Share

04. Dia Pergi

Tangan Jihan bergetar membuka kain putih didepannya. Rasanya tidak sanggup, namun Jihan ingin melihat Ara untuk yang terakhir kalinya. Jihan kembali menangis saat wajah pucat Ara terlihat disana.

"Pembohong! Katanya pasti sembuh!" ujar Jihan lirih. "Gue udah turutin mau lo, kenapa lo malah pergi, Ra?"

Berbeda dengan Sean, lelaki itu meninju dinding didepannya, tidak peduli tangannya sudah memerah bahkan mengeluarkan darah. Ia benci karena dirinya tidak bisa mengemudi lebih cepat.

Ara tidak mau menunggunya.

Ara meninggalkannya.

Seandainya Sean datang sepuluh menit lebih cepat. Atau Ara sengaja pergi sebelum Sean datang karena tidak mau melihat Sean sedih?

Sean tidak menangis, bukan berarti dia tidak kehilangan, bukan berarti dia tidak sedih. Wajah Sean yang merah padam bukti bahwa ia mati-matian menahan tangisnya.

"Berenti menyakiti dirimu sendiri, Sean." Dio menahan tangan Sean agar tidak kembali mengenai tembok. Sudah cukup lelaki itu bertindak bodoh.

"Lepas."

"Apa kau pikir Ara bisa tenang disana jika kau seperti ini?"

"Lalu mengapa dia meninggalkanku?"

"Dia juga meninggalkanku, meninggalkan ibu. Meninggalkan kami. Kau pikir hanya kau yang kehilangan?"

Sean mengamati Dio, lelaki yang selalu terlihat dengan ekspresi datarnya, bahkan disaat kehilangan adiknya ia masih bisa tenang.

"Dia pergi dan tidak merasakan sakit lagi. Itu sudah cukup," kata Dio. "Jika kau ingin dia tetap hidup dalam kesakitan, maka kau egois."

"Aku akan mencari cara agar dia sembuh!"

"Kau lupa? Leukimianya sudah tidak bisa disembuhkan. Selama ini yang dilakukan dokter hanya memperlambat waktu kematiannya."

Terkadang Sean masih tidak mepercayai kenyataan. Ia masih berharap ini hanyalah mimpi buruk. Ia masih berharap begitu membuka mata, Ara-nya ada dan tersenyum didepannya.

Sean mempunyai harapan, tapi ia lupa jika takdir mempunyai kenyataan.

♤♤♤♤♤

Rintik air turun membasahi bumi, seolah langit ikut mengambil bagian dalam menyamarkan tangisan Sean. Yang awalnya satu dua tetes semakin lama semakin deras. Pemakaman Ara sudah selesai, para pelayat sudah kembali pulang. Termasuk Dio dan Sarah -Ibu Ara.

Jihan yang melihat Sean tidak bergerak dari posisinya mencoba memanggil Sean agar kembali ke mobil. Namun Sean menulikan dirinya, ia tetap berlutut di tepi makam Ara. Bahkan bajunya sudah berubah warna karena basah.

Jihan berdecak. Sean benar-benar keras kepala! Akhirnya Jihan berlari masuk ke mobil dan mencari payung, lalu ia kembali ke area pemakaman. "Kau bisa sakit jika seperti ini!" teriak Jihan.

"Pergilah," titah Sean.

"Kau bodoh atau apa?!" teriak Jihan, ia meraih lengan Sean berusaha membuatnya bangun.

Sayang, Sean menepis tangan Jihan hingga membuatnya terhuyung ke belakang. Untung saja Jihan bisa mengontrol badannya sehingga ia tidak sampai terjerembab.

"Aku tahu kau sedih tapi jangan siksa dirimu seperti ini."

Jihan mulai melunak dalam berbicara. Antara dirinya atau Sean tentu saja Sean yang paling merasa kehilangan. Jihan adalah pendengar yang baik, Ara selalu menceritakan apapun pada Jihan termasuk soal Sean. Namun karena Jihan berada diluar kota, membuatnya hanya bisa mendengar lewat telepon tanpa bertemu langsung.

Masih dengan payung di tangannya, Jihan ikut berjongkok di sisi Sean, menggeser payung yang ia bawa ke atas tubuh lelaki itu. Walaupun terlambat karena tubuh Sean sudah sepenuhnya basah.

"Kenapa bukan aku saja yang mati?"

"Kenapa harus Ara?"

"Apa ini hukumanku?"

Jihan sudah tidak bisa membedakan yang muncul di wajah Sean adalah tetesan air mata atau air hujan. Tapi dari suaranya yang bergetar, Jihan tahu Sean menangis.

Menangis tanpa suara. Hanya bahunya yang perlahan mulai bergetar, disusul lelaki itu yang menundukan kepalanya, kedua tangannya tergenggam erat diatas pahanya.

Melihat itu membuat Jihan tidak tega. Jihan memindahkan payungnya, lalu dengan sebelah tangannya yang bebas ia mengelus punggung Sean. 

"It's okay. Menangislah jika membuatmu lega," ucap Jihan lirih.

Seperti mendapat ijin, Sean menangis disana. Lelaki itu menoleh pada Jihan, terlihat jelas betapa berantakannya Sean.

Tangan Jihan masih setia menepuk punggung Sean, seakan mengatakan bahwa Sean tidak sendiri. Cukup lama Jihan berada disana menunggui Sean, hingga lelaki itu akhirnya mau beranjak dari area pemakaman.

Sean yang sedang kacau mungkin tidak akan bisa menyetir dengan benar, jadi daripada celaka, Jihan memutuskan bahwa ia yang akan menyetir.

Jihan membuka pintu penumpang dan memaksa Sean masuk setelah beradu tatapan tajam dengan lelaki itu. Sean meminta Jihan mengarahkan mobil ke rumahnya. Sementara barang-barang mereka di hotel akan diambil oleh orang suruhan Sean.

♤♤♤♤♤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status