Share

Puncak

Penulis: Risca Amelia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 18:23:12

Hanya saja, Suri tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Ia segera melarikan diri dari kamar yang telah menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini.

Bingung harus ke mana, Suri berlari ke bagian belakang mansion, menuju kamar pelayan.

Hanya tempat itu yang aman bagi dirinya saat ini. Tidak mungkin ia menuju ke depan mansion karena di sana masih ada Diva, ibu mertua, dan adik iparnya. 

Dengan tubuh yang gemetar, Suri berhenti di depan kamar Bi Wina. 

Selama ini, hanya wanita tua yang sudah bertahun-tahun bekerja di mansion keluarga Albantara itu yang pernah menunjukkan rasa simpati padanya. 

“Bi Wina,” suara Suri terdengar pecah, ia menahan isak. “Bolehkan aku bermalam di sini? Aku tidak ingin kembali ke kamarku.”

Bi Wina terkejut dan menatap Suri penuh kebingungan. Namun, melihat mata Suri yang sembap dan memerah, ia bisa merasakan kepedihan yang sedang ditanggung perempuan muda itu. 

Dengan lembut, Bi Wina mempersilakan Suri duduk di atas tempat tidur kecil di sudut kamarnya.

“Nona Suri, apa yang terjadi? Apa saya bisa bantu?” tanya Bi Wina dengan suara pelan, penuh perhatian. 

Suri menggeleng, menahan air matanya yang sudah cukup deras. “Tidak apa-apa, Bi. Aku hanya… butuh waktu. Jangan khawatirkan aku.” Ia menunduk, berusaha meredakan perasaannya yang masih kalut. 

Bi Wina mengangguk, tak ingin mendesak lebih jauh, meskipun ada banyak pertanyaan yang menggantung di benaknya. Perempuan tua itu menyodorkan segelas air putih, yang segera diminum habis oleh Suri. 

Satu jam berlalu dan tidak ada tanda-tanda Romeo akan mengejarnya ke kamar pelayan. Suri masih duduk di kamar Bi Wina, memeluk dirinya sendiri di tempat tidur. Ia yakin jika suaminya itu sudah pergi untuk mengantarkan Diva pulang ke apartemen. 

Pikiran Suri berkelana ke berbagai tempat, berusaha memahami segala hal yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Dalam keheningan itu, ponsel di saku bajunya berbunyi, menyadarkan Suri dari lamunan. 

Begitu melihat nama sang pengacara di layar, Suri segera meraih ponselnya. 

“Suri,” suara Tuan Josua terdengar di ujung telepon. “Surat gugatan cerai sudah siap. Kurasa, lebih baik kamu mengambilnya besok pagi saja di kantorku.”

Suri mengangguk meski tahu pengacara itu tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Paman,” katanya, suaranya masih terdengar lemah.  “Tapi, bisakah aku menemui Paman sekarang? Aku ingin menyodorkan surat cerai itu kepada Romeo begitu dia bangun tidur.”

Tuan Josua terdiam sejenak. Namun, tak berselang lama pria paruh baya itu memberikan jawaban. “Datang saja ke rumahku, Suri. Aku akan menunggumu.”

Usai panggilan telepon itu berakhir, Suri menghapus air matanya.

Tidak ada waktu lagi untuk menangis. Suri bertekad untuk meninggalkan mansion diam-diam sebelum Romeo kembali. 

Ketika napasnya sudah lebih stabil, Suri memesan taksi melalui aplikasi ponselnya dan bersiap-siap meninggalkan kamar Bi Wina.

Apa pun yang terjadi, ia harus segera mendapatkan surat cerai itu dan meminta Romeo untuk menandatanganinya! 

Yang jelas, malam ini, ia akan menemui pengacaranya, lalu menginap satu malam di hotel untuk menenangkan diri.

***

“Suri, dari mana saja kau? Apa kau berniat mencoreng nama baik keluarga Albantara, dengan pergi keluyuran semalaman?”

Begitu tiba, ia disambut sinis oleh mertuanya.

Namun semua kata-kata itu terdengar seperti angin lalu bagi Suri.

Tidak ada yang penting lagi selain kebebasan yang sudah di depan mata.

Jadi, Suri memilih berjalan lurus ke kamar untuk mencari Romeo dengan berkas perceraian di tangan.

Hanya saja, pria itu tidak ada di sana.

Bahkan, seprai putih yang terbentang di atas ranjang masih terlihat rapi, seperti tidak tersentuh sama sekali.

Drrt!

Seolah tahu kebingungannya, nomor tak dikenal itu mengirim foto Romeo dengan Diva.

Suri seketika tersenyum sinis. Ia rasa pemilik nomor ini adalah Diva.

Tapi, rasa sakit itu sudah hilang dan berganti amarah.

Tanpa pikir panjang, Suri lantas mengunci pintu kamar dari dalam.

Ia membuka lemari dan mengeluarkan koper besar dari rak atas.

Seolah mendapatkan kekuatan baru, Suri memasukkan pakaian, sepatu, dan barang-barang pribadinya ke dalam koper. 

Setiap kali tangannya menyentuh pakaian, perasaan sakit muncul di dadanya, tetapi Suri menahannya sedapat mungkin.

Ia harus segera pergi dari tempat ini dan memulai hidup baru yang bebas dari bayang-bayang Romeo.

Selesai mengemasi barang-barang, Suri duduk di tepi ranjang sambil memandang koper yang telah siap di sampingnya. Tangannya meremas map berwarna cokelat yang berisi berkas perceraian. Ia akan menunggu dengan sabar, menanti Romeo pulang ke mansion dan meminta lelaki itu melepaskan dirinya dari belenggu pernikahan.

Hanya saja, hingga menjelang waktu makan siang, Romeo tak kunjung menampakkan diri.

Rasanya seperti menunggu dalam kekosongan, tenggelam dalam sunyi yang menyesakkan. 

Suri menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal dan cemas yang semakin menggerogoti. Ia bahkan tak menghiraukan teriakan ibu mertuanya maupun ketukan di pintu, yang memaksanya untuk keluar dari kamar. 

Akhirnya, Suri meraih ponselnya dan menghubungi nomor ponsel Romeo. Dada Suri berdebar kencang, berharap suaminya—atau sebentar lagi mantan suaminya—mengangkat panggilan tersebut. 

Namun suara di seberang sana bukanlah suara Romeo, melainkan Yonas, asisten sekaligus tangan kanan Romeo.  

"Maaf, Nona Suri. Tuan Romeo sedang ada meeting bersama klien, tidak bisa diganggu,” kata Yonas dengan nada datar. 

Suri meremas ponselnya, menekan amarah yang mulai mendidih. "Kapan selesai?" tanyanya dengan suara dingin.  

Yonas terdengar ragu sebelum menjawab, "Saya tidak bisa memastikan, Nona, mungkin sampai sore hari. Selesai meeting, Tuan Romeo juga ada pertemuan penting sekaligus makan malam bersama Tuan Thomas dan Nona Diva di Hotel Orion."  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunavk Nunavk
aku selalu mendukungmu suri. kabur, seret keluar kopermu dan kakimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Saling Menggenggam dalam Cinta (THE END)

    Tiga hari terakhir di vila menjelma bak momen bulan madu bagi Jevandro dan Serin. Mereka tidak hanya berbagi perasaan, tetapi juga napas, tawa, dan keintiman yang menyatu dalam kelembutan. Mereka menebus malam-malam yang sempat terlewat tanpa pelukan, dan menjahit kembali kisah cinta yang pernah robek oleh kesalahpahaman.Jevandro menjelma menjadi sosok suami yang bahkan lebih dari ekspektasi Serin. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan makanan bergizi untuk istrinya, dan kerap kali menempelkan telinga ke perut Serin, seakan ingin mendengar bisikan sang buah hati. Ke mana pun Serin melangkah, tangan Jevandro tak pernah jauh darinya. Jika Serin melirik ke jendela, Jevandro telah berdiri di belakangnya, memeluknya dengan bisikan-bisikan cinta. Ia memperlakukan Serin seperti bunga langka yang harus dirawat dengan penuh kehati-hatian.Ketika mereka kembali ke apartemen, cinta Jevandro tak luntur sedikit pun. Bahkan di tengah hiruk-pikuk persiapan resepsi pernikahan Jeandra, Jevandro tetap memp

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Mengikat Janji untuk Kedua Kali

    Jevandro menatap Serin tanpa berkedip, menanti keajaiban kecil yang akan mengubah segalanya. Ia mengamati wajah sang istri yang berselimut ragu, matanya seperti mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri. Namun perlahan, sangat perlahan, tangan mungil itu terulur ke arah Jevandro. Gerakan yang begitu sederhana, tetapi mampu menumbangkan segala tembok yang sempat membatasi mereka. Senyum Jevandro langsung merekah, mata hazelnya bersinar penuh haru. Ternyata, Serin masih bersedia menyimpan ruang maaf untuknya.Tanpa menunda, Jevandro mengambil cincin dari dalam kotak dan menyematkannya di jari manis Serin. Saat cincin itu tepat berada di tempatnya, Jevandro mengangkat wajah dan memandang Serin. Tangan yang sempat ia lepaskan karena kesalahan, kini ia genggam lagi dengan janji takkan mengulang kesalahan yang sama.“Terima kasih, Serin,” ucap Jevandro dengan suara parau, sarat rasa. “Untuk kesempatan ini... untuk tetap memilihku meski aku tak pantas.”Kemudian, Jevan menyerahkan cincin y

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Pilihan untuk Mencintaimu Lagi

    Penuh kehati-hatian, Serin mengangkat gaun dan sepatu pemberian Jevandro, lantas membawanya masuk ke kamar. Ia membentangkan gaun itu di atas seprai. Jemarinya menyusuri lipit halus pada kain seraya memandangi detail renda yang begitu anggun.Senyum merekah di bibir Serin, senyum yang mengandung sejuta rasa—rasa syukur, ragu, dan rasa yang belum berani disebut sebagai harapan.Tangan Serin beralih mengusap perutnya dengan sentuhan selembut kapas, seakan ingin berbicara langsung pada kehidupan kecil yang tumbuh di sana. Dengan suara rendah, ia berkata penuh perasaan."Sayang... apakah papamu sekarang benar-benar mencintai kita? Apa Mama harus percaya padanya?”Tak ada yang menjawab, selain detik jam yang terus berputar statis.Sejenak, Serin menatap langit-langit, membiarkan pertanyaan itu melayang tanpa tuntutan. Lalu ia menghela napas dan keluar lagi dari kamar.Untuk mengusir kerisauan hatinya, Serin mengambil cello—alat musik yang selama ini menjadi bahasanya sendiri ketika dunia te

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Berusaha Merebut Hatimu

    Jevandro tidak memaksa. Tidak pula mencoba mendekap Serin secara paksa, meski keinginan itu begitu besar dalam dirinya. Ucapannya serupa permohonan lirih, dari seorang pria yang mulai belajar mencintai dan rela untuk menunggu.Serin tetap diam. Ia tak tahu harus menjawab apa—karena yang paling ia takuti, bukan pelukan itu, tetapi betapa ia mungkin tak ingin dilepaskan lagi setelah merasakannya.Setelah beberapa detik keheningan, Jevandro menarik napas dan berkata lirih.“Kalau kamu kedinginan, bilang saja padaku… aku ada di sini.”Hanya itu. Lalu, Jevandro tak bersuara lagi. Ia merebahkan tubuhnya dalam jarak aman, membiarkan ruang di antara mereka tetap terjaga.Di sisi lain, Serin masih memejamkan mata, berusaha mengusir segala keraguan yang tak kunjung reda. Lambat laun, pikirannya tertarik dalam gelombang kantuk yang menenangkan, dan ia pun terlelap.Tidurnya malam itu terasa berbeda. Begitu tenang, seperti tubuhnya terbuai dalam pelukan alam yang penuh kehangatan. Serin tidak b

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Boleh Aku Memelukmu?

    Serin tidak menanggapi pernyataan cinta yang mengalir begitu tulus dari bibir Jevandro. Tak ada kata yang terucap, tak ada sambutan atau bantahan. Meski demikian, dalam kebisuannya, Serin merasakan ada sesuatu yang retak—lapisan tipis pertahanan yang telah ia bangun tinggi-tinggi.Ia goyah. Sebagian hatinya ingin percaya bahwa kata-kata Jevandro bukan hanya rangkaian indah yang lahir dari rasa bersalah. Namun, bagian lain dalam dirinya, yang sudah terlampau sering terluka oleh harapan yang kandas, masih enggan menerima semuanya begitu saja.Cara Jevandro mencintainya selama ini membuatnya bingung, tersesat, dan bertanya-tanya. Ia tak bisa lagi membedakan, apakah dirinya dicintai karena ia adalah Serin, atau karena ia adalah gambaran Liora yang hidup kembali dalam wujud berbeda. Diam adalah perlindungan terakhirnya.Jevandro tak memaksa. Ia menepati janji yang telah ia ucapkan. Pria itu tetap di sisi Serin, tanpa menyentuh, tanpa menuntut, hanya memandangi punggung perempuan yang te

  • Nyonya, Tuan Presdir Jatuh Cinta Lagi Padamu!   Beri Aku Kesempatan Sekali Lagi

    “Kamu baik-baik saja. Aku hampir putus asa mencarimu… Tapi ternyata kamu di sini,” bisik Jevandro, suaranya lirih, penuh gejolak yang menumpuk selama berhari-hari. Serin tak mampu berkata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia melihat pria yang dicintainya itu berdiri di hadapannya dengan wajah kacau.Selangkah demi selangkah, Jevandro terus mendekat hingga jarak antara mereka terpangkas seluruhnya. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, lelaki itu menarik Serin ke dalam pelukannya—erat, penuh kegelisahan, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perempuan dalam dekapannya bukanlah ilusi semata. Tubuh Serin yang semula hanya terbaring tenang di tempat tidur, kini membeku dalam keheningan. Tangannya tak membalas pelukan, pikirannya membatu, hatinya pun ikut ragu.“Aku sangat merindukanmu,” gumam Jevandro dengan suara parau yang tertahan di tenggorokan, “Maafkan aku, Baby Girl.”Wajah Jevandro menelusup ke lekuk leher istrinya. Sekejap kemudian, kehangatan napasnya menyentuh kulit Serin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status