Hanya saja, Suri tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Ia segera melarikan diri dari kamar yang telah menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini.
Bingung harus ke mana, Suri berlari ke bagian belakang mansion, menuju kamar pelayan.
Hanya tempat itu yang aman bagi dirinya saat ini. Tidak mungkin ia menuju ke depan mansion karena di sana masih ada Diva, ibu mertua, dan adik iparnya.
Dengan tubuh yang gemetar, Suri berhenti di depan kamar Bi Wina.
Selama ini, hanya wanita tua yang sudah bertahun-tahun bekerja di mansion keluarga Albantara itu yang pernah menunjukkan rasa simpati padanya.
“Bi Wina,” suara Suri terdengar pecah, ia menahan isak. “Bolehkan aku bermalam di sini? Aku tidak ingin kembali ke kamarku.”
Bi Wina terkejut dan menatap Suri penuh kebingungan. Namun, melihat mata Suri yang sembap dan memerah, ia bisa merasakan kepedihan yang sedang ditanggung perempuan muda itu.
Dengan lembut, Bi Wina mempersilakan Suri duduk di atas tempat tidur kecil di sudut kamarnya.
“Nona Suri, apa yang terjadi? Apa saya bisa bantu?” tanya Bi Wina dengan suara pelan, penuh perhatian.
Suri menggeleng, menahan air matanya yang sudah cukup deras. “Tidak apa-apa, Bi. Aku hanya… butuh waktu. Jangan khawatirkan aku.” Ia menunduk, berusaha meredakan perasaannya yang masih kalut.
Bi Wina mengangguk, tak ingin mendesak lebih jauh, meskipun ada banyak pertanyaan yang menggantung di benaknya. Perempuan tua itu menyodorkan segelas air putih, yang segera diminum habis oleh Suri.
Satu jam berlalu dan tidak ada tanda-tanda Romeo akan mengejarnya ke kamar pelayan. Suri masih duduk di kamar Bi Wina, memeluk dirinya sendiri di tempat tidur. Ia yakin jika suaminya itu sudah pergi untuk mengantarkan Diva pulang ke apartemen.
Pikiran Suri berkelana ke berbagai tempat, berusaha memahami segala hal yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Dalam keheningan itu, ponsel di saku bajunya berbunyi, menyadarkan Suri dari lamunan.
Begitu melihat nama sang pengacara di layar, Suri segera meraih ponselnya.
“Suri,” suara Tuan Josua terdengar di ujung telepon. “Surat gugatan cerai sudah siap. Kurasa, lebih baik kamu mengambilnya besok pagi saja di kantorku.”
Suri mengangguk meski tahu pengacara itu tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Paman,” katanya, suaranya masih terdengar lemah. “Tapi, bisakah aku menemui Paman sekarang? Aku ingin menyodorkan surat cerai itu kepada Romeo begitu dia bangun tidur.”
Tuan Josua terdiam sejenak. Namun, tak berselang lama pria paruh baya itu memberikan jawaban. “Datang saja ke rumahku, Suri. Aku akan menunggumu.”
Usai panggilan telepon itu berakhir, Suri menghapus air matanya.
Tidak ada waktu lagi untuk menangis. Suri bertekad untuk meninggalkan mansion diam-diam sebelum Romeo kembali.
Ketika napasnya sudah lebih stabil, Suri memesan taksi melalui aplikasi ponselnya dan bersiap-siap meninggalkan kamar Bi Wina.
Apa pun yang terjadi, ia harus segera mendapatkan surat cerai itu dan meminta Romeo untuk menandatanganinya!
Yang jelas, malam ini, ia akan menemui pengacaranya, lalu menginap satu malam di hotel untuk menenangkan diri.
***
“Suri, dari mana saja kau? Apa kau berniat mencoreng nama baik keluarga Albantara, dengan pergi keluyuran semalaman?”
Begitu tiba, ia disambut sinis oleh mertuanya.
Namun semua kata-kata itu terdengar seperti angin lalu bagi Suri.
Tidak ada yang penting lagi selain kebebasan yang sudah di depan mata.
Jadi, Suri memilih berjalan lurus ke kamar untuk mencari Romeo dengan berkas perceraian di tangan.
Hanya saja, pria itu tidak ada di sana.
Bahkan, seprai putih yang terbentang di atas ranjang masih terlihat rapi, seperti tidak tersentuh sama sekali.
Drrt!
Seolah tahu kebingungannya, nomor tak dikenal itu mengirim foto Romeo dengan Diva.
Suri seketika tersenyum sinis. Ia rasa pemilik nomor ini adalah Diva.
Tapi, rasa sakit itu sudah hilang dan berganti amarah.
Tanpa pikir panjang, Suri lantas mengunci pintu kamar dari dalam.
Ia membuka lemari dan mengeluarkan koper besar dari rak atas.
Seolah mendapatkan kekuatan baru, Suri memasukkan pakaian, sepatu, dan barang-barang pribadinya ke dalam koper.
Setiap kali tangannya menyentuh pakaian, perasaan sakit muncul di dadanya, tetapi Suri menahannya sedapat mungkin.
Ia harus segera pergi dari tempat ini dan memulai hidup baru yang bebas dari bayang-bayang Romeo.
Selesai mengemasi barang-barang, Suri duduk di tepi ranjang sambil memandang koper yang telah siap di sampingnya. Tangannya meremas map berwarna cokelat yang berisi berkas perceraian. Ia akan menunggu dengan sabar, menanti Romeo pulang ke mansion dan meminta lelaki itu melepaskan dirinya dari belenggu pernikahan.
Hanya saja, hingga menjelang waktu makan siang, Romeo tak kunjung menampakkan diri.
Rasanya seperti menunggu dalam kekosongan, tenggelam dalam sunyi yang menyesakkan.
Suri menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal dan cemas yang semakin menggerogoti. Ia bahkan tak menghiraukan teriakan ibu mertuanya maupun ketukan di pintu, yang memaksanya untuk keluar dari kamar.
Akhirnya, Suri meraih ponselnya dan menghubungi nomor ponsel Romeo. Dada Suri berdebar kencang, berharap suaminya—atau sebentar lagi mantan suaminya—mengangkat panggilan tersebut.
Namun suara di seberang sana bukanlah suara Romeo, melainkan Yonas, asisten sekaligus tangan kanan Romeo.
"Maaf, Nona Suri. Tuan Romeo sedang ada meeting bersama klien, tidak bisa diganggu,” kata Yonas dengan nada datar.
Suri meremas ponselnya, menekan amarah yang mulai mendidih. "Kapan selesai?" tanyanya dengan suara dingin.
Yonas terdengar ragu sebelum menjawab, "Saya tidak bisa memastikan, Nona, mungkin sampai sore hari. Selesai meeting, Tuan Romeo juga ada pertemuan penting sekaligus makan malam bersama Tuan Thomas dan Nona Diva di Hotel Orion."
Tak tahan melihat pemandangan di depannya, Jevandro pun meninggalkan kafe itu. Kopi pahit yang tak tersentuh masih mengepulkan aroma di mejanya. Di dalam hati Jevandro tumbuh satu ikrar gelap : ia akan membuat Serin jera mendekat pada lelaki mana pun selain dirinya. Emosinya mengeram, menunggu waktu untuk meledak ketika mereka kembali bertatap muka di apartemen.Sementara itu, di bawah payung yang mulai merunduk diterpa angin, Serin menepuk bibirnya dengan tisu terakhir. “Terima kasih, Kak Luis. Aku benar-benar kenyang,” ujar Serin, tersenyum tulus. Luis menyelipkan dompet ke saku celana, menatap Serin dengan sorot mata penuh sayang. “Kamu sekarang tinggal dengan siapa, Serin? Masih bersama ibu tirimu?”Jemari Serin teranyam gugup di pangkuan. “Aku tinggal bersama suamiku di apartemen. Aku… sudah menikah." “Menikah? Kenapa?” Luis memelankan nada, iris matanya melebar seketika. “Kamu masih terlalu muda, Serin.”Gadis itu menunduk dan menatap pasir buatan yang ada di bawah kakinya.
Di balik penampilannya yang menawan dan tatapan matanya yang tenang, Jeandra berusaha memusatkan perhatian. Dia harus menyeimbangkan perannya sebagai sekretaris CEO dan sebagai istri yang sedang bersiap melepaskan jabatannya.Jeandra duduk di balik meja kerjanya dengan punggung tegak dan jemari yang cekatan menari di atas papan ketik. Kertas-kertas tertata rapi, jadwal rapat sudah tersusun, dan balasan email sudah ia kirimkan. Tidak ada satu pun tugas yang tertinggal.Namun, satu hal tak luput dari perhatiannya: Gavin.Asisten pribadi Kenan yang biasanya santai dan bersahabat, hari ini seperti berubah menjadi patung berjalan. Berkali-kali lelaki itu keluar-masuk ruang kerja Kenan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Setiap kali melewati meja Jeandra, ia hanya menundukkan kepala singkat, memberikan anggukan sopan tanpa satu kata pun terucap.Jeandra mengerutkan kening. Tidak biasanya Gavin bersikap sungkan begini. Ia menatap punggung lelaki itu yang menghilang di balik pintu, lalu menari
Di lobi gedung Pradipta Group, suasana yang biasanya tertib dan tenang kini dipenuhi bisik-bisik tak tertahankan. Mata para karyawan—terutama yang wanita—membulat dengan rasa iri dan kagum. Sedangkan yang pria, tanpa malu-malu, berhenti berjalan demi memperjelas pandangan. Semua kepala serempak menoleh ke satu arah yang sama: ke lorong utama yang menghubungkan lobi dengan lift khusus CEO.Di sana, langkah Kenan yang tegas dan angkuh tampak tak berubah sedikit pun. Namun, yang membuat kantor nyaris mendidih bukanlah gaya berjalannya. Melainkan tangannya yang menggenggam tangan seorang wanita.Sang CEO yang terkenal dingin bak salju abadi, nyaris tak tersentuh oleh siapapun, kini memperlihatkan sisi yang begitu asing. Beberapa orang bahkan mengerjapkan mata, seolah tak percaya. Tatapan mereka tertuju pada perempuan yang berada di samping Kenan—tinggi semampai, berkulit bening, dan memiliki garis wajah yang nyaris sempurna.Semula mereka mengira pasangan Kenan adalah aktris atau model
Taksi melambat di depan gerbang megah Universitas Asta Mandala, lalu berhenti tepat di bawah pepohonan rindang yang tumbuh di sisi halaman. Serin membuka pintu dan melangkah turun.Ia berusaha mengusir kekalutan yang masih melekat dari peristiwa semalam. Tatapan matanya mencoba mencari ketenangan pada arsitektur megah universitas, yang seakan memberi semangat baru.Tanpa ingin larut dalam pikiran yang melelahkan, Serin melangkah ke dalam lobi utama. Dengan sopan, ia bertanya pada petugas dan diarahkan menuju kantor administrasi. Langkah gadis itu mantap memasuki ruangan pendaftaran mahasiswa baru. Setelah mengisi beberapa formulir identitas, ia diarahkan untuk melakukan pendaftaran ulang secara digital melalui perangkat yang disediakan. Jemari Serin bergerak cekatan di atas layar sentuh komputer. Ia memasukkan data diri, memilih jurusan bisnis sebagai pilihan studinya, dan mengunggah dokumen-dokumen yang sudah ia siapkan. Hati kecilnya berdoa agar langkah ini menjadi awal dari kehid
Kepala Jevandro terasa seperti dihantam palu besi. Berat, berdenyut, dan dipenuhi kabut yang menggantung. Lelaki itu mengerang pelan di bawah selimut yang membungkus tubuhnya. Dengan satu tangan, ia memegangi pelipis, mencoba menenangkan denyutan yang seakan memukul-mukul dari dalam. Napasnya tertahan ketika mencoba duduk, punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang dingin dan kokoh.Pandangan Jevandro berkunang sebentar, lalu kembali fokus. Dalam benaknya, satu demi satu potongan memori tadi malam bermunculan seperti kilatan cahaya. Denting gelas anggur, wajah Mr. Kenshiro, lalu tubuhnya yang digiring pulang ke apartemen oleh Mateo dalam keadaan setengah sadar.Ketika Jevandro menyibakkan selimut, dadanya terasa ditekan sesuatu yang tidak kasatmata. Tubuhnya polos, tanpa sehelai benang pun.Dengan cepat, mata hazel pria itu menelusuri permukaan tempat tidur yang acak-acakan, lalu berhenti pada satu titik kecil yang tak bisa diabaikan—noda merah samar yang tercetak di atas sprai.
Sembari menggigit ujung kukunya, Serin memutuskan untuk membantu Jevandro. Perlahan ia membungkuk, membelai lengan pria itu dengan ragu.“Kak Jevandro,” bisiknya, menyentuh pipi Jevandro yang hangat, “saya bantu ke kamar, ya? Kakak harus istirahat.”Pria itu hanya menggumam, mata setengah terpejam, tubuhnya nyaris tak bergerak.Serin menghela napas sekali lagi, lalu menunduk lebih dalam dan meraih lengan Jevandro yang berat untuk diletakkan di atas bahunya sendiri. Satu lengannya melingkar di pinggang pria itu, mencoba menopangnya agar berdiri.Langkah demi langkah, ia menyeret tubuh suaminya dengan susah payah. Tubuh Jevandro yang tegap dan tinggi menjulang membuat Serin terseok, seperti menahan beban yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Sesekali kaki Serin tergelincir di lantai marmer yang licin. Peluh mengembun di pelipisnya, tetapi ia tidak menyerah.“Kita sudah hampir sampai… sedikit lagi,” gumamnya lirih.Ketika mereka tiba di ambang ranjang, tubuh Serin sudah
Serin masih berdiri sejenak di depan pintu lobi. Angin dari pintu otomatis yang terbuka dan tertutup perlahan menyentuh wajahnya, sementara langkah-langkah orang asing berlalu-lalang di belakangnya. Gadis itu menarik napas dalam, sebelum melangkah ke dalam lift yang berdinding kaca mengilap.Tangannya menekan angka lantai yang sudah akrab di luar kepala—tempat unit Jevandro berada. Lift meluncur naik dalam keheningan, hingga membuat Serin bisa mendengar napasnya sendiri.Ketika pintunya telah terbuka, gadis itu melangkah keluar lalu menyusuri lorong sunyi menuju pintu apartemen. Jari-jarinya menekan angka-angka pada keypad digital—kode yang diberikan oleh Jevandro beberapa waktu lalu. Dalam sekejap, kunci terbuka dengan bunyi klik yang halus.Pintu berayun, memperlihatkan interior apartemen yang mewah dengan desain kontemporer. Namun semua keindahan itu tak mampu menyingkirkan rasa hampa yang menyergap.Tristan dan Bi Janti kini tinggal di mansion, bergabung dengan keluarga besar Alba
Sisa embun pagi masih terlihat di permukaan jendela apartemen. Di dalam kamar, Kenan duduk santai di sisi ranjang. Tubuhnya bertumpu pada satu sikunya yang menekan permukaan kasur empuk. Tatapannya tak beranjak sedikit pun dari sosok yang tengah berdiri di depan meja rias. Kenan masih mengenakan baju yang telah ia pakai sejak kemarin. Ia memang tidak membawa baju ganti saat memutuskan untuk bermalam di apartemen istrinya—sebuah keputusan spontan yang kini memberinya alasan untuk menatap Jeandra dalam momen yang tak biasa: saat berdandan.Pandangan mata Kenan menelusuri setiap gerakan tangan Jeandra di hadapan meja rias. Lincah, anggun, dan terampil—begitulah wanita itu memainkan kuas, membingkai wajahnya dengan gradasi warna yang mempertegas kelopak mata. Cermin di meja rias memantulkan bayangan Jeandra yang tampak berbeda dari citra yang selama ini tertanam dalam benaknya. Istrinya itu memiliki kecantikan luar biasa, yang sengaja disembunyikan di balik riasan sederhana seorang sek
Bibir Kenan kembali menyunggingkan senyum. Itu adalah senyum yang hangat dan sangat langka—senyum yang mungkin hanya pernah dilihat oleh Jeandra.Jemari panjang Kenan lantas membelai punggung Jeandra, memberikan kenyamanan pada wanita itu.“Hanya karena tersinggung, seorang Jeandra Albantara rela menyamar jadi sekretarisku?”Jeandra menelan ludah. Dadanya terasa sesak oleh sejumlah keraguan. Apakah malam ini adalah malam yang tepat untuk mengungkap semuanya?Haruskah ia berkata jujur dan membuka lembaran lain dari alasan yang lebih gelap? Haruskah ia mengaku, bahwa ia pernah menuduh Kenan mencuri desain dari perusahaan keluarganya? Dalam beberapa detik, Jeandra menatap mata Kenan yang kini menunggu dengan sabar, tanpa paksaan, hanya menantikan sebuah keterbukaan.Jeandra kemudian membenamkan wajahnya pada dada bidang Kenan, membiarkan dirinya larut dalam ketenangan ritme napas pria itu. Detak jantung Kenan teratur, stabil, penuh keyakinan, seperti melodi lembut yang perlahan menyihi