Share

Bab 2 Cukup Enam Bulan

"Pa, sampai kapan aku harus pura-pura bahagia jadi pacarnya Yuna? Papa tahu? Kepalaku selalu mau meledak menghadapi sifat manjanya itu," keluh Bian menyandarkan tubuh lelahnya di sofa.

Ponselnya serasa diteror oleh gadis itu. Dua pesan terakhir pagi tadi enggan dibalas Bian. Baginya, pertanyaan Yuna sama sekali tidak penting. Tanpa rasa bersalah ia pun menolak panggilan telpon gadis itu.

"Sabar sebentar lagi, Nak. Papa sama orang tuanya Yuna masih ada proyek kerja sama. Proyek ini sangat menguntungkan kedua belah pihak," jawab Andra pada putra sulungnya.

Bian mencebik kesal. Meski Yuna cantik, wajahnya imut menggemaskan, tapi sifatnya yang kekanakan membuat Bian kadang merasa jadi pasien hipertensi.

Ia tidak ingin mati muda hanya karena punya pacar gadis kekanakan seperti Yuna. Ditambah lagi kedua orang tuanya sendiri begitu memanjakan Yuna seolah gadis itu adalah putri mereka sendiri. Hidupnya akan makin sengsara kalau gadis itu yang jadi istrinya.

Selama ini yang membuatnya cukup berkompromi adalah mamanya. Mamanya ingin sekali punya seorang putri. Entah karena rakus atau memang lupa bersyukur. Padahal, punya anak kembar laki-laki yang rupawan dan cerdas seperti dirinya dan Gian, kadang membuat orang lain merasa iri.

"Aku harap Papa tidak benar-benar minta aku menikahi Yuna. Aku nggak bakalan mau punya istri manja kayak dia," ungkap Bian bergidik.

Baru membayangkannya saja, entah kenapa bulu kuduk Bian menegak. Ia tidak sanggup menghabiskan sisa hidupnya dengan mengurusi wanita manja.

"Kalau saja sifatnya Yuna sedikit saja, kayak adik iparku. Mungkin aku akan sedikit mempertimbangkannya, Pa." Bian terkekeh sambil menguntai langkah mendekati meja kerja papanya.

Pria setengah abad itu sejak tadi menyimak ucapan Bian. Andra bersandar di kursinya lalu menatap lekat putra sulungnya. Biantara dan Giantara memang punya fisik yang mirip, tapi sifatnya berbanding terbalik.

"Papa cuma mau mengingatkan, jangan sampai kamu menyesal karena melewatkan berlian," kata Andra sarat penuh harap.

Entah mengapa pria itu merasa jika putranya terlalu sombong. Sejujurnya ide untuk meminta Bian menjadi pacar Yuna dengan alasan kerja sama dengan sahabatnya hanya kedok. Mereka memang berniat menjodohkan Bian dan Yuna.

"Nggak bakalan, Pa. Aku lebih suka gadis anggun, mandiri, cerdas, berkarakter dan bisa bersikap dewasa. Yuna itu bukan cuma manja, dia juga berisik. Mirip kayak bocah SMA yang jiwanya terjebak dalam tubuh gadis dewasa yang berusia 22 tahun," keluh Bian.

"Di mata papa, Yuna punya banyak kelebihan yang tidak dimiliki gadis lain. Contohnya saja, hatinya yang lembut," ungkap Andra.

Bian menggeleng. Keputusannya untuk lepas dari Yuna sudah tepat. Cukup enam bulan, waktu yang disepakatinya dengan sang papa juga sudah dekat. Tinggal menghitung hari saja dirinya akan putus dan bebas dari makhluk manja seperti Yuna.

Di balik pintu ruangan, Yuna hanya bisa terdiam mendengar ucapan Bian. Ternyata selama ini, laki-laki itu hanya pura-pura sabar menghadapinya demi kerja sama kedua orang tua mereka.

Bian menolaknya karena ia gadis manja. Jauh dari kriterianya yang lebih suka gadis mandiri dan bersikap dewasa.

"Kita pergi saja ya, mama yakin papa kamu akan menolak kita lagi. Nanti mama pikirkan bagaimana caranya kita bisa hidup. Mama janji, mama tidak akan manja lagi," gumam Yuna mengusap perutnya seiring langkah kakinya menjauh dari tempat Bian.

Gadis bersurai panjang berwarna hitam legam itu memasuki lift. Tangan kirinya terulur menekan tombol lantai paling bawah. Yuna bahkan tidak berbalik menatap pintu lift. Disaat yang sama, Bian pamit untuk kembali ke ruangannya.

Wajahnya yang semula ceria, kini berubah seperti pasien yang divonis akan gagal jantung. Sorot mata Yuna redup seperti awan mendung. Terhenyak, tak jauh berbeda seperti patung.

Ketika pintu lift kembali terbuka, Yuna keluar dan berjalan tergesa menuju mobilnya. Perlahan mini cooper miliknya memasuki keramaian jalan.

Tadinya Yuna pikir dirinya bisa tegar. Namun, kalimat-kalimat yang diutarakan Bian beberapa saat lalu bagaikan belati yang menyayat pilu. Terus saja terngiang menusuk ulu hatinya.

Bulir-bulir bening itu kian mengalir deras. Gadis yang telah kehilangan kesuciannya itu hanya bisa berteriak keras. Dalam mobilnya yang melaju kencang, tak akan ada yang mendengar atau memakinya, meski ia berteriak seperti orang yang tidak waras.

Yuna tidak menyangka akan mengandung darah daging dari pria yang sudah dicintainya sejak satu dekade lalu. Sahabat kakaknya itu adalah cinta pertamanya. Segala perhatian Bian selama ini membuat rasa cintanya semakin besar. Namun, ternyata semua itu palsu.

"Kupikir dia mulai mencintaiku. Waktu tidak bisa menjadi jawaban untuk perasaannya. Biantara Raga Kawiraginandra. Aku akan mengingat nama ini sebagai masa lalu," batin Yuna mengusap air matanya.

Yuna menatap puncak gedung kantor perusahaan milik keluarga Bian. Ia tidak akan menginjakkan kakinya di sana lagi. Tidak akan pernah!

Mulai hari ini, Yuna berpikir untuk mulai menyusun rencana. Bukan untuk membalas Bian, melainkan pergi dari hidup pria itu. Mungkin, dari semua orang juga, termasuk keluarganya sendiri.

Yuna tidak menyangka jika papinya menjadikan dirinya jaminan bisnis. Ia tidak punya waktu lagi. Tersisa dua minggu lagi waktu enam bulan hubungannya dengan Bian. Semakin lama menunda, kandungannya juga akan semakin membesar.

"Papi sama kakak pasti akan marah besar kalau tahu aku hamil. Mami mungkin mau memaafkanku, tapi pasti mami juga akan kecewa saat tahu, Kak Bian menolak untuk nikah sama aku," racau Yuna kalut.

Kram di perutnya membuatnya memilih menepikan mobil. Yuna tidak ingin gegabah dan membuat janin dalam rahimnya terluka. Kali ini ia harus bertindak dengan hati-hati.

“Kak Bian begitu teguh tidak ingin menikahiku. Mungkin dia tidak ingat sama sekali kejadian malam itu,” gumam Yuna dengan kepala yang bertumpu di setir mobil.

“Sama siapa aku harus meminta tolong?” batin Yuna menggulir ponselnya. Kontak-kontak di ponselnya tak satu pun yang bisa meyakinkan hatinya.

Ia membuka jendela kaca mobilnya untuk mengurangi rasa sesak. Yuna memejamkan matanya menikmati hembusan angin yang bertiup. Kalimat-kalimat Bian tadi kembali terngiang seperti ratusan jarum yang menusuk jantung.

“Kalau kamu tidak menginginkanku, aku yang akan pergi dari hidupmu. Sudah cukup kamu mainin aku kayak gini,” gumam Yuna menghapus lelehan air mata di pipinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status