Khania tersentak. Dia melihat Leo yang juga sedang menatapnya.
"Apa aku salah dengar?" tanya gadis itu dalam hati.
"Khania!"
Khania begitu kaget saat mendengar suara yang sangat familiar. Sontak dia melepaskan genggaman tangan Leo dan melihat sosok yang memanggilnya.
"Bibi Astuti?" ujar Khania sambil memeluk sosok itu.
Leo melihat betapa besar rasa rindu Khania pada sang bibi, mata gadis itu berkaca-kaca dan bibirnya bergetar.
"Aku kira bibi tidak akan datang," ujar Khania yang sekuat tenaga menahan tangis.
Sebelum datang menemui Khania, Astuti lebih dulu berbincang dengan Leo untuk lebih mengenal calon suami keponakannya itu.
Dirinya tahu dalang di balik semua ini adalah sang suami. Dengan lancangnya, pria itu mempertaruhkan Khania atas uang yang diterimanya.
Jika bukan karena hak asuh Khania jatuh pada Bayu, Astuti pasti sudah pergi dan membawa Khania bersamanya. Pria itu bahkan tak tahu malu, kini dengan bangga menjadi wali bagi Khania.
"Nak Leo," panggil Astuti.
Leo menoleh dan menjawab, "Ya?"
"Tolong beri kami waktu sebentar untuk mengobrol," pinta wanita itu sambil tersenyum.
"Ah, tentu," jawab Leo sambil menatap Khania dan berjalan keluar.
"Terima kasih," ujar Astuti yang dijawab dengan anggukan dari Leo.
Wanita paruh baya itu pun menuntun Khania untuk duduk. "Khania, sebelumnya bibi ingin meminta maaf," ujarnya dengan nada lirih.
"Untuk apa, bi?"
Astuti menatap gadis polos itu dan berkata, "Tentu saja bibi sangat merasa bersalah, pernikahanmu terjadi karena kau ingin melindungi bibi dari pamanmu."
"Tak apa bi," jawab Khania dengan senyuman.
"Sebenarnya, bibi datang ke sini untuk meminta Leo membatalkan pernikahan ini dan membawamu pulang, Khania."
Khania merasa tersentuh dengan ucapan sang bibi. Namun, dia menggelengkan kepala lalu tersenyum. "Ini tak sebanding dengan semua yang sudah bibi lakukan untuk Khania," jawabnya sambil menatap sang bibi.
"Khania sudah ikhlas, bi."
Hati Astuti terenyuh saat mendengar ketulusan Khania. Dia pun memeluk gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Khania, sesungguhnya, tidak ada pernikahan yang didasari hutang. Karena itulah, kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik. Apa kau siap dengan semua itu?" tanya Astuti.
Khania terdiam sesaat. "Ya bibi, aku sudah siap dengan semua yang akan aku hadapi setelah ini."
Astuti menahan tangis, "... berjanjilah untuk selalu cerita pada bibi apapun yang terjadi."
Khania mengangguk sambil tersenyum. Astuti melihat kesungguhan Khania--meski dia tahu tak ada pilihan lagi bagi mereka untuk menolak, tapi dia tetap berharap Khania bisa bahagia.
"Kalau begitu, bibi akan rapikan riasanmu. Sebentar lagi, acaranya dimulai." Astuti mengambil alat-alat rias yang terletak di atas meja.
Khania hanya diam saat sang bibi mengoleskan riasan itu ke wajahnya.
"Sudah selesai," ujar Astuti.
"Baiklah, ayo kita keluar bi," ajak Khania sambil menarik napas. Gadis itu sekali lagi mencoba untuk kuat.
"Mari, saya antar nona," ujar Icha yang sedari tadi menunggu di luar.
"Tunggu!"
Khania menoleh ke asal suara. Di sana, dia menemukan sosok wanita berpenampilan mencolok. Dengan gaun merah dan kipas yang menutupi wajah, wanita itu berjalan dengan angkuh arahnya. "
Siapa dia?" batin Khania.
"Aku Rebecca, bibinya Leo," ujar wanita itu seakan tahu jalan pikiran Khania.
"Salam kenal, Bi. Saya Khania," ujar Khania dengan sopan.
"Aku ke sini hanya ingin memperingatkanmu." Seketika nada bicara wanita itu berubah sinis, "Jangan jadi benalu di keluarga kami."
Tidak hanya Khania, Astuti pun dibuat kaget oleh penuturan wanita itu. Suasana seketika menegang.
"Itu saja, permisi." Setelah berkata demikian, wanita itu pun melenggang pergi.
"Jangan diambil hati," ujar Astuti sambil mengelus pipi sang keponakan.
Khania mengangguk, dia juga melihat Icha sedang memberikan isyarat agar dirinya bersemangat.
Dia pun mengingat obrolan mereka kemarin. Hal itu sontak membuat Khania tersenyum lalu mengangguk. "Semangat!"
***
"Psst, itu dia, pengantin wanitanya."
"Apa benar rumor dia yang dihargai satu milyar?"
"Kudengar dia hanya gadis biasa, bukan dari kalangan atas."
Berbagai omongan dan cibiran begitu jelas terdengar oleh Khania, entah dari mana rumor itu muncul, yang pasti khania tak menggubris dan tetap melangkah bersama sang bibi yang menuntunnya.
"Jangan dengarkan mereka," ujar Astuti.
Khania hanya tersenyum, dia sudah tahu akan seperti ini jadinya. Bagi gadis itu apapun yang mereka katakan dia tidak peduli.
Manik hitam Khania melihat ke arah pelaminan, di sana sudah ada Leo yang menunggu kehadirannya, pria itu memakai jas pengantin putih yang begitu dominan.
Khania pun menunduk saat sadar tatapan Leo seakan mengintimidasinya. "Kenapa dia melihatku seperti itu?" batinnya.
Mata Khania pun beralih melihat siapa saja yang hadir di sana, sebagian besar dia tak mengenali mereka.
Lalu tatapannya terhenti pada sosok Siron yang duduk di bagian belakang, pria itu sedang melihatnya dengan ekspresi yang sulit Khania artikan.
Dia pun teringat pada kejadian beberapa waktu lalu.
"Kau menikahinya bukan atas dasar cinta! Jangan libatkan dia pada obsesimu yang gila itu!"
"Dengan satu milyar kau membelinya? Kalau begitu aku akan membayarmu berkali-kali lipat, jadi tolong lepaskan dia."
Leo benar, kenapa Siron begitu peduli padanya? Padahal mereka tidak sedekat itu dulu, hanya sekedar teman mengobrol.
"Khania, ayo duduk."
Suara sang bibi membuyarkan lamunan Khania, gadis itu tak sadar sudah berada di depan meja penghulu. Dia pun segera duduk di samping Leo dan mencoba fokus.
"Baiklah, silahkan pak penghulu."
Acara ijab qobul terjadi begitu khidmat. Mereka semua yang ada di sana begitu hanyut dalam suasana, sampai akhirnya suara riuh mengiringi kata sah bagi kedua mempelai.
Tentu mereka tidak tahu kejadian yang sebenarnya, bahwa pernikahan itu hanyalah kedok yang di buat Leo untuk mencapai tujuannya.
Meski begitu, prosesi ijab qobul dilakukan sebagaimana mestinya, dan kini mereka benar-benar menjadi sepasang suami istri.
Khania pun sungkem pada sosok yang kini menjadi suaminya.
"Aku harap kau tidak akan terbebani dengan gelarmu sebagai nyonya di sini," bisik Leo.
"Kau berbicara seolah aku akan merasa demikian," balas Khania dengan senyuman sinis.
Leo menatap Khania dalam diam.
DRAP! DRAP! DRAP!
Suara langkah yang begitu cepat mengusik pendengaran Leo dan Khania, mereka pun menoleh dan mendapati sosok perempuan dengan ekspresi marah tengah mendekati mereka.
Tangan perempuan itu terangkat dan berayun bebas.
PLAK!
"DASAR KAU JALANG! BERANINYA MEREBUT LEO DARIKU!"
Rasa perih dan panas merambat di pipi Khania saat perempuan itu menamparnya dengan keras. Matanya terbelalak saat sosok itu kembali melayangkan tangan ke arahnya, Khania yang tidak bersiap menghindar hanya bisa pasrah.
GREP! Tangan Leo menghalangi tamparan yang nyaris saja mendarat di wajah Khania lagi.
"Jangan sentuh istriku lagi, atau tamat riwayatmu!"
***
Semua orang yang melihat itu pun saling berbisik, membuat Leo terusik dan kesal karena pasti akan tersebar kabar yang merepotkan. "Leo! Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ini kekasihmu!" bentak wanita itu. "Tutup mulutmu, jangan bicara omong kosong," jawab Leo sambil meminta orang-orangnya untuk turun tangan. "Bawa dia pergi dari sini." "Baik tuan." Wanita itu pun meronta, memohon agar Leo mau mendengarkannya. "Leo, aku mengaku salah telah menghianatimu, maafkan aku, Leo!" Wanita itu terus menerus meronta saat dibawa pergi oleh tim keamanan. "Khania, kau terluka?" Astuti sangat kaget saat menghampiri Khania dan melihat ada darah di sudut bibir gadis itu. "Ah ini, tidak apa-apa bi," jawab Khania sambil menyentuh bagian yang luka. "Siapa wanita itu? Keterlaluan sekali dia," ujar Astuti kesal. Leo pun segera menghampiri dan melihat sudut bibir Khania yang berdarah. "Kau terluka," ujar Leo hendak menyentuh wajah Khania namun ditepis oleh gadis itu. "Ini akibat dari perlakua
"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan." "Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini." Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. "Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan. "Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania. Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya. "Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. "Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja." "Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisik
CIT! CIT! CIT! Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya. "Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata. Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur. "Dia belum bangun," gumam Khania. Leo masih tertidur. Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya. GREP! "Siapa kau?" Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam. SET! "Ahk!" Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat. Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu. "Aku bertanya padamu!" bentak Leo. "Se- sesak," lirih Khania. Rasa sakit mulai menjalar di leher
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Leo terkejut mendengar penuturan Khania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Cih! Lakukan saja yang kau mau, itu tidak akan berpengaruh padaku maupun keluarga ini," hardik Rebecca sambil berjalan meninggalkan ruangan. Khania melihat kepergian Rebecca yang diikuti beberapa pelayan. Leo menghela napas panjang sambil memegang kepala dengan sebelah tangan. "Maaf atas sikap bibiku padamu, dia memang seperti itu," ujarnya sambil menatap Khania. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Tak apa, nanti juga aku akan terbiasa." Bohong, sejujurnya gadis itu masih sangat kaget, entah apa yang akan terjadi jika dia tidak pandai membalikkan keadaan seperti tadi. "Boleh aku kembali lagi ke taman? Di sana sangat menenangkan," tanya Khania. Keinginan gadis itu mengingatkan Leo pada sang mendiang ibunya, sosok yang selalu berada di taman saat ingin menyendiri. "Tentu, mari aku antar," jawab Leo dengan sigap mengulurkan tangan pada sang istri. "Aku juga akan mengajakmu berkeliling taman." Khani
Manik hitam Khania menatap sosok Leo, yang tengah serius mengobati lukanya akibat terkilir beberapa waktu lalu. Tangan besar pria itu terasa bergetar saat menyentuh dan sedikit memijat pergelangan kaki Khania, gadis itu pun heran di buatnya. "Kenapa tanganmu bergetar?" tanya Khania, dia khawatir jika kondisi Leo akan sama seperti kemarin. "Aku, gugup," jawab pria itu. "Hah? Gugup?" tanya Khania dalam hati. Leo menatap Khania sesaat, gadis itu terlihat bingung. "Aku gugup karena mengontrol tenagaku, kau ini seperti kelinci dengan kulit dan tulang yang rapuh," lanjutnya. "Hmph! Hahaha!" Tawa Khania pecah saat mendengar penjelasan Leo, apa yang dipikirkan pria itu sungguh tidak bisa dia tebak. Yang jadi bahan tertawa Khania pun hanya terdiam dengan ekspresi datar. "Kenapa kau samakan aku dengan kelinci?" tanya Khania di sela tawanya. "Entahlah," jawab Leo sambil berpose sedang berpikir. "Mungkin karena kalian sama-sama manis." Sontak Khania terdiam. "Apa?" Leo menatap Kha
"Sesak." Khania menatap dirinya di cermin, gaun yang menurutnya aneh itu membuatnya tak nyaman, proses memakainya pun butuh waktu lama. "Icha, bolehkah aku membuka ini, apa namanya? korset," ujar Khania sambil mencoba untuk merentangkan tangan dan bergerak bebas. "Tidak boleh nyonya, itu sangat penting saat memakai gaun," jawab Icha sambil merapikan pakaian. Khania menghela napas berat dan berkata, "Jangankan untuk bergerak, bernapas juga rasanya sulit." "Maaf nyonya, anda harus tahan sampai pertemuannya selesai," ujar Icha merasa bersalah. "Karena tamu yang datang adalah bagian dari keluarga kerajaan, maka anda wajib mengikuti budaya berpakaian mereka." Hal yang sungguh merepotkan bagi Khania, dia tidak habis pikir para bangsawan itu bisa tahan dengan pakaian seperti ini. Tak hanya membuat dada terasa sesak, bergerak pun sangat sulit, alhasil gadis itu berjalan dengan langkah yang kaku. "Mari saya bantu, nyonya," ujar Icha sambil menuntun Khania dan memberi tahu sang nyonya