Share

Bab 6

"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan."

"Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini."

Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. 

"Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. 

Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan.

"Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania.

Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya.

"Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. 

"Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. 

Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja."

"Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisiku sedang sakit," jawab Leo. 

"Memangnya kenapa?" tanya Khania heran. 

Pria itu tak menjawab, hanya diam sambil menoleh ke arah lain, membuat Khania semakin bingung harus bagaimana. 

"Ah ya!" Seketika dia teringat sang bibi yang merawatnya saat sakit dan memberikan obat alami. "Aku segera kembali," ujar Khania sambil melenggang pergi. 

Leo melihat Khania yang berlari keluar ruangan, meski terkadang dia merasa gadis itu sangat membencinya, tapi sikap pedulinya pun begitu besar. 

Beberapa saat kemudian Khania kembali. "Ini, minumlah," suruhnya sambil menyodorkan segelas minuman. 

"Apa itu?" tanya Leo.

"Campuran jahe dan madu, cukup ampuh menurunkan demam," jawab Khania. "Ayo minum, enak ko."

"Hm, baiklah." Leo pun tanpa ragu langsung meminumnya.

"Ini, jangan lupa minum air putih yang banyak dan istirahat yang cukup," Khania kembali menyodorkan segelas air putih.

Leo hanya menuruti perkataan Khania tanpa bersuara. 

"Setelah ini tidurlah, aku akan menemanimu," ujar Khania. 

Mendengar itu Leo langsung menatap Khania. "Benarkah?"

"Eh? Maksudku tidur di sofa, kau tidur di sini, dan aku di sofa." Gadis itu menjawab dengan cepat, seolah tahu jalan pikiran pria itu. 

"Tak masalah, kau tidur di sini saja," ujar Leo sambil menepuk-nepuk kasur. 

"Tidak." Khania langsung menolak dan berjalan menuju sofa. Wajahnya masih merona karena perkataan Leo barusan, entah kenapa dia merasa pria itu semakin berbahaya hingga harus dihindarinya. 

Leo menunjukkan wajah kecewa, namun tak lama pria itu menarik selimut dan tertidur. 

"Apa-apaan ekspresinya itu?" batin Khania. Tak mau berpikir panjang, dia pun mencoba untuk tidur. 

Keduanya terlelap, larut dalam mimpi masing-masing.

Keheningan menyelimuti ruangan ini, begitu sunyi hingga suara dari luar pun nyaris tidak terdengar. 

TEP! 

Tiba-tiba sosok hitam muncul dan melompat ke atas balkon, berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada. 

TREK! TREK! 

"Emh!" Khania membuka mata saat mendengar sesuatu yang mengusik tidurnya. "Suara apa itu?" gumamnya. 

TREK! 

Khania menoleh saat suara itu terdengar semakin jelas, matanya terbelalak melihat bayangan hitam di balik jendela yang sedang berusaha masuk dari arah luar balkon. 

"Hei!" Gadis itu langsung bangun dan berteriak. 

Sosok itu kaget saat mendengar suara Khania, dia pun segera pergi dan melompat dari sana. 

Khania pun tersentak melihatnya, jelas-jelas ini adalah lantai tiga. 

"Ah, dimana dia?" gumam gadis itu saat memeriksa ke luar, dia tak melihat sosok itu di mana pun bahkan dibawah sana. "Apa tujuannya?"

Kecurigaan muncul dibenak Khania, mungkin saja ini ulah orang yang mengincar dirinya atau Leo. 

Khania pun segera menutup pintu dan menguncinya, "Aku harap untuk malam ini semua akan baik-baik saja."

Pandangannya beralih pada sosok yang tertidur di depan sana, wajahnya begitu tenang seakan tidak terjadi apapun, padahal beberapa waktu lalu pria itu terlihat kewalahan karena demam yang tinggi. 

Tangan Khania menyentuh dahi Leo. "Panasnya sudah turun, syukurlah," ujarnya sambil tersenyum.

Sungguh ironi kehidupan orang yang memiliki segala kecukupan itu, dia harus berjuang mempertahankan segalanya dengan cara apapun.

"Jangan menatapku seperti itu."

Khania terlonjak kaget mendengarnya, ternyata pria itu tidak tertidur. "Kau, jangan-jangan sudah tahu apa yang terjadi?"

"Tentu, dan itu alasan beberapa hari ini tidurku terganggu," jawab Leo tanpa membuka mata. 

Alis Khania mengernyit, "Mungkinkah pelakunya ada di kediaman ini?"

Leo tersenyum kecut dan berkata, "Bahkan kau tak akan bisa menghitungnya."

Jawaban Leo membuat Khania kaget. 

"Mereka seperti sekumpulan lebah yang ingin menyengatku bergantian," lanjut pria itu. 

Tak disangka, ternyata Leo sudah mengetahui hal itu, dan parahnya mereka berada dalam satu tempat yang sama. 

Satu hal yang membuat Khania bingung, pria itu seakan tidak peduli dan tidak menindak lanjuti kejahatan mereka. 

"Hei, bisa kau ambilkan selimut lagi? Rasanya aku kedinginan," pinta Leo. 

Khania yang heran mendengar itu hanya diam dan menuruti keinginan Leo, dia berjalan menuju lemari besar dan mengambil sebuah selimut. 

"Ini."

"Setelah kupikir akan lebih efektif jika begini," ujar Leo sambil meraih tangan Khania.

"Akh!"

BRUGH! 

Khania yang ditarik oleh Leo terjatuh tepat di atas tubuh pria itu.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Khania meronta dan berusaha menjauh, namun tubuhnya bergeming. "Ugh, kenapa dia kuat sekali?" batinnya saat Leo memeluknya semakin erat. 

Sesaat kemudian Khania merasa aneh, sebuah getaran begitu terasa pada tubuh pria itu.

"Dia menggigil?" 

Kondisi Leo membuat Khania bingung setengah mati, demamnya sudah mereda tapi mengapa kini tubuh pria itu seakan menahan sakit hingga menggigil hebat. 

"Hei, kau sungguh tidak apa-apa? Haruskah aku hubungi dokter?" Khania bertanya dalam pelukan Leo.

"Jangan, kumohon," jawab pria itu dengan napas tersengal. "Dan berjanjilah, apapun yang terjadi, kau akan mengatakan bahwa kau adalah istriku," lanjutnya.

"Apa maksudmu?" tanya Khania. 

"Berjanji saja, aku percaya padamu, kumohon."

Khania tidak bisa berbuat apapun, kini pilihan satu-satunya hanya mendengar keinginan pria itu.

"Baiklah, aku janji," jawab Khania sambil menghela napas.

Entah karena simpati atau reflek, kini Khania melingkarkan tangan di tubuh Leo, sedikit menepuk-nepuk punggung pria itu seakan memberi tahu semua akan baik-baik saja.

"Tidurlah yang nyenyak, besok kau harus sembuh," ujar Khania. 

Leo tidak merespon, tak lama terdengar dengkuran halus yang menandakan pria itu sudah terlelap, dan hal itu membuat Khania lega.

Rasa kantuk pun Khania rasakan, meski ingin terjaga namun matanya sudah terasa sangat berat.

"Aku berharap akan selalu bisa membantumu, Leo." Setelah mengatakan itu, Khania pun tertidur. 

Keduanya kembali tertidur dengan memberikan kehangatan satu sama lain, mereka tak menyadari sedikit demi sedikit telah memberikan kepercayaan yang akan merubah hidup keduanya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status