Tangan Jihan bergetar membuka kain putih didepannya. Rasanya tidak sanggup, namun Jihan ingin melihat Ara untuk yang terakhir kalinya. Jihan kembali menangis saat wajah pucat Ara terlihat disana.
"Pembohong! Katanya pasti sembuh!" ujar Jihan lirih. "Gue udah turutin mau lo, kenapa lo malah pergi, Ra?"
Berbeda dengan Sean, lelaki itu meninju dinding didepannya, tidak peduli tangannya sudah memerah bahkan mengeluarkan darah. Ia benci karena dirinya tidak bisa mengemudi lebih cepat.
Ara tidak mau menunggunya.
Ara meninggalkannya.Seandainya Sean datang sepuluh menit lebih cepat. Atau Ara sengaja pergi sebelum Sean datang karena tidak mau melihat Sean sedih?
Sean tidak menangis, bukan berarti dia tidak kehilangan, bukan berarti dia tidak sedih. Wajah Sean yang merah padam bukti bahwa ia mati-matian menahan tangisnya.
"Berenti menyakiti dirimu sendiri, Sean." Dio menahan tangan Sean agar tidak kembali mengenai tembok. Sudah cukup lelaki itu bertindak bodoh.
"Lepas."
"Apa kau pikir Ara bisa tenang disana jika kau seperti ini?"
"Lalu mengapa dia meninggalkanku?"
"Dia juga meninggalkanku, meninggalkan ibu. Meninggalkan kami. Kau pikir hanya kau yang kehilangan?"
Sean mengamati Dio, lelaki yang selalu terlihat dengan ekspresi datarnya, bahkan disaat kehilangan adiknya ia masih bisa tenang.
"Dia pergi dan tidak merasakan sakit lagi. Itu sudah cukup," kata Dio. "Jika kau ingin dia tetap hidup dalam kesakitan, maka kau egois."
"Aku akan mencari cara agar dia sembuh!"
"Kau lupa? Leukimianya sudah tidak bisa disembuhkan. Selama ini yang dilakukan dokter hanya memperlambat waktu kematiannya."
Terkadang Sean masih tidak mepercayai kenyataan. Ia masih berharap ini hanyalah mimpi buruk. Ia masih berharap begitu membuka mata, Ara-nya ada dan tersenyum didepannya.
Sean mempunyai harapan, tapi ia lupa jika takdir mempunyai kenyataan.
♤♤♤♤♤
Rintik air turun membasahi bumi, seolah langit ikut mengambil bagian dalam menyamarkan tangisan Sean. Yang awalnya satu dua tetes semakin lama semakin deras. Pemakaman Ara sudah selesai, para pelayat sudah kembali pulang. Termasuk Dio dan Sarah -Ibu Ara.
Jihan yang melihat Sean tidak bergerak dari posisinya mencoba memanggil Sean agar kembali ke mobil. Namun Sean menulikan dirinya, ia tetap berlutut di tepi makam Ara. Bahkan bajunya sudah berubah warna karena basah.
Jihan berdecak. Sean benar-benar keras kepala! Akhirnya Jihan berlari masuk ke mobil dan mencari payung, lalu ia kembali ke area pemakaman. "Kau bisa sakit jika seperti ini!" teriak Jihan.
"Pergilah," titah Sean.
"Kau bodoh atau apa?!" teriak Jihan, ia meraih lengan Sean berusaha membuatnya bangun.
Sayang, Sean menepis tangan Jihan hingga membuatnya terhuyung ke belakang. Untung saja Jihan bisa mengontrol badannya sehingga ia tidak sampai terjerembab.
"Aku tahu kau sedih tapi jangan siksa dirimu seperti ini."
Jihan mulai melunak dalam berbicara. Antara dirinya atau Sean tentu saja Sean yang paling merasa kehilangan. Jihan adalah pendengar yang baik, Ara selalu menceritakan apapun pada Jihan termasuk soal Sean. Namun karena Jihan berada diluar kota, membuatnya hanya bisa mendengar lewat telepon tanpa bertemu langsung.
Masih dengan payung di tangannya, Jihan ikut berjongkok di sisi Sean, menggeser payung yang ia bawa ke atas tubuh lelaki itu. Walaupun terlambat karena tubuh Sean sudah sepenuhnya basah.
"Kenapa bukan aku saja yang mati?"
"Kenapa harus Ara?"
"Apa ini hukumanku?"
Jihan sudah tidak bisa membedakan yang muncul di wajah Sean adalah tetesan air mata atau air hujan. Tapi dari suaranya yang bergetar, Jihan tahu Sean menangis.
Menangis tanpa suara. Hanya bahunya yang perlahan mulai bergetar, disusul lelaki itu yang menundukan kepalanya, kedua tangannya tergenggam erat diatas pahanya.
Melihat itu membuat Jihan tidak tega. Jihan memindahkan payungnya, lalu dengan sebelah tangannya yang bebas ia mengelus punggung Sean.
"It's okay. Menangislah jika membuatmu lega," ucap Jihan lirih.
Seperti mendapat ijin, Sean menangis disana. Lelaki itu menoleh pada Jihan, terlihat jelas betapa berantakannya Sean.
Tangan Jihan masih setia menepuk punggung Sean, seakan mengatakan bahwa Sean tidak sendiri. Cukup lama Jihan berada disana menunggui Sean, hingga lelaki itu akhirnya mau beranjak dari area pemakaman.
Sean yang sedang kacau mungkin tidak akan bisa menyetir dengan benar, jadi daripada celaka, Jihan memutuskan bahwa ia yang akan menyetir.
Jihan membuka pintu penumpang dan memaksa Sean masuk setelah beradu tatapan tajam dengan lelaki itu. Sean meminta Jihan mengarahkan mobil ke rumahnya. Sementara barang-barang mereka di hotel akan diambil oleh orang suruhan Sean.
♤♤♤♤♤
Butuh waktu untuk Sean bisa menerima semuanya. Sebaik apapun kita mempersiapkan diri untuk ditinggalkan, nyatanya kehilangan rasanya tetap menyakitkan.Anggap saja ini ganjaran bagi Sean karena kelakuannya dulu. Sean menerimanya. Dan ia mungkin tidak akan membuka hatinya lagi. Sean ingin Ara menjadi wanita terakhirnya.Sesuai keputusannya, pernikahannya dengan Jihan akan berakhir setelah satu tahun.Sean kembali memasuki area kantornya dengan wajah datar, para karyawan terkejut melihat perubahan Sean. Aura dingin kembali memancar dari lelaki itu, padahal sebelumnya lelaki itu sudah berubah menjadi atasan yang lebih hangat.Bisik-bisik menyebutkan jika hal tersebut dikarenakan meninggalnya Ara. Beruntungnya Sean tidak mendengar soal hal itu karena Cakra lebih dulu membungkam mulut gibah para karyawan. Tentu saja dengan ancaman mutasi atau pemberhentian kerja.Sebagai teman, Cakra tidak mau hidup Sean kembali berantakan seperti dulu. Sekalipun bukan dengan Ara, Cakra ingin Sean tetap hid
Jihan benci saat harus menurunkan egonya untuk makhluk bernama lelaki. Bagi Jihan semua lelaki itu sama, brengsek semua!Dan sialnya Jihan rela mempermalukan dirinya di hadapan lelaki bernama Sean.Jika tahu usahanya akan ditolak mentah-mentah, maka Jihan tidak sudi repot-repot membuat sushi dan mengantarnya. Padahal demi sushi itu, Jihan merelakan tangannya terkena pisau.Kaki Jihan melangkah keluar dari gedung OS Corp dengan wajah masam. Ia turun menuju parkiran dengan lift, saat keluar dari lift Jihan tidak sengaja menabrak seseorang lantaran terlalu fokus dengan rasa kesalnya."Ah maaf," ucap Jihan seraya mengusap dahinya."Dahimu baik-baik saja?" tanya lelaki itu dan membuat Jihan mendongak.Jihan seperti terhipnotis saat memandang lelaki itu. Sepertinya yang berdiri didepannya saat ini bukan manusia, tetapi utusan dewa."Nona?" panggil lelaki itu sembari menggerakan tangan didepan Jihan."Ah iya! Dahiku baik-baik saja. Maaf aku tidak melihatmu," jawab Jihan lalu membungkukan bada
Jihan sudah mandi dan sudah membersihkan semuanya sesuai yang diperintahkan Sean. Kini, perempuan itu tengah duduk beristirahat di sofa.Jihan melihat ke arah dapur, dari tempatnya duduk ia bisa melihat punggung tegap Sean. Ntah apa yang dilakukan lelaki itu disana.Karena penasaran, Jihan mendekat ke arah dapur lalu menarik kursi pantry dan duduk disana.Baru saja duduk, Jihan sudah berteriak panik saat melihat api kompor yang terlalu besar, dengan sigap Jihan berlari dan mematikan kompor.Munculnya Jihan yang mematikan kompor secara tiba-tiba membuat Sean jengkel."Apa maksudmu mematikan kompor? Kau tidak melihat aku sedang memasak?"Jihan mundur satu langkah, sungguh penampilan Sean saat ini sangat langka di mata Jihan.Sean memakai apron.Biasanya Jihan hanya akan melihat Sean memakain 2 pakaian. Yang pertama kemeja formal dan yang kedua jas kantor. Sampai-sampai Jihan bosan melihat pakaian itu."Kau mau memasak atau membuat rumahmu kebakaran?" tanya Jihan."Jadi menurutmu aku tid
Sean menatap tas diatas nakas sisi sebelah kiri meja kerjanya. Berkali-kali ia menghembuskan napasnya.Ini sudah satu minggu semenjak ia meminta Jihan membuatkannya bekal makan siang. Yang membuat Sean takjub adalah tas yang melapisi kotak bekal itu.Tas itu berwarna ungu dengan hiasan kupu-kupu didepannya, ada juga huruf J yang tertempel cukup besar disana, jangan lupakan pita berwarna pink disisi kiri dan kanan tas itu.Seorang Sean dengan wajah minim ekspresinya menenteng tas kiyut seperti itu, memangnya siapa yang berani menertawakannya?Hanya tatapan tidak percaya yang ia dapat saat pertama masuk ke kantor dengan tas itu ditangannya. Sean mengusap wajahnya kasar, mungkin lain kali ia harus meminta Jihan untuk membeli tas lain dengan motif yang lebih normal."Kau kenapa lagi?"Siapa lagi oknum yang berani masuk ke ruangan Sean tanpa mengetuk kecuali Cakra?
Sebuah sedan berwarna hitam terparkir manis di kediaman Oscar Rahardja. Sean tau betul bahwa itu bukan mobil kakeknya.Rumah minimalis itu terkesan sejuk dan nyaman untuk ditinggali, sekalipun bukan berada dideretan perumahan elite seperti milik Sean. Bagi kakeknya, rasa nyaman adalah nomor satu. Sebesar apapun rumah, jika tidak ada rasa nyaman didalamnya maka itu tidak pantas disebut rumah.Sean turun dan berjalan memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Jihan. Formalitas, begitu pikir Sean. Apalagi saat Sean tiba, kakeknya sudah berdiri didepan pintu siap menyambut cucu dan cucu menantunya.Jemari Sean ditautkan pada milik Jihan, lalu mengajak Jihan menghampiri kakeknya."Kakek lagi kedatangan tamu?" tanya Sean.Kakeknya terkekeh, terlihat keriput muncul diwajahnya saat lelaki berumur 3/4 abad itu tersenyum."Bukan tamu kakek. Tapi tamu kamu, Sean. Ayo masuk."Sean menjadi bingung. Kalau tamu Sean, mengapa tidak datang ke kantor saja atau ke rumah? Alih-alih malah datang kerumah ka
Sean masih terjaga di atas ranjangnya, matanya menerawang kembali mengingat ajakan Jihan yang ditawarkan padanya tadi.Pengecut? Iya, Sean memang pengecut. Ia belum berani datang ke makam Ara. Penolakan yang secara spontan Sean ucapkan, bukan tanpa alasan.Hati Sean belum siap berhadapan dengan nisan bertuliskan nama Ara disana. Ia takut, takut tidak mampu berdiri lagi saat melihat itu.Sean menghembuskan napasnya sesekali saat matanya mulai berkaca-kaca. Meraih ponselnya lalu melihat wallpaper yang tidak pernah ia ganti sejak bertemu dengan Ara, foto gadis itu dengan senyuman lebarnya.Sesekali jemari Sean bergerak mengelus potret itu. Masih tidak percaya karena rasanya terlalu cepat.Hidup hanya berputar pada dua hal.Meninggalkan atau ditinggalkan.Hidup yang dijalani Sean seolah terjun bebas kembali ke titik nol setelah Ara tidak ada. Semangat Sean ikut menghilang, separuh jiwanya ikut terkubur bersama jasad Ara.Sean memejamkan matanya dengan ponsel yang diletakan diatas dadanya.
Sean sudah siap, ia nampak gagah dengan setelan hitam dan jas putihnya. Lelaki itu berdiri di ruang tamu menunggu Jihan turun, berkali-kali Sean menatap pergelangan tangannya, memastikan ia tidak terlambat untuk berangkat."Maaf membuatmu menunggu lama," ucap Jihan. Jihan terlihat anggun dengan gaun berwarna putih gading yang ia pakai, kaki jenjangnya menuruni anak tangga dengan hati-hati.Senyum merekah tampak di wajahnya, Jihan menggenggam sebuah clutch berwarna senada dengan gaunnya.Pandangan Sean terkunci pada Jihan selama beberapa detik. Sean merasa waktu berhenti saat Jihan berjalan mendekatinya. Ia bahkan tidak sadar Jihan memanggil namanya beberapa kali, setelah Jihan menggerakan tangan didepan wajah Sean, barulah lelaki itu tersentak."Ayo berangkat."Sean bergerak lebih dulu, meninggalkan Jihan beberapa langkah dibelakangnya. Sean sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang tiba-tiba seperti habis lari marathon.Jihan mengangkat bahunya tak acuh lalu berjalan cepat m
Vidi Valencio.Begitu lelaki itu memperkenalkan dirinya. Si pemilik gummy smile. Jihan menyukai saat lelaki itu tersenyum karena tanpa sadar bibir Jihan juga akan ikut tertarik ke atas.Vidi melepas jasnya, memindahkannya pada tubuh Jihan saat merasa udara malam semakin dingin."Aku belum tahu namamu," ujar Vidi, kepalanya mendongak menatap langit terang yang menaungi mereka."Aku....""Ada yang bilang, jika dua orang bertemu tiga kali bisa jadi mereka berjodoh," potong Vidi cepat sebelum Jihan menjawab.Vidi menoleh menatap Jihan yang juga memandangnya bingung. "Jika kita bertemu yang ketiga kalinya, aku harus tahu semua tentang dirimu. Bukan hanya namamu," lanjutnya.Hati Jihan berdesir mendengarnya, ada sesuatu yang menggelitik disana."Kau tidak pulang?" tanya Jihan."Kau mau pulang?" bukannya menjawab, Vidi malah balik bertanya.Jihan terlihat berpikir. Ia ingin pulang, tapi tidak mungkin ia kembali ke dalam dan mencari Sean. Lelaki itu pasti masih marah padanya.Mengingat kejadi