“Kenapa harus menuruti semua permintaan Karina?” tanyaku tajam ketika Mas Rafli menjelaskan rencananya.
Dia baru pulang dari rumah Karina, dan kini dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tak masuk akal. “Ada masalah dengan atap rumah Karina. Bocor, dan tukangnya nggak bisa langsung datang. Aku nggak mungkin biarkan dia dan anaknya tidur di rumah yang nggak layak,” jawab Mas Rafli dengan nada datar. “Kenapa harus kamu, Mas? Ada banyak orang lain yang bisa dia hubungi. Dia bisa menyewa jasa apa pun. Kenapa harus kamu yang selalu ada untuknya?” “Karina nggak punya siapa-siapa lagi,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Dia cuma punya aku. Apa kamu nggak bisa mengerti itu?” Aku berdiri, memeluk perutku yang kian membesar. “Aku juga cuma punya kamu, Mas. Tapi apa aku harus teriak-teriak dulu baru kamu sadar kalau aku ini istrimu, dan aku sedang membutuhkanmu?” ucapku. Dia terdiam. Tapi bukan karena menyadari kesalahannya, melainkan karena kelelahan menghadapi argumen yang baginya tidak berarti. “Farah, tolong jangan buat ini lebih sulit. Aku akan pergi ke rumah Karina malam ini. Hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja.” “Dan kamu akan kembali kapan? Tengah malam? Besok pagi? Atau mungkin kamu tidak akan kembali sama sekali?” “Farah!” Mas Rafli membentak, membuatku tersentak. “Aku cuma ingin membantu Karina. Kenapa itu salah?” Aku memalingkan wajah, menahan air mata yang sudah hampir tumpah. “Pergi saja kalau begitu, Mas. Pergilah ke tempat yang lebih penting untukmu.” Dia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengambil jaketnya dan keluar rumah, meninggalkan aku dalam keheningan yang menyesakkan. Aku termenung menyadari kalau pernikahanku sudah di ujung tanduk. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk mengubah Mas Rafli. Bahkan, dia tidak pernah mendengarkan ucapanku lagi. Malam itu terasa sangat panjang. Aku mencoba tidur, tapi bayangan tentang Mas Rafli di rumah Karina terus menghantuiku. Apa yang mereka lakukan sekarang? Apa dia bahkan memikirkan aku, istri yang dia tinggalkan begitu saja? Saat aku akhirnya tertidur, mimpi buruk yang sama menghantui. Aku melihat Mas Rafli tertawa dengan Karina, memeluk anaknya, sementara aku berdiri di sudut, tak terlihat. * Keesokan paginya, aku bangun dengan harapan Mas Rafli sudah pulang. Tapi rumah ini kosong. Sepi. Tak ada tanda-tanda dia kembali. Aku mencoba menghubunginya, tapi panggilanku tak dijawab. Pesan yang aku kirim hanya dibaca tanpa balasan. Aku memutuskan untuk memberanikan diri pergi ke rumah Karina. Jika Mas Rafli tidak mau menjelaskan, aku akan mencari tahu sendiri. Ketika aku tiba di sana, pintu rumah Karina terbuka sedikit. Aku mendengar suara tawa, suara anak kecil, dan suara Mas Rafli. Hati ini terasa seperti diremas. Aku mengetuk pintu dengan keras. Suara di dalam rumah terhenti seketika, lalu Karina muncul dengan senyum ramah yang terasa seperti ejekan. “Oh, Farah. Kamu datang,” katanya, seolah-olah aku adalah tamu yang tidak diundang. “Di mana Mas Rafli?” tanyaku langsung. “Dia sedang di belakang, memperbaiki atap. Kamu mau masuk?” Aku menatapnya tajam. “Tidak perlu. Aku hanya ingin tahu kenapa suamiku lebih memilih menghabiskan malam di sini daripada di rumah bersama istri yang sedang mengandung anaknya.” Karina tersenyum tipis, nyaris seperti kemenangan. “Farah, kamu harus mengerti. Mas Rafli hanya ingin memastikan aku dan anakku baik-baik saja. Itu bukan hal yang salah.” Aku menggeleng, mencoba menahan emosi. “Kamu tahu betul apa yang kamu lakukan, Karina. Kamu memanfaatkan dia. Kamu tahu Mas Rafli tidak bisa mengatakan tidak kepadamu.” Sebelum Karina sempat membalas, Mas Rafli muncul dari belakang, wajahnya kaget melihatku. “Farah? Apa yang kamu lakukan di sini?” “Apa yang aku lakukan?” aku tertawa, penuh kepahitan. “Aku yang seharusnya bertanya itu padamu, Mas. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu berada di rumah wanita lain ketika istrimu sendiri sedang membutuhkanmu?” “Farah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan,” katanya, mendekatiku. “Benarkah? Kalau begitu, jelaskan padaku. Jelaskan kenapa kamu lebih memilih Karina daripada aku.” Dia terdiam, seperti biasa. Dan itu membuatku semakin yakin bahwa dia tidak punya jawaban. "Kenapa kamu hanya diam, Mas? Bahkan, tidak bisa menjawab setiap ucapanku," ujarku. Mas Rafli memandangku sekilas seperti menilai kalau kecemburuanku pada Karina. Ketika suamiku itu membuka suara, hal yang menyakitkanlah yang kudengar. "Aku lebih dulu mengenal Karina dibandingkan dirimu, tolong mengerti kalau dia membutuhkanku. Dia adalah ibu tunggal yang tidak memiliki sandaran, Farah!" "Lalu, kamu menjadi sandarannya? Padahal kamu memiliki aku sebagai istrimu," ujarku penuh dengan kekesalan. "Farah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Karina adalah sahabat, tolong pahamilah hal itu. Kamu akan lelah bila terus mencurigai kami," balas Mas Rafli. "Hubungan kalian patut dicurigai, Mas. Mengapa tidak kamu nikahi sahabatmu itu bila kamu terus memprioritaskan dia?" "Farah! Jaga ucapanmu," tegur Mas Rafli. "Bagaimana aku bisa menjaga ucapanku bila kelakuanmu seperti ini? Mana ada seorang suami yang menginap di rumah sahabat perempuannya bila tidak ada maksud lain?" Terus saja aku menuduh Maa Rafli. Pada kenyataannya dada ini sudah sangat sesak dengan semua kelakuan suamiku. "Aku pulang tadi malam, tapi kembali lagi pagi tadi saat kamu tertidur. Jangan menuduhku sembarangan, Farah," tukas Mas Rafli. "Kamu bohong, tidak ada tanda kamu pulang tadi malam." "Terserah kamu saja, Farah. Hatimu sudah dibuatkan rasa cemburu!" balas Mas Rafli. Mas Rafli menatapku dengan penuh amarah. Namun, tidak ada kata lagi yang terucap dari bibirnya. Aku memejamkan mata menahan semua emosi. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Mas Rafli sama sekali tidak mencegah kepulanganku atau mengikutiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti orang asing dalam pernikahanku sendiri. Malam itu, Mas Rafli pulang ke rumah tetapi dia kembali pergi ketika pagi menjelang. Dia mengatakan bahwa ada masalah lain yang perlu dia selesaikan di rumah Karina. “Berapa lama lagi, Mas? Berapa lama aku harus menunggu sampai kamu kembali menjadi suamiku?” tanyaku melalui telepon. “Farah, aku tidak tahu. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk semua orang.” “Semua orang, kecuali aku,” gumamku pelan, sebelum akhirnya menutup telepon. * Malam itu, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. "Farah, aku tahu kamu merasa terganggu dengan kedekatanku dan Mas Rafli. Tapi, jika kamu merasa pernikahanmu tidak berjalan baik, mungkin itu karena kamu sendiri yang tidak bisa membuatnya bahagia." Aku menatap pesan itu, tangan gemetar. Pesan ini jelas dari Karina. Dan aku tahu, dia tidak akan berhenti sampai aku benar-benar tersingkir. Dia menginginkan kehancuran pernikahanku. * Bersambung... Terima kasih telah membaca...Ketika Mas Rafli pulang, aku tidak menyadarinya. Hingga pria itu menepuk punggungku pelan. Aku sedang melamun di ruang keluarga hingga tidak mengindahkan suamiku yang baru pulang. "Ada apa?" tanya suamiku itu. "Tadi Karina menemuiku," jawabku tanpa menutupi apa pun. Ekspresi Mas Rafli menegang, tampak sekali kecemasan dalam dirinya. Mungkin, dia mengira kalau Karina kembali mengusik ketenanganku."Mau apa dia ke rumah kita? Kau baik-baik saja, kan? Dia tidak melakukan apa pun padamu?" balas Mas Rafli.Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Dia hanya meminta maaf dan berpamitan padaku," ujarku dengan tenang."Lalu, mengapa kamu sampai merenunginya seperti itu?" balas Rafli."Entahlah, dia mengatakan kalau sekarang dia telah menjadi istri kedua dari adik iparnya. Apakah dia melakukan hal itu dengan adik iparnya sendiri dan menjebakmu?" Dari tadi, aku selalu memikirkan hal tersebut. Tega sekali Karina melakukannya untuk menghancurkan rumah tanggaku. Membayangkan dirinya melakuka
Kehidupan pernikahanku dengan Mas Rafli kembali membaik. Setelah membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Karina bukanlah anak Mas Rafli. Tidak lagi terdengar kabar tentang Karina. Aku bersyukur tidak lagi diganggu oleh keberadaannya."Kudengar kalau Karina akan menikah," ujar Kak Widya yang bertandang ke rumahku. "Oh ya? Menikah dengan siapa? Mungkin Ayah dari anaknya sudah bertanggung jawab pada dirinya," balasku dengan senyum di wajah. Kalau Karina sudah menikah, dia tidak lagi menjadi ganjalan dalam rumah tanggaku. Jadi, aku bahagia saja dia menikah dengan orang lain. "Kamu senang dia menikah?" tanya Kak Widya."Tentu saja, aku sangat senang bila dia menikah. Jadi, dia tidak bisa menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku," jawabku dengan tenang."Katanya dia menikah dengan adik suaminya sendiri. Aku tidak tahu mengapa dia memilih untuk menikah dengan adik suaminya. Bisa jadi, anak dalam kandungannya adalah miliknya," ujar Kak Widya. Sedikit terkejut dengan ucapan Kak Wi
POV Karina..."Kamu harus mengikuti keinginanku. Beruntung aku tidak melaporkan hubungan kalian ke meja hijau. Bayangkan bila aku melakukannya. Kamu akan mendekam di penjara," ujar Tiara dengan menggerutu. "Laporkan saja, aku tidak takut. Bila aku mendekam di penjara. Akan aku seret Arifin bersamaku," balasku dengan sengit.Tiara yang tidak bisa hamil, tentu mendapatkan tekanan yang sangat besar dari ibu mertuaku. Bu Tuti kerap kali memaksanya untuk melakukan program hamil. Berkali-kali dia mengikuti program hamil, tetapi tidak berhasil.Aku menyeringai ketika Tiara hanya bisa terdiam mendengar penuturanku. Dia tidak akan bisa membalas semua perkataanku karena ini semua bukan salahku.Perselingkuhanku dengan Arifin bukan merupakan hanya kesalahanku. Arifin juga memiliki andil dalam pengkhianatan kami. Jujur saja, aku tidak mengerti jalan pikiran Tiara yang menginginkan anakku. "Bagaimana bila kamu menjadi istri kedua Arifin saja?" tanya Bu Tuti dengan pelan.Aku terkejut mendenga
POV Karina ..Tidak! Mas Yudhi meninggal begitu cepat membuatku kehilangan semuanya. Dia memang tidak menguak perselingkuhanku. Akan tetapi, dia secepat ini meninggal karena kecelakaan naas tersebut. Kuusap perutku dengan lembut, ketika adik iparku datang untuk mengikuti pemakaman Mas Yudhi aku memanfaatkan kesempatan itu. Aku menginginkan nasib yang jelas untuk anak yang ada dalam kandunganku. Dia tidak boleh pergi dariku dan lepas dari genggamanku."Rif, kapan kamu menceraikan Tiara? Aku sudah tidak mungkin menutupi kehamilanku," ucapku dengan mimik serius.Arifin adalah adik iparku, dia dan Tiara sudah menikah cukup lama. Akan tetapi, keduanya belum dikarunia seorang anak. Hal itu membuatku menggodanya. Awalnya, kami dapat menutupi pengkhinatan ini, tetapi tidak ada lagi yang dapat kami lakukan setelah dengan mata kepalanya sendiri Mas Yudhi melihat kami bermesraan.Untungnya, ketika Mas Yudhi menyetir untuk memberitahukan perbuatan kami. Dia kecelakaan sehingga tidak sempat me
"Ini hasil tes Anda. Bila ada yang ingin dikonsultasikan, bisa Anda konsultasikan ke dokter dengan membawanya ke ruangan," ucap petugas kesehatan yang memberikan sebuah amplop pada suamiku. Hatiku berdebar menunggu hasil tes DNA Mas Rafli. Pria itu segera menghampiri yang duduk bersisian dengan Karina. Wanita di sampingku cukup diam hari ini. Tidak ada sama sekali tersirat kalau dirinya mengkhawatirkan hasil tes tersebut. Kupandangi wajah Karina yang terlihat cekung. Kami sama-sama sedang hamil. Namun, tidak jelas pria yang menghamili Karina. Kuharap semua ekspektasiku menjadi kenyataan dan anak yang ada dalam kandungannya bukanlah anak Mas Rafli."Aku bukan Ayah dari anak yang kamu kandung, Rin," ucap Rafli dengan senyum merekah di wajah. Aku tersenyum mendapati hasil tes yang sesuai harapan. Berbeda dengan Karina yang tampak tidak percaya dengan hasil itu."Apa maksudmu? Tidak mungkin. Pasti kalian melakukan sesuatu pada hasil tes tersebut!" tuduh Karina.Mas Rafli tersenyum meny
"Silakan bila Anda ingin menuntut rumah sakit. Kami juga akan menuntut balik Anda karena ingin melakukan penyuapan," ucap petugas keamanan membuat Karina terdiam. Aku tersenyum miring mendengar perkataan petugas. Kupandangi wajah Karina yang tampak merana. Perbuatan yang tidak sepantasnya itu diketahui oleh kami yang terlibat dengannya.Petugas keamanan memaksa Karina keluar dari rumah sakit. Aku dan Mas Rafli hanya memandanginya. Hatiku bersorak senang ketika dia mendapatkan perlakuan yang sepantasnya.Kutatap wajah Mas Rafli yang tidak terbaca. Apa dia memang memiliki perasaan pada Karina? Terlihat kalau bola mata Mas Rafli menyiratkan kesedihan."Mas sedih kalau anak yang dia kandung bukanlah anakmu?" tanyaku dengan pelan. Mas Rafli menatapku terkejut. "Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya tidak menyangka kalau Kirana dapat melakukan hal seperti ini. Ingin mengubah hasil tes agar aku mau bertanggung jawab," jawab Mas Rafli. Kuselami mata Mas Rafli, tidak ada kebohongan di dalam s