Home / Fantasi / O, Yang Mulia! / Chapter 5: Pertarungan Pertama

Share

Chapter 5: Pertarungan Pertama

Author: Soma
last update Last Updated: 2022-12-31 16:33:25

O menghentikan semua pergerakannya dan berpura-pura mati (meskipun secara teknis ia sudah mati). Mayat hidup merayap ini pasti bergerak kemari karena suara-suara berisik dari pergumulannya beberapa waktu lalu.

O berusaha menemukan jalan keluar dalam keadaan dan waktu yang sempit. Lawan mengepungnya dari depan dan belakang. Sementara senjatanya masih jauh dan lagi, O tidak tahu pasti apa yang dapat ia lakukan dengan senjata itu dengan keadaan tubuh terpisah seperti itu.

""Peringatan bahaya! Betis kiri Anda telah patah. Tingkat kerusakan semakin tinggi. Perhitungan tingkat asimilasi yang digunakan untuk mengembalikan kondisi: 0,03%.""

O tidak punya waktu lagi. Bertindak sekarang atau mati sia-sia. Jika ia melawan dan tetap mati, setidaknya ia sudah mencoba, bukan?

O mengumpulkan semua informasi yang ia dapatkan sejauh ini. Pertama, mayat-mayat hidup ini mengincarnya, akan tetapi tidak bisa membedakan bagian yang vital. Hal ini terbukit ketika mayat hidup yang pertama kali O jumpai tidak secara sepsifik mengincar kristal intinya, tapi bagian tubuh terdekat. Kedua, mayat-mayat hidup ini dapat melihat dan mendengar mangsa mereka, tetapi tidak memiliki kecerdasan yang cukup untuk membedakan dan menentukan prioritas. Itu artinya, O dapat mengalihkan perhatian mereka dan menggunakan kesempatan itu untuk memulihkan tubuhnya, lalu melawan balik atau kabur ke ruangan sebelumnya.

"Narator, bagaimana caranya mengembalikan tubuhku seperti semula? Dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan itu?" O berbisik dengan sangat lirih.

""Anda dapat melakukannya dengan pikiran Anda. Waktu yang diperlukan tergantung kecepatan dan keterampilan berpikir Anda.""

O kurang lebih memahami penjelasan Narator. Ia mencoba memusatkan pikirannya dan dapat merasakan tubuh bagian bawahnya yang sedang dinikmati oleh mayat hidup pertama dapat digerakkan sedikit-sedikit. Seperti menyusun puzzle dalam imajinasi dalam kepala, pikir O.

"Narator, jika aku melepas kepalaku, berapa perkiraan persentase asimilasi yang hilang untuk mengembalikan seluruh tubuhku seperti semula?"

Butuh beberapa saat bagi Narator untuk menjawab pertanyaan O. ""...0,08%.""

"Baiklah. Ini benar-benar kesempatan terakhir!"

O tidak panjang lebar lagi. Ia mencengkram tengkorak kepalanya dengan kedua tangan, lalu dengan sekuat tenaga memisahkannya dengan tulang leher. O melempar kepalanya sejauh yang ia bisa ke ujung lorong.

"Hei! Zombie-zombie bodoh! Aku di sini!" Tengkorak O berteriak sekuat tenaga memanggil kedua mayat hidup di lorong itu. "Percuma saja kalian makan kaki dan tanganku! Aku ada di sini!"

Siasat O berjalan mulus. Kedua mayat hidup itu mengalihkan perhatian mereka pada kepalanya yang sekarang berada di ujung lorong. Mayat hidup pertama segera berlari, sementara mayat hidup yang merayap ke arah tubuhnya juga mengubah haluan. Tengkorak O menunggu dengan cemas, berharap bahwa seluruh siasatnya bisa berjalan dengan baik.

Untungnya, siasat O berhasil. Mayat hidup yang berlari tersandung oleh mayat hidup yang merayap di tanah. Kesempatan yang diharapkan O datang, saat kedua mayat itu berguling-guling di tanah. Sementara itu, ia memusatkan pikirannya untuk menyatukan tubuh bagian bawahnya kembali. O sengaja tidak menggabungkan kepalanya karena ia masih harus mengalihkan perhatian mayat-mayat hidup itu dengan suaranya. Dari pengalamannya, ia yakin mayat hidup pertama yang kepalanya berputar 180 derajat itu dapat bangkit kembali dengan cepat sehingga pengalihan harus terus dilakukann.

Kristal inti O berpendar. Bagian tubuh bawahnya melayang ke arah kristal itu. Kaki kirinya yang sudah patah juga tersambung kembali. Sementara itu, mulut O tidak berhenti berteriak untuk mengalihkan perhatian kedua mayat hidup itu.

O terus berteriak-teriak sambil mengawasi pergerakan lawan, sementara pikirannya fokus untuk menyatukan kembali bagian-bagian tubuhnya. Sebenarnya sangat sulit membagi pikiran seperti itu, akan tetapi, O sudah terlatih lewat pengalamannya semasa hidup sebagai budak--eh, maaf--guru sekolah swasta di negara RI. Bayangkan saja seorang guru dituntut untuk mendidik murid, melayani orang tua siswa, menyelesaikan keperluan administrasi, mengurusi fasilitas sekolah, menjilat atasan, memastikan anak-anak didiknya masuk surga, dan lain-lain, sementara pikirannya terus menerus berada dalam keadaan tertekan baik karena tuntutan-tuntutan itu maupun tuntutan lain seperti keadaan ekonomi, kesehatan mental, menjomblo, dan sebagainya. Yah, menjilat atasan dan memastikan anak-anak masuk surga kedengaran berlebihan, sih, tapi bagi sebagian guru-guru swasta seperti Langit, keadaannya memang seperti itu. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal, sementara kinerja baik pun tetap dihargai dengan upah dan apresiasi yang rendah. Dibandingkan dengan keadaan tertekan terus menerus seperti itu, membagi pikiran seperti ini mudah saja.

GraaUauU! Grah! Hrggh!

Mayat-mayat hidup itu mengeluarkan bunyi-bunyian yang tak bisa dipahami. Mereka terus bergerak ke arah kepala O secara perlahan tapi pasti. Untung bagi O, akibat bentrokan keduanya, mayat hidup yang bisa berlari cepat mengalami pergeseran telapak kaki sehingga sulit untuk menyeimbangkan tubuhnya. Sementara mayat tanpa kaki terguling-guling dan berakhir dalam keadaan telentang, yang artinya membutuhkan waktu lebih untuk kembali ke posisi tengkurap untuk bisa merayap kembali.

"Ha! Kena kalian!"

Tubuh O sudah kembali utuh seperti semula kecuali kepalanya yang masih tergeletak di tanah. Tubuh O yang bergerak tanpa kepala kemudian dengan cepat mengambil tongkat panjang yang tergeletak dan mengayunkannya ke arah mayat hidup tanpa kaki yang masih berusaha untuk membalik badan.

BUKK!

Seperti sebuah bola golf, seluruh mayat hidup tanpa kaki itu melambung ke arah mayat hidup pertama yang tinggal beberapa langkah saja dari kepala O. Kedua mayat itu kembali bertabrakan dan kemudian tersungkur di tanah. Tanpa menunggu lagi, tubuh O bergerak menuju keduanya dan mengayunkan senjatanya berkali-kali.

BAKK! BUKK! BAKKKK! BUKKKK!

Entah sudah berapa kali O mengayunkan senjatanya, yang pasti ia  tidak akan berhenti sampai mayat-mayat itu lumat menjadi pasta. Apalagi tubuhnya yang sekarang tidak akan merasa lelah. O tidak akan lengah lagi. 

BAKK! BUKK! BAKKKK! BUKKKK! BUAKKK!

Kedua mayat hidup itu kini benar-benar menjadi pasta. Pecahan organ tubuh mereka yang hitam dan busuk berhamburan ke mana-mana.

""Selamat! Anda telah menyelesaikan pertarungan pertama Anda!"" Suara Narator mengalihkan O yang sedang fokus membuat adonan daging busuk.

"Eh? Benarkah? Mereka benar-benar mati, kan?" Secara teknis, mereka memang sudah mati, tapi O tidak tahu istilah yang tepat untuk itu. O menari-nari. "Ha, ha, ha! Kau lihat itu? Keren, kan? Lihatlah aku seperti Dullahan!"

O menyebut dirinya seperti Dullahan. Seperti Death Knight, Dullahan adalah mayat hidup yang memiliki keunggulan fisik, hanya saja, Dullahan bergerak tanpa kepala, persis seperti yang dilakukan O barusan.

O menyudahi tariannya. Ia memasang kembali kepalanya, kemudian memeriksa statusnya. "Narator, tampilkan tingkat asimilasiku!"

Nama : O

Tingkat asimiliasi : 0,02%

"..." Suasana hati O tiba-tiba berubah. Ia tidak boleh terbawa euforia; jangan senang karena kemenangan kecil seperti ini. Bagaimanapun, ia nyaris mati (lagi) tadi. "Narator, bagaimana caranya meningkatkan persentase asimilasi?"

""Anda dapat menyerap energi yang tersisa dari musuh-musuh yang Anda kalahkan.""

O menatap ke arah adonan daging busuk di tanah. Adonan itu tidak lagi terlihat seperti daging, tetapi seperti cairan kental yang hitam pekat. Cairan itu berpendar seperti fosfor, tetapi warnanya hitam.

""Anda dapat menyerap cairan itu dengan memusatkan pikiran Anda.""

O mengangguk-angguk. Ia kemudian memusatkan pikirannya pada cairan hitam itu dan membayangkan dirinya menyerap mereka. Cairan hitam berpendar itu kemudian pecah menjadi bulr-bulir tak terhitung, seperti tempias di kaca jendela setelah hujan lebat. Kemudian bulir-bulir itu segera berkumpul dan terserap ke dalam kristal inti yang terletak di rongga dada O.

"Hooo, aku merasa lebih berenergi, sih." O menepuk-nepuk dadanya yang membusung. Dulu ia memiliki otot dada yang terlatih dan sering membanggakannya. Sekarang otot itu sudah tidak ada, tetapi tidak dengan kebiasaannya menepuk dada. "Narator, tampilkan tingkat asimilasi!"

Nama : O

Tingkat asimiliasi : 0,05%

"Eh?" O melongo. Jumlah itu terlalu kecil. "Benar-benar cuma segitu?"

"AAAAARGH!"

O meraung lagi. Ia ingin menggugat, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. O terus merutuk dan merutuk; sampai-sampai ia terlupa bahwa ia bukan satu-satunya mayat hidup di katakomba itu dan mereka bisa mendengar suara berisik O yang menggema di sepanjang lorong...

~Bersambung~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • O, Yang Mulia!   Chapter 82: Cerocos

    O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,

  • O, Yang Mulia!   Chapter 81: Azia

    O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli

  • O, Yang Mulia!   Chapter 80: Atur Ulang Strategi

    O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan

  • O, Yang Mulia!   Chapter 79: Terjun

    Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda

  • O, Yang Mulia!   Chapter 78: Terbang

    "Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t

  • O, Yang Mulia!   Chapter 77: Serangan Udara

    Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status