CIT! CIT! CIT!
Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya.
"Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata.
Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur.
"Dia belum bangun," gumam Khania.
Leo masih tertidur.
Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya.
GREP!
"Siapa kau?"
Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam.
SET!
"Ahk!"
Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat.
Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu.
"Aku bertanya padamu!" bentak Leo.
"Se- sesak," lirih Khania.
Rasa sakit mulai menjalar di lehernya, Khania mencoba berpikir untuk bisa keluar dari situasi ini.
Seketika dia teringat apa yang di katakan Leo kemarin malam.
"Dan berjanjilah, apapun yang terjadi, kau akan mengatakan bahwa kau adalah istriku."
Khania merasa mungkin inilah yang dimaksud Leo, dan dia harus mengatakan sesuai pesan pria itu.
"Aku, aku adalah istrimu! Kita baru menikah kemarin, ini buktinya," ujar Khania sambil menunjukkan sebuah cincin di jari manisnya.
Sontak Leo melepaskan Khania dan bertanya, "Kau, istriku?"
Khania mencoba untuk mengatur napas, dia pun melihat pria itu sedang menatapnya seakan tak percaya. "Lihatlah, kau juga memakainya."
Leo melihat cincin serupa di jarinya, dan hal itu cukup membuktikan apa yang di katakan gadis di hadapannya itu adalah benar.
"Ugh!" Tiba-tiba Leo memegangi kepalanya dan merintih kesakitan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Khania khawatir.
"Maafkan aku," ujar Leo dengan nada lirih. "Aku telah menyakitimu, Khania."
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kau seolah hilang ingatan sementara." Khania bertanya dengan ekspresi bingung.
Leo menatap Khania dan menjawab, "Benar, aku akan mengalami hilang ingatan sementara jika gejala seperti kemarin muncul."
"Gejala?"
Khania pun teringat saat kemarin tubuh pria itu mengalami demam dan menggigil secara misterius.
Kepala Leo menunduk. "Sejak kecil aku sudah vonis memiliki penyakit ini, walau efeknya hanya hilang ingatan sementara, tapi hal itu membuatku harus selalu waspada agar tidak ada yang memanfaatkannya," jelasnya.
Dengan sangat mudah Khania bisa paham maksud dari kalimat terakhir pria itu. "Jadi itu sebabnya kau tidak mau ada yang tahu, bahkan pelayan pribadimu?"
Herlan adalah pelayan pribadi Leo, Khania tahu itu dari Icha saat mengobrol beberapa waktu lalu.
"Ya, aku tidak percaya satu orang pun di rumah ini," jawab Leo dengan nada rendah. "Selain dirimu," lanjutnya sambil menatap Khania.
"Apa?"
TOK! TOK! TOK!
BRAK!
"LEO?"
Khania melihat sosok yang sudah lancang mendobrak pintu kamarnya. "Bibi Rebecca," gumam gadis itu.
Rebecca menghampiri Leo dan berkata, "Aku khawatir, semalam kau tidak ada di kamarmu."
"Ck! Dasar ular," batin Khania.
Dia merasa muak dengan ekting wanita paruh baya itu, jika saja Khania tidak tahu sifat aslinya, mungkin apa yang dilakukan Rebecca terlihat mulia di matanya.
"Leo baik-baik saja, bibi Rebecca," ujar Khania. "Aku merawatnya semalam."
Penuturan Khania membuat Rebecca tersenyum sinis. "Benarkah? Kalau begitu kau ada gunanya juga," sindirnya.
"Hentikan, bibi Rebecca, anda boleh keluar sekarang," ujar Leo.
"Tapi Leo." Rebecca terlihat enggan mendengarkan Leo.
"Seperti yang anda lihat, saya baik-baik saja."
"Baiklah, aku juga ingin menyampaikan kalau keluarga Marquis dan Count akan datang besok," ujar Rebecca sambil berjalan pergi.
Khania melihat kepergian Rebecca dengan wajah jengkel, dia berharap tidak terlalu sering bertemu dengan wanita itu.
"Khania," panggil Leo.
"Ya?"
"Boleh aku meminta tolong padamu?" ujar pria itu. "Maaf, karena perjanjian itu, aku memaksamu untuk terlibat dalam masalahku."
"Tidak apa, itu sudah jadi tugasku sekarang," jawab Khania. "Kau mau minta tolong apa?"
"Besok kita akan kedatangan tamu dekat, aku harap kau bisa jaga rahasia tentang pernikahan kita yang sebenarnya," ujar Leo.
Tanpa ragu Khania menjawab, "Tentu, aku akan merahasiakannya."
"Dan sekali lagi, aku minta maaf untuk kejadian tadi." Leo menatap Khania dengan wajah sendu.
Sejujurnya gadis itu masih kaget dengan yang menimpanya beberapa waktu lalu, dia bisa membayangkan jika ingatan Leo tidak cepat kembali, mungkin kini dirinya sudah mati tercekik.
"Tak apa, aku juga tahu kau tidak sengaja melakukannya," ujar Khania sambil tersenyum.
Leo terdiam sesaat melihat gadis itu, tak ada alasan baginya untuk tidak membalas senyuman manis sang istri. "Hm, terima kasih."
"Kalau begitu sebaiknya kau bersiap, bukankah kau harus bekerja?" tanya Khania sambil melihat jam di dinding kamar.
"Tidak, aku cuti bulan madu selama satu minggu," jawab Leo masih dengan senyumannya.
"Cuti, bulan madu?"
***
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Leo terkejut mendengar penuturan Khania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Cih! Lakukan saja yang kau mau, itu tidak akan berpengaruh padaku maupun keluarga ini," hardik Rebecca sambil berjalan meninggalkan ruangan. Khania melihat kepergian Rebecca yang diikuti beberapa pelayan. Leo menghela napas panjang sambil memegang kepala dengan sebelah tangan. "Maaf atas sikap bibiku padamu, dia memang seperti itu," ujarnya sambil menatap Khania. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Tak apa, nanti juga aku akan terbiasa." Bohong, sejujurnya gadis itu masih sangat kaget, entah apa yang akan terjadi jika dia tidak pandai membalikkan keadaan seperti tadi. "Boleh aku kembali lagi ke taman? Di sana sangat menenangkan," tanya Khania. Keinginan gadis itu mengingatkan Leo pada sang mendiang ibunya, sosok yang selalu berada di taman saat ingin menyendiri. "Tentu, mari aku antar," jawab Leo dengan sigap mengulurkan tangan pada sang istri. "Aku juga akan mengajakmu berkeliling taman." Khani
Manik hitam Khania menatap sosok Leo, yang tengah serius mengobati lukanya akibat terkilir beberapa waktu lalu. Tangan besar pria itu terasa bergetar saat menyentuh dan sedikit memijat pergelangan kaki Khania, gadis itu pun heran di buatnya. "Kenapa tanganmu bergetar?" tanya Khania, dia khawatir jika kondisi Leo akan sama seperti kemarin. "Aku, gugup," jawab pria itu. "Hah? Gugup?" tanya Khania dalam hati. Leo menatap Khania sesaat, gadis itu terlihat bingung. "Aku gugup karena mengontrol tenagaku, kau ini seperti kelinci dengan kulit dan tulang yang rapuh," lanjutnya. "Hmph! Hahaha!" Tawa Khania pecah saat mendengar penjelasan Leo, apa yang dipikirkan pria itu sungguh tidak bisa dia tebak. Yang jadi bahan tertawa Khania pun hanya terdiam dengan ekspresi datar. "Kenapa kau samakan aku dengan kelinci?" tanya Khania di sela tawanya. "Entahlah," jawab Leo sambil berpose sedang berpikir. "Mungkin karena kalian sama-sama manis." Sontak Khania terdiam. "Apa?" Leo menatap Kha
"Sesak." Khania menatap dirinya di cermin, gaun yang menurutnya aneh itu membuatnya tak nyaman, proses memakainya pun butuh waktu lama. "Icha, bolehkah aku membuka ini, apa namanya? korset," ujar Khania sambil mencoba untuk merentangkan tangan dan bergerak bebas. "Tidak boleh nyonya, itu sangat penting saat memakai gaun," jawab Icha sambil merapikan pakaian. Khania menghela napas berat dan berkata, "Jangankan untuk bergerak, bernapas juga rasanya sulit." "Maaf nyonya, anda harus tahan sampai pertemuannya selesai," ujar Icha merasa bersalah. "Karena tamu yang datang adalah bagian dari keluarga kerajaan, maka anda wajib mengikuti budaya berpakaian mereka." Hal yang sungguh merepotkan bagi Khania, dia tidak habis pikir para bangsawan itu bisa tahan dengan pakaian seperti ini. Tak hanya membuat dada terasa sesak, bergerak pun sangat sulit, alhasil gadis itu berjalan dengan langkah yang kaku. "Mari saya bantu, nyonya," ujar Icha sambil menuntun Khania dan memberi tahu sang nyonya
Khania menatap tajam ke arah Leo, apa yang dikatakan pria itu sungguh membuatnya malu. Yang dipelototi hanya mengangkat bahu seakan tidak peduli. "Begitukah? Anda memang luar biasa," puji Gabriella pada Khania. "Bu- bukan begitu ..." Khania ingin menjelaskan namun perkataannya dipotong oleh Leo. "Marquess, bagaimana kondisi perbatasan?" Rupanya Leo tidak mau larut dalam pembicaraan itu, dan mencari topik lain untuk mereka bahas, Khania pun menghela napas lega. "Sejauh ini masih baik-baik saja, meski beberapa waktu lalu para tory kembali melakukan pemberontakan," jawab Javier dengan wajah serius. "Tory? Apa itu?" tanya Khania dalam hati. Pembicaraan mereka mengarah pada politik negara, Khania hanya diam mendengarkan tanpa bisa mengerti, yang jelas ketiga kepala keluarga itu begitu serius membicarakannya. "Tuan Leo," panggil Herlan sambil sedikit mwmbungkukkan badan. "Hidangan sudah disajikan." Leo mengangguk dan berkata, "Baiklah, mari makan bersama," ajaknya diikuti ang
Siron menghampiri Khania. "Bagaimana kabarmu, Khania?" tanya pria itu sambil tersenyum. Khania tidak langsung menjawab, dia masih kaget saat tahu pria itu berada di sana. "Khania?" panggil Siron. "Eh?" gadis itu pun sadar dari lamunannya. "Ka- kabarku baik, bagaimana dengan anda?" "Kabarku juga baik," jawab Siron sambil duduk di hamparan rumput. "Dan jangan bicara terlalu formal, santai saja." Khania mengangguk ragu saat pria itu meminta demikian. Sejujurnya bukan tanpa alasan sikap Khania jadi lebih formal terhadap Siron, hal itu karena penjelasan Icha saat mereka sedang membahas tentang keluarga Leo. "Tuan Siron, dia adalah sahabat kecil tuan Leo dan merupakan anak pertama dari raja Claude, beliau menempuh pendidikan di berbagai negara untuk mempelajari kebudayaan mereka." "Pangeran!" Khania menoleh dan mendapati seorang pria berkacamata, sedang berlari menghampiri Siron. Benar, Siron adalah seorang pangeran dari negaranya yang bernama Liechtenstein, yang konon memiliki tan
"Apa salahku?" tanya Khania yang heran dengan sikap kasar pria itu. SET! Leo melepas cengkramannya pada bahu Khania, lalu berbalik membelakanginya. Kedua tangan pria itu mengepal kuat seperti menahan amarah, hal itu lantas membuat Khania semakin bingung. Setelah mengembuskan napas berat, Leo pun berkata, "Kau hanya perantara agar aku bisa mencapai tujuanku, jangan bersikap seolah-olah bisa melakukan apapun yang kau mau," ujar Leo tanpa membalikkan badan. Khania tahu itu, sangat tahu. Tapi kenapa ada rasa sakit ketika Leo mengingatkan bahwa kehadiran dirinya di sana hanya sebagai perantara. Gadis itu pun tersenyum dengan wajah sendu. "Aku mengerti, maaf jika ada hal yang kulakukan dan itu membuatmu tidak nyaman." Permintaan maaf Khania membuat Leo semakin kesal, pria itu pun bingung harus bagaimana saat dengan spontan perasaan itu muncul dan berubah setiap waktu. "Ck!" Setelah itu Leo pun pergi meninggalkan Khania, yang sedang memandang sosok itu dengan ekspresi sedih. "Tidak