"Kau bercanda, kan?" tanya Khania sambil menoleh--menunggu jawaban pria itu.
Leo menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku tidak suka membuang waktu, Khania. Jadi, mari kita mulai saja sekarang."
Khania berdiri dan menarik kerah baju Leo. "Kau pikir pernikahan adalah hal sepele? Aku tidak mau melakukannya!"
"Khania! Jaga sikapmu!" teriak sang paman tiba-tiba. Tentu saja, Khania menatap tajam sumber dari segala masalahnya itu, tetapi pria itu malah kembali menatapnya dengan tajam.
"Tak apa, aku mengerti perasaanmu," ujar Leo, menghentikan perang tatapan antara paman dan keponakan itu. Tak lupa, Leo memberi kode pada orang-orangnya untuk tidak ikut campur, terutama pada "sang paman". Seketika, pria paruh baya itu pun menunduk.
Menyadari betapa berkuasanya Leo, manik hitam Khania menatap tajam ke arah pria itu. "Tidak ada pernikahan! Bahkan, hal itu tidak tertulis disana!" teriaknya lantang.
Leo kembali tersenyum miring. "Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksimu, tapi akan kuberi kau waktu untuk menerimanya karena pernikahan ini akan tetap dilakukan."
"Kuharap, kau tidak membuat kesabaranku habis," tambah Leo lagi.
Dengan santai, pria itu pun melepaskan tangan Khania dan beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Di sisi lain, salah satu orang dengan pakaian jas hitam muncul dari balik pintu--menghampiri Khania.
"Perkenalkan nona, saya Herlan--kepala pelayan di sini," ujarnya sambil membungkukkan badan.
Khania hanya terdiam. Dia begitu syok dengan semua hal yang terjadi begitu cepat di hadapannya.
"Mulai hari ini, nona harus tinggal di kediaman Martin. Ini adalah perintah dari Tuan Leo," ujar sang kepala pelayan dengan sopan.
Khania hanya diam saja mendengar penuturan Herlan. Untuk menunjukkan protesnya, dia bahkan harus menggertakkan giginya kesal.
"Khania, jangan menolak keinginan tuan Leo. Dia adalah orang yang terpandang dan sangat kaya. Kehidupanmu akan terjamin jika menikah dengannya," ujar sang paman tanpa diminta.
"Paman!" Khania menatap tajam kembali pria itu dan berkata dengan sinis, "Menurut paman, karena siapa aku berada di situasi seperti ini?"
Pria paruh baya itu mengangkat bahu santai, seolah tak bersalah. "Anggap saja, ini balasanmu atas semua yang aku dan bibimu lakukan dari kau kecil, hingga sekarang."
"Oh, iya Khania. Kau harusnya bersyukur bisa masuk ke keluarga Martin," tambah sang paman.
Mendengar itu, tangan mungil Khania mengepal kuat. Dia sungguh kesal dengan respons keterlaluan sang paman. Bagaimana mungkin pria ini seenak hati menentukan masa depannya? Jika bukan karena sang bibi, Khania pasti akan membiarkan pria ini menanggung konsekuensi dari tindakannya. Sial!
"Satu orang pelayan akan mengantarkan Anda ke kamar. Tadi, Tuan Leo juga meminta agar Anda segera beristirahat."
Suara Herlan sukses membuyarkan Khania dari lamunannya. Dia pun melihat seorang pelayan perempuan yang hendak menunjukkan jalan.
"Jadilah nyonya yang baik di sini, agar aku dan bibimu juga bisa hidup sejahtera." Sang paman berbicara sambil tersenyum licik.
Khania mengerlingkan mata. Seketika sebuah kesadaran muncul. Jika itu mau pamannya, Khania akan "memberikan" itu. Khania sadar posisinya tidak menhuntungkan karena surat yang telah ditandatanganinya. Jadi, Khania harus lebih pintar memanfaatkan situasi, agar semua yang dilakukannya tidak sia-sia.
Khania pun berdiri dan mulai mengikuti pelayan muda itu--melewati beberapa pintu besar yang entah apa yang ada di dalamnya.
Sepanjang jalan, Khania tak hentinya berdecak kagum dengan kemegahan mansion. Tak hanya luas dan rapi, barang-barang di sana pun terlihat mewah.
Dan beberapa lukisan bergaya Eropa yang terpajang menarik perhatian Khania, di sepanjang lorong hanya ada gambar dengan sosok serupa.
"Seram juga ada lukisan begini," batin Khania sambil bergidik.
"Anda sudah sampai nona, silahkan masuk," ujar pelayan itu sambil membukakan pintu.
Manik hitam Khania berbinar tak kala melihat ruangan yang disebut kamarnya itu. "Wah, semua ini terlihat mahal."
Pelayan itu melihat Khania dengan seksama. Dia merasa heran karena sosok yang merupakan gadis biasa itu ternyata akan menjadi istri sang tuan.
"Maaf saya berbicara sedikit lancang, nona," ujar pelayan itu sedikit membungkuk.
Khania pun menoleh.
"Tak hanya yang ada di kamar ini, tapi seluruh mansion akan menjadi milik Anda jika anda sudah menjadi istri tuan Leo."
Mendengar penuturan pelayan muda itu, Khania tersenyum kecut. Wajahnya bahkan tertunduk dengan ekspresi sendu.
"Maaf, kenapa Anda terlihat sedih, nona? Bukankah seharusnya Anda bahagia akan menjadi istri tuan Leo?"
Khania melihat ke arah pelayan itu dengan lemas. "Ini bukan hal yang aku inginkan. Aku terpaksa melakukannya."
Pelayan itu terlihat kaget. Dia memang tidak tahu permasalahan tuannya. Bahkan, dia baru dipanggil oleh Kepala Pelayan Helen tadi.
"Kenapa begitu? Saya selalu melihat tuan membawa wanita berbeda ke rumah ini, dan mereka sangat terobsesi ingin menjadi milik tuan."
"Benarkah? Lalu kenapa Leo tidak menjadikan salah satu dari mereka menjadi nyonya?" tanya Khania.
"Saya tidak tahu pasti, tapi tuan terlihat tidak menyukai mereka," jawab sang pelayan muda dengan ekspresi polos.
"Kalau tidak suka, kenapa bawa mereka ke rumahnya? Dasar aneh," ejek Khania sambil mencibir.
"Maaf nona, tapi saya baru mendengar langsung orang yang berani mengejek tuan." Pelayan itu sekuat tenaga menahan tawa.
Khania memperhatikan sosok itu. Gadis kecil yang diperkirakan berumur lima belas tahun, bekerja dengan keras tanpa kenal lelah, seperti dirinya dulu.
"Siapa namamu?" tanya Khania.
Pelayan itu terdiam sesaat lalu menjawab, "Nama saya Siti Khoerunisa, tapi nona bisa panggil saya Icha."
"Ah ya, aku juga punya teman di tempat kerjaku yang namanya sama denganmu, Icha," ujar Khania sambil tersenyum.
"Benarkah? Memangnya Anda bekerja di mana, nona?"
"Sebelumnya duduklah disini, aku ingin mengobrol sebentar denganmu," pinta Khania sambil memberikan kode agar pelayan itu duduk di sampingnya.
Icha merasa ragu. "Ta- tapi tidak pantas bagi saya nona, saya hanya seorang pelayan."
"Kalau begitu, ini perintah!" Khania menjawab sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ba- baik nona," jawab Icha sambil berjalan perlahan dan duduk di samping Khania.
"Jangan sungkan padaku saat kita berdua, aku sebenarnya tidak mau diperlakukan istimewa karena aku merasa sama sepertimu. Lagi pula, kehadiranku di sini pun bukan karena kastaku berbeda," ujar Khania.
Icha menggelengkan kepala dengan cepat dan berkata, "Jangan bicara seperti itu nona, saya yakin nona adalah orang baik dan pantas untuk tuan."
Khania tersenyum geli. "Kenapa kau seyakin itu? Tuanmu bahkan membawaku kesini dengan cara menculikku."
"Apa? Rasanya, mustahil tuan melakukan itu." Icha seakan tak percaya dengan ucapan Khania, dia tahu betul sifat sang tuan.
Khania mengangkat bahu. "Itulah yang terjadi, dan kurasa tuanmu itu sedikit gila."
Keduanya pun tertawa, mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol dan bertukar cerita, hingga tak sadar dengan kehadiran sosok yang melihat keseruan mereka dari kejauhan.
Leo, pria itu memandang Khania dengan tatapan sendu. Perlahan dia mencium sesuatu yang sedari tadi ada dalam genggamannya.
"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi seperti ini."
Manik sebiru langit itu menatap sosok di depan sana dengan penuh kerinduan, seakan telah menunggu bertahun-tahun untuk bisa bertemu.
"Besok, akan jadi hari terakhir aku melepasmu, Khania."
***
Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann