permintaan yang terdengar seperti petir yang menggelegar."Kamu sadar dengan kekonyolan kamu barusan, Yuna?" tanya Bian memijat kepalanya."Sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Mungkin saat melakukannya, dia tidak sadar sama sekal
Kemarin Bian bisa lega sejenak. Sahabatnya menghubunginya bukan untuk membahas Yuna. Arga justru menggodanya karena belakangan ini adiknya tampak bahagia. Bian justru dilanda dilema berat. Permintaan aneh Yuna perlahan membuatnya migrain.Keresahannya itu tak luput dari mata kedua orang tuanya. Andra dan Amba sejujurnya sangat penasaran. Akan tetapi, mereka juga enggan bertanya karena menduga jika semua itu ada hubungannya dengan Yuna.“Setelah mengatakan permintaan gilanya itu, kenapa gadis ini tidak membalas satu pun pesan dariku?” gumam Bian melempar ponselnya ke sofa.“Tumben kamu pulang cepat? Biasanya kalau nggak nemenin Yuna, kamu milih lembur di kantor. Oh … mama lupa, dia udah bisa nyetir, jadi nggak bakalan mau repotin kamu lagi,” ucap Amba meletakkan camilan di meja.“Mama habis arisan?” tanya sang suami dan Amba mengangguk.“Kenapa tidak minta dijemput sama papa? Bukannya Mama biasanya arisan di kafe dekat kantor?” tanya Andra mengernyit heran.Amba menghela napas lalu ber
Beberapa menit kemudian, bukan sebuah alamat yang dikirim oleh Arga. Isi pesan dari sahabatnya itu adalah pesan yang diteruskan dari Yuna. Yuna meminta untuk tidak menemuinya, kecuali Bian setuju dengan syarat yang diajukannya. Hanya geraman dan umpatan yang bersahutan dalam mobil Bian. Laki-laki itu tidak menyangka jika sikap Yuna padanya bisa berubah sedrastis ini. Isi pesan itu begitu kaku dan terkesan tegas. Bian tak kehabisan akal. Ia mampir ke sebuah outlet dan membeli kartu baru untuk menghubungi Yuna. Sedikit lega karena gadis itu menanggapinya. Walau tanggapannya tidak sebaik yang diharapkan Bian. “Kak Bian nggak perlu ke sini. Menemani tunangan ke salon itu hanya buang-buang waktu, bukan?” ucap Yuna kembali menyindir telak Bian yang selama ini sering mengatakan hal itu. “Tapi Yun, kena-” Klik! Bian menghembuskan napas lewat mulut. Kedua pipinya sampai menggembung maksimal. Ia bahkan menggaruk kepalanya frust
Bian mengedikkan bahu. “Bukan gue, Bro. Tapi adek lo yang bikin masalah. Dia minta dinikahi sehari aja. Gila nggak, tuh?” batin Bian. Ia belum sanggup berbagi masalah ini dengan Arga. “Lo nggak nyusulin Yuna?” tanya Arga kala mengulurkan minuman kaleng dari kulkas kecilnya. Bian menggeleng lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sepulang dari kantor ia bergegas menyusul Yuna. Nyatanya, ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Yuna masih mengabaikannya. Sialnya lagi, ponsel Yuna malah tertinggal di kafe. Sungguh, gadis itu masih saja ceroboh. Bian merasakan tubuh dan pikirannya lelah. Empuknya alas tidur membuat sejenak tubuhnya rileks. Rasa kantuk perlahan menghampiri. “Bian, apa lo serius suka sama Yuna?” tanya Arga tiba-tiba. Hilang sudah rasa kantuk Bian. Bian yang sejak tadi memejamkan mata akhirnya beringsut menegakkan punggung. Ditatapnya Arga yang menerawang jauh keluar jendela kamar. Entah kenapa, Arga tiba-tiba bertanya hal ini. Mung
“Kumohon Papi sama Mami mau merestui pernikahan ini. Aku tidak mau anakku lahir dan dicap anak haram. Kumohon maafkan Arga kali ini saja, Pi, Mi,” pintanya memeluk kaki maminya. Wanita ayu dengan rambut digelung itu mendongak menatap suaminya yang mondar-mandir. “Mas …,” lirihnya. “Kita akan menikahkan mereka bulan ini juga. Ingat, minta kekasihmu tinggal di rumah ini sampai bayi kalian lahir! Papi tidak ingin cucu papi lahir cacat karena kebiasaan buruknya. Jangan kira papi tidak tahu kalau wanita itu kadang menenggak alkohol bersamamu!” cecarnya lagi berlalu tanpa mau menatap putranya lagi. “Maafkan Arga, Mi,” ucap Arga mengenggelamkan wajahnya di atas kedua lutut wanita yang telah melahirkannya itu. “Mami butuh waktu untuk memaafkan kamu. Buktikan penyesalanmu ini dengan memperlakukan istri dan anakmu dengan sebaik mungkin. Mami kecewa, tapi kesalahan ini bukan hanya kamu sepihak. Harusnya kami juga lebih tegas dengan meminta kalian segera menikah,