Ck!
Ucapan Yonas itu membuat Suri mendengus sinis.
Sudah jelas, bukan? Romeo lebih memilih menghabiskan waktu bersama Diva daripada pulang dan menyelesaikan masalah rumah tangganya.
"Sampaikan pada Romeo," kata Suri dengan nada tajam, "aku hanya minta sepuluh menit waktunya. Sepuluh menit saja untuk menandatangani surat cerai."
Yonas terdiam sesaat, lalu berkata hati-hati, "Baik, Nona Suri. Nanti saya sampaikan."
Suri tahu, tak ada gunanya berharap banyak.
Romeo pasti akan mencari alasan untuk terus mengabaikannya, lalu memadu kasih dengan Diva tanpa rasa bersalah.
Tut!
Dengan gerakan tegas, Suri memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di meja.
Ia lalu membuka kopernya sekali lagi.
Tangannya terulur, menyentuh sebuah gaun merah anggun yang sudah lama tidak ia pakai.
Gaun itu pernah menjadi favoritnya—simbol keberanian dan kekuatan.
Namun sejak kehidupannya dengan Romeo berubah menjadi penjara, gaun itu hanya berdiam dalam gelap, seperti dirinya.
Suri melepas pakaiannya dan mengenakan gaun merah itu. Potongan gaun tersebut begitu pas, memperlihatkan lekuk tubuh yang selama ini ia sembunyikan di balik pakaian longgar dan sederhana.
Suri menatap cermin, menilai bayangannya dengan saksama. Bekas luka di pipi kirinya terlihat jelas di bawah lampu kamar. Luka yang ia terima dari tragedi kecelakaan masa lalu.
Namun hari ini, Suri tak ingin terlihat rapuh. Ia mengambil kuas make-up dan mulai bekerja.
Dengan telaten, ia menutupi bekas luka itu hingga nyaris tak terlihat.
Ia memoles wajahnya dengan riasan lembut, menyamarkan jejak kesedihan yang pernah ada.
Lipstik berwarna nude mengguratkan ketegasan di bibir Suri, sementara matanya berkilat penuh tekad.
Wanita di pantulan cermin itu bukan lagi Suri yang pasrah dan lemah.
Ia adalah Suri yang siap mengambil alih hidupnya, menegakkan keadilan di sisa waktu yang ia punya.
Matanya menyala dengan api kemarahan dan tekad. Ia sudah cukup bersabar. Bagaimanapun caranya, ia akan menemui Romeo langsung di hotel, dan memaksa lelaki itu untuk menandatangani surat cerai!
Kriet!
Suri membuka pintu kamar dan menarik koper besar miliknya. Ini adalah detik terakhir ia akan menginjakkan kaki di mansion keluarga Albantara.
Di dalam hati, Suri sudah mantap untuk meninggalkan masa lalu yang pahit, menuju awal baru yang akan ia jalani dengan penuh keberanian.
Namun ketika Suri melintasi ruang tengah, suara keras menyapanya. “Suri! Mau pergi ke mana kau dengan dandanan menor seperti itu?”
Suri menoleh, mendapati Nyonya Valerie, ibu mertuanya, berdiri di ujung lorong, matanya memicing penuh curiga. Di sebelahnya, Aira, bersedekap sembari menyunggingkan senyum sinis.
Ia tampak kebingungan, seperti tak ingin terlibat dalam situasi yang tidak nyaman ini.
Suri mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Bi Wina agar berhenti. “Tidak perlu, Bi. Aku sendiri yang akan membukanya.” Dengan gerakan tenang, Suri berlutut dan membuka kopernya di hadapan mereka. Pakaian-pakaian, perlengkapan pribadi, dan barang-barang kecil yang ia bawa tampak tertata rapi di dalam koper itu. “Lihat sendiri, apakah ada uang atau perhiasan yang saya ambil?” tantang Suri. Aira mencibir, lalu berkata dengan nada sinis, “Sebagian dari baju-bajumu juga dibeli dengan uang Kak Romeo, kan? Jadi, bisa dibilang semua itu adalah milik kakakku!” Suri tetap tenang. Tanpa berkata apa-apa, ia memasukkan tangannya ke dalam koper, mengeluarkan sejumlah pakaian, sepatu, dan tas yang pernah diberikan Romeo kepadanya. Satu per satu, barang-barang itu ia lemparkan ke lantai, di depan kaki ibu mertuanya dan Aira. “Silakan ambil. Saya tidak butuh semua ini.” Ucapannya datar, tetapi setiap kata terasa seperti tusukan dingin. Ibu mertuanya hanya bisa terdiam sejenak, memandangi barang-barang itu dengan tatapan penuh kebencian. Sedangkan Aira tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya melihat keberanian Suri yang selama ini mereka pandang lemah. Suri menutup kopernya kembali dan bangkit berdiri. Ia siap untuk meninggalkan manison, ketika Nyonya Valerie menahan lengannya. “Suri, kau masih memakai perhiasan dari Romeo di jarimu!” Kali ini, Suri tersentak.Baru disadarinya bahwa cincin pernikahan itu masih tersemat di jari manis.
Cincin emas bermata berlian, yang dulu menjadi lambang ikatan antara dirinya dan Romeo, kini terasa seperti belenggu yang ingin ia lepaskan secepatnya.
Dengan tenang, Suri melepaskan cincin itu dari jarinya, menggenggamnya sejenak, lalu menyerahkannya ke tangan Nyonya Valerie. Ia menatap mata ibu mertuanya itu dengan sorot tajam, yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Ini tanda bahwa pernikahan saya dengan Romeo telah berakhir. Atau, anggap saja tidak pernah ada,” tegas Suri tanpa keraguan sedikitpun. Tanpa sepatah kata lagi, Suri meneruskan langkahnya. Saat pintu depan terbuka, ia melihat taksi sudah menunggunya di depan gerbang.Suri masuk ke dalam taksi, menutup pintunya, lalu memandang mansion itu untuk terakhir kalinya.
Tidak ada rasa rindu, hanya kelegaan yang membuncah di dadanya.Sebentar lagi, ia bebas.
Bebas dari Romeo, bebas dari keluarga yang tak pernah menerimanya.
Tiga hari terakhir di vila menjelma bak momen bulan madu bagi Jevandro dan Serin. Mereka tidak hanya berbagi perasaan, tetapi juga napas, tawa, dan keintiman yang menyatu dalam kelembutan. Mereka menebus malam-malam yang sempat terlewat tanpa pelukan, dan menjahit kembali kisah cinta yang pernah robek oleh kesalahpahaman.Jevandro menjelma menjadi sosok suami yang bahkan lebih dari ekspektasi Serin. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan makanan bergizi untuk istrinya, dan kerap kali menempelkan telinga ke perut Serin, seakan ingin mendengar bisikan sang buah hati. Ke mana pun Serin melangkah, tangan Jevandro tak pernah jauh darinya. Jika Serin melirik ke jendela, Jevandro telah berdiri di belakangnya, memeluknya dengan bisikan-bisikan cinta. Ia memperlakukan Serin seperti bunga langka yang harus dirawat dengan penuh kehati-hatian.Ketika mereka kembali ke apartemen, cinta Jevandro tak luntur sedikit pun. Bahkan di tengah hiruk-pikuk persiapan resepsi pernikahan Jeandra, Jevandro tetap memp
Jevandro menatap Serin tanpa berkedip, menanti keajaiban kecil yang akan mengubah segalanya. Ia mengamati wajah sang istri yang berselimut ragu, matanya seperti mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri. Namun perlahan, sangat perlahan, tangan mungil itu terulur ke arah Jevandro. Gerakan yang begitu sederhana, tetapi mampu menumbangkan segala tembok yang sempat membatasi mereka. Senyum Jevandro langsung merekah, mata hazelnya bersinar penuh haru. Ternyata, Serin masih bersedia menyimpan ruang maaf untuknya.Tanpa menunda, Jevandro mengambil cincin dari dalam kotak dan menyematkannya di jari manis Serin. Saat cincin itu tepat berada di tempatnya, Jevandro mengangkat wajah dan memandang Serin. Tangan yang sempat ia lepaskan karena kesalahan, kini ia genggam lagi dengan janji takkan mengulang kesalahan yang sama.“Terima kasih, Serin,” ucap Jevandro dengan suara parau, sarat rasa. “Untuk kesempatan ini... untuk tetap memilihku meski aku tak pantas.”Kemudian, Jevan menyerahkan cincin y
Penuh kehati-hatian, Serin mengangkat gaun dan sepatu pemberian Jevandro, lantas membawanya masuk ke kamar. Ia membentangkan gaun itu di atas seprai. Jemarinya menyusuri lipit halus pada kain seraya memandangi detail renda yang begitu anggun.Senyum merekah di bibir Serin, senyum yang mengandung sejuta rasa—rasa syukur, ragu, dan rasa yang belum berani disebut sebagai harapan.Tangan Serin beralih mengusap perutnya dengan sentuhan selembut kapas, seakan ingin berbicara langsung pada kehidupan kecil yang tumbuh di sana. Dengan suara rendah, ia berkata penuh perasaan."Sayang... apakah papamu sekarang benar-benar mencintai kita? Apa Mama harus percaya padanya?”Tak ada yang menjawab, selain detik jam yang terus berputar statis.Sejenak, Serin menatap langit-langit, membiarkan pertanyaan itu melayang tanpa tuntutan. Lalu ia menghela napas dan keluar lagi dari kamar.Untuk mengusir kerisauan hatinya, Serin mengambil cello—alat musik yang selama ini menjadi bahasanya sendiri ketika dunia te
Jevandro tidak memaksa. Tidak pula mencoba mendekap Serin secara paksa, meski keinginan itu begitu besar dalam dirinya. Ucapannya serupa permohonan lirih, dari seorang pria yang mulai belajar mencintai dan rela untuk menunggu.Serin tetap diam. Ia tak tahu harus menjawab apa—karena yang paling ia takuti, bukan pelukan itu, tetapi betapa ia mungkin tak ingin dilepaskan lagi setelah merasakannya.Setelah beberapa detik keheningan, Jevandro menarik napas dan berkata lirih.“Kalau kamu kedinginan, bilang saja padaku… aku ada di sini.”Hanya itu. Lalu, Jevandro tak bersuara lagi. Ia merebahkan tubuhnya dalam jarak aman, membiarkan ruang di antara mereka tetap terjaga.Di sisi lain, Serin masih memejamkan mata, berusaha mengusir segala keraguan yang tak kunjung reda. Lambat laun, pikirannya tertarik dalam gelombang kantuk yang menenangkan, dan ia pun terlelap.Tidurnya malam itu terasa berbeda. Begitu tenang, seperti tubuhnya terbuai dalam pelukan alam yang penuh kehangatan. Serin tidak b
Serin tidak menanggapi pernyataan cinta yang mengalir begitu tulus dari bibir Jevandro. Tak ada kata yang terucap, tak ada sambutan atau bantahan. Meski demikian, dalam kebisuannya, Serin merasakan ada sesuatu yang retak—lapisan tipis pertahanan yang telah ia bangun tinggi-tinggi.Ia goyah. Sebagian hatinya ingin percaya bahwa kata-kata Jevandro bukan hanya rangkaian indah yang lahir dari rasa bersalah. Namun, bagian lain dalam dirinya, yang sudah terlampau sering terluka oleh harapan yang kandas, masih enggan menerima semuanya begitu saja.Cara Jevandro mencintainya selama ini membuatnya bingung, tersesat, dan bertanya-tanya. Ia tak bisa lagi membedakan, apakah dirinya dicintai karena ia adalah Serin, atau karena ia adalah gambaran Liora yang hidup kembali dalam wujud berbeda. Diam adalah perlindungan terakhirnya.Jevandro tak memaksa. Ia menepati janji yang telah ia ucapkan. Pria itu tetap di sisi Serin, tanpa menyentuh, tanpa menuntut, hanya memandangi punggung perempuan yang te
“Kamu baik-baik saja. Aku hampir putus asa mencarimu… Tapi ternyata kamu di sini,” bisik Jevandro, suaranya lirih, penuh gejolak yang menumpuk selama berhari-hari. Serin tak mampu berkata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia melihat pria yang dicintainya itu berdiri di hadapannya dengan wajah kacau.Selangkah demi selangkah, Jevandro terus mendekat hingga jarak antara mereka terpangkas seluruhnya. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, lelaki itu menarik Serin ke dalam pelukannya—erat, penuh kegelisahan, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perempuan dalam dekapannya bukanlah ilusi semata. Tubuh Serin yang semula hanya terbaring tenang di tempat tidur, kini membeku dalam keheningan. Tangannya tak membalas pelukan, pikirannya membatu, hatinya pun ikut ragu.“Aku sangat merindukanmu,” gumam Jevandro dengan suara parau yang tertahan di tenggorokan, “Maafkan aku, Baby Girl.”Wajah Jevandro menelusup ke lekuk leher istrinya. Sekejap kemudian, kehangatan napasnya menyentuh kulit Serin