Share

Bab 6

Penulis: R15
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-08 16:04:39

"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan."

"Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini."

Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. 

"Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. 

Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan.

"Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania.

Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya.

"Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. 

"Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. 

Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja."

"Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisiku sedang sakit," jawab Leo. 

"Memangnya kenapa?" tanya Khania heran. 

Pria itu tak menjawab, hanya diam sambil menoleh ke arah lain, membuat Khania semakin bingung harus bagaimana. 

"Ah ya!" Seketika dia teringat sang bibi yang merawatnya saat sakit dan memberikan obat alami. "Aku segera kembali," ujar Khania sambil melenggang pergi. 

Leo melihat Khania yang berlari keluar ruangan, meski terkadang dia merasa gadis itu sangat membencinya, tapi sikap pedulinya pun begitu besar. 

Beberapa saat kemudian Khania kembali. "Ini, minumlah," suruhnya sambil menyodorkan segelas minuman. 

"Apa itu?" tanya Leo.

"Campuran jahe dan madu, cukup ampuh menurunkan demam," jawab Khania. "Ayo minum, enak ko."

"Hm, baiklah." Leo pun tanpa ragu langsung meminumnya.

"Ini, jangan lupa minum air putih yang banyak dan istirahat yang cukup," Khania kembali menyodorkan segelas air putih.

Leo hanya menuruti perkataan Khania tanpa bersuara. 

"Setelah ini tidurlah, aku akan menemanimu," ujar Khania. 

Mendengar itu Leo langsung menatap Khania. "Benarkah?"

"Eh? Maksudku tidur di sofa, kau tidur di sini, dan aku di sofa." Gadis itu menjawab dengan cepat, seolah tahu jalan pikiran pria itu. 

"Tak masalah, kau tidur di sini saja," ujar Leo sambil menepuk-nepuk kasur. 

"Tidak." Khania langsung menolak dan berjalan menuju sofa. Wajahnya masih merona karena perkataan Leo barusan, entah kenapa dia merasa pria itu semakin berbahaya hingga harus dihindarinya. 

Leo menunjukkan wajah kecewa, namun tak lama pria itu menarik selimut dan tertidur. 

"Apa-apaan ekspresinya itu?" batin Khania. Tak mau berpikir panjang, dia pun mencoba untuk tidur. 

Keduanya terlelap, larut dalam mimpi masing-masing.

Keheningan menyelimuti ruangan ini, begitu sunyi hingga suara dari luar pun nyaris tidak terdengar. 

TEP! 

Tiba-tiba sosok hitam muncul dan melompat ke atas balkon, berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada. 

TREK! TREK! 

"Emh!" Khania membuka mata saat mendengar sesuatu yang mengusik tidurnya. "Suara apa itu?" gumamnya. 

TREK! 

Khania menoleh saat suara itu terdengar semakin jelas, matanya terbelalak melihat bayangan hitam di balik jendela yang sedang berusaha masuk dari arah luar balkon. 

"Hei!" Gadis itu langsung bangun dan berteriak. 

Sosok itu kaget saat mendengar suara Khania, dia pun segera pergi dan melompat dari sana. 

Khania pun tersentak melihatnya, jelas-jelas ini adalah lantai tiga. 

"Ah, dimana dia?" gumam gadis itu saat memeriksa ke luar, dia tak melihat sosok itu di mana pun bahkan dibawah sana. "Apa tujuannya?"

Kecurigaan muncul dibenak Khania, mungkin saja ini ulah orang yang mengincar dirinya atau Leo. 

Khania pun segera menutup pintu dan menguncinya, "Aku harap untuk malam ini semua akan baik-baik saja."

Pandangannya beralih pada sosok yang tertidur di depan sana, wajahnya begitu tenang seakan tidak terjadi apapun, padahal beberapa waktu lalu pria itu terlihat kewalahan karena demam yang tinggi. 

Tangan Khania menyentuh dahi Leo. "Panasnya sudah turun, syukurlah," ujarnya sambil tersenyum.

Sungguh ironi kehidupan orang yang memiliki segala kecukupan itu, dia harus berjuang mempertahankan segalanya dengan cara apapun.

"Jangan menatapku seperti itu."

Khania terlonjak kaget mendengarnya, ternyata pria itu tidak tertidur. "Kau, jangan-jangan sudah tahu apa yang terjadi?"

"Tentu, dan itu alasan beberapa hari ini tidurku terganggu," jawab Leo tanpa membuka mata. 

Alis Khania mengernyit, "Mungkinkah pelakunya ada di kediaman ini?"

Leo tersenyum kecut dan berkata, "Bahkan kau tak akan bisa menghitungnya."

Jawaban Leo membuat Khania kaget. 

"Mereka seperti sekumpulan lebah yang ingin menyengatku bergantian," lanjut pria itu. 

Tak disangka, ternyata Leo sudah mengetahui hal itu, dan parahnya mereka berada dalam satu tempat yang sama. 

Satu hal yang membuat Khania bingung, pria itu seakan tidak peduli dan tidak menindak lanjuti kejahatan mereka. 

"Hei, bisa kau ambilkan selimut lagi? Rasanya aku kedinginan," pinta Leo. 

Khania yang heran mendengar itu hanya diam dan menuruti keinginan Leo, dia berjalan menuju lemari besar dan mengambil sebuah selimut. 

"Ini."

"Setelah kupikir akan lebih efektif jika begini," ujar Leo sambil meraih tangan Khania.

"Akh!"

BRUGH! 

Khania yang ditarik oleh Leo terjatuh tepat di atas tubuh pria itu.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Khania meronta dan berusaha menjauh, namun tubuhnya bergeming. "Ugh, kenapa dia kuat sekali?" batinnya saat Leo memeluknya semakin erat. 

Sesaat kemudian Khania merasa aneh, sebuah getaran begitu terasa pada tubuh pria itu.

"Dia menggigil?" 

Kondisi Leo membuat Khania bingung setengah mati, demamnya sudah mereda tapi mengapa kini tubuh pria itu seakan menahan sakit hingga menggigil hebat. 

"Hei, kau sungguh tidak apa-apa? Haruskah aku hubungi dokter?" Khania bertanya dalam pelukan Leo.

"Jangan, kumohon," jawab pria itu dengan napas tersengal. "Dan berjanjilah, apapun yang terjadi, kau akan mengatakan bahwa kau adalah istriku," lanjutnya.

"Apa maksudmu?" tanya Khania. 

"Berjanji saja, aku percaya padamu, kumohon."

Khania tidak bisa berbuat apapun, kini pilihan satu-satunya hanya mendengar keinginan pria itu.

"Baiklah, aku janji," jawab Khania sambil menghela napas.

Entah karena simpati atau reflek, kini Khania melingkarkan tangan di tubuh Leo, sedikit menepuk-nepuk punggung pria itu seakan memberi tahu semua akan baik-baik saja.

"Tidurlah yang nyenyak, besok kau harus sembuh," ujar Khania. 

Leo tidak merespon, tak lama terdengar dengkuran halus yang menandakan pria itu sudah terlelap, dan hal itu membuat Khania lega.

Rasa kantuk pun Khania rasakan, meski ingin terjaga namun matanya sudah terasa sangat berat.

"Aku berharap akan selalu bisa membantumu, Leo." Setelah mengatakan itu, Khania pun tertidur. 

Keduanya kembali tertidur dengan memberikan kehangatan satu sama lain, mereka tak menyadari sedikit demi sedikit telah memberikan kepercayaan yang akan merubah hidup keduanya. 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 27

    Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 26

    Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 25

    "Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 24

    "ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 23

    Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap

  • Nyonya Satu Miliar   Bab 22

    "Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status