Belum sempat Fandi meneruskan ucapannya, perih dan panas seketika menjalar di pipinya. Memegangi sebentar pipinya menatap Saran dengan sorot mata ketakutan."Maafkan aku, Sayang. Aku khilaf, dia selalu menggodaku." Fandi kini bersimpuh dibawah kaki Sarah.Pandangan Sarah beralih pada perempuan yang masih di atas ranjang menutupi badannya dengan selimut dan tengah tersenyum padanya. Merasa puas karena melihat hancurnya hati Saran sekarang.Tanpa disuruh, Bram yang juga tersulut emosi langsung menendang muka Fandi sehingga membuatnya tersungkur ke belakang. Darah segar pun mengalir dari bibirnya. "Jangan!" teriak wanita yang ada di atas ranjang dan bersiap untuk membantu.Sarah membungkuk badannya membantu orang yang masih berstatus sebagai suaminya itu berdiri.Diusapnya darah yang ada di bibir Fandi, dan memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum."Bangunlah, Mas," ucapnya selembut mungkin."Maafkan aku, Sayang, aku khilaf.""Aku memaafkanmu, Mas," ucap Sarah lagi kemudian mengusap ramb
"Mas, jangan tinggalkan aku disini sendiri!" sentak Nesya dengan wajah memelas.Sarah pun mengandeng tangan suaminya dan pergi meninggalkan Nesya. Pintu dan jendela dibiarkannya terbuka, karena siapa tahu ada yang mendengar teriakkan Nesya dan mau menolong untuk membuka ikatan di tangannya.Sesampainya di rumah, Fandi langsung dapat Bogeman mentah dari Bram. Yang tentunya semua dia lakukan atas perintah Sarah.Beberapa pukulan dan hantaman Fandi akhirnya ambruk ke lantai. Bram mengangkatnya dan memberikannya satu hadiah lagi sehingga Fandi tak sadarkan diri.Di dalam kamar hatinya terasa perih, sayatannya semakin terasa mengingat ruangan itu mereka selalu menghabiskan waktu berdua. Sarah langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyurkan badannya di bawah shower. Air mata yang sedari tadi ditahan, kini mengalir deras tanpa menunggu persetujuannya.Pikirannya dipenuhi masa-masa bahagia bersama lelaki kedua yang sangat ia sayangi setelah ayahnya.Udara pagi yang terasa dingin, membuat
Sarah cukup terkejut saat mengetahui siapa yang menelepon, Maya. ibunya Fandi. Tak biasanya mertuanya menghubunginya, ada apakah gerangan.Sarah menghela napas sebelum mengangkat telepon dari wanita yang sebentar lagi berstatus sebagai mantan mertuanya itu."Assalamualaikum, Ma," sambutnya tetap menjaga kesopanan. Meskipun putra kesayangannya itu telah menggores luka batin yang begitu dalam terhadap Sarah."Halo, Sarah. Ada dimana kamu?" tanya wanita diujung telpon tanpa basa-basi. Tanpa menjawab salam yang diucapkan Sarah."Sarah sedang di rumah, Ma. Ada apa?" Sarah sengaja berbohong, karena ibu mertuanya belum tahu kalau sebenarnya dirinya tidak jadi bangkrut."Ajak Fandi ke rumah mama sekarang! Ada hal penting yang harus kita bicarakan." ucapan mama mertuanya yang agak judes membuat Sarah merasa muak."Iya, tapi ada apa ya, Ma?" tanya Sarah lagi. Karena sekarang dirinya sedang sibuk dengan urusan pekerjaannya."Sudahlah, cepat kesini." Maya langsung memutuskan telponnya."Argh! Ben
"Fandi!" teriak Maya keras."Mama yang menginginkannya!" lanjutnya lagi."Tidak Mas, aku tidak akan mengugurkan bayi ini. Aku menyayanginya dan juga kamu.""Hentikan sandiwaramu Nesya, akuilah apa yang sebenarnya terjadi.""Apa yang harus aku akui, Mas? Semuanya yang terjadi padaku itu semua diatas kemauan kita." Nesya tetap kekeuh."Aku tidak akan pernah mau menikahi wanita sepertimu, Nesya," ucap Fandi lagi kemudian menarik tangan Sarah untuk mengajaknya pergi."Tunggu!" Maya dengan cepat mencegahnya."Apalagi, Ma?""Masalah seperti ini tidak bisa kamu sepelekan Fandi, seorang laki-laki sejati pasti akan bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Seharusnya kamu menyakini istrimu, kalau kamu bisa berlaku adil jika berpoligami."Nesya tersenyum mengejek saat mendapatkan dukungan besar dari Maya."Sebenarnya aku dan mas Fandi saling mencintai, jadi tidak ada yang bisa mencegah hubungan kami.""Aku tidak pernah mencegah, lebih cepat kalian menikah itu lebih baik," balas Sarah enteng."A
"Sarah! Jangan keterlaluan kamu," ucap Nesya tak terima ibunya diperlakukan seperti itu.Sedangkan ibunya Nesya mengangkat sedikit kepalanya, tak percaya Sarah benar-benar menanggapinya omongannya."Aku hanya ingin melihat sebesar apa pengorbanan seorang ibu.""Sarah! Kamu benar-benar sudah tidak punya hati," ucap Maya melihat Sarah yang tampak serius dengan ucapannya."Sarah, jangan lakukan itu. Kakak tidak suka dengan caramu yang seperti ini. Semuanya telah terjadi, kamu harus bisa menerimanya," ucap Siska, kakak iparnya. sedari tadi diam sambil mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit.Sarah terkekeh. Semua orang memojokkannya seakan-akan dialah yang paling bersalah."Jika memang Fandi tidak mau bertanggung jawab, maka aku akan melaporkannya ke polisi," ucap ibu Nesya seraya bangkit dari tempatnya.Wajah Maya mendadak pucat, "Jangan Jeng, kita harus selesaikan masalah ini dengan baik-baik. Saya sendiri yang akan pastikan Fandi dan Nesya akan segera menikah," ucap Maya mencoba mey
Sinar matahari pagi menerpa wajah Sarah yang masih terbalut selimut. Merasa silau, Sarah mengucek matanya lalu menggeliat.Mengingat kejadian malam tadi senyuman diwajahnya mengembang, "Apa kabar suamiku? Sudah mengerangkah kau di sana?" Setelah bersih-bersih badannya terasa lebih segar, sudah terlihat rapi dengan setelannya, Sarah pun keluar menuju meja makan. Tak lupa sedikit menoleh ke ruang keluarga."Kemana jasadnya? Menghilangkah? Ah, lupakan saja. Lebih cepat menghilang itu lebih baik."Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini Sarah merasa sedikit lebih enteng. Sarapannya sudah tersedia di atas meja, rumah sudah terlihat rapi dan bersih tanpa ia kerjakan.Seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan wajah kaku. Sarah mengembangkan senyum dan menyapanya."Selamat pagi, Oh. Ya, kita belum berkenalan. Namaku Sarah." Sarah mengulurkan tangannya. Melihat hal demikian, wanita itu langsung mengelap tangannya masih basah dengan celemek lalu menyambut tangan Sarah."Saya Jumiatu
*Sementara di tempat lain Dian baru membuka ponselnya dan membaca pesan dari Sarah."Penderitaanmu berakhir cukup sampai disini. Karena Sarah sudah memintaku untuk mengembalikanmu kepada orangtuamu," ucap Dian memandang ke arah Karin yang terikat di atas kursi.Kondisinya sangat mengenaskan, tubuhnya semakin mengurus, tidak dapat bergerak, air mata tak lagi mau mengalir. Tapi tadi pagi Karin mengalami sedikit perubahan mulutnya sudah bisa digerakkan dan berbicara walaupun setiap kalimatnya belum bisa dimengerti.Dian mengemaskan semua barang-barang milik Karin, sampai dirinya menemukan satu foto yang membuat dadanya menjadi sesak, detak jantungnya tak beraturan. Bayangan masalalu kembali menghiasi pikirannya.'Bagaimana bisa foto perempuan laknat ini bisa berada di dalam dompet Karin? Apa wanita ini adalah ibunya?" Dian menatap wajah Karin dengan sinis. Perlahan dia melangkah mendekati Karin."Jelaskan padaku, siapa perempuan ini?" Dian mencengkeram pipi Karin, "Cepat jawab!""Iii ..
Seperti yang sudah mereka janjikan, hari ini Dian dan Sarah pergi ke sebuah cafe untuk menemui seseorang."Mbak Dian, aku membutuhkan orang yang benar-benar bisa di percaya," ucap Sarah saat mereka sudah dekat."Kamu tenang saja Sarah, teman mbak yang namanya Dewi, dia sangat mengagungkan uang. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rupiah.""Apa mbak sudah bilang sama dia, kalau aku akan membayar upah dengan jumlah besar.""Sudah, dia sangat tertarik sekali," jawab Dian memberhentikan mobilnya di area parkiran.Mereka melangkah masuk ke dalam cafe, terlihat seorang wanita melambaikan tangan ke arah mereka."Nah, itu dia orangnya," ucap Dian sembari mengajak Sarah menghampirinya."Hai ... Dewi, apa kabar," sapa Dian sambil cipika-cipiki."Kabar baik," jawabnya lembut."Eh, kenalin ini Sarah, yang aku ceritakan kemarin." Keduanya saling memperkenalkan diri.Senyuman sarah mengembang setelah memerhatikan Dewi dengan teliti, bisa dikatakan wanita itu nyaris sempurna. Penampilannya