Jihan menatap pantulan dirinya didepan kaca. Memakai gaun pengantin mewah bertabur berlian. Gaun ini seharusnya tidak untuknya, gaun ini seharusnya Ara yang memakai. Tapi Ara bersikeras meminta Jihan untuk memakainya, alih-alih membiarkan Jihan memilih gaun yang lain.
Hari yang ditentukan tiba. Hari dimana Jihan akan melepas status singlenya untuk menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Beberapa jam lagi, ia akan resmi menjadi seorang istri.
Tatap kagum ditujukan Ara untuk Jihan saat masuk ke ruangan dan mendapati Jihan sedang duduk, dengan beberapa tangkai bunga ditangannya.
"Kamu lebih cocok pakai gaun itu daripada aku," ucap Ara, membuat Jihan tersentak dari lamunannya.
Jihan memperhatikan Ara, gadis itu benar-benar berjuang menuruti omongan dokter sampai akhirnya dokter mengijinkan Ara untuk menyaksikan pernikahan kekasihnya sendiri.
Ara duduk dikursi roda, dalam sakitnya pun, Ara masih terlihat cantik. Ara menampilkan senyumannya. Ntah hanya perasaan Jihan saja atau memang Ara terlihat lebih cantik dari biasanya.
"Cepet sembuh, Ara. Tepati janjimu," ucap Jihan.
♤♤♤♤♤
"Saya bersedia."
Jawaban Jihan diiringi tepuk tangan tamu undangan menjadi bukti bahwa saat ini ia sudah sah menjadi Nyonya Rahardja, istri dari Sean Rahardja.
Sean menggandeng Jihan untuk turun dari altar dan menghampiri Ara.
Ara berkaca-kaca melihat hal yang diinginkannya terjadi didepan matanya, sekarang ia sudah tenang jika memang harus pergi. Sean-nya sudah ada yang menjaga, jadi ia tidak perlu khawatir jika Sean kembali menjadi lady killer seperti dahulu. Ara tahu, Sean butuh sosok pendamping yang kuat.
"Kau senang?" tanya Sean, lelaki itu berlutut didepan Ara. Menggengam erat tangan perempuan itu.
"Sangat senang dan lega. Kalian serasi," jawab Ara.
Jihan berdiri dibelakang Sean, ia kesulitan berjongkok sebab gaun yang dipakainya cukup berat dan panjang.
Ara melambaikan tangannya pada Jihan, meminta agar gadis itu mendekat. Dibelakang Ara ada Dio —kakaknya dan ibunya, ada juga beberapa petugas rumah sakit yang menjaga —jikalau terjadi sesuatu dengan Ara.
Pernikahan Sean dan Jihan dilakukan secara tertutup. Hanya ada keluarga inti mempelai dan keluarga Ara, ditambah beberapa sahabat dekat Sean.
Sayangnya, hanya ibu Jihan yang hadir. Max harus segera kembali ke Perancis selang dua hari kedatangannya karena cabang Perancis mengalami masalah.
"Jaga Sean buat aku ya, Jihan," pinta Ara lagi, membuat Jihan menganggukan kepalanya.
Pesta dilanjutkan dengan perkenalan kedua keluarga di meja makan. Jihan sudah berganti gaun menggunakan dress yang lebih simple, sedangkan Sean sudah melepaskan jasnya.
Meja makan itu diisi oleh 16 orang. Terlihat sekali suasana yang awalnya canggung perlahan berubah menjadi hangat.
Jihan sekarang tahu, daripada wajah dingin tanpa ekspresi namun tampan milik Sean berasal, kakeknya. Bedanya, saat berbicara kakek Sean masih bisa tersenyum, tidak seperti Sean.
Jihan memperhatikan hampir semua orang di ruangan ini, termasuk Ara. Gadis itu walaupun tersenyum namun Jihan tahu jika sebetulnya Ara sedih.
Jihan juga memperhatikan di sudut ruangan, Sean sedang berbicara dengan Dio. Obrolan kedua lelaki itu terlihat serius dan dari gerak bibir Sean, Jihan bisa mengetahui bahwa lelaki itu berkali-kali meminta maaf. Dio menepuk-nepuk bahu Sean sebagai respon, rasa-rasanya Dio tidak cocok menjadi kakak Ara. Kepribadian mereka berbanding terbalik.
Raut bahagia dari ibunya juga tidak luput dari perhatian Jihan. Ia sudah lama sekali tidak melihat wajah bahagia ibunya. Bagaimana jika ibunya tahu jika pernikahan ini hanya akan dijalankan selama satu tahun? Bukankah artinya Jihan membohongi dan akan melukai perasaan ibunya?
Berbohong untuk kebaikan? Tetap saja, yang namanya berbohong itu tidak baik.
Ucapan perpisahan diberikan oleh Ara, beserta beberapa pesan dan nasihat sebelum Ara melambaikan tangan dan masuk ke mobil untuk kembali ke rumah sakit.
Masing-masing dari keluarga mereka juga sudah menuju kamar masing-masing. Pernikahan ini di gelar Sean disalah satu hotel miliknya dan beberapa kamar hotel sudah dipesan untuk beristirahat anggota keluarga.
"Jangan terburu-buru, Sean," pesan kakeknya.
Sean yang diberi pesan tapi mengapa wajah Jihan yang memerah? Sean menatap Jihan bingung. Apa yang perempuan itu pikirkan?
♤♤♤♤♤
Sean baru saja keluar dari kamar mandi, lelaki itu masih mengenakan bathrobenya. Jihan yang sedang mengeringkan rambut didepan meja rias, berhenti dan menoleh.
Wajah Jihan cemberut. Bagaimana bisa Sean mengatakan hal itu padanya? Jihan kan perempuan! Seharusnya yang tidur diluar itu Sean.
"Tidak mau!" tolak Jihan mentah-mentah.
"Terserah. Aku tidak peduli kau mau atau tidak."
Sean bergerak melepas bathrobenya, membuat wajah Jihan tiba-tiba memerah.
Bagian atas tubuh Sean terekspos secara jelas pada Jihan. Warna kulitnya benar-benar putih, apa dulu Sean doyan minum susu hingga seputih itu? Jangan lupakan roti sobek yang berjumlah delapan itu. Terlihat liat dan menggiurkan untuk dijamah!
Untungnya Sean masih mengenakan celana pendek pada tubuh bagian bawahnya. Jihan tidak sanggup membayangkan jika..... Uhm, oke. Jangan dibayangkan Jihan!
Jangan kotori otakmu dengan hal-hal seperti itu Jihan. Setan memang menawan!
Jihan melihat Sean melalui kaca didepannya, lelaki itu benar-benar tidak berniat memakai baju ya?
Di tepi ranjang, Sean melakukan hal yang sama dengan Jihan —mengeringkan rambutnya, namun tidak selama Jihan. Hanya sepuluh menit.
"Kenapa kau tidak memakai bajumu?" teriak Jihan saat dilihatnya Sean sudah berbaring diatas ranjang.
"Aku tidak suka tidur memakai baju. Maka dari itu tidurlah diluar," balas Sean dengan wajah meledek.
Sepertinya Sean sengaja melakukan hal itu agar Jihan risih dan tidak mau tidur seranjang dengannya.
Tapi Sean salah. Jihan tidak akan semudah itu diusir. Setelah merapikan dan menyimpan hair dryernya, Jihan bergabung dengan Sean diatas ranjang.
Dari sudut mata Jihan melihat Sean sedang asik dengan ponselnya. Terdapat berbagai gambar diagram disana yang Jihan tidak tahu apa artinya.
Jihan meletakan gulingnya ditengah sebagai pembatas. Hal itu menarik perhatian Sean.
Sean mematikan ponselnya dan beralih menatap Jihan. "Kenapa? Kau takut?" tanya Sean, seraya tangannya menunjuk benda mati diantara mereka.
"Berjaga-jaga itu perlu," jawab Jihan.
Jantung Jihan berdetak tak karuan lantaran Sean malah mengangkat kedua tangannya dan menjadikannya bantal kepala, terlihat sekali lengannya yang kekar. Jihan menelan ludah, lalu bergidik.
"Kenapa memelototiku?" tanya Sean saat menangkap basah Jihan memperhatikannya.
Jihan dengan cepat menggeleng namun ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Kau memikirkan apa?" tanya Sean kembali. "Kau tidak sedang memikirkan malam pertama kan? Atau kau mau kita melakukannya sekarang?"
Sean memiringkan tubuhnya dan mendekati Jihan. Hal berlawanan dilakukan Jihan, ia menggeser tubuhnya hingga ke tepi ranjang."Aku tidak keberatan jika kau mau."
Bersamaan dengan seringai Sean yang muncul, Jihan melemparkan bantalnya ke wajah Sean.
"DASAR MESUM!"
Jihan turun dari ranjang dan berjalan cepat untuk pindah tidur di depan.
"Jangan lupa tutup pintunya!"
BLAM.
Jihan membanting pintu itu dengan sekuat tenaga.
♤♤♤♤♤
Seorang model kelas atas tertangkap kamera memasuki sebuah hotel bintang lima bersama pengusaha muda berinisial SR. Ini adalah kali kedua mereka tertangkap kamera berada di lokasi yang sama.Jihan menatap kosong pada layar ponselnya yang baru saja menampilkan informasi dari dunia hiburan.Sebuah headline dari salah satu portal berita online merenggut kesadaran Jihan selama beberapa detik.Jari yang tadinya hendak memencet tanda silang kini malah menggulirkan layar ponsel. Di sana, terdapat sebuah foto satu lelaki dan satu perempuan, jari-jari mereka bertaut dan saling mengisi satu sama lain.Walaupun tampak belakang, tapi sepertinya Jihan mengenal siluet lelaki itu. Seperti Sean jika dilihat dari postur tubuhnya."Tidak mungkin." Jihan bergumam, menepis semua pemikiran buruknya.Tapi sayangnya pikiran-pikiran buruk itu terus berputar didalam kepala Jihan, membuatnya kesal. Lantas Jihan mengambil ponselnya dan mencari nama Sean disana.Jihan.Sean?Sean.Ya?Jihan.Kau sedang apa?Sean
"PERMISIIIIII."Teriakan seseorang dari depan rumah membuat Jihan bergegas ke depan untuk melihat siapa tamu yang datang."Cari siapa ya?" tanya Jihan bergitu melihat lelaki dengan kulit sedikit gelap berdiri didepannya.Lelaki itu tersenyum, memamerkan giginya yang rapi. "Sean ada?""Ada. Tunggu sebentar."Jihan baru membalikan badan tapi Sean sudah berjalan mendekat ke arahnya."Kau terlambat lima menit, Eros," ucap Sean."Hanya lima menit. Ini hari pertamaku kembali bekerja, seharusnya kau menyambutku," protes lelaki bernama Eros itu."Bagaimana bulan madumu? Sudah puas?""Sangat puas, terimakasih atas hadiah liburannya. Ini... pacarmu yang mana lagi?" tanya Eros sambil melirik Jihan."Dia istriku.""Apa? Kapan kau—?""Ayo berangkat! Aku bisa terlambat jika kau terus mengoceh," potong Sean cepat. Jika meladeni Eros sudah pasti akan lama, lelaki itu betah sekali jika berbincang.Saat Eros sudah menghidupkan mobilnya, Sean berbalik dan kembali mendekati Jihan. "Kau yakin tidak mau ti
Hari libur biasanya dimanfaatkan untuk bersantai atau bermalas-malasan bagi sebagian orang. Namun bagi Sean, hari libur atau bukan, rutinitasnya tetap sama yaitu bangun pagi.Terkadang di hari libur pun Sean tetap bekerja, namun ia bekerja di rumah, di ruang kerjanya sendiri. Bedanya, jika Sean bekerja dirumah, jam kerjanya lebih pendek daripada saat di kantor.Hidup Sean memang sudah teratur sejak dulu. Hasil dari didikan kakeknya, wajar jika ia bisa seperti sekarang ini.Sean mengecek ulang barang-barang yang akan ia bawa ke luar kota, setelah diyakin cukup lelaki itu memasukannya kedalam koper."Jihan! Kau mau pergi kemana?" tanya Sean saat melihat Jihan melewati kamarnya dan memakai jaket.Jihan memundurkan langkahnya. Ini kali pertama bagi Jihan melihat secara langsung dan jelas kamar milik Sean. "Aku mau ke supermarket, beli kebutuhan dapur." jawab Jihan. "Kau butuh sesuatu?""Tunggulah sebentar," pinta Sean.Jihan menurut, ia berdiri dan bersandar di dinding sembari menunggu Se
Jihan bergerak gelisah di tempatnya. Pikirannya bercabang. Antara setumpuk pekerjaan atau Sean yang ia tinggalkan dirumah.Jarum jam bergerak lambat, bahkan pergantian menit terasa sangat lama bagi Jihan. "Kau kenapa?" Qilla yang menyadari gerak-gerik Jihan akhirnya bertanya."Eum, apa boleh ijin pulang cepat?" tanya Jihan."Boleh. Tapi nanti gajimu dipotong," jawab Qilla."Ah tidak masalah. Aku harus ijin kemana?""Langsung ke HRD saja." Qilla menatap heran pada Jihan yang langsung melesat setelah ia memberikan jawaban.Setengah jam kemudian, Jihan sudah mengantongi ijin walaupun ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari HRDnya.Sudahlah, yang penting sekarang ia bisa pulang.Setelah berpamitan pada rekan-rekannya, Jihan bergegas keluar dari area kerjanya. Ia berjalan tergesa menuju lobi, tangan dan matanya berfokus pada ponsel karena ia sedang berusaha memesan taksi online."Aw."Jihan mengaduh saat dahinya menabrak sesuatu tapi anehnya tidak terasa sakit. Kepalanya mendongak da
Sepuluh menit kemudian Sean keluar kamar dengan keadaan yang lebih segar. Ia sudah berganti dengan baju santai, butiran air menetes turun membasahi kaos dari rambutnya yang setengah basah."Belum selesai?" tanya Sean. Lelaki itu menarik kursi di ruang makan dan duduk disana, ia menyangga kepalanya dengan satu tangan."Sudah."Jihan mendekat dengan dua piring mie instan buatannya, lalu meletakannya di hadapan Sean.Alis Sean terangkat satu saat menyadari Jihan tidak segera duduk. "Kau mau kemana?""Makanlah dulu. Aku akan makan setelah mandi," jawab Jihan."Duduklah dan temani aku makan.""Kau makan lebih dulu saja.""Aku tidak suka meminta dua kali, Jihan."Daripada terjadi perdebatan, Jihan mengalah. Ia menarik kursi dan duduk didepan Sean.Tanpa bicara apapun lagi, Sean mulai memakan mie buatan Jihan. Dengan ekspresi bercampur, Jihan menunggu reaksi Sean.Jihan menegang saat Sean berhenti menyuapkan mie ke dalam mulutnya."Tidak enak ya?" tanya Jihan, melihat pucuk hidung Sean mulai
Sean.Aku pulang terlambat hari ini.Jihan.Aku juga.Jihan menutup ponsel setelah mengirim balasan pesannya untuk Sean. Jihan merasa bersemangat sekali hari ini, ia sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan kerjanya yang baru.Dan hari ini Jihan memutuskan untuk pulang sedikit terlambat, ada beberapa hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Jihan melemburkan diri bersama dengan rekan satu divisinya, beberapa dari mereka memang memilih sedikit pulang terlambat daripada besok harus datang lebih pagi."Jihan, kau yakin tidak mau pulang lebih dulu?" tanya Lamia.Jihan menggeleng. "Aku selalu pulang tepat waktu sebelumnya, kali ini biar aku pulang sedikit terlambat.""Ah baiklah kalau begitu. Kurasa pekerjaan ini akan cepat selesai jika kau membantu," sahut Qilla —rekan Jihan yang lain.Jihan yang fokus dengan komputernya, harus berhenti mengetik lantaran ponselnya bergetar.Dahi Jihan berlipat saat melihat nomor yang memanggilnya. Nomor yang waktu itu? Jihan masih hafal tiga angka