Khania terdiam dan menatap dirinya di depan cermin, penampilan yang tidak pernah dia sangka, ternyata akan dikenakannya hari ini.
Gaun serba putih dengan renda yang indah, rambut cokelat sebahu yang biasa terurai kini dibentuk sanggul kecil dihiasi mutiara, dan riasan tak biasa di wajah cantiknya membuat Khania bahkan tidak mengenal dirinya.
Gadis itu menghela napas saat kembali mengingat apa yang akan terjadi hari ini.
Leo, pria itu tidak menarik kata-katanya saat bilang acara pernikahan mereka akan dilaksanakan hari ini.
Khania pun kesal saat keinginannya untuk meminta waktu agar lebih mengenal satu sama lain tidak didengar, Leo mengatakan hal itu tidak akan berguna.
TOK! TOK!
"Nona, lima menit lagi anda sudah harus keluar," ujar Icha di balik pintu.
"Ya, aku mengerti," jawab Khania.
Sudah hampir setengah jam Khania terdiam di ruangan ini, dia tidak berani keluar karena keadaan di sana begitu asing. Banyak mata yang melihatnya aneh dan itu membuatnya tidak nyaman.
"Bibi, aku merindukanmu."
Khania menundukkan kepala, sekuat tenaga dia menahan agar tidak menangis. Meski sudah meyakinkan diri untuk tegar, tapi sesungguhnya saat ini dia butuh dukungan.
CKLEK!
Khania terlonjak kaget saat ada yang membuka pintu tanpa permisi.
"Leo, apa kau ada di sini?" tanya sosok itu yang ternyata adalah seorang pria.
Keduanya terdiam saat melihat satu sama lain.
"Kau? Bukankah Khania?" tanya pria itu.
Khania menatap pria itu lama sambil mengingat siapa pria itu. Dia adalah teman satu kelasnya saat SMA!
"Siron?" Mana mungkin Khania dapat melupakan pria yang dikenalnya sejak awal masuk sekolah itu. Sosok yang populer karena ketampanannya, dengan wajah tirus dan rambut hitam di tambah bola mata keemasannya begitu mencolok.
Tapi hanya satu tahun Khania mengenal Siron, karena setelah kenaikan kelas, pria itu pindah ke luar negeri.
"Tadi dia mencari Leo, apa mungkin Siron temannya?" batin Khania.
Pria itu menghampiri Khania dengan tatapan tak percaya, matanya memandang Khania dari atas sampai bawah hingga membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
"Kau, adalah pengantin wanitanya?" tanya Siron.
Khania mengangguk tanpa bersuara.
Pria itu terdiam sesaat lalu bergumam, "Bagaimana bisa?"
"Kenapa pintunya terbuka?" Suara Leo membuat kedua sosok itu seketika menoleh.
"Leo, apa gadis ini yang akan menjadi pengantinmu?" tanya Siron dengan tatapan serius.
Leo mengernyitkan alis, heran dengan sikap sang sahabat. "Iya, memangnya kenapa?"
"Jadi dia yang jadi bahan omongan semua orang? Yang mereka sebut sebagai nona satu milyar?" Siron melayangkan beberapa pertanyaan dengan ekspresi kesal.
Khania hanya diam mendengar semua itu. Meski diam-diam, egonya terasa terluka.
Leo lalu menatap Khania dan beralih pada Siron. Dengan sinis, Leo berkata pada Siron, "Apapun itu, bukan urusanmu."
"Kau!" bentak Siron yang menghampiri Leo lalu menarik kerah baju pria itu.
"Aku heran, ada apa denganmu sebenarnya?" Leo hanya membalas perlakuan sang sahabat dengan ekspresi bingung.
Siron melepas cengkramannya dengan kasar, dia menoleh ke arah Khania dan berjalan menghampiri gadis itu.
Khania melihat Siron yang sudah ada dihadapannya, pria itu menatapnya dengan ekspresi sedih.
TEP!
Tiba-tiba tangan Khania di genggam oleh Siron, pria itu menarik tubuh Khania dengan cepat hendak meninggalkan ruangan sampai Leo menahannya.
"Kau mau membawanya ke mana?" tanya Leo mulai menunjukkan ekspresi marah.
"Pergi dari sini," jawab Siron.
SET!
"Akh!" Khania meringis saat Leo menariknya dengan kasar.
"Dia sudah menjadi milikku, jangan lancang," ujar Leo sinis.
"Kau menikahinya bukan atas dasar cinta! Jangan libatkan dia pada obsesimu yang gila itu!" bentak Siron.
Leo menyeringai. "Kenapa kau begitu peduli padanya?"
"Dengan satu milyar, kau membelinya? Kalau begitu, aku akan membayarmu berkali-kali lipat, jadi tolong lepaskan dia," jawab Siron tak mengindahkan pertanyaan Leo.
Amarah Leo memuncak, kini dirinyalah yang mencengkram kerah baju Siron. "Aku tidak membelinya sebagai barang, dan kau pikir aku butuh uangmu?"
"Apa bedanya? Kau membayar pamannya dan mengklaim Khania sebagai milikmu, bukankah sama saja kau perlakukan dia seperti barang?" balas Siron.
"Kau!!!"
"Hentikan!" Kedua pria itu menoleh dan melihat Khania sudah berlinang air mata. Khania merasa harga dirinya hancur.
"Aku tidak peduli jika disebut sebagai barang milik siapapun! Yang jelas, aku akan menjaga harga diriku sebaik mungkin!"
Leo dan Siron tersentak ketika mendengar suara begertar Khania. Kedua pria itu melangkah saling menjauh dan menatap gadis itu.
Khania melihat Siron dan berkata, "Dan untuk Siron ... aku tidak bisa sesuka hati pergi karena perjanjian sudah dibuat."
"Tapi Khania, kebahagiaanmu lebih penting," ujar Siron lagi.
Khania pun tersenyum. "Terima kasih, kau memang tidak berubah, tetap menjadi teman yang baik."
"Teman?" batin Siron sambil mengepalkan tangan.
Leo melihat ekspresi kecewa Siron. Seketika, Leo menduga bahwa sang sahabat menaruh rasa pada Khania. "Tapi, sejak kapan mereka saling kenal?" gumamnya.
Tak lama kemudian, Siron menghampiri Khania. Dengan tatapan sendu, dia berkata, "Datanglah padaku kapan pun kau mau, Khania. Aku akan selalu ada saat kau membutuhkanku."
Khania hanya tersenyum melihat ketulusan Siron. Baginya, pria itu adalah sosok yang sangat baik.
Siron pun melangkah pergi, saat melewati Leo dia berkata, "Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, aku tidak akan memaafkanmu."
Leo hanya tersenyum sinis dan melihat kepergian Siron dengan perasaan jengkel.
"Apa sudah saatnya?" tanya Khania sambil berjalan ke arah pintu.
Leo menoleh dan melihat riasan di wajah gadis itu. Terlihat sedikit pudar karena tangisnya tadi. "Kau tidak apa-apa?"
"Apa pedulimu?" Khania menatap tajam ke arah Leo. Dia pun hendak pergi meninggalkan pria itu.
GREP!
"Aku peduli padamu," ujar Leo dengan nada rendah. "Sangat."
***
Khania tersentak. Dia melihat Leo yang juga sedang menatapnya. "Apa aku salah dengar?" tanya gadis itu dalam hati. "Khania!" Khania begitu kaget saat mendengar suara yang sangat familiar. Sontak dia melepaskan genggaman tangan Leo dan melihat sosok yang memanggilnya. "Bibi Astuti?" ujar Khania sambil memeluk sosok itu. Leo melihat betapa besar rasa rindu Khania pada sang bibi, mata gadis itu berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. "Aku kira bibi tidak akan datang," ujar Khania yang sekuat tenaga menahan tangis. Sebelum datang menemui Khania, Astuti lebih dulu berbincang dengan Leo untuk lebih mengenal calon suami keponakannya itu. Dirinya tahu dalang di balik semua ini adalah sang suami. Dengan lancangnya, pria itu mempertaruhkan Khania atas uang yang diterimanya. Jika bukan karena hak asuh Khania jatuh pada Bayu, Astuti pasti sudah pergi dan membawa Khania bersamanya. Pria itu bahkan tak tahu malu, kini dengan bangga menjadi wali bagi Khania. "Nak Leo," panggil Astuti. L
Semua orang yang melihat itu pun saling berbisik, membuat Leo terusik dan kesal karena pasti akan tersebar kabar yang merepotkan. "Leo! Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ini kekasihmu!" bentak wanita itu. "Tutup mulutmu, jangan bicara omong kosong," jawab Leo sambil meminta orang-orangnya untuk turun tangan. "Bawa dia pergi dari sini." "Baik tuan." Wanita itu pun meronta, memohon agar Leo mau mendengarkannya. "Leo, aku mengaku salah telah menghianatimu, maafkan aku, Leo!" Wanita itu terus menerus meronta saat dibawa pergi oleh tim keamanan. "Khania, kau terluka?" Astuti sangat kaget saat menghampiri Khania dan melihat ada darah di sudut bibir gadis itu. "Ah ini, tidak apa-apa bi," jawab Khania sambil menyentuh bagian yang luka. "Siapa wanita itu? Keterlaluan sekali dia," ujar Astuti kesal. Leo pun segera menghampiri dan melihat sudut bibir Khania yang berdarah. "Kau terluka," ujar Leo hendak menyentuh wajah Khania namun ditepis oleh gadis itu. "Ini akibat dari perlakua
"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan." "Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini." Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. "Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan. "Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania. Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya. "Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. "Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja." "Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisik
CIT! CIT! CIT! Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya. "Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata. Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur. "Dia belum bangun," gumam Khania. Leo masih tertidur. Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya. GREP! "Siapa kau?" Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam. SET! "Ahk!" Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat. Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu. "Aku bertanya padamu!" bentak Leo. "Se- sesak," lirih Khania. Rasa sakit mulai menjalar di leher
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Leo terkejut mendengar penuturan Khania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Cih! Lakukan saja yang kau mau, itu tidak akan berpengaruh padaku maupun keluarga ini," hardik Rebecca sambil berjalan meninggalkan ruangan. Khania melihat kepergian Rebecca yang diikuti beberapa pelayan. Leo menghela napas panjang sambil memegang kepala dengan sebelah tangan. "Maaf atas sikap bibiku padamu, dia memang seperti itu," ujarnya sambil menatap Khania. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Tak apa, nanti juga aku akan terbiasa." Bohong, sejujurnya gadis itu masih sangat kaget, entah apa yang akan terjadi jika dia tidak pandai membalikkan keadaan seperti tadi. "Boleh aku kembali lagi ke taman? Di sana sangat menenangkan," tanya Khania. Keinginan gadis itu mengingatkan Leo pada sang mendiang ibunya, sosok yang selalu berada di taman saat ingin menyendiri. "Tentu, mari aku antar," jawab Leo dengan sigap mengulurkan tangan pada sang istri. "Aku juga akan mengajakmu berkeliling taman." Khani
Manik hitam Khania menatap sosok Leo, yang tengah serius mengobati lukanya akibat terkilir beberapa waktu lalu. Tangan besar pria itu terasa bergetar saat menyentuh dan sedikit memijat pergelangan kaki Khania, gadis itu pun heran di buatnya. "Kenapa tanganmu bergetar?" tanya Khania, dia khawatir jika kondisi Leo akan sama seperti kemarin. "Aku, gugup," jawab pria itu. "Hah? Gugup?" tanya Khania dalam hati. Leo menatap Khania sesaat, gadis itu terlihat bingung. "Aku gugup karena mengontrol tenagaku, kau ini seperti kelinci dengan kulit dan tulang yang rapuh," lanjutnya. "Hmph! Hahaha!" Tawa Khania pecah saat mendengar penjelasan Leo, apa yang dipikirkan pria itu sungguh tidak bisa dia tebak. Yang jadi bahan tertawa Khania pun hanya terdiam dengan ekspresi datar. "Kenapa kau samakan aku dengan kelinci?" tanya Khania di sela tawanya. "Entahlah," jawab Leo sambil berpose sedang berpikir. "Mungkin karena kalian sama-sama manis." Sontak Khania terdiam. "Apa?" Leo menatap Kha