Share

Bab 4: Hasil Pemeriksaan

Beberpa menit kemudian Ayana masih terbaring di sebuah sofa, pandangannya yang masih buram berusaha mencoba melihat sekeliling dan dia melihat Septha tengah duduk di samping dirinya. Septha mencoba menyadarkan Ayana dengan minyak angin yang dia genggam, tercium dari baunya yang khas dan menyengat.

“Hari ini kan jadwal pemeriksaan Ayana, kenapa kau tidak membawanya?” tanya Hanna yang tengah mengomeli Septha.

“Iya, tapi Mbak Aya menolak untuk melakukan pemeriksaan katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan,” sahut Septha.

Ditengah pendengaran yang masih samar Ayana mendengar perdebatan tersebut. Dia langsung bangun dan berkata, “Sudah kalian jangan berdebat. Ini semua salahku.”

“Ayana, kamu pasti kelelahan. Kita ke Rumah Sakit sekarang,” ajak Hanna yang begitu khawatir terlihat dari raut wajahnya.

Ayana sudah tidak bisa menolak lagi, kali ini dia harus segera pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksakan semua kesehatan tubuhnya. Ayana yang sering meminum wine, sudah sering diperingati oleh Dokter agar menghentikan hal itu. Kata Dokter, meskipun minuman itu sangat nikmat tetapi, jika sering di konsumsi akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh dan semua orang tahu akan hal itu, mereka khawatir kalau efek buruk itu menyerang tubuh Ayana di kemudian hari.

Sesampainya di Rumah Sakit. Ayana yang sudah berganti pakaian dengan pakaian pasien hanya bisa terbaring dengan selang infus yang terpasang ditangannya. Tubuhnya begitu lemas dan tidak memiliki tenaga sedikit pun.

“Ya ampun Ayana. Apa yang kamu rasakan hari ini?” tanya Dokter Lingga. Dokter Lingga adalah Dokter pribadi Ayana dan dia baru saja masuk ke ruangan inap yang Ayana tempati.

“Tidak tahu, Dok.” Ayana menjelaskan semua yang dia rasakan kepada Dokter Lingga, seorang Dokter tampan yang banyak digemari oleh para kaum hawa.

“Nanti aku akan mengambil sample darah agar semuanya bisa terdeteksi. Mungkin butuh beberapa jam untuk mengetahui hasilnya.”

“Baiklah Dok, terima kasih.”

Setelah Dokter Lingga keluar tidak lama Ibu datang dan masuk ke ruang rawat inap Ayana. Raut wajahnya terlihat begitu panik, dia menyimpan tas mahalnya di sofa dan langsung menghampiri anak semata wayangnya. Laras bersikap seperti para Ibu pada umumnya, dia menanyakan kabar dan keadaan Ayana, tetapi hal itu tidak berlangsung lama, sifat ibu kembali ke semula.

“Kan, begini kalau kamu tidak menurut dengan apa yang Ibu katakan. Kalau kamu menikah, mungkin kamu tidak harus bekerja terlalu keras seperti ini. Lihat dirimu sekarang, sangat tidak enak dipandang mata! Pokoknya mau tidak mau, kau harus cepat menikah!” tegas Ibu.

“Bu, bisakah membahas hal itu nanti. Ibu tidak lihat kedua tanganku sedang ditusuk jarum?” tanya Ayana meminta belas kasih dari sang ibu.

Belum saja Ayana tenang setelah mendengar ocehan Laras, tiba-tiba Hanna masuk ke dalam ruangan inapku dengan raut wajahnya yang panik, “Gawat! Berita kamu pingsan di acara tadi sudah tersebar luas. Para Wartawan sudah memenuhi depan Rumah Sakit, dia ingin tahu sebenarnya penyakit apa yang sedang kamu derita!”

Ayana menghela napas dalam. Beginilah enak dan tidak enaknya menjadi seorang selebriti terkenal, apa yang Ayana alami pasti beritanya langsung tersebar, berbeda dengan dia dulu ketika Ayana masih belum terkenal, mungkin mau dia mati sekalipun tidak ada yang tahu dan tidak ada yang peduli.

“Sampaikan kepada para media, hasil pemeriksaannya belum keluar dan masih membutuhkan waktu beberapa jam lagi menunggu hasil tersebut,” kata Ayana berpesan kepada Hanna.

“Baiklah, akan aku sampaikan,” sahut Hanna patuh dan kemudian dia pergi kembali.

Keesokan harinya

Hanna sibuk dengan pekerjaannya dan hari ini Ayana hanya berdua dengan Septha di dalam ruangan rawat inap. Sudah menjadi jadwal, Dokter Lingga masuk ke ruangan untuk memeriksa keadaan Ayana. Dia menyapa Ayana seperti biasa dengan ramah, tetapi ada raut wajah yang berbeda dari Dokter Lingga yang begitu berbeda terlihat dari garis wajahnya.

“Bolehkah aku bicara berdua denganmu sebentar?” tanya Dokter Lingga.

Ayana menyuruh Septha untuk keluar, begitupun Dokter Lingga yang menyuruh Perawat pendampingnya keluar dari ruang rawat inap Ayana. Dokter Lingga duduk tepat di samping Ayana, dia mengeluarkan sebuah benda yang tidak Ayana ketahui jelas jenisnya.

“Ini hanya untuk membuktikan kalau pemeriksaanku yang salah,” kata Dokter Lingga.

“Apa itu?” tanya Ayana bingung.

“Ini alat tes kehamilan,” jawab Dokter Lingga sambil menatap dalam ke kedua mata Ayana.

“Apa? Untuk apa? Dok, please jangan bercanda. Tidak mungkin aku hamil, menikah saja aku belum!” tegas Ayana.

“Tapi, hasil pemeriksaan menyatakan kalau kamu hamil, Ay! Aku juga tidak percaya, sehingga aku membawa alat ini dan ingin membuktikannya sendiri. Bahkan Perawat di depan pun belum mengetahui hasil pemeriksaan ini.”

“Ok, kalau begitu akan aku buktikan kalau hasil pemeriksaan itu salah!”

Dibantu Dokter Lingga tubuh Ayana dipapah menuju toilet. Dokter Lingga memberitahu Ayana cara menggunakan alat pemeriksaan kehamilan itu, Dokter tampan itu menatap mata Ayana seakan meyakinkannya kalau apa yang akan dia lakukan hari ini adalah hal biasa dan tidak berbahaya.

“Tenanglah dan lakukan dengan baik,” kata Dokter Lingga dan kemudian dia keluar dari toilet.

Dengan tangan yang bergetar dan berharap apa yang Dokter Lingga katakan itu salah, Ayana mulai menggunakan alat tersebut. Aku memasukan alat tersebut ke sebuah cairan bening sedikit menguning itu dengan detak jantung yang begitu berdebar.

“Tidak, tidak mungkin. Aku yakin Dokter Lingga salah kali ini.”

Seketika kedua mataku membelalak ketika melihat 2 garis merah terpampang nyata dan jelas di alat tersebut, aku begitu kaget bercampur bingung ketika melihat hasil tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan mulai mengisi benakku. Tentang Apa dan siapa kini memenuhi pikiranku. Bagaimana, aku seorang wanita yang belum menikah, bisa hamil? Bagaimana karirku dan bagaimana pandangan semua orang kepadaku?

“Dokter!” panggilku lirih.

Dokter Lingga yang ada di luar langsung masuk, mungkin dia kaget melihat aku yang terduduk tidak berdaya di toilet, sehingga dia langsung membantu aku untuk berdiri dan membawa alat tes kehamilan dari genggaman tanganku.

“Berbaring dan tenanglah,” pinta Dokter Lingga kepadaku.

“Dok, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau berita ini tersebar luas. Aku tidak mau karirku hancur!’

“Itu alasanku merahasiakan hasil pemeriksaan milikmu. Tenang saja, aku akan bungkam dan tidak akan berbicara hal ini kepada siapapun. Aku akan membuat hasil pemeriksaan lain, agar para Wartawan percaya kalau kamu hanya kelelahan. Sekarang tugasmu hanya menikah dengan pria yang sudah membuat kamu hamil, Ay!” perintah Dokter Lingga yang mencemaskan karirku dan juga diriku.

“Masalahnya! Aku tidak tahu, siapa Ayah dari anak ini, Dok!”

“Apa?” Mungkin Dokter Lingga kaget mendengar jawaban dariku, terlihat kedua matanya yang membulat.

Aku dan Dokter Lingga terdiam sejenak. Aku menceritakan kejadian ketika aku sedang berada Bali kepada Dokter Lingga. Dokter Lingga pun mengatakan kalau hari itu bisa saja terjadi, mengingat masa subur dan menstruasiku yang tepat dengan usia kandunganku yang sudah menginjak 4 minggu ini.

“Begini saja. Aku mohon dengan sangat kepada Dokter, tolong rahasiakanlah masalah ini. Jangan sampai ibuku, Septha, Mbak Hanna apalagi para media mengetahui hal ini. Aku akan mencari jalan lain, agar nama baikku dan karirku tidak hancur,” pintaku kepada Dokter Lingga.

“Iya baiklah, akan aku jaga rahasia ini.”

Aku yang sudah lama mengenal Dokter Lingga, yakin kalau dia sangat bisa dipercaya. Namun, sekarang bukan itu masalahnya. Apa yang harus aku lakukan dengan janin yang ada di dalam kandunganku? Menggugurkannya atau membiarkan dia tumbuh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status