Butuh waktu untuk Sean bisa menerima semuanya. Sebaik apapun kita mempersiapkan diri untuk ditinggalkan, nyatanya kehilangan rasanya tetap menyakitkan.
Anggap saja ini ganjaran bagi Sean karena kelakuannya dulu. Sean menerimanya. Dan ia mungkin tidak akan membuka hatinya lagi. Sean ingin Ara menjadi wanita terakhirnya.
Sesuai keputusannya, pernikahannya dengan Jihan akan berakhir setelah satu tahun.
Sean kembali memasuki area kantornya dengan wajah datar, para karyawan terkejut melihat perubahan Sean. Aura dingin kembali memancar dari lelaki itu, padahal sebelumnya lelaki itu sudah berubah menjadi atasan yang lebih hangat.
Bisik-bisik menyebutkan jika hal tersebut dikarenakan meninggalnya Ara. Beruntungnya Sean tidak mendengar soal hal itu karena Cakra lebih dulu membungkam mulut gibah para karyawan. Tentu saja dengan ancaman mutasi atau pemberhentian kerja.
Sebagai teman, Cakra tidak mau hidup Sean kembali berantakan seperti dulu. Sekalipun bukan dengan Ara, Cakra ingin Sean tetap hidup bahagia dan hidup dengan baik.
"Jadi kau tinggal dimana?" tanya Cakra.
"Dirumahku tentu saja," jawab Sean. Matanya masih fokus membolak-balik lembaran kertas yang ada didepannya, sesekali Sean membetulkan kacamatanya yang merosot.
"Maksudku, rumahmu yang mana? Apa kau lupa jika rumahmu ada banyak?"
Sean menghentikan gerakannya dan menatap Cakra heran. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
Cakra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak ada. Hanya pertanyaan spontan saja."
Sebetulnya Cakra hanya mencari topik pembicaraan dengan Sean. Lelaki itu sadar bahwa terkadang Sean suka melamun di saat jam kerjanya, walaupun Sean tidak mengakui hal itu.
Pintu ruangan Sean diketuk dari luar. Setelah mendapat ijin dari pemilik ruangan, pintu itu terbuka dan menampilkan sekertarisnya.
Setelah membungkuk hormat sekertaris Sean yang bernama Nirma itu berkata, "Ibu Jihan ada didepan, Pak."
Sean cukup terkejut dengan info itu. Untuk apa Jihan datang ke kantornya?
"Suruh masuk," jawab Sean.
Nirma menganggukan kepala dan kembali keluar.
Tidak lama setelah Nirma keluar, Jihan masuk dengan membawa tentengan tempat makan. Jihan terkejut mendapati Sean tidak sendiri, ada Cakra disana, lelaki tinggi itu tersenyum pada Jihan membuat lekukan di pipinya muncul, untuk beberapa detik Jihan terpana sebelum akhirnya Sean berdehem.
"Ada keperluan apa sampai kesini?" tanya Sean, kedua tangannya sudah bertaut diatas meja.
Jihan gugup. Ia pikir Sean sendiri, makanya dengan percaya diri Jihan datang membawakan makan siang.
Karena Jihan menebak, Sean pasti tidak sempat makan siang lantaran pekerjaannya yang padat.
Masalah lain adalah Jihan hanya membawa 1 porsi makan siang saja. Sekarang Jihan ragu, akan menyerahkan tentengan itu pada Sean atau tidak.
"Ng—tidak ada keperluan. Aku hanya membawakan makan siang untukmu," ucap Jihan dalam satu tarikan napas.
Satu alis Sean terangkat. "Menurutmu, aku tidak mampu membeli makan siang hingga kau mengantarkan kesini?"
Hati Jihan mencelos mendengar ucapan Sean. Sedikit sakit, kerja kerasnya tidak dihargai. Padahal jauh di lubuk hatinya, Jihan sama sekali tidak ada pemikiran seperti itu.
Disisi lain, Jihan ingin membantu Sean untuk makan teratur, mengingat beberapa hari lalu Sean jatuh sakit setelah kematian Ara dan lelaki itu sama sekali tidak mau makan hingga dokter mengatakan Sean terkena sakit maag.
Jihan hanya ingin melaksanakan wasiat Ara dengan baik. Menjaga Sean-nya, ah bukan, Sean milik Ara. Paling tidak, untuk satu tahun kedepan.
"Bukan begitu maksudku. Ku pikir kau tidak punya waktu untuk pergi makan siang, makanya aku membawakan makan siang," jawab Jihan jujur.
Jihan menghela napas menyadari tanggapan Sean tidak cukup baik dengan kedatangannya. Seharusnya ia tahu diri, statusnya sebagai istri Sean hanya sebatas diatas kertas.
"Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengurus diriku sendiri," jawab Sean, lalu lelaki itu kembali menenggelamkan diri dengan setumpuk dokumen di mejanya.
Jihan diabaikan. Jihan tahu, itu bentuk pengusiran halus dari pemilik ruangan.
"Baiklah, maaf kalau begitu. Aku akan membawa makanan ini pulang."
Cakra sedari tadi menyimak interaksi antara Jihan dan Sean. Cakra juga tahu jika hubungan Sean dan Jihan bukan berlandaskan cinta, tapi tidak sepantasnya Sean memperlakukan Jihan seperti itu.
Setidaknya sebagai lelaki, Sean harusnya bisa menghargai usaha Jihan. Perempuan itu terlihat tulus dari sorot matanya, bukan seperti perempuan lain yang mendekati Sean sebelum-sebelum Ara, yang hanya mengincar kekayaan Sean saja.
"Ah tunggu!" teriak Cakra saat Jihan sudah membuka pintu.
Jihan berhenti dan menoleh penuh tanya pada Cakra. "Kenapa?" tanya Jihan.
Cakra akan bersikap sedikit tidak tahu malu untuk kali ini. "Aku lapar. Boleh makanan itu untukku?" tanya Cakra.
Sean berhenti menulis dan mengangkat wajahnya, menatap Cakra meminta penjelasan maksud dari permintaannya.
"Yakin kau mau memakan ini?" tanya Jihan.
Cakra berdiri dan menghampiri Jihan, lalu mengambil tentengan di tangan Jihan. "Tentu, kenapa tidak. Kau tidak memberi racun didalamnya kan?"
Jihan gelagapan lalu menggerakan tangannya. "Tentu saja tidak! Untuk apa aku memberi racun!" bantah Jihan.
"Kalau begitu tidak masalah jika ini kumakan. Lagipula dengan begitu aku hemat sehari karena tidak mengeluarkan uang untuk makan," celoteh Cakra.
"B-baiklah, kalau begitu aku akan pulang. Semoga rasanya sesuai dengan lidahmu," ucap Jihan gugup, wajahnya memanas saat berinteraksi dengan Cakra. Sebelum mukanya semakin merah, Jihan segera keluar dan menutup pintu.
Sean meletakan pulpennya dengan sedikit kasar, sedangkan Cakra sudah duduk dikursi dan bersiap membuka bekal yang diberi Jihan.
"Tingkahmu seperti orang miskin saja!" sindir Sean.
"Miskin harta tak apa, asal tak miskin hati. Sudah susah payah dibawakan, malah ditolak. Dasar tidak bersyukur," ucap Cakra terang-terangan menyindir Sean.
"Aku tidak pernah memintanya. Salahnya sendiri," bantah Sean tetap tidak mau kalah. Ia merasa tidak ada yang salah dengan sikapnya.
"Terserah kau... Wah, ini sushi! Bukankah ini makanan kesukaannmu?" tanya Cakra.
Mendengar kata sushi, membuat perut Sean bergolak, tiba-tiba lapar. Namun gengsinya yang lebih tinggi, membuat Sean menahan itu.
"Sepertinya ini enak. Kau benar-benar tidak mau?" tanya Cakra sekali lagi, ia sudah memegang sumpit ditangannya, bersiap mengambil sushi pertama.
"Tidak," jawab Sean setelah menghela napas dengan berat.
Cakra tertawa. "Baiklah, jangan marah jika ini kuhabiskan!"
Tanpa basa-basi Cakra mulai menikmati sushi yang bukan untuknya. Masa bodoh dengan Sean yang menatapnya masam, siapa suruh tadi sok-sok'an menolak rejeki.
Rejeki anak ganteng ini namanya, batin Cakra.
"Ini benar-benar enak Sean. Kau akan menyesal karena tidak mau mencobanya," ucap Cakra. Lelaki itu masih usil menggoda Sean dengan mengiming-imingi sushi buatan Jihan.
Sean masih tidak bergeming dari tempatnya. Tidak mungkin ia menurunkan gengsinya hanya demi sushi.
"Baiklah, aku akan menghabiskan semua. Silakan kau makan kertas dan tinta saja ya!"
Cakra kemudian tertawa terbahak-bahak hingga membuatnya tersedak, beruntung dimeja itu disediakan air mineral cup. Tidak lucu jika Cakra mati hanya karena tersedak sushi buatan istri orang.
♤♤♤♤♤
Jihan benci saat harus menurunkan egonya untuk makhluk bernama lelaki. Bagi Jihan semua lelaki itu sama, brengsek semua!Dan sialnya Jihan rela mempermalukan dirinya di hadapan lelaki bernama Sean.Jika tahu usahanya akan ditolak mentah-mentah, maka Jihan tidak sudi repot-repot membuat sushi dan mengantarnya. Padahal demi sushi itu, Jihan merelakan tangannya terkena pisau.Kaki Jihan melangkah keluar dari gedung OS Corp dengan wajah masam. Ia turun menuju parkiran dengan lift, saat keluar dari lift Jihan tidak sengaja menabrak seseorang lantaran terlalu fokus dengan rasa kesalnya."Ah maaf," ucap Jihan seraya mengusap dahinya."Dahimu baik-baik saja?" tanya lelaki itu dan membuat Jihan mendongak.Jihan seperti terhipnotis saat memandang lelaki itu. Sepertinya yang berdiri didepannya saat ini bukan manusia, tetapi utusan dewa."Nona?" panggil lelaki itu sembari menggerakan tangan didepan Jihan."Ah iya! Dahiku baik-baik saja. Maaf aku tidak melihatmu," jawab Jihan lalu membungkukan bada
Jihan sudah mandi dan sudah membersihkan semuanya sesuai yang diperintahkan Sean. Kini, perempuan itu tengah duduk beristirahat di sofa.Jihan melihat ke arah dapur, dari tempatnya duduk ia bisa melihat punggung tegap Sean. Ntah apa yang dilakukan lelaki itu disana.Karena penasaran, Jihan mendekat ke arah dapur lalu menarik kursi pantry dan duduk disana.Baru saja duduk, Jihan sudah berteriak panik saat melihat api kompor yang terlalu besar, dengan sigap Jihan berlari dan mematikan kompor.Munculnya Jihan yang mematikan kompor secara tiba-tiba membuat Sean jengkel."Apa maksudmu mematikan kompor? Kau tidak melihat aku sedang memasak?"Jihan mundur satu langkah, sungguh penampilan Sean saat ini sangat langka di mata Jihan.Sean memakai apron.Biasanya Jihan hanya akan melihat Sean memakain 2 pakaian. Yang pertama kemeja formal dan yang kedua jas kantor. Sampai-sampai Jihan bosan melihat pakaian itu."Kau mau memasak atau membuat rumahmu kebakaran?" tanya Jihan."Jadi menurutmu aku tid
Sean menatap tas diatas nakas sisi sebelah kiri meja kerjanya. Berkali-kali ia menghembuskan napasnya.Ini sudah satu minggu semenjak ia meminta Jihan membuatkannya bekal makan siang. Yang membuat Sean takjub adalah tas yang melapisi kotak bekal itu.Tas itu berwarna ungu dengan hiasan kupu-kupu didepannya, ada juga huruf J yang tertempel cukup besar disana, jangan lupakan pita berwarna pink disisi kiri dan kanan tas itu.Seorang Sean dengan wajah minim ekspresinya menenteng tas kiyut seperti itu, memangnya siapa yang berani menertawakannya?Hanya tatapan tidak percaya yang ia dapat saat pertama masuk ke kantor dengan tas itu ditangannya. Sean mengusap wajahnya kasar, mungkin lain kali ia harus meminta Jihan untuk membeli tas lain dengan motif yang lebih normal."Kau kenapa lagi?"Siapa lagi oknum yang berani masuk ke ruangan Sean tanpa mengetuk kecuali Cakra?
Sebuah sedan berwarna hitam terparkir manis di kediaman Oscar Rahardja. Sean tau betul bahwa itu bukan mobil kakeknya.Rumah minimalis itu terkesan sejuk dan nyaman untuk ditinggali, sekalipun bukan berada dideretan perumahan elite seperti milik Sean. Bagi kakeknya, rasa nyaman adalah nomor satu. Sebesar apapun rumah, jika tidak ada rasa nyaman didalamnya maka itu tidak pantas disebut rumah.Sean turun dan berjalan memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Jihan. Formalitas, begitu pikir Sean. Apalagi saat Sean tiba, kakeknya sudah berdiri didepan pintu siap menyambut cucu dan cucu menantunya.Jemari Sean ditautkan pada milik Jihan, lalu mengajak Jihan menghampiri kakeknya."Kakek lagi kedatangan tamu?" tanya Sean.Kakeknya terkekeh, terlihat keriput muncul diwajahnya saat lelaki berumur 3/4 abad itu tersenyum."Bukan tamu kakek. Tapi tamu kamu, Sean. Ayo masuk."Sean menjadi bingung. Kalau tamu Sean, mengapa tidak datang ke kantor saja atau ke rumah? Alih-alih malah datang kerumah ka
Sean masih terjaga di atas ranjangnya, matanya menerawang kembali mengingat ajakan Jihan yang ditawarkan padanya tadi.Pengecut? Iya, Sean memang pengecut. Ia belum berani datang ke makam Ara. Penolakan yang secara spontan Sean ucapkan, bukan tanpa alasan.Hati Sean belum siap berhadapan dengan nisan bertuliskan nama Ara disana. Ia takut, takut tidak mampu berdiri lagi saat melihat itu.Sean menghembuskan napasnya sesekali saat matanya mulai berkaca-kaca. Meraih ponselnya lalu melihat wallpaper yang tidak pernah ia ganti sejak bertemu dengan Ara, foto gadis itu dengan senyuman lebarnya.Sesekali jemari Sean bergerak mengelus potret itu. Masih tidak percaya karena rasanya terlalu cepat.Hidup hanya berputar pada dua hal.Meninggalkan atau ditinggalkan.Hidup yang dijalani Sean seolah terjun bebas kembali ke titik nol setelah Ara tidak ada. Semangat Sean ikut menghilang, separuh jiwanya ikut terkubur bersama jasad Ara.Sean memejamkan matanya dengan ponsel yang diletakan diatas dadanya.
Sean sudah siap, ia nampak gagah dengan setelan hitam dan jas putihnya. Lelaki itu berdiri di ruang tamu menunggu Jihan turun, berkali-kali Sean menatap pergelangan tangannya, memastikan ia tidak terlambat untuk berangkat."Maaf membuatmu menunggu lama," ucap Jihan. Jihan terlihat anggun dengan gaun berwarna putih gading yang ia pakai, kaki jenjangnya menuruni anak tangga dengan hati-hati.Senyum merekah tampak di wajahnya, Jihan menggenggam sebuah clutch berwarna senada dengan gaunnya.Pandangan Sean terkunci pada Jihan selama beberapa detik. Sean merasa waktu berhenti saat Jihan berjalan mendekatinya. Ia bahkan tidak sadar Jihan memanggil namanya beberapa kali, setelah Jihan menggerakan tangan didepan wajah Sean, barulah lelaki itu tersentak."Ayo berangkat."Sean bergerak lebih dulu, meninggalkan Jihan beberapa langkah dibelakangnya. Sean sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang tiba-tiba seperti habis lari marathon.Jihan mengangkat bahunya tak acuh lalu berjalan cepat m
Vidi Valencio.Begitu lelaki itu memperkenalkan dirinya. Si pemilik gummy smile. Jihan menyukai saat lelaki itu tersenyum karena tanpa sadar bibir Jihan juga akan ikut tertarik ke atas.Vidi melepas jasnya, memindahkannya pada tubuh Jihan saat merasa udara malam semakin dingin."Aku belum tahu namamu," ujar Vidi, kepalanya mendongak menatap langit terang yang menaungi mereka."Aku....""Ada yang bilang, jika dua orang bertemu tiga kali bisa jadi mereka berjodoh," potong Vidi cepat sebelum Jihan menjawab.Vidi menoleh menatap Jihan yang juga memandangnya bingung. "Jika kita bertemu yang ketiga kalinya, aku harus tahu semua tentang dirimu. Bukan hanya namamu," lanjutnya.Hati Jihan berdesir mendengarnya, ada sesuatu yang menggelitik disana."Kau tidak pulang?" tanya Jihan."Kau mau pulang?" bukannya menjawab, Vidi malah balik bertanya.Jihan terlihat berpikir. Ia ingin pulang, tapi tidak mungkin ia kembali ke dalam dan mencari Sean. Lelaki itu pasti masih marah padanya.Mengingat kejadi
Hari ini weekend. Jihan sedikit lega karena ia tidak perlu bangun terlalu pagi untuk mengurusi bekal Sean.Semalam, ia tidur menjelang jam satu pagi. Rasa sakit yang bersumber dari kakinya, membuatnya tidak bisa memejamkan mata dengan tenang.Jihan menggeliat, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Matanya menyipit tatkala terkena cahaya matahari yang masuk menembus gorden kamarnya.Jihan bangun dan beringsut mundur, menyandarkan punggung pada kepala ranjang dan sesekali matanya masih terpejam.Jam delapan tepat, Jihan keluar dari kamarnya setelah mencuci muka dan menggosok gigi. Mandi? Nanti saja, weekend = hari libur, hari libur = libur mandi. Hemat air, begitu prinsip cocoklogi Jihan.Perutnya keroncongan, semalam Jihan tidak sempat makan apapun. Ia hanya minum air mineral pemberian Vidi. Dengan lesu Jihan menuju ke dapur, membuka kulkas dan mencari sesuatu untuk dimakan. Tapi nihil, kulkas kosong.Jihan menggerutu kesal. Kemudian ia beralih ke meja makan, menarik kursi dan dudu