Share

Bab 3

Khania terdiam dan menatap dirinya di depan cermin, penampilan yang tidak pernah dia sangka, ternyata akan dikenakannya hari ini. 

Gaun serba putih dengan renda yang indah, rambut cokelat sebahu yang biasa terurai kini dibentuk sanggul kecil dihiasi mutiara, dan riasan tak biasa di wajah cantiknya membuat Khania bahkan tidak mengenal dirinya.

Gadis itu menghela napas saat kembali mengingat apa yang akan terjadi hari ini.

Leo, pria itu tidak menarik kata-katanya saat bilang acara pernikahan mereka akan dilaksanakan hari ini. 

Khania pun kesal saat keinginannya untuk meminta waktu agar lebih mengenal satu sama lain tidak didengar, Leo mengatakan hal itu tidak akan berguna. 

TOK! TOK! 

"Nona, lima menit lagi anda sudah harus keluar," ujar Icha di balik pintu.

"Ya, aku mengerti," jawab Khania. 

Sudah hampir setengah jam Khania terdiam di ruangan ini, dia tidak berani keluar karena keadaan di sana begitu asing. Banyak mata yang melihatnya aneh dan itu membuatnya tidak nyaman. 

"Bibi, aku merindukanmu."

Khania menundukkan kepala, sekuat tenaga dia menahan agar tidak menangis. Meski sudah meyakinkan diri untuk tegar, tapi sesungguhnya saat ini dia butuh dukungan.

CKLEK! 

Khania terlonjak kaget saat ada yang membuka pintu tanpa permisi. 

"Leo, apa kau ada di sini?" tanya sosok itu yang ternyata adalah seorang pria. 

Keduanya terdiam saat melihat satu sama lain. 

"Kau? Bukankah Khania?" tanya pria itu. 

Khania menatap pria itu lama sambil mengingat siapa pria itu. Dia adalah teman satu kelasnya saat SMA!

"Siron?" Mana mungkin Khania dapat melupakan pria yang dikenalnya sejak awal masuk sekolah itu. Sosok yang populer karena ketampanannya, dengan wajah tirus dan rambut hitam di tambah bola mata keemasannya begitu mencolok.

Tapi hanya satu tahun Khania mengenal Siron, karena setelah kenaikan kelas, pria itu pindah ke luar negeri. 

"Tadi dia mencari Leo, apa mungkin Siron temannya?" batin Khania. 

Pria itu menghampiri Khania dengan tatapan tak percaya, matanya memandang Khania dari atas sampai bawah hingga membuat gadis itu merasa tidak nyaman. 

"Kau, adalah pengantin wanitanya?" tanya Siron. 

Khania mengangguk tanpa bersuara.

Pria itu terdiam sesaat lalu bergumam, "Bagaimana bisa?"

"Kenapa pintunya terbuka?" Suara Leo membuat kedua sosok itu seketika menoleh.

"Leo, apa gadis ini yang akan menjadi pengantinmu?" tanya Siron dengan tatapan serius. 

Leo mengernyitkan alis, heran dengan sikap sang sahabat. "Iya, memangnya kenapa?"

"Jadi dia yang jadi bahan omongan semua orang? Yang mereka sebut sebagai nona satu milyar?" Siron melayangkan beberapa pertanyaan dengan ekspresi kesal. 

Khania hanya diam mendengar semua itu. Meski diam-diam, egonya terasa terluka.

Leo lalu menatap Khania dan beralih pada Siron. Dengan sinis, Leo berkata pada Siron, "Apapun itu, bukan urusanmu." 

"Kau!" bentak Siron yang menghampiri Leo lalu menarik kerah baju pria itu.

"Aku heran, ada apa denganmu sebenarnya?" Leo hanya membalas perlakuan sang sahabat dengan ekspresi bingung. 

Siron melepas cengkramannya dengan kasar, dia menoleh ke arah Khania dan berjalan menghampiri gadis itu. 

Khania melihat Siron yang sudah ada dihadapannya, pria itu menatapnya dengan ekspresi sedih. 

TEP! 

Tiba-tiba tangan Khania di genggam oleh Siron, pria itu menarik tubuh Khania dengan cepat hendak meninggalkan ruangan sampai Leo menahannya. 

"Kau mau membawanya ke mana?" tanya Leo mulai menunjukkan ekspresi marah.

"Pergi dari sini," jawab Siron. 

SET! 

"Akh!" Khania meringis saat Leo menariknya dengan kasar.

"Dia sudah menjadi milikku, jangan lancang," ujar Leo sinis. 

"Kau menikahinya bukan atas dasar cinta! Jangan libatkan dia pada obsesimu yang gila itu!" bentak Siron. 

Leo menyeringai. "Kenapa kau begitu peduli padanya?"

"Dengan satu milyar, kau membelinya? Kalau begitu, aku akan membayarmu berkali-kali lipat, jadi tolong lepaskan dia," jawab Siron tak mengindahkan pertanyaan Leo. 

Amarah Leo memuncak, kini dirinyalah yang mencengkram kerah baju Siron. "Aku tidak membelinya sebagai barang, dan kau pikir aku butuh uangmu?"

"Apa bedanya? Kau membayar pamannya dan mengklaim Khania sebagai milikmu, bukankah sama saja kau perlakukan dia seperti barang?" balas Siron. 

"Kau!!!"

"Hentikan!" Kedua pria itu menoleh dan melihat Khania sudah berlinang air mata. Khania merasa harga dirinya hancur.

"Aku tidak peduli jika disebut sebagai barang milik siapapun! Yang jelas, aku akan menjaga harga diriku sebaik mungkin!" 

Leo dan Siron tersentak ketika mendengar suara begertar Khania. Kedua pria itu melangkah saling menjauh dan menatap gadis itu. 

Khania melihat Siron dan berkata, "Dan untuk Siron ... aku tidak bisa sesuka hati pergi karena perjanjian sudah dibuat."

"Tapi Khania, kebahagiaanmu lebih penting," ujar Siron lagi. 

Khania pun tersenyum. "Terima kasih, kau memang tidak berubah, tetap menjadi teman yang baik."

"Teman?" batin Siron sambil mengepalkan tangan.

Leo melihat ekspresi kecewa Siron. Seketika, Leo menduga bahwa sang sahabat menaruh rasa pada Khania. "Tapi, sejak kapan mereka saling kenal?" gumamnya.

Tak lama kemudian, Siron menghampiri Khania. Dengan tatapan sendu, dia berkata, "Datanglah padaku kapan pun kau mau, Khania. Aku akan selalu ada saat kau membutuhkanku."

Khania hanya tersenyum melihat ketulusan Siron. Baginya, pria itu adalah sosok yang sangat baik.

Siron pun melangkah pergi, saat melewati Leo dia berkata, "Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, aku tidak akan memaafkanmu."

Leo hanya tersenyum sinis dan melihat kepergian Siron dengan perasaan jengkel.

"Apa sudah saatnya?" tanya Khania sambil berjalan ke arah pintu. 

Leo menoleh dan melihat riasan di wajah gadis itu. Terlihat sedikit pudar karena tangisnya tadi. "Kau tidak apa-apa?"

"Apa pedulimu?" Khania menatap tajam ke arah Leo. Dia pun hendak pergi meninggalkan pria itu. 

GREP! 

"Aku peduli padamu," ujar Leo dengan nada rendah. "Sangat."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status