Home / Romansa / Noda Dalam Luka / Rambutan Sialan

Share

Rambutan Sialan

Author: Nana Marlina
last update Last Updated: 2021-05-14 13:35:41

 

 Lapar sekali perutku padahal tadi siang sudah makan banyak. Mungkin ini efek dari menyusui, selalu terasa lapar padahal sudah ngemil rambutan. 

Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.

Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.

 Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang.

"Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi.

"Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya.

"Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi.

"Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.

'Yes, aku enggak kelaparan,'  kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar gubuk, menuju gubuk orang tuanya.

"Keterlaluan! Kamu Lisna!" bentak ibu mertua.

Suara keras mamak mengejutkan diriku, yang sedang asik menyantap makan malam ala kadarnya.

"Seharusnya suami pulang kerja itu disiapkan makanan, bukan malah kamu makan sendiri, suaminya disuruh minta ke tempatku. Sebenarnya orang tuamu, mendidikmu jadi istri yang baik apa enggak siii?" Omelan ibu mertua.

'Rupanya aku salah,' ucapku dalam hati.

Ingin kumuntahkan makanan yang sudah masuk di dalam perut, tapi aku sangat lapar.

"Kenapa enggak masak lagi, kalau tahu nasinya tinggal sedikit?" tanya Mamak.

"Berasnya habis, Mak," kilahku singkat.

"Kan bisa turun ke gunung beli! Emangnya tidak punya kopi coklat atau kemiri untuk dijual?" Selidik Mamak.

"Ada, Mak, tapi aku tidak bisa, jika harus menggendong bayi dan membawa kopi coklat, seberat 20 kg naik turun gunung, Mak," kilahku menerangkan.

"Ah kamu, terlalu lemah tidak seperti aku," Mak berkata, sambil tersenyum sinis.

       Ibu mertuaku pun pergi berlalu keluar dari gubuk, meninggalkan diriku yang sedang makan sambil menangis.

  Selang berapa menit kemudian suamiku pulang, sepertinya dia sudah mandi di sungai belakang rumah.

Tanpa bicara padaku dia menggotong kopi coklat dalam karung. Diikat kencang di jok motor gunungnya.

Tanpa pamit, aku pun sudah tahu, jika dia mau ke desa. Aku sudah terbiasa dengan sikap Mas Rudi, yang tak pernah pamit.

 Sepanjang malam aku tidak tidur, karena menunggu Mas Rudi pulang mengetuk pintu, takut saat dia pulang aku ketiduran dan tidak membukakan pintu pasti bisa terkena pukulan.

**************

Pukul depalapan pagi rambutan satu rinjing, sudah ludes aku makan habis. Namun, belum juga kelihatan batang hidung Mas Rudi.

"Pagi-pagi udah makan rambutan?" tanya Bapak mertua.

"Iya pak," jawabku singkat.

"Nih, singkong rebus dimakan?" kata bapak, sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam.

"Bukankah ini bekalnya bapak?" tanyaku, sambil tersenyum.

"Untukmu saja, jangan cerita sama Mamakmu ya!" perintah Bapak, sambil tersenyum.

"Iya pak, terimakasih," jawabku, dengan gembira.

"Sudah, Bapak mau ke kebun dahulu," pamitnya, Bapak pun bergegas pergi.

Bapak mertuaku sangat baik dan perhatian padaku, dia menganggap aku seperti anaknya sendiri.

Itu dia Mas Rudi sudah pulang, tetapi tidak membawa beras. Rupanya berasnya dia tinggalkan di rumah, yang terletak di desa, dengan jarak  tempuh 5 jam jika kita menaiki motor dari sini.

Besok sudah memasuki bulan puasa, jadi aku harus pulang ke desa, untuk menyiapkan makan sahur dan buka puasa adik -adik Mas Rudi. Karena dari itu berasnya tidak dibawa ke gunung.

"Terus aku makan apa dong, Mas?" tanyaku pada Mas Rudi.

 "Ada mie instan di motor, ambil sana!" perintah Mas Rudi.

 "Aku mau tidur sebentar, kamu siapkan barang-barang yang mau dibawa ke desa! Mumpung anakmu masih tidur," perintah Mas Rudi.

Tanpa menjawab pertanyaan, aku langsung melakukan apa yang telah diperintahkan Mas Rudi.

Dengan cepat aku menyeduh mie instan dengan air termos, lalu baju serta perlengkapan bayi kumasukkan dalam kardus, dan tas gendong.

*************

Sampailah kami di rumah besar dan megah, milik mertuaku yang di tempati kedua adik Mas Rudi, yang masih sekolah.

Aku harus mencuci baju, menyeterika baju dan menyiapkan segala keperluan kedua adik suamiku.

Mereka berdua laki-laki, jadi tidak tahu betapa sibuk dan capeknya, aku mengurus anak beserta isi rumah ini.

"Mas aku kan tinggal di desa belikan aku bedak dan baju yang pantas. Masak bajuku sudah bekas jahitan semua." pintaku, sebelum Mas Rudi naik ke gunung.

 "Mau lenjeh-lenjehan, kamu?" pertanyaan Mas Rudi dengan nada tinggi, yang hanya kujawab, dengan nyengir kuda.

Seminggu sudah aku mengurus rumah beserta isinya, sedang Mas Rudi sudah kembali naik ke gunung.

Sore itu penjual baju yang di sebut Mbak Siti mampir ke rumah. Dia dengan setengah memaksa, merayuku membeli bajunya bahkan bisa ngutang dulu, tentu saja aku tergiur apa lagi bisa kredit seminggu sekali.

 Kabar begitu cepat tersebar sampai ke kebun, jika aku telah berhutang baju kepada Mbak Siti.

 Mas Rudi pun pulang ke desa dengan muka yang merah padam, membabi buta dia menampar, dan menendang kakiku seperti orang kesetanan.

"Kenapa kamu ngutang baju?" tanya Mas Rudi.

"Bikin malu keluarga!" bentak Mas Rudi.

"Apakah ini hasil didikannya orang tuamu?" pertanyaan dari Mas Rudi.

"Hah. Jawab!" bentak Mas Rudi.

Aku hanya bisa nangis duduk di lantai sambil memeluk lutut dan menyembunyikan muka, yang kututup di atas lutut.

"Hua, hua, hua..." tangis putriku, telah terbangun dari tidurnya.

"Yuk, Rere menangis, cepat ambil berisik tahu!" adik iparku berteriak, dia merasa tergangu dengan suara tangis Rere yang tidur di depan televisi.

Bergegas aku mengambil Rere, berjalan dengan kaki tertatih. 

Kakiku terasa sangat sakit sekali untuk berjalan. Bibir terasa perih, padahal cuma mengeluarkan darah sedikit.

 Mas Rudi pergi ke warung dia membeli bedak viva karung dan lipstik untukku.

"Lekas mandi beresin pakaianmu dan Rere! Kita berpisah untuk sementara waktu dulu, kuantar kamu kerumah orang tua. Pakai bedak ini yang tebal, biar tidak kelihatan begas tamparan itu! Dan kamu jangan cerita soal ini kepada orang tuamu. Jika kamu cerita aku tidak segan untuk membunuh, mengerti?" kata Mas Rudi.

"Tidak usah dibawa baju, Mas! aku malu semua sudah sangat usang. Aku bisa minta baju bekas Mbak Ayu dan anaknya," jawabku sambil terisak.

Bermacam hal berkecamuk di dalam hati, apa yang harus aku katakan pada orang tua dan saudaraku? entahlah aku merasa tidak sanggup lagi, tapi jika sampai bercerai bagaimana dengan nasip anakku? dan pastinya aku akan dicemooh orang-orang.

  

'Oh Tuhan, berilah petunjuk untukku.Jalan yang terbaik buat Rere,' berdo'a aku dalam diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Noda Dalam Luka   Lisna melahirkan

    Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k

  • Noda Dalam Luka   Siapa yang menciumiku?

    Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.

  • Noda Dalam Luka   Mereka Pulang Dari Rumah Sakit

    Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,

  • Noda Dalam Luka   Bahagia Atau Sedih

    Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse

  • Noda Dalam Luka   Mami Resti Keguguran

    "Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me

  • Noda Dalam Luka   Pulang Dari Puncak

    Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status