Semua orang yang melihat itu pun saling berbisik, membuat Leo terusik dan kesal karena pasti akan tersebar kabar yang merepotkan.
"Leo! Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ini kekasihmu!" bentak wanita itu.
"Tutup mulutmu, jangan bicara omong kosong," jawab Leo sambil meminta orang-orangnya untuk turun tangan. "Bawa dia pergi dari sini."
"Baik tuan."
Wanita itu pun meronta, memohon agar Leo mau mendengarkannya. "Leo, aku mengaku salah telah menghianatimu, maafkan aku, Leo!"
Wanita itu terus menerus meronta saat dibawa pergi oleh tim keamanan.
"Khania, kau terluka?" Astuti sangat kaget saat menghampiri Khania dan melihat ada darah di sudut bibir gadis itu.
"Ah ini, tidak apa-apa bi," jawab Khania sambil menyentuh bagian yang luka.
"Siapa wanita itu? Keterlaluan sekali dia," ujar Astuti kesal.
Leo pun segera menghampiri dan melihat sudut bibir Khania yang berdarah. "Kau terluka," ujar Leo hendak menyentuh wajah Khania namun ditepis oleh gadis itu.
"Ini akibat dari perlakuanmu pada setiap wanita yang kau bawa." Khania berbicara dengan ekspresi marah.
"Hah?"
"Sudah, sebaiknya bibi antar Khania ke kamar, lukanya harus segera diobati." Astuti pun melerai mereka dan membawa Khania pergi.
Leo terdiam melihat Khania yang menjauh, perkataan gadis itu kembali terngiang di telinganya, seketika dia mengingat satu hal.
"Apa benar karena itu? Kenapa dia bisa tahu?" Leo berbicara sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
***
Beberapa jam kemudian
Khania termenung sambil berdiri di balkon kamar, manik hitamnya memandang taburan bintang yang terlihat begitu jelas.
Gaun tidur berwarna senada dengan rambut terurainya bersibak terkena angin malam.
Seketika Khania mengingat obrolannya dengan Icha, pelayan kecil itu menceritakan seluk beluk keluarga Leo yang merupakan keturunan asli bangsawan Eropa.
Itulah sebabnya saat awal kedatangannya ke sini dia melihat banyak lukisan bergaya negeri matahari terbenam itu.
Leluhur Leo adalah salah satu yang memiliki peranan penting di pemerintahan kerajaan Eropa, namun saat perang saudara terjadi, paksaan untuk meninggalkan negara itu dipilih sang kepala keluarga.
Disaat itulah mereka sering berpindah negara dan akhirnya menetap di Indonesia. Dengan segudang harta yang dibawa, mereka pun memulai bisnis dan mengembangkannya.
Meski sudah berpindah negara, leluhur Leo tidak menghilangkan sistem kekuasaan dari negeri asalnya sebagai bentuk penghormatan.
Dalam sistem itu mengharuskan satu keluarga besar harus dipimpin oleh satu orang, yang akan mengurus semua hal tanpa terkecuali dan memegang penuh atas kekuasaan dalam keluarganya.
Siapapun yang akan menjadi kepala keluarga besar haruslah sosok yang mapan dan sudah menikah, hal itu turun temurun dilakukan.
Beberapa minggu lalu ayah Leo meninggal karena penyakit yang diderita, hal itu membuat posisi penting dalam keluarganya menjadi kosong.
Dan Leo yang merupakan ahli waris pertama, sudah seharusnya menggantikan posisi sang ayah. Namun ada satu hal yang membuatnya tidak mudah mendapatkannya.
Leo yang dikenal sebagai pria penyendiri dan tidak tertarik pada wanita, mengundang pertentangan hingga banyak pihak dari keluarganya yang meminta agar Leo tidak menggantikan sang mendiang ayahnya.
Orang awam pun tahu hal itu tidak sebatas masalah pribadi Leo, bahkan mungkin hanya menjadi alasan bagi mereka yang menginginkan kekuasaan.
Di sisi lain Khania merasa wajar jika banyak yang mengincar posisi Leo, posisi yang akan membuat siapapun memiliki segalanya seperti kekuasaan, kekayaan, kejayaan, dan hal lain yang bersifat duniawi.
Dia bahkan tidak bisa membayangkan sekaya apa keluarga pria itu. "Mungkin jika publik tahu, mereka akan menjadi crazy rich Asia." gumam Khania, dia merasa heran mengingat keluarga pria itu benar-benar tidak terekspos media.
Gadis itu kembali teringat kejadian beberapa jam lalu, yang membuatnya harus menerima rasa sakit di wajah.
"Ini pasti belum seberapa, aku yakin hal buruk akan terus mengintaiku saat berada di keluarga ini," gumam Khania sambil menyentuh pipinya. "Untuk itulah aku harus bersiap dengan segala kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
Khania menoleh dan melihat Leo tengah menghampirinya. "Apa kau tidak tahu sopan santun? Masuk kamar orang sembarangan," ketusnya.
Leo mengangkat alis dan berkata, "Kau istriku, kamarmu adalah kamarku juga," jawabnya santai.
Gadis itu tercekat. "Tapi tidak ada dalam perjanjian kalau kita harus sekamar," protesnya.
"Memang tidak ada, aku hanya ingin saja." Leo mengangkat bahu sambil berjalan ke tempat tidur.
BRAK!
Pria itu menjatuhkan tubuh ke atas kasur dan berbaring, membuat Khania kesal dan menghampirinya.
"Hei! Tidur saja di kamarmu!" hardik Khania.
Leo menutup mata dengan punggung tangannya. "Jangan berisik, sudah beberapa hari aku susah tidur."
"Ck, bukan urusanku." Khania menjawab dan hendak pergi. "Kalau begitu biar aku saja yang keluar."
GREP!
Langkah Khania terhenti saat Leo menggenggam tangannya.
"Ah, panas sekali," ujar Khania saat merasakan suhu tubuh pria itu. "Kau demam?"
Leo tidak merespon, napas pria itu terlihat tidak beraturan.
"Jangan pergi, kumohon."
***
"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan." "Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini." Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. "Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan. "Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania. Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya. "Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. "Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja." "Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisik
CIT! CIT! CIT! Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya. "Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata. Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur. "Dia belum bangun," gumam Khania. Leo masih tertidur. Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya. GREP! "Siapa kau?" Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam. SET! "Ahk!" Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat. Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu. "Aku bertanya padamu!" bentak Leo. "Se- sesak," lirih Khania. Rasa sakit mulai menjalar di leher
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Leo terkejut mendengar penuturan Khania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Cih! Lakukan saja yang kau mau, itu tidak akan berpengaruh padaku maupun keluarga ini," hardik Rebecca sambil berjalan meninggalkan ruangan. Khania melihat kepergian Rebecca yang diikuti beberapa pelayan. Leo menghela napas panjang sambil memegang kepala dengan sebelah tangan. "Maaf atas sikap bibiku padamu, dia memang seperti itu," ujarnya sambil menatap Khania. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Tak apa, nanti juga aku akan terbiasa." Bohong, sejujurnya gadis itu masih sangat kaget, entah apa yang akan terjadi jika dia tidak pandai membalikkan keadaan seperti tadi. "Boleh aku kembali lagi ke taman? Di sana sangat menenangkan," tanya Khania. Keinginan gadis itu mengingatkan Leo pada sang mendiang ibunya, sosok yang selalu berada di taman saat ingin menyendiri. "Tentu, mari aku antar," jawab Leo dengan sigap mengulurkan tangan pada sang istri. "Aku juga akan mengajakmu berkeliling taman." Khani
Manik hitam Khania menatap sosok Leo, yang tengah serius mengobati lukanya akibat terkilir beberapa waktu lalu. Tangan besar pria itu terasa bergetar saat menyentuh dan sedikit memijat pergelangan kaki Khania, gadis itu pun heran di buatnya. "Kenapa tanganmu bergetar?" tanya Khania, dia khawatir jika kondisi Leo akan sama seperti kemarin. "Aku, gugup," jawab pria itu. "Hah? Gugup?" tanya Khania dalam hati. Leo menatap Khania sesaat, gadis itu terlihat bingung. "Aku gugup karena mengontrol tenagaku, kau ini seperti kelinci dengan kulit dan tulang yang rapuh," lanjutnya. "Hmph! Hahaha!" Tawa Khania pecah saat mendengar penjelasan Leo, apa yang dipikirkan pria itu sungguh tidak bisa dia tebak. Yang jadi bahan tertawa Khania pun hanya terdiam dengan ekspresi datar. "Kenapa kau samakan aku dengan kelinci?" tanya Khania di sela tawanya. "Entahlah," jawab Leo sambil berpose sedang berpikir. "Mungkin karena kalian sama-sama manis." Sontak Khania terdiam. "Apa?" Leo menatap Kha
"Sesak." Khania menatap dirinya di cermin, gaun yang menurutnya aneh itu membuatnya tak nyaman, proses memakainya pun butuh waktu lama. "Icha, bolehkah aku membuka ini, apa namanya? korset," ujar Khania sambil mencoba untuk merentangkan tangan dan bergerak bebas. "Tidak boleh nyonya, itu sangat penting saat memakai gaun," jawab Icha sambil merapikan pakaian. Khania menghela napas berat dan berkata, "Jangankan untuk bergerak, bernapas juga rasanya sulit." "Maaf nyonya, anda harus tahan sampai pertemuannya selesai," ujar Icha merasa bersalah. "Karena tamu yang datang adalah bagian dari keluarga kerajaan, maka anda wajib mengikuti budaya berpakaian mereka." Hal yang sungguh merepotkan bagi Khania, dia tidak habis pikir para bangsawan itu bisa tahan dengan pakaian seperti ini. Tak hanya membuat dada terasa sesak, bergerak pun sangat sulit, alhasil gadis itu berjalan dengan langkah yang kaku. "Mari saya bantu, nyonya," ujar Icha sambil menuntun Khania dan memberi tahu sang nyonya
Khania menatap tajam ke arah Leo, apa yang dikatakan pria itu sungguh membuatnya malu. Yang dipelototi hanya mengangkat bahu seakan tidak peduli. "Begitukah? Anda memang luar biasa," puji Gabriella pada Khania. "Bu- bukan begitu ..." Khania ingin menjelaskan namun perkataannya dipotong oleh Leo. "Marquess, bagaimana kondisi perbatasan?" Rupanya Leo tidak mau larut dalam pembicaraan itu, dan mencari topik lain untuk mereka bahas, Khania pun menghela napas lega. "Sejauh ini masih baik-baik saja, meski beberapa waktu lalu para tory kembali melakukan pemberontakan," jawab Javier dengan wajah serius. "Tory? Apa itu?" tanya Khania dalam hati. Pembicaraan mereka mengarah pada politik negara, Khania hanya diam mendengarkan tanpa bisa mengerti, yang jelas ketiga kepala keluarga itu begitu serius membicarakannya. "Tuan Leo," panggil Herlan sambil sedikit mwmbungkukkan badan. "Hidangan sudah disajikan." Leo mengangguk dan berkata, "Baiklah, mari makan bersama," ajaknya diikuti ang