Share

05. Lembaran Baru

Butuh waktu untuk Sean bisa menerima semuanya. Sebaik apapun kita mempersiapkan diri untuk ditinggalkan, nyatanya kehilangan rasanya tetap menyakitkan.

Anggap saja ini ganjaran bagi Sean karena kelakuannya dulu. Sean menerimanya. Dan ia mungkin tidak akan membuka hatinya lagi. Sean ingin Ara menjadi wanita terakhirnya.

Sesuai keputusannya, pernikahannya dengan Jihan akan berakhir setelah satu tahun.

Sean kembali memasuki area kantornya dengan wajah datar, para karyawan terkejut melihat perubahan Sean. Aura dingin kembali memancar dari lelaki itu, padahal sebelumnya lelaki itu sudah berubah menjadi atasan yang lebih hangat.

Bisik-bisik menyebutkan jika hal tersebut dikarenakan meninggalnya Ara. Beruntungnya Sean tidak mendengar soal hal itu karena Cakra lebih dulu membungkam mulut gibah para karyawan. Tentu saja dengan ancaman mutasi atau pemberhentian kerja.

Sebagai teman, Cakra tidak mau hidup Sean kembali berantakan seperti dulu. Sekalipun bukan dengan Ara, Cakra ingin Sean tetap hidup bahagia dan hidup dengan baik.

"Jadi kau tinggal dimana?" tanya Cakra.

"Dirumahku tentu saja," jawab Sean. Matanya masih fokus membolak-balik lembaran kertas yang ada didepannya, sesekali Sean membetulkan kacamatanya yang merosot.

"Maksudku, rumahmu yang mana? Apa kau lupa jika rumahmu ada banyak?"

Sean menghentikan gerakannya dan menatap Cakra heran. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?"

Cakra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak ada. Hanya pertanyaan spontan saja."

Sebetulnya Cakra hanya mencari topik pembicaraan dengan Sean. Lelaki itu sadar bahwa terkadang Sean suka melamun di saat jam kerjanya, walaupun Sean tidak mengakui hal itu.

Pintu ruangan Sean diketuk dari luar. Setelah mendapat ijin dari pemilik ruangan, pintu itu terbuka dan menampilkan sekertarisnya.

Setelah membungkuk hormat sekertaris Sean yang bernama Nirma itu berkata, "Ibu Jihan ada didepan, Pak."

Sean cukup terkejut dengan info itu. Untuk apa Jihan datang ke kantornya?

"Suruh masuk," jawab Sean.

Nirma menganggukan kepala dan kembali keluar.

Tidak lama setelah Nirma keluar, Jihan masuk dengan membawa tentengan tempat makan. Jihan terkejut mendapati Sean tidak sendiri, ada Cakra disana, lelaki tinggi itu tersenyum pada Jihan membuat lekukan di pipinya muncul, untuk beberapa detik Jihan terpana sebelum akhirnya Sean berdehem.

"Ada keperluan apa sampai kesini?" tanya Sean, kedua tangannya sudah bertaut diatas meja.

Jihan gugup. Ia pikir Sean sendiri, makanya dengan percaya diri Jihan datang membawakan makan siang.

Karena Jihan menebak, Sean pasti tidak sempat makan siang lantaran pekerjaannya yang padat.

Masalah lain adalah Jihan hanya membawa 1 porsi makan siang saja. Sekarang Jihan ragu, akan menyerahkan tentengan itu pada Sean atau tidak.

"Ng—tidak ada keperluan. Aku hanya membawakan makan siang untukmu," ucap Jihan dalam satu tarikan napas.

Satu alis Sean terangkat. "Menurutmu, aku tidak mampu membeli makan siang hingga kau mengantarkan kesini?"

Hati Jihan mencelos mendengar ucapan Sean. Sedikit sakit, kerja kerasnya tidak dihargai. Padahal jauh di lubuk hatinya, Jihan sama sekali tidak ada pemikiran seperti itu.

Disisi lain, Jihan ingin membantu Sean untuk makan teratur, mengingat beberapa hari lalu Sean jatuh sakit setelah kematian Ara dan lelaki itu sama sekali tidak mau makan hingga dokter mengatakan Sean terkena sakit maag.

Jihan hanya ingin melaksanakan wasiat Ara dengan baik. Menjaga Sean-nya, ah bukan, Sean milik Ara. Paling tidak, untuk satu tahun kedepan.

"Bukan begitu maksudku. Ku pikir kau tidak punya waktu untuk pergi makan siang, makanya aku membawakan makan siang," jawab Jihan jujur.

Jihan menghela napas menyadari tanggapan Sean tidak cukup baik dengan kedatangannya. Seharusnya ia tahu diri, statusnya sebagai istri Sean hanya sebatas diatas kertas.

"Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengurus diriku sendiri," jawab Sean, lalu lelaki itu kembali menenggelamkan diri dengan setumpuk dokumen di mejanya.

Jihan diabaikan. Jihan tahu, itu bentuk pengusiran halus dari pemilik ruangan.

"Baiklah, maaf kalau begitu. Aku akan membawa makanan ini pulang."

Cakra sedari tadi menyimak interaksi antara Jihan dan Sean. Cakra juga tahu jika hubungan Sean dan Jihan bukan berlandaskan cinta, tapi tidak sepantasnya Sean memperlakukan Jihan seperti itu.

Setidaknya sebagai lelaki, Sean harusnya bisa menghargai usaha Jihan. Perempuan itu terlihat tulus dari sorot matanya, bukan seperti perempuan lain yang mendekati Sean sebelum-sebelum Ara, yang hanya mengincar kekayaan Sean saja.

"Ah tunggu!" teriak Cakra saat Jihan sudah membuka pintu.

Jihan berhenti dan menoleh penuh tanya pada Cakra. "Kenapa?" tanya Jihan.

Cakra akan bersikap sedikit tidak tahu malu untuk kali ini. "Aku lapar. Boleh makanan itu untukku?" tanya Cakra.

Sean berhenti menulis dan mengangkat wajahnya, menatap Cakra meminta penjelasan maksud dari permintaannya.

"Yakin kau mau memakan ini?" tanya Jihan.

Cakra berdiri dan menghampiri Jihan, lalu mengambil tentengan di tangan Jihan. "Tentu, kenapa tidak. Kau tidak memberi racun didalamnya kan?"

Jihan gelagapan lalu menggerakan tangannya. "Tentu saja tidak! Untuk apa aku memberi racun!" bantah Jihan.

"Kalau begitu tidak masalah jika ini kumakan. Lagipula dengan begitu aku hemat sehari karena tidak mengeluarkan uang untuk makan," celoteh Cakra.

"B-baiklah, kalau begitu aku akan pulang. Semoga rasanya sesuai dengan lidahmu," ucap Jihan gugup, wajahnya memanas saat berinteraksi dengan Cakra. Sebelum mukanya semakin merah, Jihan segera keluar dan menutup pintu.

Sean meletakan pulpennya dengan sedikit kasar, sedangkan Cakra sudah duduk dikursi dan bersiap membuka bekal yang diberi Jihan.

"Tingkahmu seperti orang miskin saja!" sindir Sean.

"Miskin harta tak apa, asal tak miskin hati. Sudah susah payah dibawakan, malah ditolak. Dasar tidak bersyukur," ucap Cakra terang-terangan menyindir Sean.

"Aku tidak pernah memintanya. Salahnya sendiri," bantah Sean tetap tidak mau kalah. Ia merasa tidak ada yang salah dengan sikapnya.

"Terserah kau... Wah, ini sushi! Bukankah ini makanan kesukaannmu?" tanya Cakra.

Mendengar kata sushi, membuat perut Sean bergolak, tiba-tiba lapar. Namun gengsinya yang lebih tinggi, membuat Sean menahan itu.

"Sepertinya ini enak. Kau benar-benar tidak mau?" tanya Cakra sekali lagi, ia sudah memegang sumpit ditangannya, bersiap mengambil sushi pertama.

"Tidak," jawab Sean setelah menghela napas dengan berat.

Cakra tertawa. "Baiklah, jangan marah jika ini kuhabiskan!"

Tanpa basa-basi Cakra mulai menikmati sushi yang bukan untuknya. Masa bodoh dengan Sean yang menatapnya masam, siapa suruh tadi sok-sok'an menolak rejeki.

Rejeki anak ganteng ini namanya, batin Cakra.

"Ini benar-benar enak Sean. Kau akan menyesal karena tidak mau mencobanya," ucap Cakra. Lelaki itu masih usil menggoda Sean dengan mengiming-imingi sushi buatan Jihan.

Sean masih tidak bergeming dari tempatnya. Tidak mungkin ia menurunkan gengsinya hanya demi sushi.

"Baiklah, aku akan menghabiskan semua. Silakan kau makan kertas dan tinta saja ya!"

Cakra kemudian tertawa terbahak-bahak hingga membuatnya tersedak, beruntung dimeja itu disediakan air mineral cup. Tidak lucu jika Cakra mati hanya karena tersedak sushi buatan istri orang.

♤♤♤♤♤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status