LOGINDi dalam kereta kuda menuju kastil Duke Levric, suasana terasa sunyi dan berat. Derap kuda terdengar teratur, namun di antara mereka berdua, tak ada percakapan hingga Jester akhirnya membuka suara.
“Nanti di kastil,” ucapnya pelan, “orang tuaku dan nenek kemungkinan besar akan kembali membahas pernikahan.”
Elyse menoleh ke arahnya. “Lalu Anda?”
“Aku akan sebisaku menghindarinya,” jawab Jester tanpa menoleh.
“Kenapa?” tanya Elyse, suaranya datar.
Jester menarik napas singkat. “Karena rencana mereka jelas. Kita harus segera menikah… namun kita akan menikah setelah Ivanka menjadi ratu.”
Elyse tidak mengatakan apa pun.
Ia hanya menggeleng pe
Di dalam kereta kuda menuju kastil Duke Levric, suasana terasa sunyi dan berat. Derap kuda terdengar teratur, namun di antara mereka berdua, tak ada percakapan hingga Jester akhirnya membuka suara.“Nanti di kastil,” ucapnya pelan, “orang tuaku dan nenek kemungkinan besar akan kembali membahas pernikahan.”Elyse menoleh ke arahnya. “Lalu Anda?”“Aku akan sebisaku menghindarinya,” jawab Jester tanpa menoleh.“Kenapa?” tanya Elyse, suaranya datar.Jester menarik napas singkat. “Karena rencana mereka jelas. Kita harus segera menikah… namun kita akan menikah setelah Ivanka menjadi ratu.”Elyse tidak mengatakan apa pun.Ia hanya menggeleng pe
Kereta terus melaju.Dyall tidak langsung menjawab.Ia menatap lurus ke depan selama beberapa detik yang terasa terlalu lama bagi Elyse. Lengan yang mendekapnya tidak mengendur, namun juga tidak mengerat. Tetap di sana, seperti penyangga yang tenang.Akhirnya, Dyall menurunkan pandangannya ke arah Elyse.Tatapan itu tidak terkejut. Tidak juga marah.Hanya… dalam.“Kenapa kau menanyakan itu?” tanyanya balik, suaranya rendah.Elyse tersenyum kecil, senyum yang rapuh.“Karena malam ini… semua orang seolah tahu harus berdiri di mana. Dan saya ingin tahu… saya berdi
“Dia mabuk.”Jester ragu. Satu detik. Dua detik.Matanya beralih antara Elyse yang sudah siap pergi, dan Ivanka yang kini nyaris bersandar pada Dyall.Raut wajah Jester mengeras. Bukan karena kepedulian melainkan tidak rela melihat Ivanka berada begitu dekat dengan Dyall.“Aku yang akan mengurusnya,” kata Jester akhirnya, menggenggam lengan Ivanka.Dyall melepaskan pegangan dengan cepat, mundur selangkah, menjaga jarak yang pantas.Gerbang kastil Levric berdiri megah dalam diam.Dan Elyse sudah berada di luarnya.Langkahnya melewati batu gerbang tanpa dihentikan siapa pun. Ti
Kata-kata itu jatuh lembut.Namun di ruangan itu, semua orang tahu itu bukan sekadar permainan.Api perapian menyala stabil ketika Ivanka berdiri, menarik perhatian dengan satu gerakan halus tangan. Pelayan yang sejak tadi menunggu di sisi ruangan segera melangkah maju, membawa nampan perak berisi botol wine merah tua, kristal beningnya memantulkan cahaya api, serta beberapa gelas berkaki ramping. Aroma alkohol yang matang dan sedikit asam langsung mengisi udara hangat, dewasa, dan berbahaya.Ivanka mengambil botol itu sendiri, menuangkannya perlahan ke tiap gelas. Suara cairan menyentuh kristal terdengar jelas di ruangan yang kini senyap.“Baik,” katanya sambil tersenyum, suaranya lembut namun berwibawa. “Kita akan bermain kejujuran atau tantangan.”Ia menaruh botol kembali ke meja, lalu melipat tangannya di depan dada.“Aturannya sederhana,” lanjut Ivanka, menatap satu per satu dengan mata berbinar. “Siapa pun yang terpilih har
Dyall mengikuti arah pandangnya, lalu kembali menatap Ivanka.“Dia memang seharusnya begitu,” ucapnya datar. “Lady Leclair adalah calon istrinya.”Kalimat itu jatuh tenang, namun cukup tajam untuk memotong udara.Jester menoleh, senyum sopannya mengandung tantangan.“Dan Anda,” katanya pada Dyall, “tampaknya juga tidak kalah perhatian pada Yang Mulia Kaisar.”Ivanka tertawa kecil. “Bukankah wajar jika saya memperhatikan calon suami saya?”Beberapa pelayan menunduk lebih dalam, berpura-pura sibuk.Nenek Jester berdeham ringan. &ldq







