Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.
“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku. “Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!” “Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan. Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?” “Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersama neneknya, Marlina. Namun Melisa justru melirik tajam ke arah Nayla. “Jadi ini anak yang kau klaim sebagai anak Nathan, hah? Lihat saja! Menjijikkan! Berani sekali kau menggunakan anak untuk menjebak pria sekelas Nathan Marshall!” Nayla yang masih polos langsung memeluk kaki neneknya dengan wajah mungilnya penuh akan ketakutan. “Nenek, tolong, jangan biarkan dia marahi Ibu,” isaknya lirih. Marlina menunduk memeluk Nayla erat. “Sstt, tidak apa-apa, Sayang. Nenek di sini.” Flora mengepalkan tangan. “Melisa, tolong. Jangan bawa Nayla ke dalam masalah ini. Jika kau ingin bicara, bicara saja padaku. Jangan seret anakku!” “Anakmu?” Melisa menyeringai. “Aku tahu semuanya! Nathan ingin kembali padamu! Karena anak ini! Karena wanita murahan sepertimu! Kau pikir siapa dirimu, hah?!” Flora menahan napas. Penghinaannya menyayat, tapi ia tetap berdiri tegak. Baru saja Melisa hendak mendekat lagi, suara deru mobil lainnya terdengar dari kejauhan. Beberapa menit kemudian, dari dalam mobil keluar seorang pria yang tubuhnya tampak lebih kurus, pucat, namun masih gagah. “Nathan!” seru Marlina kaget. Nathan berjalan cepat meski langkahnya sedikit goyah. Ia tak ingin Melisa mengatakan sesuatu hal yang kembali menyakiti Flora. Nathan segera menghampiri Nayla. “Kau tenang ya, akanku pastikan tidak ada yang bisa menyakiti kalian,” bisiknya lembut, mencium puncak kepala Nayla yang masih tersedu. Flora terpaku. Dia tak menyangka Nathan akan datang dalam keadaan seperti ini. Nathan berdiri perlahan, menatap Melisa dengan mata merah menyala. “Apa yang kau lakukan di sini, Melisa?” “Sudah jelas, Nathan! Aku hanya ingin memperingatkan wanita rendahan ini untuk tidak bermimpi tinggi!” “Cukup!” suara Nathan melengking, penuh wibawa. “Kau telah melewati batas. Ini rumah mereka. Bukan tempatmu menyebar racun dan kebencianmu.” “Jadi, kau memang benar-benar memilih mereka?” suara Melisa bergetar. Nathan menghela napas berat. “Ya. Flora adalah ibu dari anakku. Wanita yang pernah kubuang tanpa belas kasih. Dan Nayla adalah darah dagingku—yang selama tiga tahun tak pernah kutahu keberadaannya. Kini aku tahu, dan aku tidak akan melepaskan mereka lagi.” Melisa menelan ludah. “Nathan, kau harus percaya padaku. Dia menjebakmu lagi!” “Kau dan aku tidak punya ikatan apa pun, Melisa. Dulu terjadi karena sebuah kebodohanku. Dan sekarang, aku memintamu untuk pergi.” Melisa terdiam, wajahnya berubah merah padam. Ia melirik ke arah Flora, menatap penuh dendam. “Ini belum selesai,” desisnya sebelum berbalik dan melangkah pergi. Setelah suara mobil Melisa menghilang, Flora baru bisa menarik napas lega. Tapi hatinya masih penuh tanya. Nathan menatap Flora, matanya lembut. “Aku mendengar kabar dari asistenku bahwa Melisa datang ke sini dan mengacau. Aku tidak bisa tinggal diam. Flora, aku tahu aku pernah menghancurkanmu. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.” Flora menggelengkan kepalanya. "Cukup Nathan. Kau dan keluargamu adalah musibah untukku!" "Tidak Flora, beri aku satu kesempatan lagi!" mohon Nathan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Flora masih diam. Luka di hatinya belum benar-benar sembuh, tapi sorot mata Nathan berbeda. Ada ketulusan yang dulu tidak pernah ia lihat. *** Pagi itu sinar matahari menyusup lembut di antara dedaunan, menyinari perkebunan kecil milik keluarga Flora. Udara sejuk, aroma tanah basah dan kicau burung yang bersahutan menjadi latar harmoni dari kehidupan sederhana yang kini dijalani Flora bersama sang nenek dan buah hatinya, Nayla. Flora tengah memetik beberapa buah dari batang pohon yang rendah, meletakkannya dengan hati-hati ke dalam keranjang bambu yang ia bawa. Marlina, sang nenek, tak jauh darinya, sibuk memilah hasil panen lain yang telah terkumpul. "Panennya lumayan bagus hari ini," ucap Marlina sambil tersenyum, menyeka keringat di dahinya. Flora mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nek. Syukurlah. Ini cukup untuk dijual ke pasar besok.” Hari itu terasa damai. Nathan tak datang seperti hari-hari sebelumnya. Flora sempat melirik ke arah jalan kecil yang biasanya dilalui mobil hitam milik Nathan. Tapi hari ini tak ada suara mesin, tak ada langkah kaki pria itu. “Mungkin dia sudah lelah. Mungkin dia menyerah,” batin Flora. Entah mengapa ada sedikit rasa lega, namun juga secuil rasa kehilangan yang tak ia akui. Di sisi lain lahan, Nayla tengah berlarian kecil mengejar kupu-kupu dan capung yang menari-nari di antara rerumputan. Tawa kecilnya mengisi udara, menjadi nada paling merdu di tengah sunyi. Sesekali Flora menoleh dan memastikan anak itu masih dalam jangkauan pandangannya. “Nayla, jangan terlalu jauh, Sayang!” seru Flora dengan nada lembut namun mengingatkan. “Iya, Ibu!” balas Nayla riang, masih mengejar capung yang hinggap di atas bunga liar. Namun hanya beberapa menit kemudian, Flora menunduk sejenak memeriksa hasil panen. Ketika ia kembali menoleh ke arah Nayla bermain. Kosong. Tidak ada siapa pun. “Nayla?” panggil Flora, berdiri seketika, matanya menajam menyisir sekitar. “Naylaaa?” Tak ada sahutan. “Nenek! Nayla hilang dari pandanganku!” seru Flora panik, segera berlari ke tempat tadi Nayla terakhir kali terlihat. Marlina berdiri cepat, raut wajahnya berubah pucat. “Apa? Bukannya dia tadi di sana?!” “Iya! Tapi, dia tidak di sana lagi!” Flora mulai berlari menyusuri semak dan pohon-pohon kecil di sekitar lahan. “Naylaaaa! Sayang! Ini Ibu! Jawab Ibu, Nak!” Namun hanya angin yang menjawab. Hening. Sunyi yang mencemaskan. Flora mulai kehilangan arah, napasnya tersengal. “Tidak, ini tidak mungkin. Nayla hanya beberapa meter dariku tadi.” Marlina menyusul dengan langkah tertatih, suaranya mulai gemetar. “Nayla." Air mata mulai mengalir dari sudut mata Flora. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Ketakutan merambat perlahan, menggigit sanubarinya. “Nayla, tolong jangan bermain terlalu jauh, Ibu mohon,” bisiknya lirih, seolah anaknya bisa mendengarnya. Ia kembali memanggil-manggil, suaranya kini parau. Ia menyusuri jalan kecil di balik semak, tempat yang jarang dilalui. “Nayla, jawablah Ibu, tolong!” Langkah Flora mulai limbung. Dalam pikirannya, bermunculan kemungkinan buruk—ular, jurang kecil, atau seseorang yang membawa pergi anaknya. Dunia seakan runtuh. Nafasnya tak teratur. Marlina duduk di atas batu besar, tubuhnya gemetar. “Ya Tuhan, lindungi cucuku.” Flora berlari kembali ke tengah ladang, berputar-putar, matanya liar mencari bayangan kecil milik Nayla. Nayla masih belum ditemukan.Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D
Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam
Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar
Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M
"Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu."Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka."Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tub