Suri menghela napas.
Kenapa ia harus bertahan selama ini? Romeo jelas tidak mencintainya dan akan selalu memilih Diva. Tanpa bisa dicegah, air matanya akhirnya kembali mengalir.
Akan tetapi, Suri menahan diri agar tak bersuara. Ia takut tangisannya didengar oleh orang-orang di mansion yang justru akan menertawakan kelemahannya.
Tapi ia berjanji....
Setelah ini, ia tak akan menangis lagi.
Kriet!
Pintu kamar mendadak terbuka, menampilkan Romeo di sana. Suri sontak berdiri dan mendekatinya–berharap bisa menyelesaikan semua masalah malam ini.
Hanya saja, suara berat Romeo mengisi ruangan lagi-lagi mengecewakannya. “Aku akan mengantar Diva pulang ke apartemennya karena sudah malam. Aku akan kembali secepatnya ke sini.”
“Tapi, aku ingin membicarakan perceraian kita segera,” tuntut Suri.
"Apa maksudmu?" Romeo menyipitkan matanya, “apa kau cemburu dengan Diva?”
Suri menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Bukan hanya itu. Yang jelas, aku sudah menghubungi pengacaraku," katanya tanpa ragu. "Beberapa jam lagi, kita akan menandatangani surat cerai.”
Romeo tampak terpaku. Mata laki-laki itu membesar, bibirnya setengah terbuka. “Apa kamu ingin membuat lelucon untuk menarik perhatianku?”
"Kita akan bercerai, Romeo," ulang Suri dengan tegas. "Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini."
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Lalu,
tiba-tiba Romeo melangkah cepat ke arah Suri, matanya penuh amarah. Sebelum Suri sempat bereaksi, Romeo telah meraih lengannya dan menekannya ke dinding dengan kuat. Tubuh Suri yang ringkih terhantam pelan di dinding, membuat dadanya terasa sesak.
"Berani sekali kamu minta cerai dariku. Apa kamu sudah punya laki-laki lain yang bisa memberimu kepuasan, hah?"
Deg!
Suri terperangah mendengar tuduhan sepihak itu. Matanya mulai mengembun akibat penghinaan yang dilontarkan Romero. Dengan suara serak, ia membalas perkataan pria itu. "Bukankah kamu yang mencintai wanita lain? Kenapa kamu menuduhku?"
Pria bermata hazel itu melepaskan genggamannya pada lengan Suri, tetapi tatapan marah masih terpancar dari wajahnya.
Romeo melangkah mundur, mencoba mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. "Kamu pikir bisa meninggalkan aku begitu saja?"
Suri menegakkan tubuhnya, berdiri kaku di hadapan Romeo meski hatinya terasa hancur. Meski demikian, pandangannya tajam, tak goyah oleh tatapan murka suaminya.
Setiap kata terasa berat, tetapi sudah terlampau lama ia menahan semuanya. "Aku tidak perlu persetujuan darimu, Romeo," kata Suri dengan bibir bergetar. "Kita harus mengakhiri pernikahan yang penuh sandiwara ini.”
Romeo tertawa sinis, lalu memandang Suri dengan tatapan menghunus. "Apa kamu mampu bertahan sendiri di luar sana tanpa bantuan dariku?"
"Aku bisa hidup mandiri. Lagi pula, kamu akan menikahi Diva dan sudah menghabiskan malam bersamanya. Tidak ada gunanya kamu menahanku di sini," kata Suri sambil memandang Romeo dengan tatapan yang penuh luka.
Romeo mendengus, matanya menyipit tajam, penuh amarah yang hampir tak terkendali. Ia kembali mendekat, langkahnya terlihat mantap dan berbahaya.
Lelaki itu tersenyum sinis, lalu merengkuh erat pinggang Suri dengan lengan kekarnya. "Kamu pikir aku meniduri Diva?" Suaranya merendahkan, hampir seperti hinaan.
Setiap kata dari Romeo seperti racun yang menyusup ke dalam jiwanya. Namun, ia menolak untuk bereaksi dengan emosi yang serupa. “Aku tidak peduli. Entah kamu menyentuhnya atau tidak, itu tidak penting. Kamu bebas bersama Diva, atau siapapun yang kamu inginkan.”
“Tidak peduli?” desis Romeo. Wajahnya kini begitu dekat hingga napas hangatnya menerpa kulit Suri. “Kalau kamu ingin disentuh, maka memohonlah. Mungkin, aku akan merasa kasihan padamu dan mengabulkannya.”
Suri membeku sejenak, merasa harga dirinya runtuh oleh kata-kata Romeo.
Namun, dia mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan diri.
Suri tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan pria yang selama ini ia cintai dalam diam.
Hanya saja, Suri tak menyangka bila Romeo justru meraih pinggangnya dan menghapus jarak antara keduanya.
“Emmmph ….”
Pria itu langsung meraup bibir Suri dengan paksa sembari menatapnya tajam penuh kemarahan.
Bahkan, tangan dingin pria itu mulai masuk dan menyentuh punggung telanjang Suri!
Sensasi yang tak pernah dirasakan Suri membuatnya merinding.
Namun sekuat tenaga, wanita itu menolaknya.
Bahkan, Suri sampai menggigit bibir Romeo hingga ciuman mereka terlepas.
Tak ayal, darah segar pun mengalir dari bibir Romeo. "Kau---"
Tiga hari terakhir di vila menjelma bak momen bulan madu bagi Jevandro dan Serin. Mereka tidak hanya berbagi perasaan, tetapi juga napas, tawa, dan keintiman yang menyatu dalam kelembutan. Mereka menebus malam-malam yang sempat terlewat tanpa pelukan, dan menjahit kembali kisah cinta yang pernah robek oleh kesalahpahaman.Jevandro menjelma menjadi sosok suami yang bahkan lebih dari ekspektasi Serin. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan makanan bergizi untuk istrinya, dan kerap kali menempelkan telinga ke perut Serin, seakan ingin mendengar bisikan sang buah hati. Ke mana pun Serin melangkah, tangan Jevandro tak pernah jauh darinya. Jika Serin melirik ke jendela, Jevandro telah berdiri di belakangnya, memeluknya dengan bisikan-bisikan cinta. Ia memperlakukan Serin seperti bunga langka yang harus dirawat dengan penuh kehati-hatian.Ketika mereka kembali ke apartemen, cinta Jevandro tak luntur sedikit pun. Bahkan di tengah hiruk-pikuk persiapan resepsi pernikahan Jeandra, Jevandro tetap memp
Jevandro menatap Serin tanpa berkedip, menanti keajaiban kecil yang akan mengubah segalanya. Ia mengamati wajah sang istri yang berselimut ragu, matanya seperti mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri. Namun perlahan, sangat perlahan, tangan mungil itu terulur ke arah Jevandro. Gerakan yang begitu sederhana, tetapi mampu menumbangkan segala tembok yang sempat membatasi mereka. Senyum Jevandro langsung merekah, mata hazelnya bersinar penuh haru. Ternyata, Serin masih bersedia menyimpan ruang maaf untuknya.Tanpa menunda, Jevandro mengambil cincin dari dalam kotak dan menyematkannya di jari manis Serin. Saat cincin itu tepat berada di tempatnya, Jevandro mengangkat wajah dan memandang Serin. Tangan yang sempat ia lepaskan karena kesalahan, kini ia genggam lagi dengan janji takkan mengulang kesalahan yang sama.“Terima kasih, Serin,” ucap Jevandro dengan suara parau, sarat rasa. “Untuk kesempatan ini... untuk tetap memilihku meski aku tak pantas.”Kemudian, Jevan menyerahkan cincin y
Penuh kehati-hatian, Serin mengangkat gaun dan sepatu pemberian Jevandro, lantas membawanya masuk ke kamar. Ia membentangkan gaun itu di atas seprai. Jemarinya menyusuri lipit halus pada kain seraya memandangi detail renda yang begitu anggun.Senyum merekah di bibir Serin, senyum yang mengandung sejuta rasa—rasa syukur, ragu, dan rasa yang belum berani disebut sebagai harapan.Tangan Serin beralih mengusap perutnya dengan sentuhan selembut kapas, seakan ingin berbicara langsung pada kehidupan kecil yang tumbuh di sana. Dengan suara rendah, ia berkata penuh perasaan."Sayang... apakah papamu sekarang benar-benar mencintai kita? Apa Mama harus percaya padanya?”Tak ada yang menjawab, selain detik jam yang terus berputar statis.Sejenak, Serin menatap langit-langit, membiarkan pertanyaan itu melayang tanpa tuntutan. Lalu ia menghela napas dan keluar lagi dari kamar.Untuk mengusir kerisauan hatinya, Serin mengambil cello—alat musik yang selama ini menjadi bahasanya sendiri ketika dunia te
Jevandro tidak memaksa. Tidak pula mencoba mendekap Serin secara paksa, meski keinginan itu begitu besar dalam dirinya. Ucapannya serupa permohonan lirih, dari seorang pria yang mulai belajar mencintai dan rela untuk menunggu.Serin tetap diam. Ia tak tahu harus menjawab apa—karena yang paling ia takuti, bukan pelukan itu, tetapi betapa ia mungkin tak ingin dilepaskan lagi setelah merasakannya.Setelah beberapa detik keheningan, Jevandro menarik napas dan berkata lirih.“Kalau kamu kedinginan, bilang saja padaku… aku ada di sini.”Hanya itu. Lalu, Jevandro tak bersuara lagi. Ia merebahkan tubuhnya dalam jarak aman, membiarkan ruang di antara mereka tetap terjaga.Di sisi lain, Serin masih memejamkan mata, berusaha mengusir segala keraguan yang tak kunjung reda. Lambat laun, pikirannya tertarik dalam gelombang kantuk yang menenangkan, dan ia pun terlelap.Tidurnya malam itu terasa berbeda. Begitu tenang, seperti tubuhnya terbuai dalam pelukan alam yang penuh kehangatan. Serin tidak b
Serin tidak menanggapi pernyataan cinta yang mengalir begitu tulus dari bibir Jevandro. Tak ada kata yang terucap, tak ada sambutan atau bantahan. Meski demikian, dalam kebisuannya, Serin merasakan ada sesuatu yang retak—lapisan tipis pertahanan yang telah ia bangun tinggi-tinggi.Ia goyah. Sebagian hatinya ingin percaya bahwa kata-kata Jevandro bukan hanya rangkaian indah yang lahir dari rasa bersalah. Namun, bagian lain dalam dirinya, yang sudah terlampau sering terluka oleh harapan yang kandas, masih enggan menerima semuanya begitu saja.Cara Jevandro mencintainya selama ini membuatnya bingung, tersesat, dan bertanya-tanya. Ia tak bisa lagi membedakan, apakah dirinya dicintai karena ia adalah Serin, atau karena ia adalah gambaran Liora yang hidup kembali dalam wujud berbeda. Diam adalah perlindungan terakhirnya.Jevandro tak memaksa. Ia menepati janji yang telah ia ucapkan. Pria itu tetap di sisi Serin, tanpa menyentuh, tanpa menuntut, hanya memandangi punggung perempuan yang te
“Kamu baik-baik saja. Aku hampir putus asa mencarimu… Tapi ternyata kamu di sini,” bisik Jevandro, suaranya lirih, penuh gejolak yang menumpuk selama berhari-hari. Serin tak mampu berkata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia melihat pria yang dicintainya itu berdiri di hadapannya dengan wajah kacau.Selangkah demi selangkah, Jevandro terus mendekat hingga jarak antara mereka terpangkas seluruhnya. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, lelaki itu menarik Serin ke dalam pelukannya—erat, penuh kegelisahan, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perempuan dalam dekapannya bukanlah ilusi semata. Tubuh Serin yang semula hanya terbaring tenang di tempat tidur, kini membeku dalam keheningan. Tangannya tak membalas pelukan, pikirannya membatu, hatinya pun ikut ragu.“Aku sangat merindukanmu,” gumam Jevandro dengan suara parau yang tertahan di tenggorokan, “Maafkan aku, Baby Girl.”Wajah Jevandro menelusup ke lekuk leher istrinya. Sekejap kemudian, kehangatan napasnya menyentuh kulit Serin