LOGIN
"Sampai jumpa Miss Bella, terima kasih sudah menemani Luna menunggu Mama."
Suara imut anak perempuan terdengar menyenangkan, ditambah wajah bulatnya yang sangat manis tersenyum. Dari jendela mobil ia melambaikan tangan mungilnya keluar. Berpamitan pada seorang guru yang berdiri di halaman sekolah TK. Guru yang dipanggil Miss Bella balas melambaikan tangan dan tersenyum hangat, "Sampai jumpa juga Luna, selamat beristirahat dan hati-hati di jalan ya ..." "Sekali lagi terima kasih, Miss Bella." Nyonya Thalia di kursi kemudi membuka pintu dan ikut berpamitan padanya. "Sama-sama Nyonya Thalia, hati-hati di jalan." Balas Miss Bella. Bella kembali ke kelas tempat ia mengajar dan sibuk dengan sisa pekerjaan yang belum selesai. Waktu berlalu dengan kesibukannya hingga Bella tidak sadar kalau di luar sudah gelap. "Sudah selarut ini, aku harus segera pulang." Ia buru-buru membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang. Setelah mengunci kelas dan memberikan kunci pada penjaga sekolah, Bella berjalan keluar menuju tempat tinggalnya yang berjarak sepuluh menit jalan kaki. Langit malam di kota Whitesand tampak tenang, bintang-bintang berkelip samar di balik awan tipis. Lampu jalan berderet, cahayanya jatuh ke jalan berbatu yang sepi. Udara terasa dingin menusuk kulitnya dibalik mantel, khas udara pegunungan di daerah kecil yang dikelilingi hutan pinus. "Ugh ... dingin sekali, apakah akan turun hujan?" gumamnya. Bella melangkah pelan sambil merapatkan mantel dan menyilangkan tangan didepan dada. Rambut panjangnya sedikit berantakan tertiup angin malam. Ketukan sepatunya menjadi teman di setiap langkah. Pekerjaan hari ini terasa lebih banyak dari biasanya. Ada pengecekan laporan nilai siswa, menjaga Luna yang terlambat dijemput, menghias dekorasi kelas yang harus ia selesaikan, sehingga pulangnya terlambat dari biasanya. "Kenapa malam ini suasananya sepi sekali," ia terus bergumam pelan pada dirinya sendiri. Matanya mengawasi sekitar dengan langkah yang semakin cepat. Meski sepi, Bella tidak terlalu takut. Ia sudah sering melewati jalan ini, yang merupakan rute tercepat untuk sampai di rumahnya ketika ia pulang terlambat. Ia tahu setiap sudut jalan, bahkan beberapa kali melewatinya saat malam lebih larut dari waktu ini. Namun malam ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Bang!!! "Aa!" Ketika jarak rumahnya tinggal beberapa blok saja, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah dalam sebuah gang sempit di sisi kiri jalan. Suara besi beradu dengan dentuman pelan, seperti tong sampah terguling. Disusul suara teriakan pelan darinya yang tertahan. "Apa itu?" Bella terkejut sesaat dan spontan berhenti. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, telapak tangannya menjadi dingin dan nafasnya sedikit terengah. Matanya melirik ke arah gang yang gelap, sedikit cahaya lampu jalan dari mulut gang tidak bisa ia lihat jelas lebih jauh. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum mencoba menenangkan diri. "Mungkin kucing… ya, pasti kucing." Katanya pelan, seolah yakin dengan dugaannya sendiri. Suaranya tidak terlalu keras, hanya saja suasana sepi yang tidak biasa membuat Bella waspada dan tidak bisa menahan kekagetannya. Tidak ingin berlama-lama disini, Ia hendak kembali melangkah. Namun tertahan oleh suara lainnya. "Hnngh ...!" Kali ini terdengar geraman rendah seperti suara pria. Berat dan tertahan, seperti erangan menahan sakit. Suara itu bergema samar dari dalam gelapnya gang. Sekujur tubuh Bella membeku di tempat. Matanya menatap lurus, mencoba menajamkan penglihatannya menembus kegelapan gang. Bahkan ia mencoba mendengar dengan seksama setiap suara yang ada, suara itu jelas bukan geraman kucing atau hewan. Tangannya refleks menggenggam erat tali tas. Pikirannya berdebat, haruskah ia memilih pergi, atau memeriksa apa yang ada di sana? Siapa tahu ternyata ada orang butuh bantuan. Tubuhnya tetap di tempat beberapa saat, tapi rasa penasaran mulai merayap dalam hatinya. Ragu-ragu, selangkah demi selangkah Bella tertuju dalam gang. Sesaat ia menoleh sekali lagi ke arah jalan utama. Sepi, hanya suara angin yang menggesek dedaunan dan gemerisik kecil dari kejauhan. Hatinya terus berdebar tidak karuan, tapi rasa penasaran bercampur khawatir menuntun kakinya masuk ke gang itu.Para pengawal itu berdiri di samping mobil depan dan belakang, mengawasi sekitar. Sedangkan yang mengikuti Shin ke mobil ditengah adalah dua orang kepercayaannya, Rico dan Vito.Rico membukakan pintu untuk Shin. Para pengawal baru masuk setelah memastikan pemimpin mereka sudah duduk nyaman.Di dalam mobil, Shin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang dibawakan Rico. Duduk bersandar dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan mengikuti melodi musik kesukaannya yang selalu diputar selama perjalanan.Matanya menatap keluar jendela, menembus gelapnya kota, memikirkan langkah yang akan ia ambil untuk masalah ini. Mobil melaju dengan mulus keluar kota Whitesand, tanpa halangan apapun memasuki kota Blackstone.Dikenal sebagai jantung kehidupan modern di benua Eropa. Dari kejauhan, bayangan gedung-gedung megah tampak berbaur dengan menara katedral tua, seakan masa lalu dan masa kini saling berdampingan.Jalan-jalan utamanya lebar dan
Pintu kamar Bella terbuka tanpa suara, seorang pria tinggi dengan pakaian acak-acakan penuh darah muncul dibaliknya. Pencahayaan minim tidak membuatnya sulit melihat keseluruhan ruangan itu.'Ini tidak seperti rumah Walikota,' pikirnya.Rumah walikota yang berada di pusat kota tentu sangat besar dan luas. Sedangkan rumah ini sangat sederhana, lingkungannya juga sepi, tidak seperti keramaian di tengah kota.Kakinya melangkah keluar kamar, di sofa panjang ada seseorang yang tidur dengan selimut dan bantal. Pria itu langsung mengenalinya sebagai pria muda berkacamata yang ada di foto.Tatapannya tertuju ke pintu kamar disamping kamar yang ia tempati sebelumnya. Ia membuka pintu itu pelan, sebuah kamar dengan ukuran yang lebih kecil. Ada meja belajar, rak dengan segala benda berwarna, lemari putih, ranjang singgel bed dengan sprei putih. Disana terbaring seorang perempuan yang tertidur dengan ekspresi polos.Piyama putih dan rambutnya yang tergerai di atas bantal, tanpa riasan, bibir mera
Bella bergegas berdiri dan masuk ke kamar kerja yang akan dia tempati malam ini. Ini adalah kamar kecil dengan singgel bed dan meja kerja, tersimpan juga benda-benda yang ia butuhkan untuk mengajar murid TK. Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk prakarya setengah jadi sudah siap dan tangan ramping Bella segera bekerja.Adrian mengikuti dibelakangnya dan masuk, "Mau aku bantu buat?"Bella berkata tanpa menoleh, "Kau bisa?""Nona DeLuca, apa kamu meremahkan kemampuanku?""Tentu saja tidak, tapi kamu harus punya tangan yang terampil untuk membuat ini dan juga kesabaran.""Hm, berapa banyak yang perlu dibuat?""Dua puluh."Adrian diam memperhatikan bagaimana Bella membuat kerajinan tangan, lalu mengambil alat dan bahan yang sama dan mulai membuat. Tidak perlu banyak kata, dia langsung membuktikan.Tidak mendengar adanya balasan dari Adrian, Bella melirik dan menemukannya sudah sibuk duduk di karpet lantai. Bella tidak terlalu berharap kerjaan Adrian akan cepat selesai dan rapi, keduanya teng
Bella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak."Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan.Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat."Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih."Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit."Masih hangat?"Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan."Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke ki
Bella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari.'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas.Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu."Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang.Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan.Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?"Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka temba
Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri."Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.Ia tahu lu






